3 Member JKT48 (Team J) yang Graduate di Bulan November 2013

1. Stella Cornelia

Pengunguman resmi dari Official Site JKT48

Minggu (3/11) saya diberi kesempatan untuk kembali menonton teater JKT48. Kali ini saya tidak sendirian. Saya ditemani oleh seorang teman saya yang mengaku penasaran ingin melihat teater JKT48. Singkat cerita, karena rasa sok tahu saya yang tinggi, saya mengira jika mulainya teater akan 'ngaret' namun ternyata tidak. Alhasil saya dan teman saya terlambat masuk teater.

Padahal hari itu, banyak peristiwa penting yang terjadi. Ulang tahun Gen 2, Mulainya pendaftaran calon Gen 3, Ulang tahun dan pengunduran diri Stella Cornelia. Sebagai topik utama, saya akan bercerita bagaimana suasana teater disaat perayaan ulang tahun dan pengunduran diri Stella Cornelia.

Saat itu teater dengan setlist Renai Kinshi Jourey berjalan seperti biasa. Dari awal hingga akhir lagu terlihat normal seperti yang pernah saya lihat sebelumnya. Encore yang ditujukan kepada Stella dari para fansnya pun sudah saya duga sebelumnya.

Namun, suasana berbeda terlihat saat lagu terakhir dinyanyikan. Beberapa member terlihat tidak sedang dalam suasana hati yang berbahagia. Saya melihat Haruka jelas sekali tidak memasang wajah ceria seperti biasanya. Ada apa ini? Saya berfikir apakah mereka kelelahan setelah konser di Bandung sebelumnya? Atau mereka terharu dengan banyaknya fans yang mendukung Stella saat itu? Saya hanya dapat melanjutkan menyaksikan pertunjukan teater sampai selesai sambil membayangkan kebahagiaan para member nanti dalam merayakan ulang tahun Stella.

Di akhir segmen teater, para member memberi tahu bahwa hari itu adalah ulang tahun Stella. Para fans Stella pun telah menyiapkan barang-barang yang menunjukkan dukungan terhadap Stella. Lagu Namida Surprise yang menjadi anthem saat ada member yang berulang tahun pun dikumandangkan. Saya kembali merasakan hal yang aneh. Di satu sisi ada para member terlihat senang, namun ada juga member yang terlihat seperti menyembunyikan sesuatu termasuk Stella sendiri.

Seperti tradisi-tradisi sebelumnya bahwa member yang berulang tahun akan diberi surat dari salah satu perwakilan member lain. Saat itu, Haruka mendapat bagian untuk membacakan suratnya. Haruka yang kurang bisa melafalkan bahasa Indonesianya dengan benar masih terlihat lucu walaupun beberapa kali tersendat seperti mau menangis. Dia berkata bahwa "Ci Stella" panggilan akrab utuk Stella, adalah orang yang paling dekat dengannya, menjadi teman curhatnya walaupun tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia, sekaligus guru bahasa Indonesia bagi Haruka.

Tiba saatnya Stella untuk berbicara. Dia berterima kasih selama 2 tahun atas dukungan dari para Member, Fans dan Official. Dia berkata bahwa dirinya yang dulunya nol bisa berkembang sampai saat ini adalah andil dari mereka. Saya mulai kembali merasa bahwa ini adalah perayaan ulang tahun yang aneh, karena kata-kata Stella terdengar seperti kata-kata perpisahan. Stella seperti tidak mampu berkata-kata lagi karena terisak tangis. Para fans pun menyemangatinya agar dapat Stella dapat menyelesaikan sambutannya. Di situ Haruka terlihat membelakangi panggung seakan sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Saya Stella Cornelia, Member team J - JKT48 memutuskan untuk lulus dari JKT48", ungkap Stella. Seketika itu pula seluruh isi teater terhenyak seakan tidak percaya, terutama bagi fans Stella. Bayangkan saja, kesenangan yang baru saja dirayakan tiba-tiba harus sirna seketika karena pernyataan tersebut. Para member lain pun saling berpelukan dan menangis layaknya ada yang tereliminasi dari ajang pencarian bakat. Para fans yang 'oshi'nya adalah Stella terlihat begitu kecewa. Saya berfikiran bahwa keputusan Stella didasari oleh kenyamanannya berakting pada serial BIMA. Namun daripada hanya menebak-nebak, kita tunggu saja kabar selanjutnya.

Tiba saat Hi-Touch. Saya melihat para member masih sedih atas keputusan Stella. Di kesempatan Hi-Touch itu pun saya sedikit menyemangati mereka walaupun hanya 1-2 detik. Terutama untuk oshi saya yang paling saya segani, sang kapten Kinal. Entah itu berpengaruh atau tidak bagi mereka, yang jelas hanya itu yang bisa saya berikan kepada mereka.

Yah... Walaupun saya senang bisa kembali menonton teater yang kali ini dengan seorang teman, namun ternyata memiliki akhir yang kurang bahagia. 

Pada akhirnya, jika JKT48 bertahan lama, semua member akan Graduation / keluar dari JKT48. Member yang Grad akan digantikan oleh member lain yang masih berjuang di JKT48. Member yang Grad diperbolehkan menentukan nasib mereka sendiri di dunia entertaiment tanpa terikat lagi dengan manajemen JKT48. Para fans dari member yang Grad pun disarankan untuk terus mendukung keputusan dan karir member.

Stella Cornelia (Ex-Member JKT48)

2. Sonya Pandarmawan & Diasta Priswarini


Pengunguman resmi dari Official Site JKT48

Demikian pengunguman resmi yang ada pada berita terbaru situs official jkt48.com (21/11).
Sungguh keputusan yang kembali mengejutkan para fans JKT48. Setelah 3 minggu sebelumnya, Stella Cornelia pun memutuskan hal yang sama. Hal ini membuktikan kabar burung yang telah beredar sebelumnya bahwa dalam waktu dekat ini, banyak member yang akan keluar.

Sonya dan Diasta merupakan member team J yang sudah ada sejak JKT48 berdiri. Menurut kabar yang beredar, mereka memutuskan Graduation/Lulus/Keluar karena ingin fokus pada pendidikan mereka selanjutnya.

Sonya yang saat ini akan melanjutkan kuliah, tentu telah memikirkan matang-matang keputusan ini.
Sedangkan, tahun 2013 ini Diasta genap berusia 22 tahun. Tidak hanya usia Diasta yang memang wajar jika ia memutuskan Grad namun juga skripsinya yang membutuhkan perhatian khusus.

Sonya Pandarmawan (Ex-Member JKT48)

Diasta Priswarini (Ex-Member JKT48)

CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *17th Chapter*


...PELANGI DALAM SAKURA...
*17th Chapter

Percikan api semakin terlihat jelas, bermain dengan angin siap membakar tumpahan bensin yang keluar dari tank belakang. Shania dan si supir taksi sudah tidak sadarkan diri. Mereka kini, tinggal menunggu pertolongan yang berpacu dengan waktu. Sementara itu, penumpang Rover yang isinya sama-sama dua orang, sudah lebih dulu dilarikan ke rumah sakit.

Tidak ada yang bisa melakukan apapun. Mereka yang melihat, hanya bisa melihat, memainkan peranan mereka sebagai penonton. Menyaksikan bagaimana skenario Tuhan untuk Shania dan si supir taksi.


Kursi roda itu masih bisa Ochi kuasai, dia menahan kursi roda dengan Beby yang masih kejang-kejang. Rasa takut dan bersalah memasuki hati Ochi yang tadi sempat dikuasai amarah, kala melihat apa yang terjadi pada Beby.
"Beeby? Lu... Kenapa? Beb- Beby...? Lu jangan bikin gue takut! Gue... Gue, minta maaf!" Sesalnya,
Ochi pindah posisi, dari belakang kedepan. Duduk dengan lututnya dia jadikan tumpuan. Kedua tangannya memegang tubuh Beby yang terus bereaksi dengan rasa sakit.

"Bebyyy?"
Mama dan Cindy sampai ditempat Beby dan Ochi.
"Sayang? Kamu denger Mama kan? Bertahanlah.. Lawanlah!!" Ucap Mama dalam isakan tangis ketakutan.

"Kamu! Apa yang sudah kamu lakukan sama Beby? Kenapa kamu masih mau berbuat jahat sama dia? Apa salah Beby sama kamu!!?" Kesal Cindy melihat wajah Ochi.
"Gue... Gue, ahhh! (Ochi terlihat bingung) Gue minta maaf, gue..,-"
"Sebaiknya.. kamu pergi dari sini! Jangan deketin lagi Beby!! Dia gak pernah ngusik kamu juga kan!?" Cindy memotong ucapan maaf Ochi.

Mama tidak menghiraukan mereka berdua, beliau lebih fokus pada Beby yang tadi kejang-kejang, sekarang sudah pingsan dengan darah segar masih terus mengalir dari hidungnya.
"Bertahanlah Nak! Mama tidak akan melepaskan kamu!!"
Mama membelakangi Beby, bermaksud untuk menggendong Beby dari belakang.
"..Cindy..?"
Cindy yang masih menatap benci pada Ochi, segera memalingkan pandangannya pada Mama yang sudah dalam posisi siap membopong Beby.
"Bantuin Tante, kita harus segera membawa Beby kerumah sakit!"
Cindy yang sadar pada apa yang akan dilakukan Mama, segera membantu dengan diiringi penawaran diri.
"Biar Cindy yang menggendong Beby, Tante!"
"Gak perlu, biar Tante... yang membawa Beby dengan tubuh Tante sendiri. Dengan kekuatan yang Tante miliki. Bantulah Tante, bantu Beby naik di punggung Tante!"
Cindy tidak mau memperdebatkan hal ini dengan Mama, dia segera membantu Mama untuk membuat Beby ada di punggungnya.

Beby sudah ada diatas punggung Mama, dia terkulai tak sadarkan diri, tubuhnya begitu terasa ringan untuk Mama. Dengan tangis yang coba Mama kendalikan agar tidak terus mendorong keluar dari muaranya, Mama didampingi Cindy berjalan perlahan, menuruni jalan yang menanjak.

Cindy yang tidak tahan melihat scene itu, segera mengeluarkan handphonenya. Dia baru ingat, kalau tadi.. dirinya masih tersambung dengan Shania. Tapi Cindy tidak terlalu ambil pusing soal Shania dan panggilannya yang sudah mati pada Shania. Cindy segera menelpon perusahaan taksi, dan meminta taksi yang bisa cepat sampai ke lokasi dia, Mama dan Beby berada.


"Halo...?"
"Halo selamat sore.. Apa benar? Ini dengan Nona Ve!?"
Suster tahu nama Ve dari panggilan yang Shania lakukan dengan Kakaknya itu.
"Iya betul, saya sendiri? Ada apa ya, Mbak?" Jawab Ve dengan akhiran tanya.
"Begini, Mbak! Apa... Mbak kenal dengan Shania Junianatha?" Suster memastikan.
Kedua mata Ve membesar saat seseorang yang tidak dia kenali itu menyebutkan nama Shania dalam tanya.
"Saya Kakaknya, ada apa ya? terus ini dengan siapa?" Lancar Ve menembaki si Suster yang akan mengabari dirinya tentang Shania.

Karena sebelumnya Shania meghubunginya dan menceritakan tentang jual mobil, Ve takut kalau yang sedang menelponnya itu yang sudah transaksi dengan Shania dan ada hal yang tidak mengenakan yang akan dia sampaikan tentang transaksi dengan Adik bungsunya itu.

"Saya dari Rumah sakit (pernafasan Ve terhenti, saat dia menangkap kata rumah sakit) Pelita Persahabatan, mau mengabarkan kalau adik Mbak yang bernama Shania Junianatha, baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas, sekarang adik Mbak,..... ..... ..... ....."
Ve terlihat lemas, dia tidak bisa lagi menerima informasi dari suster yang ada di ujung telpon, yang tadi dia pikir rekan transaksinya Shania.
"Keee...celakaan?"
Ve mencoba kembali bersuara dengan ketakutan menyeruak dihatinya.
"Iya, Mbak. Saya meminta Mbak untuk bisa segera datang ke rumah sakit, yang beralamatkan di Jalan,....."
Kembali Ve tidak menangkap semua ucapan suster. Saat alamat itu sudah masuk di gendang telinganya, dengan segera Ve berlari menuju mobilnya, mematikan sambungan telpon dan mengingat jalan ketempat rumah sakit yang sudah disebutkan.

Perasaan kaget dan lemas yang dirasa disekujur tubuh, coba Ve lawan. Tapi ketakutan dari mendengar kata kecelakaan itu, tidak bisa dia singkirkan dari hatinya begitu saja.
"Kenapa jadi seperti ini? Kamu... kamu gak apa-apa kan, Dek? ... Ini hanya kecelakaan kecil kan!" Tangis Ve menuruni pipinya.
Tidak berani dia menggambarkan seburuk apa kecelakaan yang dialami Shania, hingga suster dari rumah sakit yang menelponnya. Pikirannya tetap dia tanami dengan... Shania hanya mengalami kecelakaan kecil, dan dia hanya kena luka gores, yang diobati sebentar pun sudah bisa dibawa pulang dari rumah sakit.

Ve mencoba menghubungkan dirinya dengan Shania. Dia menelpon ke nomor Shania. Tapi sayang.. yang menjawab bukan orang yang sedang dia cemaskan, melainkan operator provider. Hati Ve kembali berkecamuk.
"Kenapa telpon kamu mati? Jawablah... Kamu gak apa-apa kan, Shan? Jawablah..." Ve membekap mulutnya, menahan tangis. Matanya yang basah karena tangis dari ketakutan terus menyeret, tetap dia fokuskan pada jalanan yang dia lewati, agar dia bisa sampai pada tempat yang sudah dia ketahui letaknya.


"Tante!?"
Melody ngos-ngosan, berlari dari lobi rumah sakit hingga bisa sampai ditempat Mama, dan Cindy yang tadi memberikan kabar tentang Beby.
"Tante... Cindy...?.... gimana Beby?" tanyanya kemudian.

Mama hanya bisa menjawab Melody dengan gelengan pelan. Cindy memegang bahu Mamanya Beby. Melody melihat wajah Mama yang begitu dirundung kesedihan. Segera, Melody mendekati Mama dan memberikannya pelukan. Seperti anak kecil yang ketakutan, Mama menyambut pelukan Melody, menumpahkan kelelahannya, membagi kesabarannya, memberitahukan lewat tangis yang ia tahan, akan ketakutan yang memburu.
"Tante... Tante belum siap kalau harus kehilangan Beby, sekarang...!"
Melody hanya bisa mengunci mulutnya, merasakan rasa sesak Mama.

Masih ingat betul apa yang Mama lihat saat di dekat taman tadi. Bagaimana Beby bereaksi pada virus mematikan itu. Ketakutan terus menjadi senjata mematikan yang selalu memburu degup jantung Mama, kala melihat kesakitan menyerang tubuh Beby.
"Kenapa semua ini harus terjadi pada Tante? Kenapa Tuhan senang sekali melihat keluarga Tante seperti ini?!"
Melody yang tidak tahu harus mengatakan apa untuk menenangkan Mama, kembali hanya membisu, dengan mengeratkan pelukannya.
Cindy pun hanya bisa diam, lintasan liar, tentang apa yang dia lihat pada Beby dan ucapan Mamanya Beby, begitu terlihat menakutkan jika harus dia gambarkan.

Seseorang yang sedang menangis, tidak butuh banyak hal. Hanya butuh ditemani dan didengarkan. Membiarkan Mama mengeluarkan ketakutan dan kerapuhannya. Memberikan pelukan yang meskipun hanya bisa memberi sedikit rasa tenang, tapi setidaknya, Mama tahu.. Kalau masih ada yang bisa ia ajak berbagi saat rasa sakit itu sudah tidak tahu lagi harus diapakan.


Kini... kedua sahabat itu, sedang berjuang!
Mereka berjuang untuk kehidupannya. Menerima takdir yang sudah tertulis. Memperlihatkan pada sang penulis takdir, jika mereka masih ingin menikmati kehidupan yang telah dititipkan oleh-Nya.

Takdir, memang sudah menuliskan nasib mereka. Tidaklah bisa Shania dan Beby tahu buku yang sudah Tuhan tuliskan untuknya. Sebuah buku yang tercipta kala keduanya dititipkan dalam rahim seorang Ibu. Buku yang sudah tertulis Prolog, Cerita, Epilog, hingga Ending yang pasti. Sebuah buku yang berisi perjalanan mereka, dan kita yang hidup di dunia.

"Kondisinya kritis! Kepala bagian belakang mengalami pendarahan, tapi itu sudah bisa dihentikan. Perutnya yang tertusuk besi, masih mengeluarkan darah. Tensinya sangat rendah. Dan... detak jantungnya sangat lemah!" Ucap dokter pertama menjelaskan, pada dokter kedua. (Ceritanya mau pergantian shift!)
"Selain itu.. ada serpihan kaca yang masuk dalam matanya. Kita sudah bersihkan, tapi belum tahu pasti bagaimana kondisi matanya!" Lanjutnya membuat resume untuk kondisi Shania.
"Saranmu? Tindakan apa yang akan kita ambil untuk pasien kita ini!?" tanya dokter kedua.

Dokter pertama itu melihat pada dokter kedua yang masih membaca status dari Shania dalam board yang sudah berisi rekam medis pengecekan.
"Siapkan ruang Operasi!"
Dokter kedua yang sedang melihat report pun meghentikan laju matanya. Kemudian dia lihatkan pada dokter pertama.
"Kita tidak mungkin melakukan Operasi dengan status pasien seperti sekarang ini!"
Dokter kedua mulai berasumsi karena sudah tahu catatan yang dibuat suster pendamping saat pemeriksaan tadi.
"Anda tahu, kalau resikonya terlalu besar! Pasien bisa saja meninggal, kalau kita mengambil tindakan Operasi ini!!" Jelasnya.

"Dokter! Kita disini.. dokter pertama, yang harus membuat keputusan, akan diapakan pasien yang masuk keruangan ini!"
Dokter pertama yang sudah lelah bekerja dari hari kemarin dan belum mendapat pertukaran shift kerja, sedikit meninggikan suaranya.
"Kalau kita terlalu lama berpikir, bukan ruang Operasi yang akan membuat pasien meninggal. Tapi disini, diruangan ini!!"
Dokter kedua merasa malu, karena apa yang dikatan dokter pertama itu memang benar.
Sebagai dokter jaga di ruang UGD, ruang pertama yang didatangi pasien. Haruslah Dokter yang berjaga diruangan itu, segera bisa memutuskan tindakan yang akan diambil, untuk pasiennya.
"Berikan report itu pada dokter yang ada di ruang Operasi! Agar Operasi bisa cepat dilaksanakan!!" Suruhnya, dengan suara dia turunkan kembali. Dokter keduapun, tak banyak bicara, dia segera keruangan bagian Operasi.
"Suster! Hubungkan saya dengan keluarga pasien!!" Suster segera keluar ruangan.

Pergantian Shift yang harusnya sudah di dapat Dokter pertama, jadi batal. Dokter itu pun kini harus menjadi operator atau asisten dokter diruangan Operasi saat nanti Shania akan menjalani Operasi yang dia sarankan.

Ve tergesa, berlari sekuat tenaga mencapai rumah sakit dari tempat parkiran. Tiba di depan lobi, dia segera menghampiri Suster dan langsung membuat pertanyaan dengan suara takut dan gesture kekalutannya.
"Suster! Ehmm.. Korban kecelakaan lalulintas, yang baru masuk? Dimana?"
"Sebentar Mbak, kami cek dulu!"
Ve menunggu, belum ada hitungan detik dia menunggu, tapi rasanya begitu lama.
"...Suster! Dimana? ahhh!!" Kesalnya dalam kepanikan.
"Iya Mbak, seben..,- Ah ini.. Shania Junia,-"
"Iya itu!" Ve segera memotong ucapan Perawat.
"Pasien masih ditangani di Unit Gawat Darurat. Mbak jalan kedepan, nanti ada belokan pertama yang Mbak temui, dari sana Mbak ambil belokan sebelah kiri. Disana ruang UGD."
Tanpa mengucapkan terima kasih, Ve langsung bergegas kembali memacu kakinya untuk berlari.

Seorang Suster didepan ruangan UGD terlihat sedang berbicara dengan para Polisi Lalu Lintas yang tadi mengawal ambulance yang membawa Shania hingga sampai dirumah sakit.

"Permisi Suster, adik saya yang mengalami kecelakaan lalulintas. Apa dia masih ditangani di UGD?" Ve kembali bertanya. Dia sudah sampai di ruang UGD.
"Maksud Mbak? Yang kecelakaan dari taksi itu?"
"Iya!"
"..Dan, Mbak ini?"
"Saya Kakaknya! Adik saya dimana, Sust?"
"Ah! Mari Mbak, ikut saya!!" Perawat jaga itu segera menuntun Ve.

Dia tadi dapat pertanyaan dari Suster pendamping diruang UGD, tentang.. apakah keluarga Shania ada yang sudah datang. Karena Suster jaga itu bilang belum ada. Suster pun mengatakan kondisi Shania, kalau-kalau keluargnya sudah datang.
"Suster. Keluarga dari pasien kecelakaan lalulintas, yang bernama Shania Junianatha!"
Suster yang tadi sedang bicara dengan para Polisi, segera memalingkan wajahnya dan menatap Ve.
"Mbak... Keluarga dari pasien yang bernama Shania?" Ve mengangguk untuk menjawab.
"Kalau begitu... mari, ikut saya Mbak?"
Suster menuntun Ve hingga keduanya hilang dari koridor dan memasuki ruangan.

Dalam ruang UGD, Ve celingukan mencoba mencari sosok Shania. Tapi sayangnya, setajam apapun penglihatan Ve. Dia tidak akan bisa tahu dimana Shania berbaring, karena setiap ruang dalam ruangan ditutupi tirai penyekat.

"Dok? Keluarga Shania!" Suster menunjukan.
"Selamat sore, Mbak. Silahkan dud,-"
"Adik saya dimana Dok? Bagaimana kondisinya?" Ve tidak menyambut ucapan Dokter. Karena yang ingin dia tahu adalah dimana Shania? Bagaimana kondisinya? Karena saat didepan ruangan tadi, dia melihat ada beberapa petugas Kepolisian. Yang artinya.. Ini bukanlah kecelakaan lalulintas biasa saja.
"...Begini, Mbak.. silahkan duduk dulu. Biar kami jelaskan!" Ve menuruti apa yang dikatakan Dokter.
"...Adik Mbak, harus segera di Operasi (Nafasnya terasa berat, saat kata Operasi dia dengar langsung dari mulut Dokter) kami sekarang sedang mempersiapkan ruangan Operasi untuk pasien. Dan ini... Tandatanganilah surat persetujuan Operasinya, agar kami bisa secepatnya melakukan tindakan lanjutan terhadap Adik, Mbak!"
Dokter tidak menjelaskan kondisi Shania, dia langsung meminta Ve untuk menandatangani surat persetujuan Operasi.
"Operasi? Adik saya kenapa, Dok? Kenapa harus ada Operasi? Apa lukanya..,- Bagaimana mungkin..,- Apa yang sebenarnya terjadi!?"
Ve mencoba tenang, tapi kenyataanya tidak bisa. Dia begitu panik, takut, sedih, dan penasaran juga.
"Tenang, Mbak. Adik Mbak, memang harus secepatnya di Operasi, karena kondisinya saat ini begitu kritis. Sebuah besi menancap di perut bagian kirinya, kalau kami tidak segera mengeluarkan benda itu.. akibatnya bisa fatal untuk Adik Mbak. Dan...,-"
"Dokter, ruangan Operasi sudah siap! Pasien sudah siap mendapat tindakan!!"
Dokter kedua, yang tadi disuruh. Datang memotong percakapan Ve dengan Dokter pertama.
Dokter mengangguk untuk memberikan isyarat. Lalu kembali menghadapi Ve.
"Operasi ini... beresiko cukup tinggi untuk pasien. Tapi, tidak segera dilaksanakan Operasi pun, akan sama beresikonya bagi nyawa pasien! Ambilah keputusan itu. Putuskan.. Masuk ke ruang Operasi? Atau mendengarkan penjelasan saya, dan kita kehilangan beberapa menit yang mungkin akan berharga untuk adik, kamu!"
Suara Dokter itu.. berubah. Dia jadi sedikit menyejukan tapi tetap menusuk.

Ve berdiri dalam kebimbangan, tidak tahu betul bagaimana kondisi sebenarnya Shania, tapi harus membuat keputusan. Apalagi kata-kata yang diucapkan Dokter, membuat kebimbangan itu menjadi ketakutan dan... kekalutan.
"Mbak! Putuskanlah!!" Dokter kembali bicara.
Ve mengambil board yang sudah ada surat persetujuannya. Diam sebentar, lalu... dia membubuhkan tandatangannya. Menyetujui apa yang tertulis dalam selembar kertas yang entah apa isinya, karena tidak sempat Ve baca.
"Selamatkan adik saya, Dok! Saya mohon!!" Lirih ve, berharap pada Dokter itu.
"Berdoalah! Tuhan bersama kita!!" Jawab Dokter dengan masih sempat menyunggingkan sedikit senyum untuk Ve.
"Suster?!" Dokter memberikan isyarat.
Suster itu mengangguk, "Mari Mbak. Saya tunjukan ruang tunggu untuk ruangan Operasi!"
Ve yang wajahnya begitu kusut, hanya bisa mengangguk dan mengikuti suster.

Tidak pernah ada yang menginginkan keburukan menimpa kehidupan yang sedang dijalani. Setiap rencana indah yang kita tuliskan hingga melukiskan senyum bahagia, mungkin tidak akan berjalan selancar saat membuat tulisannya, tidak akan sebahagia saat di wajah itu terlukis sebuah senyum. Namun, jika kita maknai lebih dalam... Rencana indah yang tidak bisa terwujud itu, tidak lantas menjadi buruk. Langit tetaplah biru meski sinar mentari tak menerangi, dan awan putih yang berarak mendampingi, berubah menjadi awan grei yang muram. Masih banyak rencana, yang bisa dibuat. Masih banyak kesempatan yang akan datang. Asal kita percaya, kalau rencana Tuhan itu... Lebih indah dari apa yang kita rencanakan.


Mama hanya bisa memandangi wajah Beby. Kembali beberapa slang kecil dan beberapa kabel kecil berwarna itu dipasang ditubuh Beby. Memberitahukan secara kasat mata jika Beby, keadaannya sungguh sangat... menakutkan untuk dibicarakan.

Seperti yang Dokter bilang.. Kondisi Beby sudah benar-benar sangat mengkhawatirkan. Operasi yang pernah dibicarakan kala itu, harus segera dieksekusi. Tidak ada pilihan lain. Apalagi... waktu Operasi yang mendapat penundaan, ternyata mengalami penurunan perkiraan presentase dalam kesembuhannya. Harapan dalam Operasi yang semula 70:50, untuk kesembuhan. kini menjadi 20:80, untuk kesembuhannya. Karena virus yang sempat mendapat perlawanan dari antibiotik itu ternyata melakukan perlawanan balik dan menyerang sistim imun dalam tubuh Beby, begitu cepat, dan melakukan pembelahan juga penyerangan balik, hingga menyebar kebagian tubuh lainnya, lalu mengakibatkan kondisi Beby terus memburuk. Dan akhirnya seperti sekarang, pengambilan langkah terakhir dalam upaya menyembuhkan Beby pun, menjadi seperti.. menanti hembusan angin di musim kemarau. Kemungkinannya begitu kecil!

Dokter memang bukanlah Tuhan, mereka hanya mengatakan apa yang mereka ketahui berdasarkan hasil pengamatan, dari kemampuan yang mereka miliki. Sebuah kemampuan yang Tuhan titipkan pada setiap orang yang berbeda. Soal apa yang sebenar-benarnya akan terjadi... tetap! Hanya TUHAN yang tahu!!. Dan kita... hanya bisa berharap dan berpasrah pada hasil dari apa yang sudah kita lakukan.

Cindy dan Melody, ikut menyelami wajah tirus Beby, dengan pikirannya membuat pola sendiri, menggambarkan tentang Beby. Lama mereka hening didalam ruangan itu, hingga Melody mengusap lembut tangan Cindy, dan kemudian Melody memberi isyarat untuk Cindy ikut dengannya keluar.

"Kenapa jadi seperti ini..?"
Melody mencoba mencari tahu.
"..... ..... ...... ......" Cindy hanya diam.
"Apa yang sebenarnya sudah terjadi, Cindy?" Melody masih mencoba. "Shania... dia kemana? Kenapa Ibu tidak melihatnya?"
Cindy yang sebelumnya menunduk, mengangkat wajahnya pelan saat nama Shania dan keberadaannya dipertanyakan oleh Melody.
"Cindy..?"
Cindy yang sedang menebak dimana Shania, kaget saat mendengar Melody memanggalinya, hingga refleks jadi menatap Melody.
"ehmm... itu... ini... InisemuasalahnyaOchiBu..!" dalam satu tarikan nafas setelah sebelumnya terbata, Cindy menuduh Ochi lah penyebab kritisnya lagi Beby.
"Ochi?"
"Iya, Bu! Ochi!! Dia..."
Cindy memainkan kembali gambaran saat dia melihat Ochi dan Beby yang berdiri di pinggir jalan yang menanjak, dekat taman. Lalu dengan bersih dan begitu detail, Cindy menceritakan semuanya pada Melody. Termasuk Shania yang juga tahu tentang kejadian itu.

"Sudahlah! Kita tidak perlu bahas ini dulu (Maksudnya Ochi), dan soal Shania... Dia tahu, dan jelas-jelas tadi kamu dengar kalau Shania meminta letak taman, dimana Beby dan Ochi berada, kemudian menyusul. Tapi, kenapa sekarang Shania belum kelihatan disini!!? Apa kamu tidak memberi tahu dia, kalau Beby dibawa kerumah sakit?!"
Heran Melody, dia tahu bagaimana Shania. Apalagi mendengar alur cerita yang Cindy dongengkan. Tidaklah mungkin Shania tidak mau melihat Beby.
"Tadi, sebelum Cindy menelpon Ibu. Cindy telpon dulu Shania untuk ngasih dia kabar. Tapi,... HP nya mati, Bu! Gak tahu kenapa, jadi tiba-tiba gak bisa dihubungi!!"
Jelas Cindy mencoba menjawab keheranan Melody. Bukannya keheranan itu terjawab, malah semakin menjadi. Melody sekarang malah membuat karangan, dalam menebak kalau-kalau Shania sedang mendatangi Ochi dan marah-marah padanya.

"Sudah telpon Kak Ve?"
Melody kembali bertanya. Dia masih ingat, pada apa yang diucapkan Ve saat mereka ada dirumah Beby. Intinya, Ve ingin... kalau ada apapun tentang Beby, dan Melody mengetahuinya. Melody bisa memberikannya kabar.
Cindy menggeleng, "Cindy... gak tahu nomor HP nya Kak Ve, Bu!" katanya setelah menggeleng.
"Ya sudah, emm.. kamu, sebaiknya pulang. Istirahatlah. Besok harus sekolah juga kan?" Melody begitu lembut dan perhatian.
"Enggak, Bu! Cindy mau disini. Cindy mau nemenin Beby, sampai dia sadar!" Tolak Cindy.
"Cindy. Dengerin Ibu?... Kalau kamu, memaksa tubuh kamu yang sudah lelah ini bekerja lebih lagi. Nanti kamu bisa sakit, dan akhirnya.. kamu tidak akan bisa menemani Beby karena kamu sakit! Apa kamu mau? Seperti itu!"
"Tapi, Bu? Cindy gak apa-apa Kok! Besok Cindy akan tetap sekolah, dan.. Cindy juga gak akan sakit, Cindy janji!!"
"Ibu tahu itu! Kamu mungkin gak akan sakit, sekarang. Tapi nantinya? Kamu gak tahu kan?" Cindy diam, "Ibu.. akan memberi kamu kabar, kalau ada apa-apa, atau ada perkembangan apapun tentang Beby! Ibu janji!!"
Cindy yang sadar tidak akan mungkin menang dari gurunya itu, akhirnya menyerah dan pulang, setelah sebelumnya berpamitan pada Mama.

"Makasih ya sayang, udah mau bantuin Tante!"
Cindy membalas ucapan Mama dengan senyuman.
"Beby... pasti baik-baik aja Tante! :'-) Tante yang kuat ya?! Cindy akan selalu bantuin Tante, sama Beby!"
Sebelum meninggalkan ruang rawat, Cindy memberikan semangatnya untuk Mama. Mama memeluk Cindy begitu erat, dengan memberikan kecupan diatas kepala Cindy, Mama melepas pelukannya dan mengucapkan kembali kata terima kasih.


Ve duduk dengan begitu gelisah. Pikirannya sedang keruh. Tidak bisa dia berpikir tentang apapun! Hingga getaran dari telpon yang berderingpun tidak dia hiraukan (yang menelpon Melody). Yang bermain dipikirannya sekarang hanya tentang Shania.. Shania.. dan Shania.... Shania si Adik satu-satunya yang sangat dia sayangi, yang sekarang sedang memperjuangkan kehidupannya diatas bangsal didalam ruangan Operasi.

Sesekali, Ve melihat lampu diatas pintu ruangan Operasi. Berharap lampu itu segera berganti dengan warna hijau, penanda kalau Operasi sudah selesai.

Hari ini... Benar-benar seperti mimpi buruk untuk Ve. beberapa jam sebelumnya dia masih bisa bercengkrama lewat telpon dengan Shania. Tapi beberapa jam setelahnya, seperti.. seperti kilatan petir yang menyambar di tengah teriknya matahari, saat seseorang mengabarkan kalau Shania mengalami kecelakaan.
Ve masih bisa mengingat saat dirinya dan Shania berbincang lewat telpon. Apalagi bagian terakhir diperbincangannya. Suara manja Shania, ucapan Shania yang mengatakan ingin dipeluk, terasa begitu dekat, namun merasa akan jauh.

'Itukah pertanda yang Tuhan berikan? Dia memberi tahu, tapi aku tidak peka!' Sesal Ve dalam penantiannya.

8 Jam! Operasi itu.. akhirnya selesai juga. Jam dinding sudah menunjukan hampir tengah malam. Lampu merah sudah berganti jadi hijau. Seorang Dokter keluar dari ruangan itu. Dokter yang berbeda dari Dokter yang meminta Ve untuk menandatangani surat persetujuan. Tapi siapapun itu, Ve tidak perduli. Yang dia tahu, Dokter itu keluar dari ruang tempat dimana Shania tadi dimasukan.
"Bagaimana Adik saya, Dok?" Tanya Ve segera.
"...Operasinya sudah selesai, dan berjalan lancar." Sedikit, Ve merasakan kelegaan di hatinya.
"Tapi,-" Kelegaannya seketika tersapu dengan satu kata yang akan melahirkan banyak kata lainnya.
"Tapi apa Dokter?"
"Kondisi pasien masih belum stabil! Saat diruang Operasi, dia sempat kehilangan banyak darah, dan kembali mengalami pendarahan ringan dikepala bagian belakangnya."
Ve merasakan sakit saat mendengar ucapan itu. Membayangkan bagaimana perjuangan Shania. Dia hanya bisa menahan tangisnya agar tidak pecah.
"Meski semua akhirnya bisa Pasien lewati. Namun demikian, apapun kondisi terburuk yang pasien alami saat diruang operasi dan akhirnya bisa diselesaikan. Hasil akhir tetap pada kondisi pasca Operasi!"
"Maksud Dokter? Jelaskanlah dengan bahasa yang bisa saya mengerti Dok!" Pinta Ve dalam kelelahannya.
"Kondisi pasca Operasi itu.. kondisi dimana pasien bisa kembali merespon, meski dengan respon kecil seperti menggerakan jemari, atau menggumam saat kami mengeluarkan suara dan bertanya." Ve mengerung sedih, "Dan itu... ada batas waktunya! Seperti dalam kasus Adik Mbak saat ini. Jika dalam waktu 48jam, dia tidak memberikan respon ataupun reaksi, penanda kalau dia sudah bisa melewati masa pasca Operasi. Maka dia dinyatakan Koma. Dan mungkin... waktunya untuk hidup, akan menipis!!"

Penjelasan Dokter membuat Ve meraskan kelemasan dan ketakutan bukan main. Dia merasa sedang dilempar dari ketinggian paling tinggi, hingga membuat dadanya terasa senyap.
"... Apa yang bisa kita lakukan Dok..ter? Lakukanlah sesuatu untuk Adik saya! Jangan... Jangan biarkan dia..., Jangan biarkan saya kehilangan dia, Dokt..er!? Saya tidak mau kehilangan Adik saya!!" Ve menangis kesakitan.

Dokter memegang pundak Ve. "Berdoalah! Mintalah harapan itu pada Tuhan!! Dia akan selalu mendengar ucapan dalam doa setiap umatnya. Percayalah apa yang sekarang terjadi, adalah yang terbaik untuk Kamu, dan adik kamu!."...
Dokter meninggalkan Ve sendiri diruang tunggu.

Sepeninggal Dokter, Ve berjalan dari ruang tunggu. Dia menuju Ruang ICU tempat dimana Shania kini berbaring. Setelah kabar yang seperti kilatan itu dia terima dan semua berjalan terasa begitu lamban namun ternyata cepat. Ve baru bisa sekarang melihat Shania dengan mata kepalanya sendiri. Dia mendekati kaca dan melihat lebih dekat raga Shania. Air matanya mengalir deras, ketakutan menyelimuti Ve saat ini. Apa yang dilihatnya... sesuatu yang mengerikan, tidak pernah dia membayangkan ataupun membiarkan pikirannya dilintasi hal seperti yang sekarang dia lihat. Menyaksikan Shania dari balik sebuah kaca, Shania yang terbujur tak berdaya, dengan luka yang jelas terlihat dan luka yang tak terlihat.
'Apanya yang terbaik? Apa... air mata dan kesakitan itu.. yang terbaik yang bisa Tuhan kasih buat aku sama Shania?' Matanya dia pakukan nanar kearah Shania.
'Bangunlah, Dek! Kakak butuh kamu!!' Air matanya semakin tak terbendung, Ve membekap mulutnya sendiri.
Semilir angin tengah malam diluar gedung rumah sakit. Seakan terasa masuk dilorong itu, dan membuat tubuh Ve menggigil kedinginan.
'Kamu... mau bantuin Beby kan? Bangunlah... Kak Ve mohon!!' :'-(


---
Ve yang sebentar, sangat sebentar bisa memejamkan matanya diruang tunggu ICU. Kembali berjalan lemas kearah kaca, dimana dia bisa melihat Shania. Harapan itu.. masih ada dalam diri Ve. Tapi, dalam hitungan beberapa jam kedepan, mungkin Ve akan kehilangan harapannya, jika apa yang dituliskan untuk Shania, tidak seperti apa yang dia angankan.! Shania bisa melewati masa kritisnya, dan kembali bisa membuka kedua matanya, tanpa harus ada dalam kondisi Koma!.

Tidak ada sekelabatpun pemikiran yang melintas dalam kepalanya, untuk Ve menghubungi Papa dan Mama, dan memberitahukan tentang Shania. Apa yang sudah Ve ketahui tentang kelakuan kedua orangtuanya, sudah cukup untuk Ve jadikan alasan tidak melibatkan mereka dalam kondisi Shania yang jauh dari kata stabil.


Cindy masuk kesekolah, dia terlihat tidak bersemangat sama sekali. Yang dia pikirkan hanya Beby dan kondisinya. Seolah pijakan itu tak terpijak, berjalan diatas kaki sendiri, tapi merasa tidak berjalan.

Apa yang bisa aku lakukan buat Beby? Uang sebanyak itu.. untuk biaya Operasi itu... darimana aku punya uang sebanyak itu? Pikiran Cindy diam-diam menanyakan

"Cindy?"
Langkahnya dia hentikan, karena mendengar seseorang memanggilnya. Lalu Cindy mengerung benci saat tahu siapa yang sudah memanggilnya.
"Ada apa?" Dinginnya Cindy menanggapi.
"Gue.. gue pengen tahu gimana keadaan Beby?" Tanya Ochi kemudian
"Gak usah pura-pura perhatian! Apa kamu masih belum puas, melihat Beby sekarang terbaring lagi di rumah sakit!?"
Cindy tidak lagi takut saat berhadapan dengan Ochi, yang bisa saja malah Ochi menyerang balik.
"Gue beneran tanya, karena gue.. gue merasa bersalah sama dia!"
"Kalau perasaan bersalah kamu itu masih berguna, kamu sebaiknya datang ke rumah sakit, dan bicara langsung! Gak perlu kamu utarain di depan aku, karena buat aku itu gak akan ada gunanya!!"
Cindy bergegas meninggalkan Ochi, setelah ucapannya yang dingin.

Ochi yang ditinggal hanya bisa diam terpaku ditempat semula, sembari melihat hilangnya punggung Cindy dari pandangannya.
"Gue emang bodoh! Harusnya... gue kenali dulu Beby. Harusnya... gue gak ambil tindakan konyol karena dorongan emosi itu. Harusnya... Arghh!! Bego!!!"
Ochi memaki dirinya sendiri dalam balutan perasaan bersalahnya untuk Beby.

Kembali meneruskan langkahnya, dengan rasa benci masih dia sisakan pada Ochi. Cindy, tiba-tiba jadi kepikiran Shania.
Apa Shania sudah tahu kalau Beby masuk rumah sakit lagi? Kalau belum, Shania kemana? Dia kemarin bilang akan datang. Tapi, sedikitpun tak terlihat penampakannya.

"Gaby!?"
Cindy melihat Gaby yang sedang berada diluar kelas.
"Cindy? Ada apa?" Tanya Gaby, dengan senyum hangatnya.
"Shania ada dikelas gak?"
"Shania? (Gaby menggeleng), Gue belum lihat dia pagi ini! Emangnya ada apa, Cind?" Tanya Gaby penasaran.
"Heeemm.. aneh ya? Jam segini, Shania belum kelihatan di sekolah?"
Gaby menggerakan kedua bahunya, menanggapi Cindy, "Mungkin dia gak akan masuk! Emangnya ada apa sih, muka lu kayaknya serius banget!?" Kembali Gaby bertanya.
"...(Cindy hanya menggelengkan kepalanya pelan)"
"Pastii... ada hubungannya sama Beby ya?"
Gaby mencoba menebak,
Cindy tidak menjawab ataupun memberi isyarat jawaban. Dia hanya menatap Gaby.
"Beby kenapa... Cindy? Dia baik-baik aja kan?" Gaby mulai cemas.
Cindy menghela nafas, begitu dalam.
"Nanti... kalau Shania masuk. Aku minta tolong sama kamu buat sampein kalo Beby ada di rumah sakit Harapan! Bolehkan, Gaby?"
Pertanyaan heran Gaby, tidak Cindy urai, dia hanya menitipkan sebaris kalimat untuk Shania.

"Ehm.. Kenapa lu gak telpon aja, Shania nya?" Saran Gaby, dalam rasa iba setelah mendengar ucapan Cindy.
"HPnya gak bisa dihubungin dari kemarin sore. Ya udah, aku ke kelas dulu, Makasih ya Gaby!!"
Cindy berjalan menuju kelasnya, menyeret lagi kakinya yang berat dilangkahkan.


"Ma...maa..." Suara Beby terdengar sangat lemah.
"Sayang? Kamu udah bangun! Mama panggilin dulu Dokter, ya?" Mama bersiap berdiri. Sambil menyeka air disudut matanya.
"Hsss... Jaa..ngan. Beby... mau sama Ma..ma!"
Mama yang sudah siap pergi, jadi kembali duduk.
"...Ini... Beby dimana, Ma?"
Beby memainkan matanya, menyambangi setiap sudut ruangan. Setelah dia berhasil menahan Mama pergi dari sampingnya.
"...Kamu, kamu dirumah sakit, sayang!"
"Rumah sakit?!"
Beby menyuruh memory dalam otaknya untuk memainkan kejadian sebelum dia akhirnya masuk rumah sakit.

Mama mengusap lembut wajah Beby, kini.. ada sedikit senyum menghias di bibir Mama yang akhirnya bisa melihat Beby siuman. Setelah dari kemarin sore dia hanya terbaring dengan memejamkan matanya.

"Ochi..?" Beby menyebutkan nama itu.
Mama membuat kerungan, "Ochi?"
"Iya, Ochi dimana Ma? Dia gimana?"
"Sayang! Kenapa kamu harus menanyakan anak itu!? Dia.. yang kemarin mengajak kamu ke taman dijalan itu kan?" Ucapan Mama terdengar tidak suka.
"Ochi.. dia kemarin ngajak Beby buat jalan-jalan Mah!"
Beby mencoba membuat alasan.
"Kamu, jangan selalu menutupi kesalahan orang lain, dan membiarkan diri kamu sendiri yang jadi korbannya, sayang! Kamu gak bisa seperti itu terus!!" Kata Mama yang sudah mendengar asumsi dari Cindy.
"...Beby gak pernah nutupin kesalahan siapapun, Mah! Ochi... dia kemarin emang ngajak Beby keluar. Dia cuma mau berbagi ceritanya, Mah! Dia gak ngelakuin apapun kok!!" Ujar Beby yang bisa tahu kekhawatiran sekaligus ketidak sukaan Mama saat Beby mengatakan 'Ochi'.
"Ya sudah, kita gak perlu bahas itu!... Kamu gimana? Kepala kamu sakit, gak sayang?" Mama mengalihkan topik pembicaraan.
Beby menggeleng, "Beby gak apa-apa. Maaf ya Mah, Beby selalu bikin Mama khawatir dan begitu mencemaskan Beby!!"
"Tidak akan ada seorangpun Ibu, yang tidak pernah tidak mencemaskan anak-anaknya. Sekalipun buah hatinya itu dalam keadaan sehat! :'-). Jadi.. kamu gak perlu meminta maaf sama Mama!"
Beby tersenyum, "Makasih Mah! Beby sayanggg banget sama Mama!!".
"Kalau kamu sayang sama Mama. Kamu harus sembuh, kamu harus melawan rasa sakit kamu itu! Ya?"
"Beby akan selalu memberikan yang terbaik yang Beby bisa, Mah! Beby janji :'-)" Ucapan dari bibir itu, diiringi rasa ciut yang tidak bisa Beby pungkiri.
Dia sangat tahu bagaimana keadaan tubuhnya sendiri. Dalam kondisi seperti sekarang, entah apa hal terbaik yang bisa Beby lakukan untuk bertahan dan memberikan senyum di sudut bibir Mama, yang wajahnya begitu terlihat lelah dan sedih.

"Eh ya, Mah! Shania... dia dimana?"
"Shania... dia mungkin masih di sekolah! Cindy aja belum dateng kan?" Jawab Mama.
"Sekolah? Hmmm.. Beby... jadi kangen sama sekolah Mah!.. kira-kira... Bisa gak ya? Beby masuk sekolah lagi?"
Hati Mama terasa sakit saat mendengar harapan Beby. Tapi beliau coba paksakan tersenyum dan menjawab dengan memberikan semangatnya.
"Pasti bisa  Kamu kan... Anak Mama yang kuat!".
Beby kembali mengembangkan senyum mendengar ucapan Mama.


Malam menjelang, waktu itu... waktu yang Dokter bilang tentang kondisi Shania pasca operasi. Ternyata tidak berhasil Shania lewati. Dia dinyatakan dalam kondisi koma. Kondisi yang entah akan sampai berapa lama Shania hadapi. Satu jam? Satu hari? Satu minggu? Satu bulan? Entahlah, tidak ada yang tahu. Seperti yang dokter bilang...
'Tidak ada yang bisa memprediksi waktu sadarnya seseorang yang telah di vonis dalam keadaan koma.'

Ve duduk disebelah Shania. Memegang lembut tangan berkulit putih yang kini memucat dan terasa dingin. Meskipun heater didalam ruangan berfungsi. Dia belum bisa mengeluarkan suaranya, yang Ve lakukan hanya duduk dan memperhatikan wajah Shania yang sedang tertidur, tidur panjang.. yang entah kapan akan bangunnya!

Apa yang harus dia ucapkan didepan raga Shania yang dalam kondisi Mati tidak, hidup pun enggak. Apa yang hari ini Ve dapat, sungguh membuat hatinya bercampur segala rasa, hingga bibirnya tidak bisa merangkai kata jadi kalimat.

Ingatannya memutar ke waktu saat dirinya sedang menunggu Shania, diluar ruang ICU pagi tadi. Ve dihampiri petugas kepolisian lalulintas yang menangani kejadian yang menimpa Shania dan si supir taksi naas, yang telah meninggal siang tadi, karena lukanya sangat parah.

Petugas memperlihatkan barang-barang milik Shania, Ve ditawari untuk membawa barang itu, atau dia biarkan saja para petugas membawanya. Selain itu, Ve juga diberitahu tentang pengendara rover yang sudah menabrak taksi. Mereka yang juga mendapat perawatan dirumah sakit yang sama, yang sempat masuk UGD, tapi kini sudah dipindah keruang rawat biasa.
Saat melihat si pengendara Rover dari luar ruang rawatnya, Ve begitu sangat amat terkejut. Wajah itu... Wajah yang tidak asing untuk Ve. Seorang pria yang pernah dia lihat bersama Mama nya di sebuah apartemen. Kontan, saat Ve mengenali wajah si pengendara SUV. Dia bertanya pada petugas 'Apa pria itu bersama seseorang saat mobilnya menabrak taksi yang sedang ditumpangi Adiknya?'. Petugas menjawab 'ya' dan kemudian mengantarkan Ve keruangan disebelahnya, tempat teman semobil si pria. Wajah terkejut Ve, bertambah menjadi wajah marah-semarah-marahnya. Dia melihat Mamanya yang ada diruang rawat itu. Menggambarkan bagaimana SUV yang dikendarai pria itu dengan Mama duduk disebelahnya, menghantam taksi yang didalamnya sedang dinaiki Shania!. Ve tidak masuk kedalam kamar rawat Mama, dia kembali keruang tunggu ICU. Terduduk sendirian, dengan tangis dan kesedihan jadi teman setia.

"Maafin Kakak! Kamu denger suara Kakak kan? Kamu harus bangun, Dek! Kamu... gak akan ninggalin Kakak sendirian kan?" Ucapan Ve bercampur dengan air matanya.
"Kakak... tidak mungkin menghadapi semua ini sendirian! (Menghadapi Mama dan Papa dan kondisi kacau di keluarganya!) Temani Kak Ve. Kakak butuh kamu, Sha..nia... "
Ve menunduk, mencium tangan adiknya. Lalu dia simpan tangan yang terlilit slang dengan jarum yang membentuk sebuah infus itu ke pipinya. Mencoba menghangatkan tangan dinginnya Shania.

Kejadian yang terasa begitu cepat, dialami. Kini hanya menyisakan rasa takut, dalam selimut tanya pada Tuhan.
'Kenapa harus seperti ini, jalan hidup yang Dia berikan untuknya dan Shania?'
Tapi, sebanyak apapun tanya yang melintas liar mendiami pikiran. Hingga kadang berujung tuduhan pada Tuhan tentang ketidakadilan hidup yang Dia berikan. Tidak akan menghasilkan apapun, kecuali rasa sakit yang semakin membuat sesak.

Pasrahkan semuanya pada Tuhan, tapi jangan menyerah. Karena pasrah tidak berarti menyerah.
Menyerahkan rasa sakit itu untuk bisa Tuhan obati, setelah pengobatan yang dilakukan sendiri tidak membuahkan hasil. Menyerahkan kondisi yang dalam kekacauan pada Tuhan untuk bisa dibenahi, setelah upaya yang dilakukan sendiri tidak menghasilkan apapun. Pasrah... setelah semua upaya kita tempuh, bukan Pasrah.. tanpa ada upaya dan hanya mengangkat tangan menyerah pada semuanya.


Sore ini, rencananya Ve akan pergi menemui Mama, dan Beby yang dirawat di rumah sakit Harapan. Setelah kemarin dia mendengar dari Si Mbok, kalau ada guru dan teman-temannya yang mencari Shania.
Selain ingin memberi tahu soal kondisi Shania, Ve juga ingin memberikan uang hasil penjualan mobil yang Shania lakukan sebelum kecelakaan itu mendahului Shania untuk bisa menyampaikan kabar gembira pada Beby, kalau dia bisa di Operasi. Ve juga sudah membaca pesan dari Melody, kalau kondisi Beby terus memburuk, dan harus segera di Operasi.

Pagi harinya, setelah menemui Shania. Ve langsung menemui Teller-teller di Bank, untuk mengambil tabungan milik Shania yang sudah Shania beritahukan lewat pesan singkat sesaat setelah Shania dan Ve berbincang melalui Line telpon. Memberitahukan segala kebutuhan kalau-kalau dia tidak bisa mengambil uang itu. (Pertanda lain, tentang Shania yang akhirnya mengalami kecelakaan!).


"Cindy.. Kak Melody..."
Beby menyambut hangat kedatangan mereka keruangannya.
"Haii..., gimana hari ini? enakan?!"
Melody yang pertama menyapa.
Beby mengangguk, "Semakin baik, Kak." diikuti jawaban palsu. Beby bilang badannya semakin baik, padahal dia sama sekali tidak sedang baik. Dan yang ada didalam ruangannya kini, tahu persis akan hal itu.

"Cindy?" Beby mengalihkan pandangannya pada Cindy.
"Ya?" Jawab Cindy.
"..Shania mana? Kok dia gak kesini? Udah 4 hari, selama aku disini. Shania gak ada kesini juga!"
Pertanyaan dari Beby membuat Cindy menelan ludahnya sendiri. Tidak tahu harus memberikan jawaban apa.
Cindy melihat kearah Melody dan Mama Beby. Seolah meminta tolong pada mereka tentang jawaban apa yang harus Cindy ucapkan di depan Beby tentang Shania. Shania yang, sedang dalam kondisi koma, tapi yang ada di dalam ruangan itu belum ada yang tahu.

"..Shania lagi,.. (Melody berhenti sejenak).. Dia lagi ke Jogja, nemuin dulu Kakek sama Neneknya!" Ucap Melody.
"Ke Jogja? Emangnya Kakek sama Neneknya kenapa Kak? Apa mereka sakit?" Beby tidak langsung diam menerima apa yang dikatan Melody.
Terpaksa, Melody yang sebenarnya belum tahu Shania ada dimana, dan Kakaknya juga yang tidak bisa dihubungi, kembali membuat kebohongan dari kebohongan yang sudah dia buat.
"(Melody mengangguk), Itu yang dibilang sama pembantunya waktu Ibu, Cindy sama Gaby juga Noella ke rumahnya Shania."
Akhirnya, Beby bisa diam setelah apa yang diutarakan Melody.

Sementara Mama dan Cindy didalam ruangan menemani Beby. Melody malah diam diluar ruangan. Ve yang baru datang, bisa melihat didepan ruang rawat Beby ada Melody yang sedang duduk sendirian. Setelah menanyakan dibagian depan, dimana ruang tempat Beby dirawat, Ve akhirnya sampai juga di lorong ruangan yang hanya ada beberapa orang diam diluar ruangan, menunggui keluarganya, seperti yang Melody lakukan.

Sampai didepan Melody, Ve tidak bicara. hingga Melody yang menyadari adanya seseorang yang sedang berdiri didepannya, mengangkat wajahnya.
"Ve...!" Suara Melody begitu halus.
Dia seketika berdiri dari duduknya.
"Akhirnya... Kamu kesini juga! Kamu sama Shania? Beby nanyain Shania sama Kamu terus tuh!" Lega Melody saat melihat Ve, dia kemudian bertanya.
Ve kembali merasakan sakit saat mendengar nama Shania disebutkan. Dia menitikan lagi air matanya. Melody jadi kaget saat melihat Ve menangis.
"Kamu kenapa? Ayo sini duduk dulu!" Kata Melody, dengan menuntun Ve untuk duduk.

Ve masih diam, dan Melody.. hanya bisa ikut diam dengan pikirannya entah memikirkan apa, kala bisa melihat lebih dekat dan jelas wajah Ve. Wajah yang kusut, lusuh, sedih, sakit, sebuah lukisan diwajah Ve yang belum pernah Melody lihat sebelumnya.

Beberapa menit lamanya Ve mencoba melawan tangis yang terus keluar dari muaranya. Hingga akhirnya dengan perlawanan pada air matanya sendiri, Ve bisa menghentikan tangis takut itu. Dia menghirup udara begitu dalam agar bisa memenuhi rongga parunya yang sesak karena tangis.

"Beby,.. dia gimana Bu?" Tanyanya Formal pada Melody.
"Gak usah panggil Ibu, panggil aja Kak Melody!" Jawabnya tidak ingin dipanggil Ibu, lalu menjawab lagi pertanyaan Ve.
"Beby... seperti yang sudah Kak Melody bilang dalam SMS, sama Chat. Kondisinya terus menurun, dan dia.. harus sesegera mungkin di Operasi! Meski presentase kesembuhannya, semakin menipis dari yang sebelum-sebelumnya, tapi Dokter bilang, kalau bisa di coba, kenapa tidak dilakukan!?"

Ve mencerna ucapan dari Melody. Dia sangat merasa kasihan pada Beby.
"Kalau begitu... lakukanlah Operasi itu Kak! Sebelum semua menjadi semakin terlambat!!" Usul Ve.
"Itu yang mau kita semua lakukan Ve, tapi..,-"
"Soal biayanya,.." Ve memotong ucapan Melody, dia mengedepankan tasnya, dia buka lalu mengambil sesuatu. "Ada titipan dari Shania, untuk Beby!" Ve memberikan amplop Coklat Muda ke depan Melody.
"Apa ini, Ve..?" Melody mengambil amplopnya.
Bola matanya melebar, saat bisa melihat apa yang ada didalam amplop itu.
"Ini... Ini semua.. dari Shania?" Ve mengangguk. "Tapi? Dari... Darimana dia bisa dapetin uang sebanyak ini? terus sekarang Shanianya dimana?" Melody heran, tapi juga ada rasa senang dalam hatinya,
"Beby pasti akan senang dapat kabar gembira ini, apalagi.. yang membantunya Shania! Iya kan?"
Ve mencoba memberikan senyumnya, mendengar rasa senang Melody.

Mama dan Cindy masih diam diruangan menunggui Beby. Belum ada yang tahu kalau Ve datang kerumah sakit.

"Jadi? Shanianya sekarang dimana? Biar Kak Melody bisa langsung kasih tahu Beby dan juga Tante Ana, kalau Beby bisa di Operasi! Dan biar Shania, bisa lihat sendiri proses Operasi. Mendampingi Beby melewati semuanya!!"
Melody kembali menanyakan keberadaan Shania, dengan diikuti harapan dalam kegembiraannya.

".. Shania... Dia gak bisa dampingin Beby masuk ruang Operasi. Dia juga belum bisa menjenguk Beby, Kak!"
Suara Ve jadi serak, dia kembali berjuang melawan tangisnya agar tidak pecah.
"Kenapa? Ada apa Ve?"
Melody akhirnya bisa merasakan sesuatu yang tidak beres, saat mendengar Ve bicara.
Ve kesulitan mengeluarkan suaranya, dia menunduk... lalu menangis dengan dia bekapkan tangan kanan ke mulutnya sendiri, agar suara tangisnya tidak terdengar.
"Heyy.. Kamu kenapa? Ada apa sebenarnya? Ve?!"
Melody mendekat dan memegang tangan kiri Ve yang bebas. Dengan tangan kanannya, dan tangan kirinya dia usapkan ke bahu Ve.

"...Shania.. Dia... Dia mengalami kecelakaan Kak!..."
Melody baru bisa mengangakan mulutnya saat mendengar suara Ve yang bercampur dengan tangis.
"Shania koma, dan... Aku gak tahu, kapan dia akan bangun...!"
Dengan perasaan percaya-tidak percaya mendengar kata kecelakaan dan koma yang melibatkan Shania, Melody segera memeluk Ve yang masih menangis.
"Dia yang... harusnya memberikan uang itu sama Beby...," Ve terisak, Melody kini ikut menangis menitikan air matanya.
"Semuanya.... gak seharusnya seperti sekarang... kalau saja... kalau saja waktu itu, Aku menjemput Shania... Aku yang salah... Aku gak bisa jaga Shania, Kak! Aku yang udah bikin Shania seperti itu... Aku... Aku takut kalau,-"
"Sssuutt, udah Ve. Jangan nyalahin diri kamu seperti ini! Tabahlah!!" Melody mengelus punggung Ve, untuk memberikannya ketenangan.

Lama, cukup lama Ve dalam dekapan Melody, menumpahkan rasa sesak didadanya. Hingga dia melepaskan pelukan Melody dari tubuhnya. Dan kembali bicara.
"Lakukan.. segera Operasi untuk Beby, Kak!"
Ve menyeka air matanya. "Karena itu yang Shania mau.. Melihat Beby sembuh dari penyakit Kankernya!"
Melody menggelengkan kepalanya. "Kalaupun, Operasi itu akan dilakukan. Maka, bukan Kak Melody yang akan menyerahkan uang ini sama Beby juga Tante. Tapi, Shania! Dialah yang harus memberikan uangnya!!" Ujarnya sambil memberikan amplop yang tadi Ve berikan.

Melody ada dalam keadaan serba salah dan tidak enak. Tidak mungkin dia memberikan kabar gembira diatas kabar duka, yang menimpa Shania.

"...Kalau kita menunggu Shania, entah kapan Operasi itu akhirnya akan bisa dilakukan. Shania Koma, Kak! Aku gak tahu kapan dia akan kembali!?..."
Mata Ve berair saat mengucapkan kalimatnya.
"Kalaupun.. Kak Melody berikan uang ini sama Tante Ana. Dia pasti akan bertanya darimana Kakak dapat uang ini! Terus? Jawaban seperti apa yang harus Kakak berikan!?"
"Alasan apapun Kak! Kita semua ingin agar Beby sembuh kan?... Lakukanlah, karena semua ini... yang diinginkan Shania. Jangan sia-siakan perjuangan Shania, untuk Beby, Kak! Aku mohon!!"
Ve mengembalikan amplop coklat itu kepangkuan Melody.
"Shania... emang gak ada disini. Tapi, Aku yakin.. dia pasti melihat semua ini! Temuilah Dokter, setujui prosedur Operasi. Biarkan Beby sembuh. Biarkan Shania tersenyum melihat hasil perjuangannya.! :'-(" Ucap Ve begitu tulus.

Melody akhirnya menyerah, dia tidak lagi menolak. Apa yang diutarakan Ve, memang benar adanya. Dia memegang kembali amplop coklat itu.

"Aku harus balik ke rumah sakit Kak. Karena Shania disana sendirian! Titip Beby ya Kak :'-)"
Ve berdiri dari tempatnya tadi duduk.
"Tunggu!" Melody ikut berdiri. "Apa tidak sebaiknya kamu temui dulu Beby sama Tante Ana?" Usul Melody.

Ve terdiam sejenak. Dia melangkahkan kakinya kepintu tempat ruangan Beby dirawat, melihat kedalam dari balik jendela kecil dipintu, terlihat sosok Beby didalam, Ve memandangi Beby.
"...Kalau Aku masuk dan nemuin Beby, dia pasti akan tanya dimana Shania! Dan Aku.. gak mau Beby kepikiran soal Shania yang mengalami kecelakaan, karena Beby pasti gak akan mau melakukan Operasi, kalau dia tahu kondisi Shania.!" Ve begitu pasti membuat tebakan.
"Jagain Beby ya Kak? Kabari Aku kalau Operasinya siap, dan saat nanti sudah selesai!"
Ve masih bisa mencemaskan Beby, ditengah kecemasannya memikirkan Shania.
"Ve..?" Melody memanggil Ve yang sudah siap pergi.
Setelah jaraknya begitu dekat. Melody melejit memeluk Ve.
"Shania akan baik-baik aja! Dia pasti akan kembali menemani kamu, dan kita semua..!" Ucap Melody dalam pelukannya pada Ve.
"Terima kasih, Ve. Terima kasih juga buat Shania. Beby.. sungguh sangat beruntung bisa memiliki sahabat seperti Shania, dan kamu yang sudah menganggap dia adik."
Ve hanya bisa mengangguk pelan, dengan di dalam hati meng amini ucapan Melody.


Sampai kembali dirumah sakit tempat Shania dirawat, Ve yang akan masuk ke ruang ICU, di cegah oleh suster. Dia bilang, didalam ruangan penuh, jadi Ve tidak bisa masuk dulu. Saat Ve tanya siapa yang sedang menjenguk Shania, Suster itu bilang... Orangtuanya Shania.

'Papa sama Mama(?) Mereka ada didalam?'
Rasa tidak percaya menguap dalam hati, Ve menanti keluarnya dua orang yang suster bilang orang tua Shania.


Sekembalinya dari luar, Melody diam memandangi Beby yang sudah tidur. Pikirannya menerawang membuat gambaran masa depan, seandainya Operasi itu dilakukan. Tapi, bagaimana kalau Beby tahu soal Shania yang mengalami kecelakaan?

Melody mengelus wajah Beby, ada sekelebat gambaran Shania ketika tangannya menyentuh wajah Beby.
"Kamu pasti sembuh!" Ucapnya lirih,
'Kalian berdua pasti akan sembuh!!' lanjutnya berucap dalam hati.

Mama yang melihat tingkah Melody, sepertinya merasakan sesuatu yang 'aneh' dari sikapnya. Meskipun Mama bukan Mama kandung Melody, namun perasaan seorang Ibu sangatlah sensitif. Dia bisa tahu apa yang sedang dirasakan anak-anaknya, ataupun orang yang dekat denganya.
Hanya dengan melihat wajahnya saja, dia bisa merasakan ada sesuatu yang sedang membuat anak-anaknya gusar, bahkan,.. meski hanya lewat sikap kecil yang tak terlihat. Dia selalu jadi yang pertama tahu.

Seorang Ibu yang benar-benar Ibu, akan tahu setiap keceriaan dan kesedihan yang sedang dihadapi anaknya. Sekalipun Ibu sedang dalam rasa lelah, sedih, karena masalah atau lain hal yang sedang dihadapi.

"Mel?" Melody melihat Tante Ana, "Bisa Tante bicara sebentar?" Melody mengangguk, karena kebetulan dia juga ingin memberitahukan Operasi Beby.
"Cindy? Tante titip Beby ya?" Pinta Mama.
"Siap Tante " Dengan senang hati Cindy menjawab.

Mama menuntun Melody keluar ruangan.
"Ada apa..?" Tanpa basa-basi, Mama langsung bertanya.
"Maksud Tante?" Heran Melody,
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Tante tahu, ada yang sedang kamu bingungkan, iya kan?"
Melody menghela nafas, ketika mendengar pernyataan Mama. Tanpa berlama-lama, dia mengeluarkan amplop coklat yang tadi diberikan Ve.
"Beby bisa di Operasi Tante! Besok, kita temui Dokter ya? Beby pasti akan sembuh!"
Ucapan Melody harusnya diutarakan dengan keantusiasan, tapi ini? Dia terlihat gusar dan begitu nyata terpampang diwajahnya, kalau Melody sedang menyembunyikan sesuatu.
"Dan ini... Biaya untuk Operasi Beby, Tante!"
Melody memberikan amplop itu pada Mama.

"...Darimana kamu dapetin uang ini?"
Pertanyaan Mama langsung ke inti.
"Jangan pikirkan darimana uang ini, Tante. Yang pasti, ini uang.. untuk Beby! Untuk jalannya Beby menuju kesembuhannya!!"
"Apa yang sudah Kamu sama Mama Kamu jual, Mel? Ini bukan jumlah kecil, kenapa kamu harus sampai melakukan semua ini, untuk Beby?"
Mama mencoba menebak, menyelami pikiran Melody.

Melody yang tadinya tidak ingin memberitahu, seperti yang diinginkan Ve, jadi terpaksa harus mengatakan yang sebenarnya. Karena Mama mengira uang itu darinya.
"Bukan Tante! Itu bukan dari Melody!!"
Jawaban Melody seketika mendapat pertanyaan lain dari Mama.
"Lantas? Dari siapa uang ini?"
"...Itu dari... dari Shania Tante!"
"Shania?" Melody mengangguk, "Shanianya sekarang dimana? Darimana Shania mendapatkan uang sebanyak ini, Mel? Terus, kenapa dia belum menjenguk Beby? Tapi malah ngasih uang yang jumlahnya segini banyak!"
Mama memberondongi Melody dengan tanya herannya.
"Shania... bukan Shania langsung yang memberikan uang itu, Tante! Tapi..." Melody diam sebentar, "Tapi.. Ve! Dia yang memberikan uangnya!!"
"Sekarang Ve? Terus Shanianya?"
"...Shania... dia... (Melody memejamkan kedua matanya, sebelum melanjutkan penjelasannya.), Shania... dia mengalami kecelakaan saat menuju pulang dari tempatnya mendapatkan uang ini, Tante!"

Pernyataan Melody langsung membuat Mama lemas.
Ve sempat menceritakan kronologi kejadian kecelakaan yang menimpa Shania.
Mama menundukan kepalanya lemas. Dua rasa yang masuk dalam hatinya, rasa senang saat mendengar Beby bisa di Operasi, tapi kemudian.. ada rasa lain yang mencampuri kegembiraan yang dirasa hingga tidak tahu pasti bagimana harus bereaksi.

"Ve tidak mau kalau Beby tahu soal kondisi Shania, yang saat ini sedang Koma, Tante! Yang Ve inginkan, kita segera mengajukan pada Dokter kalau Beby siap di Operasi. Dan menurut Ve, itu juga yang Shania inginkan!!"
"Koma..? Separah apa Mel?" Tanya Mama dengan raut wajah begitu sedih.
"Melody.. juga belum lihat langsung Tante! Besok.. Melody akan kerumah sakit tempat Shania dirawat. Dan Tante... ambilah keputusan itu Tante (Beby segera di Operasi). Ini semua... Shania yang menginginkan!"
"Haaaah... Skenario seperti apa yang sudah Tuhan buatkan, untuk mereka!? (Shania dan Beby)" Tanya Mama dalam campuran rasa didalam hatinya. Melody mendekati Mama dan memegang bahu Mama dari samping.


"Ve..?"
Suara Papa terdengar, Ve mengangkat kepalanya. Saat dia bisa melihat, ternyata.. Di sebelah Papa ada Mama yang masih mengenakan pakaian pasien.

Papa dan Mama mendekat, Ve beranjak dari duduknya. Dia melihat Papa... kemudian Mama... dengan tatapan dingin dan kuncian mulut, yang tidak ada sepatahpun kata meluncur dari bibir tipisnya itu. Ve lalu menyeret tubuhnya sendiri, untuk masuk keruangan tempat Shania masih terbaring.

"Ve tunggu, Ve! Papa mau bicara sama kamu?" Papa mencoba menghentikan Ve.
"Mama juga, Sayang! Mama mau bicara sama kamu?"
Ve yang tidak siap berhadapan dengan Papa dan Mama, hanya diam.
"Mama... mau minta maaf, Ve! Mama menyesal!!" Suara Mama sudah berat.
Ve yang ingin meninggalkan, malah jadi merasa berat untuk melangkahkan kakinya.
"Harusnya Mama yang ada di posisi Shania sekarang!... Ini semua salah Mama!!" Sesalnya.

Mama mengingat kondisi Shania, dia menarik kembali gambaran saat sedang dengan Pria didalam SUV Rover waktu itu. Mama dan si Pria yang mengemudikan, ternyata sedang terlibat adu mulut didalam mobil, hingga si Pria kehilangan kontrol dan ke fokusannya saat menyetir. Dan... terjadilah kejadiaan naas nan mengerikan yang sampai merenggut satu nyawa, dan nyawa lainnya terancam dalam kematian.

"...Dan Papa juga! Ini semua salah Kami,.. Papa dan Mama yang sudah gagal jadi orangtua buat kalian!!"
Papa ikut andil menyalahkan diri sendiri.

Ve merasakan sesak, saat mendengar ucapan yang membuat panas gendang telinganya.

"Lihatlah Papa sama Mama, Ve! Kami tidak mau, kehilangan kalian. Kamu sama Shania adalah pemberian Tuhan yang paling indah!! Maafkan tingkah Papa sama Mama yang sudah pernah mengabaikan kalian!!?" Ujar Papa.
Ve masih tetap tidak membalikan badannya untuk bertatap muka dengan Papa dan Mama.
"Kalau kamu masih marah. Tidak apa-apa, Mama cuma bisa berharap.. Kamu sama Shania, bisa maafin Mama... juga Papa! Maafi,-"

"Simpan kata Maaf itu Mah! Simpan penyesalan Papa sama Mama. Karena semua sudah terjadi!!" Ve membuka mulutnya juga.

Mama dan Papa mendengarkan dalam rasa sesalnya. (Mama menghubungi Papa dan memberitahukan tentang kejadian ini. Dengan cara mereka yang tidak dimengerti Ve, keduanya malam ini terlihat akur. Mungkin mereka sudah sadar akan kesalahan besar yang sudah mereka lakukan. Dan sekarang... tinggal bagaimana kedua orang yang dulu saling mencintai ini, menghadapi penyesalan yang muncul setelah sadar dari kesalahannya.)

"Kalau Mama masih percaya dengan harapan. Berharaplah... Tuhan masih memberikan waktu untuk Shania. Berharaplah... Tuhan masih bisa membuat Ve, menghilangkan rasa kecewa Ve, agar tidak jadi kebencian, buat Mama... juga Papa!..."
Mama menangis sesenggukan, Papa mendekat dan memeluk Mama dari samping. Mereka menyaksikan ucapan putri sulungnya, yang bahkan saat bicara tidak sama sekali memperlihatkan wajahnya pada mereka.

"...Nikmati penyesalan itu. Teruslah berharap, agar Kami... titipan terindah dari Tuhan ini, tidak membenci kalian. Karena Kita tahu, Kita tidak pantas untuk menaruh benci pada Papa sama Mama yang sudah berjuang keras, membuat Kita seperti sekarang ini!... Tapi, Papa sama Mama pasti tahu juga? Aku.. sama Shania, cuma manusia biasa Pah, Mah! Kekecewaan ini, sudah membuat Kita, kehilangan respect sama Papa juga Mama!!... Maafin Ve!!!" Ucapan terakhir Ve, meminta maaf!

"...Veee... Maafkan Mama...."
Mama semakin sakit dalam tangisnya.

Ve tidak mau menggubris, dia melanjutkan langkah kakinya menuju ruangan. Tanpa sedikitpun menolehkan wajahnya pada Papa dan Mama, yang menyebutkan namanya juga Shania, dengan iringan kata Maaf.

Kekecewaan itu sudah terlanjur terpatri dalam hati. Apa yang mereka sudah lakukan.. yang Ve sebut 'Orang Tua, Papa Mama' yang posisinya begitu sangat amat Ve hormati di sela rasa sayangnya. Membuat Ve menjadi merasa begitu sangat jauh dari Papa dan Mama, tidak mengenali lagi sosok panutan yang dulu selalu dia agulkan. Ditambah kejadian yang sekarang menimpa Shania, sungguh membuat Ve enggan kalau harus bertatap muka dengan kedua orang dewasa, yang sempat mengedepankan sifat kekanakannya itu dalam menghadapi masalah.

Kembali, Ve hanya bisa duduk disebelah Shania. Menggenggam tangan pucatnya, menatapnya nanar, terdiam bersama alunan desah nafas Shania dibalik oksigen, mendengarkan nada lemah dari irama alat perekam detak jantung yang tersambung dengan jantung Shania lewat kabel-kabel kecil.

Beberapa menit lamanya Ve dalam posisi itu, hingga dia akhirnya bisa mengeluarkan suaranya.
"Kapan bangun, Dek? :'-( Kakak kangen sama kamu!"
Ve ingat apa yang dikatakan dokter 'Shania.. memang dalam kondisi Koma, tapi jauh dialam bawah sadarnya, dia bisa mendengarkan ucapan mereka yang berbicara didekatnya, merasakan sentuhan fisik yang dia terima'

"Kamu tahu? Kak Ve... Kakak udah ngelakuin apa yang kamu mau!" ...
"Beby pasti akan sembuh! Dan sekarang... Kamu yang harus sembuh!! Lihatlah, kalian akan bisa kembali membuat tulisan tentang kisah persahabatan kalian nanti..!!"
Ve membiarkan air matanya yang mendorong, jatuh dari tempatnya. Membasahi tangan Shania yang sedang dia pegang.
"Berjanjilah? Saat mentari mulai menyeruak, menemani pagi. Kamu akan membuka mata kamu, untuk kembali menemani Kakak!... Kakak tidak perduli, disaat mentari yang mana kamu akan bangun, Dek. Yang Kakak mau... Kamu, kembali bangun. Kakak akan selalu menunggu kamu! Kamu yang tidak akan pernah ninggalin Kakak, dan Kakak.. yang tidak akan pernah melepas pelukan Kakak sama Kamu!!"

Sudut mata Shania meneteskan air mata. Dia merasakan, dia mendengar, tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Seperti ada di dunia.. namun bukan dunia.

*-*
Berdiri dikeramaian, tapi kesepian.
Berdiri dibawah teriknya matahari, tapi kedinginan.
Hanya berdiri dalam diam, karena tidak tahu dan mengerti pada apa yang terjadi.

Malam ini Beby begitu gelisah dalam tidurnya, seperti sedang ada yang memburu dalam mimpi yang memasuki tidurnya, sebuah mimpi buruk yang membuat Beby mengeluarkan keringat dingin. Sampai Mama, Melody, dan Tante Rose, yang melihat merasa takut.

Mama mencoba memanggil untuk membangunkan Beby, tapi dia tidak membuka matanya. Hanya desah nafas keresahan yang mengalun dari bibir Beby, dan gerakan kegelisahan yang diperlihatkan tubuh kurusnya, pada mereka yang setia mendampingi diruangan itu.

Melody segera menekan tombol Urgent, di sebelah kiri kepala Beby. Memberitahukan pada Suster jaga, kalau ada yang tidak beres diruangan itu.

"Beby?"
Beby menoleh kebelakang, "Shania...?" dengan senyum yang terpancar dari wajah pucatnya, Beby menyebutkan nama Shania.
"Kamu mau kemana?" Tanya Shania.
Mereka berdiri saling bersebrangan.
"Aku harus pergi, Shan!"
"Pergi? Kemana? Kamu gak boleh ninggalin aku sendirian!" Ujar Shania.
"Aku gak akan pernah ninggalin kamu. Aku akan selalu ada didekat kamu kok. Tapi... aku harus pergi!"
Beby mengulaskan senyumnya, sebuah senyum manis yang begitu tulus.

Shania memaku melihat Beby.
"Kamu gak bisa pergi gitu aja! Aku... Aku akan bikin kamu sembuh, Aku udah minta sama Tuhan, Beby. Dan kamu... akan sembuh!" Shania menitikan air matanya.
"Apa yang bisa kamu lakukan sekarang? Kamu udah minta sama Tuhan. Tapi kamunya sendiri? Kamu gak ada di dekat Aku! Aku gak cuman butuh uang atau bantuan lain apapun dari Kamu. Tapi Aku juga butuh Kamu. Datanglah, Aku butuh Kamu, Shania!!!"
Ucapan terakhir Beby, dibarengi dengan kepergiannya dari hadapan Shania. Kepergian yang begitu cepat, hingga Shania tidak tahu arah yang dituju Beby.
"Beby..?!" Shania berteriak dan mencari sosok Beby, "Bebyyy....!? Jangan tinggalin aku sendirian! Bebyy....."

Tangannya bergerak, jemari putih yang dipasangi slang infus dan darah itu menggerakan diri. Shania memperlihatkan gerakan kecil yang berarti. Saat dia sedang berteriak dialam yang tidak dia ketahui, memanggil dan mencari Beby yang pergi meninggalkannya.

Suster jaga ruang ICU segera memanggil Dokter. Ve yang sedang duduk mencoba beristirahat, didalam ruang tunggu khusus penunggu pasien yang ada diruang ICU, menggerakkan bola matanya. Mengikuti gerakan suster, untuk mengetahui apa yang terjadi diruangan itu.
"Aaada apa Suster?"
Ve mencegah suster yang keluar dari dalam ruangan setelah sebelumnya memanggil dokter.
"Ada perkembangan bagus, dari adik Mbak!  semoga ini pertanda baik, ya Mbak!!" Jelas Suster membuat Ve seperti mendapat angin sepoy ditengah padang pasir yang gersang. Meski kabarnya belum begitu pasti, namun harapan Ve kembali menyeruak kepermukaan.

"Bagaimana, Dok?"
Pertanyaan sama yang terus Mama ulangi setiap ada Dokter yang memeriksa Beby.
"Tidak ada apa-apa. Semua masih tetap sama! Tidak ada tanda kalau kondisi Beby menurun!!"
"Kalau tidak apa-apa? Kenapa Beby terlihat gelisah, Dok?" Kembali Mama bertanya, "Dan saat kita coba bangunin, Beby tidak merespon!"
"Kemungkinan... itu hanya efek samping dari obat. Tubuh pasien, sesekali bisa memperlihatkan reaksi seperti itu, saat dia dalam pengaruh obat yang baru masuk dalam tubuhnya."
Sedikit penjelasan Dokter yang bisa Mama terima, akhirnya bisa membuat Mama tenang. Ditambah, Beby pun kini sudah terlihat biasa lagi, menikmati tidur malamnya.

"Oh iya Bu? Bagaimana dengan Operasi Beby? Kapan akan ada persetujuan pelaksanaan Operasi itu?" Mama termangu. "Waktu terus berjalan, kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang masih ada di depan mata!" Ujar Dokter.
Dan sebelum dokter itu keluar ruangan. Dia kembali merangkaikan kalimat magicnya. "Kami harap, keputusan dari Ibu bisa secepatnya Kami dengar. Agar Kami bisa mempersiapkan semuanya! Pikirkan baik-baik Bu, kesempatan selalu ada, tapi alangkah lebih baik jika saat kesempatan pertama itu datang, kita segera mengambil keputusan, akan diapakan kesempatan itu!" Dokter pun pergi meninggalkan ruang rawat Beby.

"Apa yang harus Aku lakukan?" Mama memegang tangan Beby.

Melody dan Tante Rose melihat Mama. Mereka berdiri disamping Mama yang duduk menghadap Beby.

"Apa yang Dokter bilang, ada benarnya An. Kesempatan memang selalu ada. Tapi akan lebih baik pada hasilnya nanti, kalau kita mengambil keputusan dikesempatan pertama yang kita miliki. Apapun keputusan kamu, jangan sampai membuat satu sisi senang, namun sisi lainnya.. tidak bisa menikmati kesenangan!" Tante Rose bicara begitu lembut.
"Kalau kamu masih ragu menerima bantuan dari Shania untuk Beby, karena Shania juga sedang sakit. Maka sebaiknya, kamu bicarakan ini sama Beby! Membiarkan dia tahu kebenarannya, tidak akan menyakiti dia, An!" Ujar Tante, yang seolah tahu akan ketakutan Mama kalau seandainya dia bicara tentang Shania yang sedang dalam kondisi koma karena kecelakaan.

"Aku takut! Kalau Beby tahu soal kondisi Shania, dia malah drop. Dan... kita tidak tahu, apa yang akan terjadi sama Beby! Itu juga kan, yang Ve bilang?"
Mama melihat Melody. Apa yang sudah Mama lihat pada diri Shania ketika menjenguknya tempo hari, setelah Mama menerima uang dari Melody yang diberikan Ve. Membuat Mama berdiri dalam kebimbangan.
Menandatangani surat persetujuan Operasi untuk Beby, dan membiarkan putrinya itu dalam ketidaktahuan tentang kondisi Shania, yang terlihat buruk saat itu. Beby berhasil Operasi, dan mungkin dia akan sembuh, tapi Shania?.
Atau.. memberitahukan pada Beby tentang Shania, dan menjelaskan kondisi juga kemauan Shania. Agar Operasi bisa dilakukan tanpa ada yang ditutupi dari Beby.

Mama yang paling tahu bagaimana Beby. Saat Mama memberitahukan Opsi kedua, sudah jelas akan dapat penolakan dari Beby. Dan jika Mama langsung memutuskan Beby masuk ruang Operasi, tanpa memberitahu kondisi Shania. Ending yang belum bisa ditebak bisa saja melahirkan penyesalan.

"...Kamu yang lebih tahu bagaimana Beby. Kamu pasti bisa mengambil keputusan yang benar, Ana! Ikuti apa kata hati kamu. Beby butuh kamu!!"
Tante mengelus lembut pundak Mama. Melody memeluk Mama Ana dari samping, dengan pandangannya dia lihatkan pada Beby.


Pagi hari kembali datang, dengan ditemani mentari dan kicauan burung. Menyambut semua pejuang untuk menjalani lagi aktifitas mereka.

Satu sekolah, kini sudah tahu tentang Shania yang mengalami kecelakaan. Ochi, Gaby, Noella, Vanka dan Octy, merasa sedih saat mendengar kabar yang dia dapat dari Gaby. Gaby yang selalu jadi orang pertama tahu soal berita hangat yang beredar disudut sekolahnya. Sementara Cindy, dia bukan hanya merasakan sedih. Tapi juga merasakan perasaan bersalah, karena waktu itu.. dia yang menghubungi Shania dan memberitahukannya mengenai Beby yang tidak ada dirumah.

Sementara, Shania sendiri sudah bisa dipindah keruang rawat biasa siang ini. Menurut dokter, kondisinya sudah mulai menunjukan perubahan yang signifikan, meski dia belum sadarkan diri sepenuhnya. Namun, yang paling penting, Shania sudah berhasil melewati komanya.
Ve merasakan kelegaan yang teramat, saat akhirnya Shania bisa dipindah keruang rawat, karena dengan begitu dia bisa menemani Shania setiap saat. Tanpa harus menunggu jam masuk seperti saat di ruang ICU.

Mama dan Papa tahu akan hal itu (Shania pindah ruangan), karena mereka juga menemani Shania dirumah sakit. Meski Ve menganggap keberadaan Papa dan Mama antara ada dan tiada. Tapi Ve tidak bisa mengusir mereka dari dekat Shania. Karena bagaimanapun juga, mereka tetaplah orangtua bagi dirinya, dan juga Shania.


"Kenapa berdiri disini sendirian?!"
Tanya Mama pada Beby yang sedang ada di balkon ruang rawatnya.
"Cuacanya dingin, anginnya gak enak!" lanjutnya.

"...Shania... apa dia marah sama Beby, Mah?"
Tanpa melihat Mama dan menghiraukan perkataan Mama, Beby melagu menanyakan Shania.
"Kenapa bicaranya seperti itu?"
Mama memegang tangan kiri Beby, melihatnya dari samping.
"Sudah seminggu Beby dirawat disini. Dan selama itu juga, Shania gak terlihat Mah! Mungkin dia marah sama Beby. Iya kan?"
"Dia tidak lagi marah sama kamu sayang. Dia.. Shania kan..." Mama berhenti berucap. Beby mengerung.
"Masih di Jogja? Kakek sama Neneknya masih sakit, Mah?" Beby menyalip ucapan Mama dengan pertanyaannya.

Mama tidak langsung menjawab, beliau memikirkan apa yang dikatakan dokter semalam. Memikirkan apa yang dikatakan Tante Ana. Memikirkan apa yang dikatan Ve. Menimbang semua ucapan itu, membiarkan dirinya menjadi terdiam karena pikirannya sedang saling berdiskusi. Memberitahukan tentang kondisi Shania, membuka jalan untuk Beby masuk keruang Operasi. Atau tetap merahasiakan kondisi Shania dan langsung bisa memasukan Beby keruang Operasi.

"Mah?" Beby memegang balik lengan Mama, hingga Mama sadar dari lamunannya.
Mama memberikan senyumnya pada Beby, "Mama... Mama mau kamu di Operasi sayang!" Jawaban Mama melenceng dari topik yang Beby buka.
"Bukan ini yang sedang Beby bahas, Mah! Lagian.. Operasi itu, hanya jalan kecil yang sempit, yang sulit untuk bisa Beby lewati. Untuk Beby... tidak menjalani Operasi itupun, tidak apa-apa Mah!" Jawab Beby diikuti senyum duka diwajahnya.

Beby berkata seperti itu, karena dia tahu betul, tidak mungkin untuknya bisa menjalani Operasi. Biaya darimana untuk menjalankan Operasi modern itu?! Uang Mama mungkin sudah sangat menipis karena pengobatan yang selama ini dia jalani. Selain itu, apa yang dia rasa pada tubuhnya, cukup bisa membuat Beby menarik kesimpulan kalau dirinya tidak akan pernah baik-baik lagi!.

"Beby minta sama Mama... Jangan terlalu membebani pikiran Mama dengan semua hal.. yang tidak mungkin bisa Beby nikmati Mah. Beby sudah merasa bahagia dengan semua ini! Beby sudah siap dengan kemungkinan apapun yang akan Tuhan berikan untuk Beby!! :'-)"
Ucapnya dalam kepasrahan.; Mama memegang wajah Beby,
"Yang Beby mau... Kalian semua selalu ada didekat Beby. Menemani Beby kalau Kanker ini suatu saat membuat Beby harus meninggalkan tubuh Beby. Mama, Shania, Kak Ve, Kak Melody, Tante Rose, Cindy. Kalian semua, selalu ada hingga nafas terakhir Beby nantinya!... Mama mau kan, menemani Beby sampai akhir?"
Pernyataan dan pertanyaan itu membuat Mama merasa dipukul dibagian dada, hingga Mama menitikan air matanya. Mama memberikan pelukan hangat untuk Beby.
"Mama akan selalu menamani kamu. Sampai kapanpun! Mama sayang sama kamu!!"
Bisik Mama ditelinga Beby. Dan Beby hanya bisa membalas ucapan itu dengan senyum haru, dan pelukan yang dia eratkan pada Mama.

Beby menarik tubuhnya, melepaskan diri dari pelukan Mama. Mama mengusap air mata yang ternyata menetes dari kedua bola mata Beby.
"Beby... kangen sama Shania, Mah. Sama Kak Ve juga! Kapan ya? Kak Ve sama Shania pulang dari Jogja!?"
Ucapan Beby membuat Mama membayangkan wajah mereka berdua.
"...Kamu mau ya sayang di Operasi?" Mama malah kembali menyinggung soal Operasi.
"Mah... tadi udah Beby bilang kan, kalau..,-"
"Kalau Operasi ini, permintaan langsung dari seseorang yang sedang kamu kangenin?"
"Maksud Mama?" Kerung Beby bertanya.
"...Shania, dialah yang meminta Mama agar kamu segera menjalani Operasi!" secuil penjelasan Mama membuat Beby kembali bertanya.
"Shania? Dia itu... masih aja, selalu menggampangkan sesuatu! Darimana biaya untuk Beby bisa masuk ruang Operasi, Mah?"
"Dari Shania langsung!" Jawab cepat Mama, membuat Beby kembali mengerung.

Beby tahu, keluarga Shania sekarang begitu sangat mapan dalam keuangan, tapi itu tidak lantas membuat Shania bisa dengan mudah mendapatkan uang jika dia meminta pada kedua orangtuanya yang sedang jauh dari jangkauannya.

"Uang untuk biaya Operasi kamu ini.. dari Shania. Dia.. dia menjual mobilnya, untuk bisa menolong kamu!"
"Apa..?" Ucapan Mama membuat Beby menganga tak percaya.
"Kamu harus mau menjalani Operasi ini, kalau kamu memang menganggap Shania itu sahabat terbaik kamu! Karena dia... sudah memberikan yang terbaik buat kamu, sayang!" Beby masih termangu dalam haru menyelimuti air mukanya.
"Shania... dia melakukan itu, cuma buat Beby Mah?" Mama mengangguk untuk menjawab tanya Beby.

"Mah? Boleh gak? Beby... pinjem Handphone Mama!?"
"Buat apa sayang?"
"Beby mau hubungin Shania, Mah. Kalau dia sudah melakukan itu semua buat Beby, maka.. Beby mau, dia ada di dekat Beby, saat Beby masuk dalam ruang Operasi!" Mama kaget mendengar apa yang diinginkan Putri kesayangannya itu.
"Tapi sayang? Shania kan masih...,-"
"Beby akan tunggu Shania pulang Mah. Dia pasti akan ada di dekat Beby!" Potong Beby yang mengira Shania masih di Jogja.

Mama yang bimbang dalam mengambil keputusan, untuk memberitahukan Beby tentang yang sebenarnya. Malah jadi tidak tega saat mendengar keantusiasan Beby yang menginginkan adanya Shania didekat dia, saat Operasi berlangsung.

'Benar apa kata Rose!' Mama kembali mengingat ucapan Mamanya Melody. 'Apapun keputusan kamu, jangan sampai membuat satu sisi senang, namun sisi lainnya.. tidak bisa menikmati kesenangan!'
'Aku tidak bisa membiarkan Beby masuk keruang Operasi dengan ketidaktahuannya tentang Shania. Dia memang berhak, dan bahkan harus tahu. Tentang kondisi Shania yang sudah mau berkorban untuk dirinya.'

Mama memegang erat kedua tangan Beby. Memakukan tatapannya, mengumpulkan semua kekuatannya, Mama siap memberitahukan kenyataan yang selama satu minggu ini beliau tutupi dari Beby. Memberitahukan sebuah kenyataan dari kesemuan yang sudah dibuat. Dengan bersiap pada kemungkinan apapun, yang akan Beby perlihatkan, setelah ucapannya meluncur.


Shania perlahan membuka matanya. Mengerang sakit dengan suara lemahnya. Kepalanya terasa begitu berat dan sakit, inginnya menggerakan tangan untuk memijat kepalanya yang terasa sakit itu, tapi dia kesulitan untuk menggerakan tangannya, karena selama satu minggu hanya tidur, tidur yang membuat semua orang panik.

Yang bisa Shania lakukan hanya memejamkan mata, dengan suara erangan diikuti desisan pelan dari mulutnya. Ve yang ketiduran disebelah Shania, bisa merasakan ada sekidit gerakan dibangsal yang dia pakai menyimpan kepalanya saat dia menjaga Shania, hingga dia tertidur. Setelah gerakan yang dia rasa, Ve mendengar suara dari sebelahnya. Kontan, Ve langsung mengangkat kepalanya, dan melihat Shania yang setengah jam sebelumnya masih memejamkan mata.
"..Shania..?" Ve mengalunkan nama adiknya itu. "..Dek? Kamu denger Kakak?" Dia simpan tangannya dibahu Shania.

Shania bisa mendengar suara itu. Perlahan... dia mencoba membuka kedua matanya, untuk mengenali sipemilik suara.
"Apa yang kamu rasakan? Mana yang sakit?" Tanya Ve melihat wajah Shania menahan sakit.
Shania sudah bisa membuka matanya, tapi... hanya kegelapan yang dia lihat.
"Kakak panggilin dokter ya, Dek?"
"...Kenaaapa... geelapp?" Suara Shania begitu lemah.
Dia membuka-tutup matanya untuk mencoba kembali mendapatkan visualisasi. Namun hasilnya tetap sama! Gelap!!.
Ve yang mendengar jadi ketakutan sendiri.
"Sayang, kamu bisa dengar suara Kakak kan?" Tanya Ve, "Ini Kak Ve.. Kakak ada disamping kamu!" Shania mengikuti gema suara yang mengalun dari pita suara Ve.
"Kkkakak... Shaania.. dimanaaa Kak? Kenapaa.. Kenapaa disini gelap!"
Shania yang semula kesulitan menggerakan tangannya, mempekerjakan paksa, tangan kakunya itu untuk dia pakai meraba kedua matanya. Sangat jelas, tangannya yang sudah bisa menyentuh kelopak matanya, memberikan kabar bahwa dia sudah membuka kedua mata itu. Tapi, kenapa..? Dia tidak bisa melihat cahaya! Hanya warna hitam yang begitu pekat yang terlihat.
"Kkenapaa.. kenapa semua hitam?... Kakk, nyalain lampunya? Shania..., Kenapa gelap, disini begitu gelap!"
Ve membelalakan matanya, dia tahu ada yang tidak beres pada Shania. Rasa senang yang sempat meletup ketika tahu Shania siuman, jadi meredup saat dengan jelas Ve mendengar komplen darinya.
"Kakak ada disini, disamping kanan kamu, Dek! Kamu bisa lihat Kakak?" Ve mencoba menarik kembali perhatian Shania, dengan perasaan was-was.
"Shaniaa.. Arghhhh... Kepala akuuu sakitt!.." Shania merasakan kembali sakit dikepala bagian belakangnya.

Ve segera memanggil suster diluar, lewat tombol emergency di sebelah kepala Shania. Tidak lama suster datang, dan Ve langsung menyuruh Suster itu untuk memanggilkan dokter rawat Shania.


"Kenapa...? Baru sekarang Mama kasih tahu Beby Mah!?" Beby menitikan air matanya.
Mama yang akhirnya memantapkan hati untuk memberitahu Beby soal kondisi Shania, berakhir dengan kesedihan yang diperlihatkan Beby.
"Mama... Maaafin Mama sayang, Mama bingung, Mama gak tahu harus mengambil langkah apa? Mama terlalu takut kalau Mama akan kehilangan kamu!" Jawab Mama.
"Shania.. dia udah ngelakuin hal..., hal besar untuk Beby! Shania sama kayak Mama, takut kehilangan Beby. Tapi, bagaimana mungkin Mama menyimpan semua ini, dan malah menyuruh Beby untuk masuk keruang Operasi. Sementara, Shania sendiri? Dia sedang memperjuangkan hidupnya, Mah! Memperjuangkan kehidupannya, setelah dia memperjuangkan kehidupan Beby!" Mama tidak bisa berkata apapun, beliau hanya menunduk sambil menangis.
"Beby mau... arghhh--,"
Suaranya jadi desisan rasa sakit. Mama yang mendengar jadi takut.
"Beby..?"
"...Beby mau... hsss--, mau pergi nemuin.. ahwww--, Beby harus... nemuin... Shani...a..." Beby terjatuh tidak bisa lagi menopang tubuhnya yang kembali bereaksi dengan virus kanker. Mama membelalakan kedua matanya ketika melihat Beby ambruk. Dengan panik Mama mengguncang tubuh Beby. Tapi tidak ada respon, Mama berlari kearah bangsal untuk meraih tombol emergency.

"Apa yang bisa kita lakukan Dokter?"
Suara Ve begitu lemah, dia sungguh terkejut dengan apa yang dia dengar tentang kondisi Shania dari dokter rawatnya.
"Shania.. harus segera mendapatkan retina mata baru, untuk matanya yang sekarang!"
"Retina mata baru,... sssegera? Maksud Dokter?"
"Seperti yang sudah saya jelaskan diawal. Setelah melihat hasil scan mata bagian dalamnya Shania yang ternyata terluka. Lukanya sangatlah parah, pecahan kaca itu merobek retina mata Shania, hingga dia jadi mengalami kebutaan!"
Setelah senyum yang baru saja akan bisa Ve kembangkan ketika tahu Shania berhasil melewati komanya, kini senyum itu seketika kembali meredup.
"Apa yang terlihat dalam laporan, bisa dibilang cukup menghawatirkan dan mungkin akan jadi buruk untuk Shania."
"Jelaskanlah dengan bahasa yang lebih simple Dokter?" Protes Papa yang juga ada didalam ruang dokter.
"Kerusakan pada matanya, tidak bisa sembuh hanya dengan Operasi, Pak! Shania harus mendapat donor mata, untuk bisa mengembalikan penglihatannya. Transplantasi retina mata, itulah jalannya!!.. dan, dalam kasus Shania, ada beberapa hal baru yang kami temukan. Kerusakan pada matanya, harus segera ditangani, karena kalau tidak..." Papa, Mama dan Ve berharap cemas dengan apa yang akan diutarakan oleh dokter. "..Shania akan mengalami kebutaan permanen! Tanpa bisa disembuhkan lagi, sampai kapanpun!!".
Ve menundukan kepalanya, menangis membayangkan Shania. Pun dengan Papa dan Mama, mereka begitu sangat amat merasakan perasaan bersalah, ditengah kesedihannya.

Menyakitkan! Saat sebuah ujian, dihadapkan dalam kehidupan yang sedang dijalani. Hanya air mata yang jadi teman setia, berdiam diri menanti adanya keajaiban terselesaikannya ujian itu. Namun, apa dengan berdiam diri dan menunggu keajaiban itu? Ujian akan berakhir?! Seperti saat ingin melangkah. Tidak mungkin bisa kedua kaki melangkah jika hanya berdiam dan tidak melakukan pergerakan. Sama seperti halnya ujian hidup. Tidak mungkin bisa selesai sebuah ujian, jika kita hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun.


CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *16th Chapter*



...PELANGI DALAM SAKURA...
*16th Chapter

Ketakutan terlihat di wajah Mama, Melody, Ve, dan Cindy yang melihat Beby akan ambruk di pelukan Shania.

Shania hanya bisa menangis dengan tangannya masih memeluk Beby yang hampir jatuh; Mereka yang sudah mendekat pada Beby dan juga Shania begitu panik dan takut. Apalagi Mama.

"Bebyyy...!?" Mama memanggil nama Beby ketika sudah ada di dekat putrinya.

Beby yang mereka pikir pingsan, ternyata tidak. Dia hanya merasa kepalanya sakit dan kakinya terasa lemas, serta nafasnya sedikit tersengal.

"Kamu... masih punya waktu... buat akuu... :'-)" Suara Beby kembali terdengar di telinga Shania, hingga Shania melepas pelukannya dan melihat wajah Beby.
"Bebyyy.. kamu... kamu... masih.,-"
"Aku... masih.. hidup, tahu!"
Potong Beby dengan suara lemah, atas ucapan Shania diikuti sedikit candaan.
"kamu... Udah bikin aku takut tahu!!"
Ucapnya di sela isakan tangis. Lalu Shania kembali memeluk Beby.

Melody meminta tolong pada Cindy untuk membawakan kursi roda, namun saat Cindy akan bergerak untuk mengambil, Ve menghentikannya dan menawarkan diri, dengan langsung mendorong kursi roda agar Beby bisa kembali duduk.

Shania membantu Beby untuk duduk di kursi roda, dia tidak dibantu siapapun saat akan mendudukan Beby di kursi rodanya. (Hanya Shania dan Ve.; Shania mendudukan, Ve memegang kursi rodanya.)

"Makasih Kak!" Ucap Beby pada Ve.
"Kamu bikin Kakak takut!" Balas Ve,
"(senyumnya terlihat lemah), Maafin Beby... Beby gak ada maksud buat bikin kalian... terutama Mama... takut! Maafin Beby ya Ma?"
Beby melihat jelas ketakutan di wajah Mamanya.

"Mama masih, dan akan selalu takut, jika Mama... harus melihat kamu pergi dari Mama!" Mama berjongkok di depan Beby.
"Jangan tinggalkan Mama, sayang! Mama selalu butuh kamu... kamu yang menjadi penyemangat Mama, dalam hal apapun yang Mama lakukan!!" Lanjutnya sambil mengusap lembut wajah Beby.
"Dan bukan cuma Mama yang merasakan seperti itu! Aku juga!!" Timpal Shania, ikut jongkok di sebelah Mama.

Beby hanya bisa membalas ucapan harap Mama dan Shania dengan senyum lemahnya.
'Ketakutan Beby... lebih Mah!  Kalau takdir ini yang terbaik untuk Beby, pasti juga akan jadi yang terbaik buat Mama, dan kalian... yang sayang sama Beby!!. . . Maafin Beby... Beby sayang sama Mama, Beby sayang sama kalian semua!!!'
Lirih batinnya dalam kelemahan fisik.


"Beby... kondisinya... gimana Tante?"
Ve yang pertama membuka obrolan.

Mereka semua sudah ada di ruang keluarga, dengan Beby yang sudah istirahat dikamarnya.

"...Semoga Tante... tidak kehilangan dia, seperti Tante kehilangan Papa nya!"
jawaban Mama sungguh terdengar menyakitkan.
"Beby... Kanker itu... udah stadium 4! (Mama menitikan air matanya; Ve dan Shania kaget bukan main) Tante belum siap kalau Tuhan menginginkan Beby kembali pada-Nya."
Penjelasan Mama membuat Ve merasa bersalah, sekaligus sedih.

"Andai Tuhan bisa menukarkan posisi Tante sama Beby! Tante siap, ada di tempat Beby. Menggantikannya, merasakan kesakitan yang tidak hanya menyiksa fisiknya, tapi.. psikisnya juga. Andai saja.. Waktu bisa tante tukarkan ke hari yang sama, saat Beby dititipi sakit itu. Tante siap menggantikan posisi Beby. Tante siap menukar apapun yang Tante miliki, jika itu bisa membuat Beby sembuh!!"
Mama menundukan kepalanya merasakan sakit di dada saat mengucapkan kalimatnya dan membayangkan wajah Beby.

Ve segera memegang kedua tangan Mama. "Jangan bicara seperti itu Tante. Beby bisa marah kalau mendengar Mama nya yang kuat ini... menyalahi kehendak Tuhan dengan berkata 'Andai Saja'!... Beby pasti sembuh dan menghilangkan rasa sakitnya. Dia pasti bisa melawannya Tante..!!" Ve ikut menangis.

"Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu Beby, Tante? Shania mau melakukan sesuatu untuk Beby! Apapun itu!!"
Giliran Shania yang bersuara, dia begitu serius dalam kesedihan wajahnya.

Mama menatap Shania, lalu tersenyum..."Tetaplah jadi sahabatnya! Beby pasti akan sangat merasa bahagia, karena sudah bisa meraih kamu lagi." Shania sedih, "Selain Tante, kamu jugalah yang akhirnya bisa membuat Beby luluh dengan ajakan berobat ke Jakarta. Dia berharap, saat tiba disini dan mengikuti pengobatan. Dia bisa menghabiskan waktunya sama kamu! Membagi apa yang dia rasa, membantu kamu.. semampu dia!!"
Pernyataan Mama sungguh sebuah tusukan bagi Shania. Dia merasa begitu bodoh dan... perasaan bersalah lainnya pada Beby yang menaruh harap padanya. Tapi malah dia balas dengan kebencian.

"Beby harus segera di operasi! Itu yang dokter bilang. Kesempatan terakhir dalam upaya kita untuk melihat Beby sembuh, adalah dengan operasi!" Melody yang duduk di sebelah Mama, bicara melanjutkan ucapan Mama yang terhenti.
"Terus? Kenapa tidak dilakukan, Bu?" tanya Shania, mengarahkan matanya pada Melody.
"(Melody melihat Mama), Karena.... bia,-"
"Cukup Mel! (Mama menggeleng) jangan!!" Potongnya atas ucapan Melody. Ve dan Shania heran.
"Tante... kenapa Tante menghentikan ucapan Bu Melody? Apa Tante gak mau? Aku sama Kak Ve, bantuin Tante sama Beby!?" Shania merasa kalau Mama ingin menutupinya.
"Bukan itu, sayang."
"Terus kenapa Tante? Mungkin... inilah kesempatan Shania, untuk bisa menebus rasa bersalah yang Shania rasain Tante!"
"Dan Ve juga! Beby itu... Adik Ve juga Tante, dia itu saudara kita. Apa tidak boleh, kalau saudara ingin membantu saudara nya?"
Mama berhasil tersudutkan oleh Shania dan juga Ve.

"Biaya Operasi itu... itu sangat mahal. Usaha Tante, entah kapan akan bisa membawa Beby ke meja operasi!" Mama mulai kembali bicara.
"itulah... kenapa, Tuhan menjadikan kita keluarga. Untuk saling membantu dalam kesulitan, berbagi dalam hal apapun! bener kan Tante?" Shania sudah berjongkok di depan Mama, saat dia mendengar dan melihat wajah Mama yang sedih kala menyebutkan biaya operasi dan usaha yang belum berbuah.
"Biarkanlah, Shania dan juga Kak Ve, membantu Beby. Setidaknya, ada sesuatu yang bisa kami lakukan. Shania mohon, ijinkanlah Shania membantu Beby, Tante?" Shania memegang tangan Mama dengan tangis kembali mengiring.

Mama mengelus rambut Shania, lalu memeluknya. Shania membalas pelukan itu. Pelukan dari seorang Ibu yang sudah begitu lelah dengan takdir yang sedang dijalani.

Jalan hidup yang dia takuti akan hadir lagi dalam jalannya, ternyata menjadi kenyataan. Untuk kedua kalinya, kembali merasakan kesakitan dan kepedihan dari apa yang Tuhan berikan padanya. Bukan lagi kerikil yang ada di jalannya, tapi jauh lebih besar. Sandungan yang menghadang jalan hidupnya kini. Meski beliau terlihat kuat, beliau tetaplah seorang wanita. Butuh tangis untuk menyampaikan perasaan terpendam. Butuh bahu kanan seseorang untuk menyandarkan beratnya beban. Senyum itu.. senyum sedikit yang selalu di perlihatkan Mama, hanyalah senyum penutup beban, agar orang di sekitar yang melihat, menyangka beliau tegar, agar Beby.. tidak mengkhawtirkan dirinya, agar semuanya terlihat baik-baik saja!

Setiap masalah yang datang dalam hidup, se menyulitkan apapun itu. Pasti ada jalan keluarnya. Meski dengan sebuah tangis yang mengiring, dan luka yang belum tentu cepat mengering, akibat dari selesainya masalah yang diakhiri sebuah tangis. Tapi, yakinlah. Waktulah yang pada akhirnya akan bisa menyembuhkan luka itu.. menghapus air mata, yang sempat jadi sebuah jalan keluar, dengan sebuah senyum bahagia, tanpa melupakan masalah sulit yang pernah mendatangi hidup dan mendiami hati cukup lama.

Kesulitan ada, untuk mengajarkan kita mencari kemudahan. Kemudahan ada, bukan tanpa halangan. Yang bisa kita lakukan saat kesulitan yang membuat masalah dalam hidup itu datang... Melawannya! Berjuang untuk kembali mendapat kebahagiaan. Karena Tuhan.. tidak akan membiarkan umatnya berada dalam kesulitan yang tidak bisa dia hadapi, yang tidak sepadan dengan kemampuannya.
Tanpa masalah dan kesulitan, apalah arti hidup?


2 Hari berlalu... dari hari setelah kembali membaiknya hubungan Shania dan Beby. Shania mulai bisa menapaki kembali jalannya. Menata apa yang pernah dia tata, mengembalikan apa yang pernah dia hilangkan, meski belum sesempurna yang di angankan! Namun begitu, Shania sudah cukup merasa hidupnya mulai membaik. Tidak lagi dia mau terlalu memperdulikan Papa dan Mama yang sibuk dengan jalan mereka sendiri. Untuk Shania... ada Ve disampingnya, itu cukup! Karena dia bisa saling memberikan keramaian dalam kesepian, memberikan senyum dalam kesedihan, memberikan pelukan dalam renggangnya dia dari Papa dan Mama, memberikan penjagaan dalam serangan halus yang menusuk dari tingkah orangtuanya. Rangkulan Ve sudah bisa kembali meraih Shania, dan bisa membuatnya tenang.

Selain itu... yang menjadi prioritas utama dalam kehidupan yang sedang Shania jalani adalah... Beby! Setelah mendengar nominal yang disebutkan Melody untuk biaya operasi, Shania terus berpikir bagaimana? Dari mana? Pada siapa? dia bisa mendapat rupiah yang jika diukur dengan barang, bisa sama dengan harga mobil yang dia miliki. Sulit memang, mencari darimana bisa menghasilkan sejumlah uang yang angkanya berderet, hingga sampai 9 angka.

"Hey! Lagi ngelamunin apa sih? Dalem amat!"
Ochi menghampiri Shania yang tadi saat bell istirahat, enggan di ajak ke kantin.
"Lu.. bukannya lagi di kantin?" heran Shania,
Sebelum menjawab, Ochi memberikan makan + minuman untuk Shania.
"Dari 2hari kemarin, gue lihat lu kayak gak ada semangat, Shan? Masalah di rumah lagi!?" Tebak Ochi dalam tanya.
Shania memainkan makanan + minuman yang diberikan Ochi, kemudian dia menggeleng untuk menjawab tebakan Ochi.

Shania memang belum cerita pada teman-temannya soal dia sudah baikkan dengan Beby (Lagian, Shania mah gak pernah cerita sama Ochi dan lainnya, tentang Beby yang dulu pernah dia katakan bukan Sahabatnya!). Tapi... tingkahnya cukup terlihat jelas, terpampang nyata, kalau ada suatu perubahan di diri Shania. Apalagi 2 hari ini dia selalu terlihat menghampiri Cindy, berkicau sebentar dengan Cindy, dan pulangnya... mereka selalu barengan. (Ke rumah Beby)

"Terus?" Ochi masih menelisik.
"Gak ada apa-apa kok, Chi!" Jawab Shania enggan.

Ochi menghela nafas, "Sesulit itu ya? Cerita sama gue!?" Shania melihat Ochi, "Dulu.. saat pertama kita mulai akrab, lu selalu cerita sama gue, meski gak semua hal lu bagi, gue tetap senang. Karena gue merasa... keberadaan gue yang tidak pernah dianggap siapapun ini, akhirnya ada juga yang mau memperdulikan, dan menganggap adanya gue! Tapi kenapa? Setelah apa yang dulu pernah gue ucapkan tentang tebakan Beby di lorong belakang, lu gak pernah mau lagi berbagi soal cerita lu!?"

Shania merasa tidak enak hati. "Gak gitu, Chi!"
"Lalu?"
"Gue... ehmmm.. Gue cuma...,-
"Gue... tahu kok, Gue emang gak akan pernah bisa jadi bagian dalam memory lu! :'-)" Ochi menghentikan ucapan Shania.

'Maafin gue, Chi! Gue belum bisa cerita. Karena ini tentang Beby!' Batin Shania, disela helaan nafasnya.

Entahlah, hati Shania tidak mengijinkan bibirnya untuk mengeluarkan satu atau dua kalimat lainnya, selain 'Gak ada apa-apa kok, Chi.'. Seperti Shania bisa menebak, jika dia cerita tentang Beby pada Ochi, akan ada suatu tanggapan yang terkesan, kalau Ochi tidak suka, dirinya dekat dengan Beby.

'Gue emang cuma bisa jadi yang kesekian dan mungkin.. cuma pelampiasan dari kesepian yang menutup! Gue... gak akan pernah bisa punya sahabat untuk bisa gue kenang!!' lirih Ochi dalam hati.

Keduanya saling diam dengan otak mereka yang dipenuhi pikiran masing-masing. Menikmati makanan kecil dengan kecanggungan, seperti saling duduk dengan orang yang belum di kenal.


---
Shania sudah ada di rumah Beby. Sepulang sekolah, tanpa kerumahnya dulu, dia langsung pergi ke rumah Beby.

"Siang Tante!"
"Siang.. Sayang!"

Shania yang tidak melihat siapapun saat masuk ke rumah yang tidak dikunci, dia langsung menerobos ke belakang, menebak kalau Mama sedang ada di dapur. Dan benar saja.. Mama ada di sana, beliau sedang menyiapkan makan siang untuk Beby.

Sepulangnya Beby dari rumah sakit dan belum bisa bersekolah seperti biasa, Mama mengambil cuti dari tempat kerjanya, agar bisa merawat Beby. Beby yang... setelah kepulangannya dari rumah sakit kali ini, dia terlihat masih lemah, dan kenyataannya kondisi Beby memang terus lemah dan semakin melemah. Beby mulai merasa ada bagian tubuhnya yang tiba-tiba tidak bisa di gerakan. Atau, saat Shania dan Cindy datang menemuinya, ada waktu dimana Beby tiba-tiba lupa dengan siapa mereka berdua. Tapi waktunya tidak berlangsung lama, hanya sepersekian menit.

"Cindynya mana, Shan?" Tanya Mama yang melihat Shania hanya seorang diri.
"Dia gak bisa kesini Tante, katanya sih... mau nganterin Mamanya dulu!"
"emm.."
"... ini... Buat Beby ya, Tan?" Mama mengangguk sambil tersenyum. "Biar Shania yang nyuapin Beby? Bolehkan, Tante?" Pinta Shania.
"Ada yang mau nolongin, masa iya Tante tolak!" Shania tersenyum sipit. "Ya sudah! Ini kamu bawa, Tante mau ambil dulu jemuran, kasihan bajunya... pada kepanasan." Lanjut Mama, membuat senyum sipit Shania berubah jadi tawa renyah.

Shania jalan ke kamar Beby. Meski sudah baikan dari kesalah pahaman yang sempat membuatnya mendorong Beby. Shania tetap merasakan rasa bersalah mendiami hatinya. Mengingat setiap kebenciannya pada Beby, tingkah menyebalkan yang membuat Beby jadi tersangka, setiap ucapan yang kadang berisi cacian yang hampir menghardik, yang di utarakan Shania, baik didepan Beby secara langsung, maupun dibelakang secara diam-diam.

Kenangan menyebalkan itu, membuat Shania belum bisa menghentikan kutukan pada dirinya sendiri. Merasa jadi orang paling bodoh, karena membenci sahabatnya yang sedang sakit dan butuh dukungan dari dirinya, tapi malah dia jadikan musuh dan dengan jelas dia blacklist Beby dari kata 'Sahabat!'.

"Haaaiiii... "
Shania masuk dengan wajah ceria siap menghibur.
"Haii.., sendirian?"
Beby celingukan kebelakang.
Shania mengangguk, diikuti pemberitahuan pada Beby tentang Cindy yang tidak ikut ke rumahnya.
"Cindy mau nganter Mama nya, jadi dia gak bisa kesini!"
"Ohh.."
"Eh, ya. Makan siang dulu yaa.. lihat.. aku udah bikinin ini buat kamu!" Ujar Shania dengan menunjukan nampan berisi bubur dan sayur soup bening.
"Aku..(?) Hahahaa.." Tawa Beby meledek.
"Idihh.. malah ngetawain! Kenapa? Gak percaya, kalau ini aku yang buat?"
Beby masih terkikih, "Nggak!" jawabnya, dengan menggeleng kecil.
Shania membuat delikan.
"Lagiann.. kalo kamu beneran bikinin aku bubur sama soup, aku gak bisa bayangin gimana rasanya tu makanan di mulut aku! Hahahhaaa..." Ledek Beby, dalam canda.
"Haduhh...  gitu amat, Beb!" Shania memanyunkan bibirnya.

"Udahan ahh! Ngetawain mulu. Makan dulu.. gak apa-apalah, emang iya.. bukan aku yang bikin makan siang ini, tapi Mama kamu. emmm.. meskipun bukan aku yang bikinin makannya, tapi aku yang bakal nyuapin makanan ke mulut kamunya.. "
Shania mempersiapkan semuanya, dia mulai menyuapi Beby.

"Kenapa?" Heran Shania, melihat Beby senyam-senyum sendiri saat dia suapi.
Beby hanya menggeleng. Raut wajahnya sungguh bahagia.
"Ish, Beby! Bikin aku ngeri, tahu!" Beby mengangkat alis matanya, "Kamu.. aku suapin, kamu nya senyam-senyum gitu! Gimana gak takut, coba? Udah gitu.. tatapan kamu.. kayaknya "suuka" banget sama aku!" sambil menggerakan telunjuk dan jari tengah kanannya Shania berucap.
Dan lagi.. Beby hanya tersenyum dalam kunyahan makan siangnya.
"Aku masih normal, Beb! Gak usah segitunya liatin aku!! Gak bakal bikin aku klepek-klepek juga, kalau kamu masang tampang gitu!!!" Shania terus bicara.

"Geer!" singkat Beby.
"Ini tuh bukan Geer. Orang kenyataan kok, kamu liatin aku ampe segitunya!" Bela Shania.

"Iya.. deh iya... aku emang lagi liatin kamu, sambil senyum-senyum! Kenapa? Gak boleh?. . . kan, daripada aku liatin kamunya sambil manyun, apalagi manyunnya kayak kamu.. pasti bakal lebih gak enak dilihat deh! Hahaa.."
Beby bicara sambil bercandain Shania, dan Shania membalasnya dengan memanyunkan bibirnya, seperti yang dikatan Beby.
"Tuh... tuh.. kan.. gak enak liatnya!!" 

Shania dan Beby terlihat sangat akrab. Potret ini.. potret yang sempat hilang itu, kini kembali bisa mereka nikmati. Bersama lagi dengan sahabat tersayang, bisa kembali saling berbagi. Tapi,.. akankah ini berlangsung lama ?

Memang benar. Dunia itu berputar! Tidak hanya sebatas pergantian Matahari dan Bulan. Siang dan Malam. Atau pergantian lainnya yang sudah biasa dilewati. Tapi untuk kebahagiaan, perputaran itu juga berlaku! Tidak selalu sedih, tidak selalu juga bahagia. Itu yang disebut... Keseimbangan dalam perputaran hidup. Bukan Ketidak adilan!

"..Makasih, ya, Shanju :'-)" Ucap Beby,
Shania membereskan mangkuk bekas makan siang, "Buat apa?"
"...Buat kamu, yang udah mau.. jadi sahabat aku lagi!" Tangan Shania terhenti saat merapihkan mangkuk dan gelas diatas meja dekat tempat tidur Beby.
"...Dan aku minta maaf!" Beby mengerung, mendengar ucapan Shania. "Karena udah pernah.. gak nganggep kamu sahabat! " Sesal Shania.

" Semua.. ada waktunya! Aku percaya dengan kata-kata itu!!" Kata Beby, menanggapi sesal yang Shania rasakan untuk dirinya sendiri.
"Tidak pernah terpikir, sedikitpun. Kalau aku.. akan dijauhi dan dibenci sama sahabatku sendiri. Dan untuk hari inipun.. tidak pernah terpikirkan, bahkan bayangannya saja, selalu aku tepis. Kamu... akan kembali jadi sahabat aku, dan aku gak akan sendirian lagi. Jadi.. saat aku pergi nanti, aku akan pergi dengan senyum bahagia. Tidak ada lagi yang perlu aku khawatirkan! Toh waktu.. memang tidak pernah salah. Kesedihan dan kebahagiaan, terjadi pada waktu yang sudah ditetapkan. Waktu pasti, yang tidak terlihat pasti untuk kita... Tuhan itu. . . memang Maha Sempurna!"

Hati Shania merasa terenyuh, mendengar ucapan yang keluar dari mulut Beby.
"Kita semua.. pada akhirnya memang akan pergi dari tubuh kita ini! Tapi tidak secepat itu, Beby. Masih ada banyak hal yang akan kamu pelajari, kehidupan yang akan kamu lihat. Aku akan berusaha.. bernegosiasi dengan Tuhan, tidak hanya lewat doa, tapi usaha juga. Aku akan memperjuangkan kamu, agar kamu.. bisa terus ada di samping aku, dan terus jadi sahabat aku. Aku yang rapuh dan selalu butuh sandaran!" Serak, suara Shania mengalun dalam iringan kalimatnya.
"Teruslah berjuang. Tidak hanya Mama kamu, Tante kamu, Bu Melody, dan Cindy, yang akan mendampingi kamu melawan semua ini. Tapi aku.. juga Kak Ve, akan ikut. kita akan bantu kamu, melawan.. rasa sakit itu!... Meski aku terlambat, dalam mengetahui semuanya. Tapi aku tidak mau terlambat, untuk mendampingi kamu melawan semuanya, sampai akhir.. sampai kita berhasil! :'-)"

Beby terharu dengan apa yang di ucapkan Shania. Hatinya menangis, ada sedikit rasa menyalahkan Tuhan karena takdir yang dituliskan untuk dirinya. Sebuah perjalanan hidup, yang penuh liku dalam menguji semua yang ada di kehidupannya.

Lama... Shania dirumah Beby, hingga matahari sudah tak terlihat penampkannya. Shania pulang setelah Ve datang menjemput (sudah janjian ceritanya).

"Ngalamunin apa, Dek? Masih kecil, udah jago ngelamun!" Ve bicara dengan sekilas melihat Shania, lalu kembali fokus ke jalan.
"Darimana kita dapetin uang itu, Kak?" Shania sungguh memikirkan hal itu (Biaya operasi). Hingga dia tidak menanggapi basa-basi Kakaknya.

"...Tabungan Kakak... gak ada setengahnya, bahkan seperempatnya aja gak ada!" Jawab Ve, yang bisa merasakan kesedihan yang dirasa Adiknya, dan dirinya juga.
"Kalaupun kita gabungin tabungan, itu mungkin cuma.. buat biaya pengobatan Beby yang biasanya aja kali Kak! Iya kan?" Timpal Shania. Ve mengangguk.

"... emm... apa harus? Kita minta sama Papa Mama? Karena cuma itu, jalan tercepat untuk dapetin uang!" Usul Ve, kemudian.
Yang sebenarnya dia sendiri pun enggan, apalagi harus berurusan sama Mama. Waktu itu, pernah Mama pulang kerumah. Tapi saat Ve dan Mama saling bertemu dan berhadapan. Sikap Mama angkuh! Seolah tidak pernah ada yang pernah Ve lihat pada dirinya, seolah Mama tidak melakukan apapun dan semuanya... baik-baik saja.

"Minta sama mereka..(?) Shania.. (Wajahnya memales) Apa harus, Kak?"
"Kakak gak tahu lagi, Dek. Kak Ve juga sebenarnya gak mau, apalagi harus bicara sama Mama. Tapi, cuma Itu jalan terakhir kita!" Shania menyetujui apa yang diucapkan Kakaknya. "Biar Kakak.. coba bicara sama Papa! Siapa tahu, Papa tidak seangkuh Mama!!"
Shania hanya bisa melihat sekilas pada Kakaknya.
Dia yang sudah tahu semua kebobrokan Papa dan Mama, sungguh enggan kalau harus bicara, apalagi untuk meminta pada mereka. Tapi, Shania memikirkan ulang.. benar apa kata Ve, orangtuanya, adalah jalan terakhir dalam hal materi! Meskipun kemungkinan dapat uang itu... kecil!!

"Kalau gitu, Shania... akan ikut bicara, Kak!" Ucap Shania tiba-tiba, Ve menoleh kearahnya. "Kakak bicara sama Papa, Shania bicara sama Mama!" lanjut Shania mengusulkan.

Sengaja Shania membuat alur seperti itu, karena yang dia tahu.. Mama belum mengetahui kalau dirinya sudah pernah melihat kelakuan Mama diluaran sana, seperti Ve yang pernah melihat dan bertatap muka. Jadi Mama tidak akan sok angkuh untuk menutupi kesalahan dirinya. Seperti yang Mama perlihatkan pada Ve.

"Kamu.. yakin? Mau bicara sama Mama?" Ve terdengar ragu.
"Kalau gak yakin, Shania gak akan dapetin apapun, Kak!" Jawabnya mantap.

Sebenarnya, Shania bisa saja bicara pada Papa dan sudah pasti akan dapat dana itu (Dengan syarat, Shania tidak akan memberitahu Ve, soal kelakuan Papa). Namun, jika bisa dibikin 2alur, meminta pada Papa dan Mama juga.. kenapa tidak dilakukan? (Shania belum menceritakan soal kelakuan Papa nya pada Ve! Dia tidak tahu harus memulai cerita menjijikan itu darimana. Dan.. Shania juga tidak ingin membuat Ve yang begitu berharap pada Papa yang dianggapnya korban Mama sama seperti mereka, bingung dengan kondisi yang sedang dia hadapi.)

Sampai didepan gerbang rumah.. Security membukakan gerbang, dan mereka berdua yang ada didalam sedan biru memasang tampang tidak percaya, pada apa yang mereka lihat.

"...Gak salah!" Ve yang pertama bicara menanggapi apa yang mereka lihat. "Papa... sama Mama... ada di rumah (?)".
"Rejekinya Beby, Kak!  Kita udah bikin rencana, dan Tuhan.. ngasih jalan cukup cepat dari apa yang kita rencanakan!" Senang campur tanya, Shania bicara pada Ve.
Ve mengangguk, "Semoga aja! Dan semoga, besok pagi pas kita bangun, Papa sama Mama masih ada!"
"Besok? Kok, besok sih Kak? Kenapa gak sekarang aja? Masih belum larut juga?" Tanggap Shania sambil melihat jam ditangannya yang baru menunjukan pukul 9.
"Sekarang? Kamu yakin mau ngelakuin itu sekarang, Dek?" Ve balik bertanya, Shania mengangguk pasti.
"Kak Ve kayak gak tahu Papa sama Mama aja! Iya kalo besok pas kita bangun itu mereka masih ada! Nah kalau enggak? Kapan lagi kita bisa melihat adanya Papa sama Mama di rumah!"
Ve mencerna apa yang diucapkan adiknya, dan.. dia setuju dengan uraian Shania. Karena memang, Papa sama Mama begitu sangat amat gila kerja, atau.. entahlah gila apa? Yang pasti, mereka sangat jarang ada di rumah.
"Oke! Kita lakuin sekarang!!" Ucap Ve mantap.

Masuk dalam istana besar milik Papa dan Mama. Hawanya terasa begitu dingin. Padahal, AC tidak ada yang nyala. Suasananya aneh, agak-agak mencekam gimana gitu. Padahal, kayaknya tidak ada hantu juga (bukan cerita horor, soalnya  ). Ruangannya sumpek. Padahal, secara kasat mata. Untuk sebutir debu aja, tidak ada yang pernah bisa menempel di ruangan yang selalu dapat perlakuan istimewa dari para pembantu setiap harinya. Tidak tahu ada apa, tapi rasanya... Beda!

Saat melangkah memasuki dan menelusuri rumah besar nan mewah yang setiap harinya mereka jadikan tempat berteduh itu. Shania dan Ve saling diam. Mungkin mereka sedang mempersiapkan naskah pengajuan permintaan sejumlah uang demi untuk menolong sahabat dan adiknya, menolong saudara yang mereka sayangi.

Hingga sampai diruang keluarga, tidak mereka dapati satu sosok pun, tidak Papa ataupun Mama.
"Dimana... Papa sama Mama nya, Kak?"
Shania mempertanyakan keberadaan Papa dan Mama pada Ve.
Ve mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, dek. Mungkin mereka lagi dikamar!. . .Udahlah, kita bersih-bersih aja dulu, abis itu.. kita ketemu lagi disini (ruang keluarga) Siapa tahu Papa sama Mama ada keluar dari kamar!"
Usul Ve, yang langsung diterima Shania.

Keduanya kembali melangkahkan kaki lenjang nya, mulai menaiki setiap anak tangga menuju ruang privasi masing-masing. Namun, saat baru di anak tangga ke empat. Shania tiba-tiba menghentikan langkahnya, karena samar-samar, mendengar ada suara dari dua orang yang tidak asing, tapi sudah menjadi asing belakangan ini, dia dengar. Entahlah, apa yang sedang mereka ucapkan dalam saling sahutnya di belakang rumah, dimana ada gazebo yang cukup besar, plus sebuah kolam renang yang juga berukuran besar. Tempat yang biasanya keluarga itu habiskan saat weekend dulu, weekend yang masih indah.

Shania diam mematung, suara itu.. perlahan jadi lebih jelas terdengar (mendekat).
"Ada apa, Dek?" Tanya heran Ve.
"Kakak denger suara itu, gak?" Shania mengerungkan wajahnya, memasang telinganya, mendengarkan dengan ketejaman maksimum.
"Suara?" Ve ikut memasang pendengarannya. Karena suara semakin dan terus mendekat, Ve mengeluarkan reaksi. "Papa sama Mama!" Ucapnya, setelah indera pendengarannya dimasuki suara.
Shania mengangguk, "Dari belakang!... Suaranya,-"

"Memalukan! Apa kamu pikir selama ini saya tidak tahu kelakuan kamu diluaran sana, hah!!?"

Suara Shania tercekat, oleh suara Papa yang sedang bicara pada Mama. Kedua orang tua itu terus bicara saling sahut, membahas tentang kebobrokan masing-masing, sambil berjalan. Dengan tanpa mereka sadari, ada dua gadis yang sedang memperhatikan kelakuannya.

"Terus? Apa.. Kamu pikir, saya tidak tahu kelakuan kamu, mas!? Apa yang saya lakukan, itu semua.. karena kamu, mas! Tidak sadarkah kamu akan hal itu??" Suara Mama menggema tak kalah tinggi.

Ve memasukan jari-jemarinya ketangan Shania, saat gambaran dan suara yang saling menggelegar itu bertatapan benci dan bersuara lantang.

"Terus saja kamu melakukan pembelaan diri seperti itu! Kamu seharusnya menjadi Ibu rumah tangga saja. Mengurusi saya, mengurusi anak-anak, mengurusi rumah ini, mengurusi keluarga kita! Bukan seperti sekarang?"

Ve semakin mengeratkan pegangannya pada Shania, dia berpikir kalau Papa pasti sudah tahu akan kelakuan Mama. Shania melihat sekilas pada Kakaknya yang terlihat takut, sedih. Dia membalas genggaman tangan Ve, untuk memberikannya isyarat kalau dia akan selalu ada di sampingnya.

"Kamu... Kamu malah... Argghh!!!" Papa mencoba menahan emosinya.

Tebakan Ve benar, Papa sudah mengetahui tentang Mama nya yang pergi dengan Pria lain.

"Mas menyalahkan saya? Apa itu tidak salah Mas! Kalau saya.. hanya menjadi apa yang seperti Mas inginkan, saya tidak akan pernah mengetahui kelakuan bejad suami saya sendiri!! Sementara saya mengurusi seisi rumah ini, termasuk Mas. Mas sendiri.. sudah pasti akan asik-asik kan dengan DIA! Itu yang Mas akan, dan... kenyataanya sudah Mas lakukan, iya kan?" Tuding Mama dalam emosi yang sama tinggi dengan Papa.

Hati Ve serasa mendapat pukulan, dia begitu kaget mendengar apa yang baru saja Mama katakan, tebakan yang selama ini dia anggap benar (Papa korban Mama), ternyata salah! Salah besar!! Karena kenyataannya Papa dan Mama berkelakuan sama saja.

Keberadaan Ve dan Shania belum Papa dan Mama sadari. Mereka masih asik berdua, saling adu suara, menunjukan kalau salah satu dari mereka itu benar, dan satu lainnya salah. Padahal... mereka berdua tidak ada yang benar!

Shania yang melihat wajah Kakaknya semakin tertekan dalam kesakitan dan kesedihan yang sudah di berikan oleh dua orang yang sekarang sedang dia tonton dalam pembelaannya masing-masing, atas kelakuan memalukan yang sudah membuat dia dan Kakaknya menjadi korban. Tidak bisa lagi berdiam diri, berlama-lama melihat adegan demi adegan yang sedang berlangsung didepan kedua matanya dan Kakaknya juga, hingga membuat Kakaknya terlihat begitu shock. Shania memegang erat tangan Ve, lalu dia melangkahkan kakinya, menuntun Ve menaiki sisa anak tangga menuju kamar mereka.

Shania yang sudah melihat kelakuan Papa dan Mama, terlihat bisa lebih tegar ketimbang Ve. Maka dari itu, dia yang menjadi tempat sandaran untuk Ve yang shock.

Saat langkah kaki kembali beradu dengan marmer cream, Papa dan Mama akhirnya menyadari kalau ada kedua putri mereka yang sudah sedari tadi melihat tingkah lakunya.
"Ve..." Suara Papa,
"Shania..." Suara Mama, kedua suara itu beradu.
Shania mendengar jelas nama dia dan Kakaknya keluar dari mulut Papa dan Mama. Tapi tidak dia hiraukan, Shania terus menuntun Ve.

"Ini semua salah kamu, Mas! Kamu itu terlalu egois!! Kamu itu,-"
"Cukup! Diam kamu!!" Papa balik membentak Mama. "Kalau kamu terus menyalahkan saya! Lantas, bagaimana dengan sikap kamu sendiri!? Bercerminlah! Bukan cuma saya yang salah!!" Papa pergi meninggalkan Mama.


"Kakak... duduk dulu, biar Shania ambilin Kakak minum!" Ucap Shania, setelah mendudukan Kakaknya diatas tempat tidurnya.
"Jangan!" Suara Ve disela rasa shocknya, "Kakak gak mau.. kamu ninggalin Kakak, sendirian!"

Shania sungguh merasa kasihan pada apa yang dia lihat. (Ve saja sampai segitunya, saat dia tahu kebobrokan orangtuanya, padahal... tentang Papa, dia hanya tahu lewat ucapan Mama. Bagaimana dengan Shania yang tahu begitu jelas dan jernih. Belum lagi masalah lain yang dia hadapi dengan sahabatnya kala itu. Tanpa ada satu orangpun berada di dekatnya, memberikan ketegaran untuknya, seperti yang sekarang dia lakukan untuk Kakaknya. hmm.. Shania terlalu hebat :'-) {} )

"Gak akan ada yang biarin Kakak sendirian! Kita sekarang udah sama-sama Kak. Kita akan menghadapi apapun itu.. bersama!!" Shania mencoba menenangkan Ve.
"Sekarang... Kakak tunggu Shania disini sebentar, Shania gak akan lama kok! Ya?" Shania begitu perduli. Ve akhirnya mengangguk pelan dan melepas genggamannya dari tangan Shania.


"...Udah selesai? Pembelaan dirinya?"
Shania bicara, masih sambil berjalan. Yang dia lihat hanya sosok Mama nya, diruangan yang tadi sempat membara.
"Shania..?" Mama berdiri dari sofa yang sedang diduduki.
"Tuhan tidak pernah main-main dengan apa yang Dia berikan untuk kita, Mah! Dengan mudah, Tuhan memberikan apa yang sekarang kita miliki. Dan dengan begitu mudah juga, Dia bisa kembali mengambil apa yang sudah Dia berikan! Bukan cuma harta ataupun tahta,... kebahagiaan juga!!" Mama menatap dengan raut sedihnya.

Beliau berjalan menghampiri Shania yang berdiri dengan jarak renggang padanya. Bermaksud untuk memeluknya, dan mungkin.. akan membuat pembelaan atas apa yang sudah Shania dengar. Tapi sayang, Shania malah menarik dirinya kebelakang, memperlihatkan ketidak mauannya di peluk oleh Mama. Dan apa yang Shania perlihatkan cukup membuat Mama merasa ditampar.

"Kalau saja, kalian... bisa menekan keegoisan kalian, melawan semua bisikan tidak benar itu! Malam ini... tidaklah perlu aku sama Kak Ve saksikan. Tidaklah perlu, Papa sama Mama saling teriak, sok membela diri. Padahal... Kalian berdua sama saja!!"
Tamparan itu semakin nyata Mama rasa, Mama yang berpikir kalau Shania tidak pernah tahu pada apa yang dilakukannya, seperti yang sudah dilihat oleh Ve. ternyata salah!
"Mama sama Papa terlalu picik! Kalian berubah. Apa yang dulu kalian janjikan pada kita.. semuanya, Nothing, Mah! Gak ada satupun, ucapan manis dari Papa juga Mama yang menjadi kenyataan. Bukan cuma kehidupan aku sama Kakak yang kalian rusak, tapi kehidupan kalian sendiri.. Kalian rusak dengan keangkuhan dan keegoisan kalian! Merasa paling benar, tapi nyatanya.. sama-sama rusak!!" Mama menangis,
"Harusnya.. Mama juga Papa, belajar dari Tante Ana. Bagaimana jadi orang tua yang baik? Bagaimana cara menghadapi masalah? Bagaimana cara Tante Ana, hidup dalam naungan masalah yang tiada henti di kehidupannya! Harusnya.." Shania menitikan air mata, perasaan yang selama ini dia pendam. Dia ledakan malam ini. Dan tanpa Shania ketahui, Papa ada di depan kamarnya (Kamar Papa dan Mama), padahal tadinya, setelah dari kamar membawa koper, Papa akan langsung pergi dari rumah.
"Harusnya Mama tahu.. bagaimana kehidupan Tante Ana, yang dulu saat di Jogja begitu dekat dengan keluarga kita! Mama masih ingat kan sama Tante Ana?"
Mama menundukan kepalanya, beliau tidak pernah lupa dengan Ana dan juga Beby.
"Mama pasti sudah tahu, cerita Tante Ana yang ditinggal pergi oleh suaminya karena kanker!? Tapi Mama, pasti belum tahu soal ini... Soal penyakit yang merenggut nyawa Papanya Beby itu.. kini, kini.. mengancam kehidupan Beby, yang mungkin saja akan berakhir sama dengan Papa nya!! Bisakah.. Mama sedikit saja membayangkan, bagaimana peliknya kehidupan Tante Ana, Mah? Bagaimana kalau semua itu.. terjadi pada keluarga Mama ini!?"
Shania membiarkan pipinya basah karena tangis. Mama dan juga Papa yang mendengarkan diam-diam, kaget bukan main.
"Maksud kamu.. Beby... Beby sakit kanker?" Tanya Mama dibalik suara yang sudah menyatu dengan tangis.
"...Iyyya..  . . . Dan Mama tahu? Pikiran liar Shania sempat berpikir Mah, 'Harusnya.. Tuhan memberikan cobaan seperti itu pada Mama juga Papa? Mama sama Papa perlu melihat Shania atau Kak Ve, yang dititipi penyakit itu, menyaksikan perjuangan kita melawan sakit ganas itu!?'. . .Agar Mama juga Papa sadar, kalau kehidupan yang sudah Tuhan berikan ini... begitu indah, terlalu indah, untuk akhirnya di khianati dengan sebuah nafsu dan keegoisan!!" '
Ucapan itu.. sudah bukan tamparan lagi, tapi tusukan yang begitu dalam. Mama tidak tahu lagi harus memberikan reaksi apa pada Shania.

"Maafin Shania Mah... Shania tidak ada maksud lancang, atau sok menggurui Mama.. juga Papa!" Ujar Shania, lalu berjalan kedapur.

Mama, Papa.. mereka terdiam! Kata-kata Shania terus mengiang di telinga keduanya. Rasa malu, bersalah, dan lainnya kini menyambangi perasaan mereka masing-masing. Dan Ve... dia keluar kamar setelah Shania yang meninggalkannya tidak juga balik ke kamar (Ikut mendengarkan diam-diam), Hanya bisa menangis membekap mulutnya sendiri. Tidak percaya pada apa yang baru dia dengar. Merasakan kembali rasa bersalah untuk Shania, di tengah rasa kagetnya terhadap Papa.
'Selama ini... Kamu berjuang sendirian, Dek! Kakak begitu memalukan untuk kamu panggil Kakak!!' sesal Ve dalam hati. 'Kamu tahu semuanya.. dan Kamu, sendirian!!'

Penyesalan tidak menghasilkan apapun, kecuali rasa sakit yang entah kapan akan hilangnya. Setiap peristiwa yang membuat kita menyesal, sudah pasti tidak akan bisa dilupakan begitu saja. Mungkin, sempat meminta pada Tuhan untuk menghapuskan memori yang membuat kita menyesal diakhir cerita dari ingatan. Namun, apa dengan seperti itu perasaan kita bisa terbebas dari rasa bersalah dan menyesal? dan jawabannya.. Tidak akan! Bukan dengan menghapus memori, melumpuhkan ingatan, lantas kita pikir rasa sesal dari kesalahan itu bisa kita hilangkan. Tapi dengan memasrahkannya pada Tuhan dan memperbaiki tingkah dan langkah yang sudah salah kita ambil lah, yang akan membuat kita bisa kembali berjalan, membiarkan rasa sesal itu menjadi cambukan agar tidak pernah lagi kita melakukan sesuatu yang akan kita sesali nantinya.

Berpikirlah sebelum bertindak, agar tingkah kita tidak meyakiti siapapun.
Berpikirlah sebelum bicara, agar ucapan kita tidak melukai siapapun.
Berpikirlah sebelum melakukan apapun, agar sesal tidak jadi penutup keputusan…

Shania kembali kekamar Ve. Dia membuka pintu dan masuk dengan memasang senyum segaris untuk Kakaknya yang masih duduk ditempat semula, tempat tadi saat dia meninggalkannya.
"Shania gak ninggalin Kakak sendirian kan?" Ucapnya mengambil posisi duduk disebelah Ve.
"Maaf ya Kak, Shania agak lama ambilin minumnya! Tadi, di dapur gak ada air hangat, mungkin si Mbok lupa masak air. "
Seperti tidak ada narasi apapun di ruang keluarga antara dia dan Mama. Shania terus memasang tampang Oke nya, dihadapan Ve, yang sebenarnya sudah tahu.
"Ini.. minumlah dulu, biar Kakak lebih tenang!" Shania menyodorkan minuman yang sudah dia bikin sendiri.

Ve menerimanya, dia menyeruput sedikit, Teh hangat yang dibuatkannShania. Lalu menyimpan gelas itu di mejanya. Ve memakukan pandangannya pada Shania. Dia merasa, sosok Shania begitu terlihat dewasa, setelah beberapa masalah yang hadir dalam kehidupannya sempat membuat dia bertingkah kekanakan. Tidak seperti dirinya yang lemah.

"...Makasih ya, Dek!"
Kata pertama Ve yang Shania dengar setelah wajahnya tadi dinaungi rasa shock. Shania membalasnya dengan senyum dan anggukan.
"Kakak... sayang sama kamu! Maafin Kakak.. yang pernah membiarkan kamu sendirian, menyaksikan dan merasakan semua ini!" Ve memegang lembut tangan Shania.
Shania menatapkan mata sipitnya, dengan tanya keluar dari bibir tipisnya. "Kenapa Kakak harus minta maaf?"
"Selama ini, Kamu terluka.. kamu sakit.. dan kamu menghadapi semua itu sendirian! Sementara Kakak sendiri? Malah melakukan hal bodoh untuk menghindari rasa sakit yang akan membuat luka. Kakak tidak sehebat kamu, Dek. Kakak gak pantas untuk kamu panggil Kakak!!" Ve menangis.
Shania mulai sedikit mengerti arah pembicaraan Ve. Dan bertanya dalam hati,
'Apa Kakak mendengarkan percakapan aku sama Mama?'

"Kakak kenapa bicaranya seperti itu? Shania emang pernah benci sama Kakak, karena Kakak ninggalin Shania sendirian. Tapi, Shania sadar sekarang.. itu cuma emosi dari ketidak adaannya komunikasi antara Shania sama Kakak! Bukan Kakak yang salah, bukan Kakak yang gak hebat. Tapi, kita berdua sama! Kakak salah, Shania juga salah. Kakak merasa gak hebat, Shania juga tidak pernah merasa hebat. Kita sama Kak, sama-sama menutupi apa yang membuat kita luka dengan senyum sok tegar, dan tingkah lainnya! semua itu.. cuma kemunafikan. Semua apa yang pernah kita lakukan, cuma cara.. cara pelampiasan dari apa yang tidak kita tahu!!" Ucapan Shania membuat Ve terharu.

"Kamu.. Kamu memang hebat, Dek! Kakak menyesal. Sempat mengasingkan kamu dari kehidupan Kakak. Mengenyampingkan, bahkan... nyaris menenggelamkan kamu dalam kebencian yang Kakak rasa dari apa yang Tuhan tuliskan untuk Kakak. Untuk keluarga kita!" :'-)
"Setiap orang punya cerita dan cara menyelesaikan ceritanya itu, masing-masing. Termasuk aku, sama Kakak juga! Dan kini.. kita, sudah menemukan cara mencapai akhir cerita yang tertulis:-). . ." Shania balik memegang tangan Kakaknya. " Kakak tahu? Luka dan sakit ini... yang mengajarkan Shania untuk lebih dewasa, Kak! Meskipun dada terasa sakit karena tangis yang tidak bisa tumpah. Tapi Shania akhirnya bisa melewati semuanya, dan itu.. berkat Kakak juga! :'-) Kakak tidak pernah benar-benar meninggalkan Shania. Kakak cuma bingung, sama seperti dengan yang Shania rasakan!" Ve tersenyum, lalu memeluk Shania. Dan Shania... membalas pelukan itu.

Masalah yang sempat menguasai, akhirnya bisa dikuasai balik. Shania dan Ve semakin erat menjaga satu sama lain, apalagi setelah kebobrokan orangtuanya terkuak nyata tanpa ada lagi tirai yang menutupi seperti sebelumnya.


***
Pergantian hari.. tanpa dinantipun, akan berganti. Entah ingin ataupun tidak ingin, hari ini kita lewati. Tapi kenyataannya, setiap hari terus berganti. Tidak mungkin ada hari yang bisa kita skip gitu aja, sekalipun hanya duduk manis diatas kursi, ditemani alunan musik, atau mainan, atau delusi, atau apalah itu... pastinya, akan ada cerita yang kita kenang dari hari yang sudah dilewati.

Shania selalu melamun sendiri saat jam istirahat masuk menggantikan jam pelajaran sang pengajar. Sekalipun dia duduk di meja kantin bersama teman-temannya, hati dan pikirannya tetap selalu mematung. Memikirkan biaya... kesembuhan Beby... Papa Mama nya... dan perasaan yang beberapa hari ini terus menguntitnya dalam hening di keramaian. Apalah itu.. Shania pun tidak tahu. Dia hanya merasa, kegelisahan yang begitu menguasai hatinya. Sebuah kegelisahan yang timbul tidak hanya dari hasil lamunannya tentang Beby dan lainnya, tapi lebih dari itu.. seperti akan ada sesuatu yang.. entahlah, Shania sendiri sulit menerjemahkannya!

Sesekali terdengar helaan nafas mengalun dari mulut Shania, hingga mereka yang sedang ada di sekelilingnya menyadari tingkah aneh Shania, dan mulai memberondonginya dengan pertanyaan. Tapi dengan santai tanpa beban, dan wajah khasnya yang terkesan datar, Shania bisa dengan ringannya menjawab setiap pertanyaan yang diajukan teman-temannya.

"Eh ya, Shan? Kabar Beby gimana?"
Pertanyaan lain dari Gaby, setelah pertanyaan herannya yang bisa dengan mulus Shania jawab.

Shania melihat Gaby dan yang lainnya, meskipun dia tidak pernah bercerita pada mereka tentang dia yang sudah dekat lagi dengan Beby. Bukan berarti teman-temannya itu tidak tahu.
"...Beby... Diaaa, ya gitulah, Gab! Kita berdoa saja, semoga dia bisa sembuh dari sakitnya!" Jawab Shania. dapat 'Amin' dari yang lainnya.

"Kapan Beby masuk lagi sekolah?... Gue pengen minta maaf sama dia!" Noella ikut bicara setelah Gaby diam.
"Gue gak tahu, Well! kondisinya... mungkin akan mempersulit dia untuk bisa kembali beraktifitas disekolah!!"
"Gue gak pernah menyangka! Beby yang sekilas gue lihat, seperti kita. Gak tahunya. Bisa begitu rapi menyembunyikan sakit kerasnya! Gue bener-bener nyesel, udah bertingkah seenaknya. Bukan cuma sama Beby aja sih, tapi murid lainnya juga!!" Sesal Noella dalam ucapannya.

"Gue juga u.u" Vanka ikut-ikutan, "Mana sampai hari ini aja, gue masih selalu kepikiran buat ngerjain teman-teman! Padahal kan, kita udahan, gak gitu-gitu lagi!!"
"Euhhh! Itu mah, emang lu nya aja yang gak ada niat berubah, Vanka!!" Gemes Gaby melihat Vanka.
"Berubah kan butuh waktu, Gab! " hero-hero di tivi aja, pada butuh waktu kan? Kalo mereka mau berubah!" Jayus Vanka, dapat delikan dari Gaby.

"Udah dong, ahh! Kita lagi serius nih!!"
Noella kembali bicara. Hanya Ochi yang sedari tadi diam membisu. Sementara Octy.. seperti biasa, ikut yang rame, tinggalin yang sepi .
Gaby dan Vanka langsung diam, setelah mendengar ucapan Noella.

"Terus, pengobatannya gimana, Shan?" Kembali Noella bertanya.
"Ibunya.. *bukan! Kita.. masih dan akan terus berusaha, untuk bisa melihat Beby sembuh, Well! Doain aja, Oke?" Shania tersenyum pada Noella. Noella mengangguk dengan senyum manis dari wajahnya yang terlihat jutek.

"ehmm.. Shan?"
Shania melihat Noella.
"Kira-kira..? Kita boleh gak ya? Pulang sekolah nanti, ikut sama lu buat jenguk Beby!?" Tanya Noella,
Shania senyum dan mengangguk diikuti sebaris kalimat. "Beby pasti senang kedatangan tamu! "
Noella, Gaby, Vanka, melayangkan senyumannya keudara, berisyarat kalau mereka senang dengan apa yang Shania ucapkan.

"Gue gak bisa ikut!" Ochi yang tadi diam, kali ini bicara. Karena Noella membawa 'kita' saat dia bicara pada Shania.
"Loh? Kenapa, Chi? Kan biar rame kalau kita semua yang kesana!" Kata Gaby.
"Gue... emm... Gue udah ada janji, jadi... lain kali aja deh ya!" Jawab Ochi beralasan, dengan senyum sedikit yang dia paksakan.

Shania melihat Ochi, dia merasa ada yang dibuat-dibuat oleh Ochi dalam alasannya.

Perbincangan itu terus mengembang, dari bahasan Beby.. hingga kegiatan di kelas dan kegiatan lain yang melibatkan sekolah. Sampai waktu istirahat pun habis.

Noella, Vanka, Octy dan Gaby, jalan di barisan depan menuju kelas. Sementara itu, Ochi dan Shania dibelakang. Shania melihat kedepan, lalu perlahan.. dia pelankan langkahnya agar ada jarak yang cukup antara dia dan Ochi dengan yang lainnya yang ada di depan. Karena Shania ingin bicara dengan Ochi. Tapi, Ochi yang sepertinya tahu maksud dari Shania. Tidak sama sekali mengimbangi langkah Shania. Dia malah menambah speed langkahnya dan sampai pada Noella, Vanka, Octy dan Gaby yang ada di depan. Hingga membuat Shania mengerung.
'Ada yang salah! Apa yang aku pikirkan... sepertinya benar.kamu terlihat gak suka, aku bisa deket lagi sama sahabat aku! Tapi kenapa?... Kenapa Chi?' pertanyaan yang tadinya ingin Shania ajukan (Kenapa Ochi seperti tidak suka kalau dirinya dekat lagi dengan Beby) akhirnya hanya bisa dia lantunkan dalam hati.


"...Hai Cind?"
Shania menepuk pundak Cindy yang sedang asik memainkan smartphonenya.
Cindy mengangkat kepalanya "Ha...ii,-" Jawabannya menurun karena kaget melihay disisi Shania ternyata ada murid lain yang tidak asing buat Cindy. Si murid-murid pembuat onar.
"Gak usah tegang gitu kali mukanya! Kita gak bakal ngapa-ngapain lu, Kok!!" Ujar Noella yang bisa melihat tatapan Cindy untuk mereka.
Shania tersenyum, "Noella, Vanka, Octy sama Gaby. Mau pada jenguk Beby! "
"Oh? Baa..bagus dong! Beby.. dia pasti senang kedatangan banyak tamu. hehehe!"
Cindy terlihat sedikit kaku didepan Noella dan lainnya yang belum terbiasa dia hadapi dengan sudah ramahnya tingkah mereka.
"Ya udah, berangkat yuk?!" Ajak Shania, dapat anggukan setuju dari yang lainnya.

Sampai dirumah Beby, mereka yang baru pertama kali kerumah Beby. Dapat sambutan hangat dari Mama. Kemudian bertemu dengan Beby yang memancarkan ekspresi tidak percaya dengan apa yang dia lihat, kala bisa menangkap visualisasi orang yang masuk ke kamarnya tidak hanya Shania dan Cindy, tapi menyusul dibelakang mereka berdua ada yang lainnya juga. Beby mengembangkan senyum hingga lesung pipinya terlihat, menyambut mereka yang sudah mau repot menjenguknya.

Awalnya, agak canggung dan saling sapa seadanya. Tapi kemudian, lama-kelamaan saat mereka sudah ada kurang lebih 2jam didalam kamar itu. Obrolan terlihat semakin seru. rasa canggung itupun perlahan tergeser oleh keakraban yang mulai nampak diantara Noella, Vanka, Octy dan Gaby, dengan Beby dan Cindy.

Shania yang melihat dalam diam merasakan senang dan bahagia bisa melihat sahabatnya tersenyum bahkan bisa sampai tertawa, meski hanya suara tawa halus yang terdengar.
'Ternyata... untuk menyenangkan hati seseorang itu, tidaklah perlu dengan hadiah mahal atau apapun yang dibentuk karena uang. Kamu memang baik, Beb! Begitu baik!!'


---
'Cind!'

'Apa?'

'Hari ini, aku gak bisa ke rumah Beby dulu'

'Hah? Kenapa?'
'terus sekarang kamu dimana, Shan?'

'Ada sesuatu yang harus aku lakuin!'
'Aku lagi dipelataran parkir!!'
'Pokoknya... Kasih kabar ya kalau ada apa-apa '

'Ohh, ya udah!'
'Nanti aku kasih tahu Beby!'
'Soalnya.. aku juga gak langsung sekarang ke rumah Beby nya, ada yang harus aku beli dulu!'

'Oleh-oleh buat Beby ya?' tebak Shania,
'Bukann! Aku disuruh sama Mama!!'
'Lagian kalo buat Beby mah, entar aja dari kamu oleh-olehnya.. '

'Lah -_-a Kok dari aku, kan aku mah gak bisa ke rumah Beby!'

'.. Iyaaa, gak usah di kasih sekarang! Kan kamu baru mau pergi, gak tahu mau kemana!'
'Pasti ada oleh-oleh nya dong '

Shania masih terus mengirimi Cindy, Chat. Dia tersenyum tipis saat melihat Chat terakhir Cindy tentang oleh-oleh.
'Yaa.. aku emang bakal bawa oleh-oleh buat Beby!' Bisik hati Shania. Dia sudah merencanakan sesuatu yang tidak satu orangpun tahu.

'Yaaa.. gitu deh! Liat aja entar.'
'Udah dulu ya, aku udah siap pergi!'

'Ya udah! Hati-hati!!'
''

Selesai ber-Chating ria selama beberapa menit. Shania sampai di dekat mobilnya. Meluncur meninggalkan sekolah dengan senyum mengembang.
'Semoga ini... yang terbaik buat kita semua :'-), Bantu aku Tuhan!' Doa Shania, dalam hati.


"Ochi..?"
Beby membukakan pintu rumah yang tadi mengeluarkan suara penanda ada seseorang yang ingin masuk.

Beby sedang sendiri dirumah, Mama ke supermarket dulu. Mama pergi diwaktu yang sudah Mama perkirakan akan datangnya Cindy dan Shania seperti hari-hari yang sudah lewat, jadi.. meskipun Mama pergi, tak lamapun Cindy dan Shania akan datang menemani Beby. Tapi, ternyata perkiraan Mama melenceng. Shania tidak datang, dan Cindy telat datangnya. Mama pikir, Beby sekarang sudah ada yang menemani dirumah. Padahal Tidak.

Ochi diam sejenak melihat Beby yang duduk di kursi roda. Tatapan yang diperlihatkan Ochi pada Beby, begitu dingin dan sepertinya siap melakukan sesuatu pada Beby, yang dia benci. Benci karena Beby kembali dekat dengan Shania. Benci karena Beby dapat perhatian sebegitu Wah nya, bahkan dari orang-orang yang dulu sempat mengerjainya. Benci dengan sosok Beby yang dimata Ochi begitu sempurna kebahagiaan dalam hidupnya. Ochi... membenci Beby karena dia pikir, kehidupan Beby begitu sempurna! berbanding terbalik dan begitu jauh dengan kehidupannya sendiri.

Beby bingung, harus mengucapkan apa pada Ochi yang sedari tadi setelah pintu terbuka, Ochi masih diam memaku dengan tatapan yang bisa Beby rasakan (Tatapan marah).

Baru Beby akan buka mulut untuk bicara, tidak tahunya, Ochi mendahului. Bukan dengan kalimat hasil rangkaian kata, namun dengan tindakan. Ochi melangkah kebelakang kursi roda Beby, dia turunkan tawas di sebelah kiri tangan kursi roda, kemudian mendorongnya.
"Ochi? Kamu mau ngapain? Kamu mau bawa aku kemana?" Beby cukup panik, tapi dia coba tekan rasa paniknya.
Ochi belum menjawab.
"Ochi? Chi!? Kamu mau bawa aku kemana?" Kembali Beby mengeluarkan tanya.

"Gue benci sama lu!" Ucap Ochi. Beby yang mendengar merasakan ada kesakitan disuara itu.
"Kenapa lu harus muncul lagi! Kenapa lu gak diam aja di sana (Jogja!)?" Lanjutnya masih dengan posisi mendorong kursi roda Beby yang entah akan dia bawa kemana.

"Maksud kamu apa? Apa kesalahanku?"
"Lu mau tahu? Apa kesalahan yang udah lu bikin, sampai gue benci dan jijik sama lu?" Beby mengerung,
"Lu yang udah menjadikan sakit lu ini sebagai pemikat perhatian mereka! Buat gue itu menjijikan, lu mau dapat perhatian dari mereka semua dengan cara seperti ini! Sok tidak berdaya, seakan-akan lu bakal mati besok. Padahal itu cuma trik lu aja kan!!?"

Ochi sedang dikuasai amarah, yang sudah dari beberapa minggu ini dia pendam. Minggu semenjak, Shania kembali dekat dengan Beby. Semenjak teman-temannya berubah karena mendengar kondisi Beby yang mereka takutkan. Semenjak Beby... datang di kehidupannya sebagai pengacau! (Opini Ochi pribadi).

"Aku tidak pernah berpikir seperti itu... untuk apa, aku memikat perhatian orang-orang dengan sakit separah ini?"
"Diamlah! Gue gak mau denger suara lu!!" Kasar Ochi.
"Kalau kamu gak mau dengar suara aku? Terus kenapa kamu mau mendorong kursi roda yang diatasnya lagi duduk orang yang kamu benci!" Serang Beby, lewat kata.
"Karena ada yang mau gue lakuin! Kalo kebahagiaan bisa gue rasain, dengan mengorbankan seseorang. Maka, Gue gak akan berpikir ribuan kali untuk melakukan pengorbanan itu, agar gue bisa bahagia!"
Beby tercengang mendengar ucapan Ochi.
"Dan seseorang dalam pengorbanan itu, adalah.. LU! Lu udah merebut kebahagiaan gue, menarik mereka yang sudah menganggap keberadaan gue. Membawa mereka menjauh dari gue,... gue yang tidak pernah ada seorangpun menggubris atau bahkan menoleh keberadaan gue. Hingga gue harus memasang dua tampang, penutup kelemahan dan ketidakberdayaan yang selalu terasing dan diasingkan!! Gue yang... tidak pernah diberikan kebahagiaan oleh Tuhan. Tuhan, yang... tidak pernah ada buat gue!!!"

Beby yang emosinya sempat sedikit meningkat, dan ingin melepaskan diri dari Ochi. Malah menjadi iba pada apa yang diucapkan Ochi.

Ochi masih mendorong kursi roda itu kearah taman yang jalannya menanjak. Setelah sampai di ujung jalan yang menanjak itu, rencana emosi Ochi.. dia akan mendorong kursi roda yang diduduki Beby, dan membiarkan Beby jatuh dengan kursi rodanya! (Saat Shania, Noella, Vanka, Gaby dan Octy main kerumah Beby. Diam-diam, Ochi yang tidak ikut gabung ternyata mengikuti dan membuat rencana sadisnya untuk Beby yang dia anggap perebut kebahagiaannya.)

"Kalau... apa yang baru saja kamu bilang, bisa benar-benar membuat kamu menemukan dan merasakan kebahagiaan.." Beby diam sejenak. Rasa sakit itu.. perlahan kembali memaksa tubuhnya untuk bereaksi dalam kesakitan yang menyiksa.
"...Doronglah... kursi roda ini.. dengan kekuatan penuh yang kamu miliki! Lepaskanlah emosi kebenciaan kamu, saat kamu mendorong kursi roda ini. Biarkan amarah kamu... terjun dengan iringan jatuhnya aku, biar kebahagiaan kamu.. bisa kembali kamu rasakan!!"

Ochi kaget mendengar ucapan Beby.
"Gak usah sok baik, lu! Gue muak sama lu!! Apa lu tahu itu?" Ochi menekan suara emosinya.
"Aku... gak pernah mau... jadi orang yang... sok baik. Karena aku... gak akan dapetin apapun!!". . . "Kamu tahu? Sejauh apapun.. kamu merasakan jauh dari Tuhan! Dia tidak pernah jauh, Dia tidak pernah melepaskan tatapan-Nya, bahkan genggaman-Nya, dari kita. Sekalipun kita... melupakan keberadaan-Nya. Dan menghakimi Dia dengan segala tudingan yang menyudutkan. Tuhan tidak pernah jauh... Dia selalu ada, untuk siapapun. Termasuk kamu.. Chi!"

Dorongan yang tadi terasa semangat, menjadi pelan. Suara alunan dari orang lemah yang akan dia korbankan karena kebencian, masih bisa masuk dalam hatinya. Seperti terjun dari ketinggian, helaan nafas begitu terasa senyap didada. Kalimat itu begitu terasa senyap, menusuk halus membuat kabut kebencian sedikit tersapu.


"Hallo?" Ve mengangkat telpon dari Shania,
"Halo, Kak! Kak Ve dimana?" Tanya Shania diujung telpon.
"Kakak lagi di kampus, Dek. Kenapa?"
"Ohh.. emhh, gak apa-apa, Kak! Shania kira Kakak lagi di rumah, ya udah deh, Shania pulang naik taksi aja!" Jelas Shania.
"Naik taksi? Bukannya tadi kamu pergi bawa mobil?" Heran Ve, yang masih ingat betul kalau saat berangkat tadi, Shania berangkat membawa mobil sendirian, tanpa di supiri.
"Ceritanya panjang, Kak! entar aja deh di rumah, Shania ceritain!!" Balas Shania, semakin membuat Ve mengerutkan keningnya.
"Kamu dirumah Beby, kan?" Ve coba menebak lokasi Shania.
"Emmnggak! Shania gak ke rumah Beby!!"
"Loh? Terus? Sekarang kamu dimana?" Kaget Ve.
"Shania..." Menghentikan suaranya sebentar untuk menyetop taksi yang lewat didepannya.
Ve masih menunggu jawaban dari Shania. Dia sedang berada di halaman kampus, menunggu jam kuliah berikutnya.
"... (Sudah masuk taksi, menyebutkan lokasi tujuan dan duduk manis), Shania... abis jual mobil, Kak!" Lanjut Shania pada ucapan yang sempat terpotong.
"HAH!? Kamu bilang? Juuual mobil? Kamu lagi bercanda?" Kaget Ve, mendengar ucapan Shania yang nyaris tanpa beban.
Shania, yang ada diujung telpon hanya melengkungkan senyum.
"Kakak gak salah dengar kan, Dek?" Ve masih tidak percaya.
"Enggak! Apa yang tadi Shania ucapkan, itu beneran, Kak! Seriusss.. Transaksinya udah selesai lagi!!" Jawabnya santai.

Dari rasa kaget, berubah jadi haru. Ve tahu pasti apa alasan Shania menjual mobil yang diberikan Papa pada saat mereka pindah ke Jakarta. Untuk Beby!

"Kenapa kamu gak bilang sama Kakak?" Tanya Ve dengan tone sudah biasa, tidak kaget.
"Kalau Shania bilang-bilang dulu, pasti akan ada portal! Shania tahu Kakak.. misalnya Shania bilang 'Kak, Shania mau jual mobil, untuk bla.. bla.. bla..' Kakak pasti akan kaget, terus.. ngasih masukan yang sudah pasti melibatkan Papa! Karena pemilik mobil itu kan Papa!!" Panjang lebar Shania menjawab. "Dan endingnya... Shania harus kembali berpikir untuk menemukan jalan lain lagi, demi uang itu!"

"Dasar! Anak kecil sok tahu!!" Sahut Ve, diiringi tawa halus yang bisa Shania dengar.
"Eh? Shania tuh gak sok tahu, tapi emang udah pastinya bakal kayak gitu kan?"
"Kata siapa? Kamu.. bilang aja enggak, malah sok bikin tebakan jawaban lagi!" Protes Ve, Shania hanya menyunggingkan senyum manisnya. "Kalau tahu kamu mau ada rencana jual mobil. Mending jual mobil punya Kakak aja. Harganya udah pasti diatas harga mobil kamu! Jadi... kita dapetin uangnya, ada lebihnya. Buat biaya lain-lain kalau Tante Ana sama Beby butuh!!" . . . "Soal Papa... Kakak gak mau perduliin itu! Kamu salah. Papa bukan pemilik mobil. Lihat aja di STNK sama BPKB nya? Nama kamu.. sama Kakak, iya kan?" Shania mengangguk diikuti senyum haru. "Kalaupun nantinya Papa mau marahin tindakan kita. Kakak gak akan takut! Karena yang kita lakukan, adalah hal yang benar. Dan karena mobil kamu yang udah gak ada, kalau misalnya nanti Papa marah. Kakak gak akan biarin Papa marah sama kamu aja!"
Shania tersentuh dengan ucapan Kakaknya, dia jadi tercengang sendiri didalam taksi.

"Halo..? Dek! Kamu masih disana? Haaaaloo..?" Ve tidak mendengar suara Shania.
"I...iyaaa! Shania masih disini!!"
"Kenapa diam?"
"Memikirkan kebodohan Shania, yang gak diskusiin ini sama Kakak!" Jawab Shania dengan suara agak berat.
"Gak usah berpikir lagi. Mobilnya udah jadi uang kan? Apa yang kamu lakukan, bukan kebodohan kok. Tapi itu... keperduliaan. Kamu begitu serius ingin menolong Beby, Kakak yakin.. Tuhan juga pasti serius menuliskan semuanya buat kamu sama Beby. Buat kita semua!" . . .
"...Makasih ya Kak, udah mau dukung Shania! :'-)"
"Kita ini saudara! Adanya kamu sebagai adik, dan Kak Ve sebagai Kakak, itu untuk saling mendukung!! Iya kan?"
"Iya! Dan Kak Ve.. Kakak terhebat buat Shania! :'-) Kalau Shania bisa lihat Kakak sekarang, Shania pasti udah meluk Kakak!... hmmm Shania jadi pengen peluk Kakak!!" Ve tersenyum mendengar suara manja adiknya itu.
"Dan Kakak... gak akan pernah lepasin pelukan Kakak sama kamu !"
"Tuh kan... jadi tambah pengen! Shania masih mau terus dipeluk sama Kakak!" Ucapan itu terdengar aneh buat Ve. Shania tidak biasanya bicara seperti itu. Seperti... dia tidak akan lagi bertemu dengan Kakaknya, atau seperti.. mereka akan berada di tempat berbeda dengan jarak yang cukup jauh.
"Iyaaa... Dedek! Cepetan pulang, entar kita ketemu dirumah ya?" Shania tidak menjawab 'iya' dia hanya menyunggingkan senyum.


"Heeeeh? Kok pintu rumah Beby kebuka sih!?"
Heran Cindy yang baru datang. Dia telat satu jam dari yang seharusnya.
"Selamat siang... Tante, Cindy masuk ya?"
Cindy mengucapkan permisi sambil celingukan kedalam.
"Tante..?" Tidak terdengar sahutan.
"Kok sepi sih? Tapi... pintunya kenapa gak dikunci, mana kebuka lagi?"

Tidak ada juga suara dari Mama, Cindy langsung berinisiatif pergi ke kamarnya Beby. Saat pintu kamar terbuka, Cindy heran, karena Beby tidak ada di kamar. Dia berpikir, Beby mungkin sedang dibelakang dengan Mama nya. Cindy pun kebelakang. Tapi lagi-lagi, dia tidak mendapati sosok Beby, ataupun Mamanya.
"Perasaan aku kenapa jadi gak enak gini!" bisik Cindy. Saat dia akan kembali ke ruang keluarga, dia dikagetkan dengan suara Tante Ana yang baru saja masuk.

"Tante... Tante baru pulang ya?" Tanya Cindy,
"Iya, Tante abis belanja buat kebutuhan Beby! Bebynya mana? Dia lagi tidur ya?" Jawab Mama diakhiri tanya.
"Tidur? Bukannya... Beby pergi sama Tante?"
Mama yang sedang menata apa yang tadi di beli, berhenti.
"Pergi sama Tante? Enggak, Tante pergi sendirian. Beby Tante tinggal, karena Tante pikir, tidak lama juga.. kamu sama Shania akan datang!"
Jawaban Mama membuat Cindy terbelalak.
"Tapi... Beby... Beby nya..." Suara Cindy jadi terbata. Dan itu membuat Mama bertanya.
"Beby kenapa?"
"Beby... dia gak ada di kamar Tante!"
"Apa? Bukannya kamu sama Shania,-"
"Cindy baru datang, dan Shania.. dia gak bisa kesini!" Cindy jadi memotong ucapan Mama. "Kalau Beby gak pergi sama Tante, terus dia kemana? Kursi rodanya juga gak ada, Tante!!" Panik Cindy. Mama jadi ikutan panik.

Mama berjalan cepat kearah kamar Beby. Untuk memastikan kalau Beby memang seperti apa yang dikatan Cindy (tidak ada di kamar). Dan memang benar apa yang Cindy katakan.

"Tadi pas waktu Cindy dateng, pintu rumah udah kebuka Tante!" Ucapan Cindy semakin membuat Mama panik.

Mama keluar rumah, mengitarkan pandangan kehalaman. Siapa tahu Beby memang keluar sendiri untuk menikmati udara luar. Tapi, sejauh mata memandang.. Tidak ada sosok Beby yang tertangkap oleh penglihatan.
"Beby... kamu dimana, Nak?" Mama menangis, ketakutan mulai merasuki tubuhnya.

Kondisi Beby saat Mama tinggal ke supermarket, terlihat tidak begitu menghawatirkan seperti beberapa hari sebelumnya. Itu kenapa Mama berani meinggalkan Beby sendiri di rumah.

Tanpa ada komando dari Mama, Cindy melakukan contact phone ke Melody. Suara sambungan diall itu perlahan terdengar, masih belum berubah nada hingga, beberapa detik berikutnya... Klik!
"Hal,-"
"Halo Bu? Bu, Ibu lagi sama Beby, Gak?"
Cindy memotong suara Melody.
Melody heran, "Enggak! Beby gak sama Ibu? Kenapa kamu tanya seperti itu? Beby kan ada dirumahnya?" Cindy mencoba membentengi rasa paniknya. Dengan cepat dan sedikit blepotan, dia menceritakan pada Melody tentang Beby.
"Apa? Gak mungkin Beby bisa pergi jauh, Cind! Coba kamu cari... ehmm... ke... ketaman! Taman yang ada di belokan blok 4 setelah rumah ke 8. Itu taman yang dulu biasa Ibu sama Beby datangi! Siapa tahu Beby lagi jalan-jalan kesana? Atau.. ketaman mana gitu, yang ada di blok lain!!" Melody berusaha memberi petunjuk.

Komplek tempat tinggal Beby, memang ada beberapa taman di titik blok tertentu. Tidak hanya satu.

"...iii...iiya Bu, Cindy akan cek!"
"Ya udah! Ibu kesana sekarang. Jaga Tante juga ya, Cind!!" Wejang Melody sebelum menutup telponnya.

Sampai ditaman yang di tunjukan Melody, Cindy dan Mama tidak mendapati adanya Beby, yang keberadaannya bisa sangat mencolok mata, karena Beby menggunakan kursi roda.
"Beby... kamu dimana?"
Cindy mengusap-usap kepala bagian belakangnya.
"Maafin Cindy Tante, Cindy harusnya tadi bilang dulu sama Tante, kalau Cindy gak bisa dateng ke rumah seperti sebelumnya!" Cindy merasa bersalah.
"Udahlah sayang, gak perlu bicara seperti itu. Sebaiknya kita cari Beby ke taman lainnya. Siapa tahu dia ada disana!" Mama mencoba untuk tidak panik. Dan beliau pun memang tidak menyalahkan Cindy ataupun Shania.
"Iya, Tante!" Cindy mengangguk, menyetujui saran Mama.

Jalan ketaman kedua... hasilnya sama dengan ditaman pertama, tidak ada Beby disana!

"Beby.. dia gak mungkin pergi sejauh ini sendirian, Cindy!" Ujar Mama menebak.
Cindy setuju dengan yang dikatan Mama.
"Masih ada taman lain, gak Tante?" Tanya Cindy. Mama mencoba mengingat. Cukup lama Mama membuka brankas di otaknya, mencari lokasi taman ketiga yang ada di komplek tempat mereka tinggal.

Lama menunggu jawaban Mama, Cindy pun memutuskan untuk menelpon Shania. Tidak lama Cindy menunggu respon dari Shania.
"Halo, kenap,-"
"Kamu sama Beby gak, Shan?"
Kembali Cindy memotong suara orang yang dia telpon.
"Huh? Iya enggak lah, Cind! Aku kan gak kerumah Beby!! Emangnya kenapa?" Shania mulai heran.
"Itu... ehmmm.. Beby..."
"Beby kenapa?" Shania yang memotong suara Cindy, dari suara heran jadi naik volume ke suara panik. Padahal Cindy belum mengatakan apapun.
"Beby... dia gak ada di rumah, Shania!"
"Apa? Dia sama Tante Ana kali, Cind!"
Shania mencoba menutupi kepanikannya.
Cindy menggeleng tanpa terlihat Shania, "Enggak! Ini aku sama Tante lagi nyari Beby!!"
"Nyari(?)" Shania merasa apa yang sedang terjadi di tempat Cindy sekarang, tentang Beby, begitu serius. "Apa maksud kamu nyari?" Tanya Shania ingin dapat kejelasan.

Cindy akan memulai penjelasan kronologisnya, tapi suara Mama keburu memotong.
"Ada taman terakhir, Cind! Tante ingat dimana tempatnya!!" Dengan cepat setelah bicara pada Cindy, Mama melangkah.
"Nanti aku hubungi lagi, aku sama Tante Ana mau ke taman itu!" Ucap Cindy.
"Jangan! Telponnya jangan kamu tutup. Kamu sebutin lokasi taman yang mau kamu sama Tante datengin, biar aku menyusul kesana!!" Usul Shania. Cindy menyetujui. "Pak.. Pak.. Putar arah, kita ke jalan..." Shania menyebutkan alamat rumah Beby pada supir taksi. Cindy bisa mendengar perintah Shania yang ditujukan pada supir taksi itu.

Dan Cindy, dia tidak mematikan panggilan keluarnya, handphone nya masih dia On diall pada Shania yang sedang berharap cemas.

Belum sampai ditaman ketiga, Cindy sudah bisa melihat dua orang berdiri di pinggir jalan, dekat taman. Satu orang berdiri memegangi kursi roda dari belakang, dan satu orang lagi.. duduk. Meskipun jaraknya masih terpaut 10mtr ran dari tempat Beby dan Ochi berdiri, tapi Cindy bisa sangat yakin kalau yang dilihatnya memang Beby.

Posisi jalan yang menanjak, membuat Cindy yang melihat menjadi bertanya. Kenapa Beby diam ditempat itu? Di jalan yang bisa menggelincirkannya kalau orang yang dibelakangnya itu melepaskan, dengan atau tanpa sengaja tangannya dari memegang kursi roda.

"Itu Beby, Tante!"
Suara Cindy terdengar oleh Shania.
Mama melihat kearah yang ditunjuk Cindy.

"Kamu udah nemuin Beby, Cindy?"
Cindy belum menggubris, dia sedang men-scan orang yang berdiri dibelakang kemudi kursi roda Beby.
"Pak cepetan Pak! Aku harus cepat sampai ketempat itu!!" Shania menyuruh dengan nada suara dia taikan.
"Iiiya.. Mbak, ini juga sudah cepat." Jawab si supir taksi.
"Cindy? Hallo? Cindy? Pckkk..!!". Shania masih merasa belum lega, karena Cindy belum menjawab.

"Beby dengan siapa itu, Cindy?"
Pertanyaan Mama yang sedang Cindy cari jawabannya.
'Siapa yang sedang dengan Beby?'

Cindy maupun Mama, belum ada yang menghampiri Beby. Karena sudah melihat Beby ada di depan mata, Mama jadi bisa sedikit lega, meskipun belum tahu siapa yang sedang berdiri dibelakang kursi roda putrinya.

Cukup lama, Cindy men-scan tampakan jarak jauh itu, hingga akhirnya dia bisa mengenali sosok yang sudah membawa Beby dari rumah, sampai dia dan Mama Beby panik.
"Oochi..."
Suara pelan itu ternyata terdengar oleh Shania. Karena Cindy memang masih menempelkan handphonenya di telinganya.
"Ochi(?), Cindy! Ochi? Kamu menyebutkan nama Ochi barusan!! Apa Beby sama Ochi? Halo Cindy!!?"
Shania kesal karena Cindy tidak juga memberikan tanggapan.

"Kamu kenal.. sama anak itu, Cindy?" Tanya Mama.
Cindy mengangguk, "Cindy... kenal Tante! Dia... Ochi namanya!!" Dengan rasa tidak karuan menyambangi hati Cindy, saat dia menyebutkan nama 'Ochi'.

"Cindyyyyyyyy... Aku masih ada di Line ini! Jawab dong!!" Kesal Shania bukan main. Dan kali ini Cindy dapat memperhatikan kekesalan Shania yang ada diujung telpon. Akhirnya, Cindy menceritakan apa yang dia lihat plus keheranannya pada Shania.


"Mau kamu dorong kursi roda ini, ataupun enggak! Aku akan tetap pergi, Chi! Pergi meninggalkan semua kehidupan aku didunia ini... Tidak ada lagi... yang bisa aku.. lakuin..."
Hidung Beby mengeluarkan darah segar.

"Kenapa harus lu? Kenapa bukan gue!? Apa gue gak pantas buat bahagia?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Ochi.
"Gue rela! Kalau akhir kisah hidup gue, seperti lu... asal gue.. bisa dapetin dan ngerasain kebahagiaan! Bahagianya punya orang tua yang memperhatikan lu. Bahagianya bisa punya saudara yang perduli sama lu. Bahagianya bisa punya sahabat dan teman-teman yang sayang dengan tulus sama lu!! Gue rela, kalau gue... harus bertukar posisi sama lu, untuk dapetin itu!!!" Ochi menangis.

"Kamu.. gak perlu ada di posisi aku, buat... buat dapetin semua itu, Chi! Bukalah hati kamu... lihatlah lebih dalam... tidak ada... satupun orang tua.. yang tidak menyayangi... anaknya!!"
Kepala Beby semakin sakit, tubuhnya mulai bereaksi, berinteraksi dengan rasa sakit di kepalanya.
"Shania... sama lainnya... mereka juga.. pasti... sayang sama kamu.. seperti kamu... sayang sama mereka! Kamu... pantas untuk... bahagiaaa...!!"
Tangis Ochi malah semakin menjadi. Dia merasa ada yang siap menampung tangis yang selama ini hanya bisa dia pendam.

Ochi menjadi merasa bersalah, karena rasa benci yang tidak seharusnya. Dia hampir dituntun emosi, yang pada akhirnya akan membuat seseorang yang sedang dalam kondisi tidak berdaya.. celaka!

Saat Cindy dan Mama yang masih melihat dari jarak itu. Tiba-tiba, mereka melihat dengan jelas, tubuh Beby mengalami kejang-kejang. Ochi yang masih memegang kendali kursi roda, jadi kehilangan kekuatannya karena Beby mengalami kejang, akibat dari rasa sakit yang sudah saling menyatu menyerang Beby dari dalam.

"Bebyyyyyy... " Teriak Mama sambil berlari kearah Beby dan Ochi.

"Cindy ada apa? Beby kenapa?" Shania ikut panik, saat mendengar suara Mama.

Cindy tidak menggubris pertanyaan panik Shania. Dia malah ikutan bersuara lantang dengan sekarang membawa nama Ochi.
"Ochiiiiiii! Jangan lepasin Beby!! Pegang kursi rodanyaaaaaa....!!!" Teriakan Cindy begitu membuat Shania takut, membayangkan visualisasi yang sedang terjadi.

"Cindyy.. arghhh!... Apa yang lagi kamu lakuin, Chi!!?" Shania menangis,
"Pak!! Aku mohonnn.. lebih cepat lagi!!!" Shania kembali memohon pada supir taksi.
Shania merasa kesal pada keadaan yang sedang terjadi. Sampai dia menyalahkan dirinya sendiri.

"Iyaa, Mbak.. ini juga sudah...,- Aaaaaaaahh!!" *bruak#π°=#%$@sreeeeeetttt....*&%$@#+?%..!!!*

Kejadiannya begitu cepat. Supir taksi yang baru saja akan menjawab keinginan Shania, merubah suaranya dengan suara teriakan kaget. Karena dari seberang jalan (Perempatan lampu merah) yang lampu lalulintasnya sedang dalam warna merah, ada sebuah Rover hitam menerobos, dan... menabrak bagian depan taksi yang ditumpangi Shania.

Mobil sedan kecil itu, terseret dan terpental setelah bagian depannya dihantam begitu keras oleh Range Rover yang ukuran dan kekuatan bebannya jauh diatas taksi, ditambah laju Range Rover yang sedang dalam kecepatan tinggi. Benar-benar membuat kondisi taksi yang didalamnya ada dua orang, terlihat mengenaskan. Setelah sebelumnya terseret lalu terpental, taksi itu kini dalam posisi miring, dengan kenampakan cacat parahbpada mobil yang sudah ringsek dan lainnya. Entah bagaimana nasib supir dan penumpang dalam taksi itu. Sementara mobil yang menabraknya, terhenti karena menghantam tiang lampu lalulintas di seberang lainnya. Dan kondisi penumpangnyapun, sepertinya tidak separah seperti yang ada di dalam taksi.

Sehelai kertas yang biasa Ve buka, tiba-tiba terasa tajam, dan saat dia akan membuka halaman yang dicari. Jari telunjuknya malah terkena sabetan kertas tipis yang terlihat rapuh itu, hingga jarinya mengeluarkan darah segar. Meski tidak banyak tapi goresan cukup membuat sakit sesaat.

Orang-orang mulai memadati jalan.. ada yang menghampiri taksi dan beberapa menghampiri range rover. mereka yang melihat taksi, saling berteriak untuk mengeluarkan supir dan penumpang taksi naas itu. Histeris... suara untuk bisa cepat mengeluarkan penumpang semakin terdengar, karena bagian depan taksi memercikan api dan di bagian belakang dari tank, bensin terlihat tumpah.

Shania sadarkan diri sebentar setelah hantaman yang tiba-tiba dia rasa itu membuatnya merasa kejadian itu.. antara ada dan tiada. Samar-samar Shania mendengar teriakan orang-orang.
'Cepat.. kita harus mengeluarkan mereka!'
'Anak itu sadar! Kita harus segera mengeluarkannya!'
Teriakan-teriakan itu seperti morphin yang menyadarkan Shania, akan kejadian sebelum taksi yang dia tumpangi dihantam. Beby! Dia sedikit ingat, teriakan Mama, teriakan Cindy, memanggil Beby dalam ketakutan.

'Beeebyy...' Nafas Shania tersengal, kepala bagian belakangnya mengalami benturan cukup keras hingga mengalirkan darah segar diantara serpihan kaca taksi. Tangan kanannya terjepit oleh seat depan yang jadi terdorong kebelakang. Pipi sebelah kanannya membiru legam, tidak tahu pasti pada bagian mana pipinya terbentur. Dan... Tidak ada yang tahu pasti juga, Shania terluka dibagian mana lagi. Karena yang pasti itu.. kondisi taksi yang... hancur!

Shania masih belum sadar kalau dirinya baru saja mengalami kecelakaan hebat, dan belum ada yang mengevakuasinya.


Sumber : Cemistri Jkt48 | Facebook
Chrome Pointer