CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *15th Chapter*


...PELANGI DALAM SAKURA...
*15th Chapter

"aduhhh Non, Non darimana malam-malam begini!" 

Saat Shania sudah menuruni setiap anak tangga dan melewati ruang keluarga, dia melihat si mbok sedang mencoba memapah Ve yang baru pulang dengan keadaan mabuk berat. Bicara.. entah apa yang dia ucapkan, nyanyi-nyanyi gak jelas, bikin gaduh!

"sini biar si mbok bantu, kita langsung ke kamar ya Non!?"

"ck.... lee..paaa..sssin.... aawas! guue.. gue... bbisa jalannn senn..diri!!"
Ve yang akan ditolong menghempaskan tangan si mbok, dengan diikuti ucapan terbata.
"tapi Non, non mabuk! kalau jatuh gimana!? biar si mbok bantu sampai ke kamar!"
"duhhh... eh! udahhh.. gue bbilang ya! guue bisaa sendiiri!!" ucapnya sambil menunjuk kearah si mbok, tapi karena sedang dalam kondisi mabuk, arah telunjuknya tidak tepat ada di depan wajah si mbok.

Shania masih menatap tingkah Kakaknya dibawah pengaruh alkohol.

"ggue.. sekaarang, seenndiiri! jaadi, gueee ppasti, biisa jalann... ke kamarrr gue sendiriian!!"

Shania yang awalnya tidak ingin memperdulikan tingkah konyol Kakaknya, malah menyeret tubuhnya sendiri untuk menghampiri Ve, saat mendengar ucapan terakhir Ve. Mungkin rasa iba, mulai muncul dan menggerakan hatinya untuk membantu si Kakak yang selalu berusaha mendekat lagi padanya.

"biar Shania yang bawa Kakak ke kamar Mbok!" Shania langsung mengambil posisi di sebelah Ve.
"eeeeehhh... Kammmu Dek! he..he..he" aroma nafasnya sungguh pekat bau alkohol.

Shania jadi seperti melihat dirinya sendiri, kala melihat Kakaknya yang sedang dalam keadaan mabuk.

"kkamuu.. ngapain bantuin Kakakk? Kakak... biisa sendiri kok!"
ucapnya sambil mencoba menghempaskan tangan Shania, tapi Shania yang lebih sadar ketimbang Ve, tidak bisa Ve hempaskan tangannya begitu saja.
"giimanaa? kaloo kita... minumm bareng, Dek? Passttii, seeru deh! hahaa..haa!!"
Ve terus mengeluarkan ucapan dibawah kesadaran normalnya.

Shania mulai berjalan memapah Ve yang ada di sebelahnya.
"Mbok! aku minta air hangat, sama handuk sekalian!!" pintanya pada si Mbok, sebelum akhirnya pergi ke kamar Ve.

"kalauu... kitaa minumm... maasalahh, paststi akan hilang, sepertti debuu yangg ditiup angin.... wusssshhh... hiilang deh! Haaa..hahaa..ha. iiyaa gak, Shan..ia?"

Shania tidak menanggapi setiap ucapan mabuk dari Ve. Dia berpikir, apa yang sedang Ve lakukan pasti karena kekecewaan yang timbul karena sering dia acuhkan.

"Dear God... the only thing.... I ask of you... is to hold her... when I'm not around, ... when I'm much too far away..." suara Ve terbata diselingi cegukan dari alkohol, menyanyikan bait dari lagu yang belakangan ini sering banget dia dengarkan.
"cause... im lonely... and im tired... missing you again... ho.. uoo.. hoo... Dearrr God...."

Hati Shania tersentuh melihat kondisi Ve saat ini, ada gurat rasa bersalah menghantam hatinya melihat Ve sekarang. Padahal.. dulu-dulu juga dia sering melihat Ve dalam keadaan mabuk, tapi sekarang.. tidak tahu kenapa serasa ada yang berbeda dari tingkah Ve. Shania tahu, sedikitnya, ada dari tingkah yang dia perlihatkan pada Ve yang belakangan ini mencoba kembali meraihnya, tapi dia tolak dengan keacuhan dan keangkuhan. Yang membuat Ve akhirnya kembali menyentuh minuman keras yang membuat panas.

Shania juga sebenarnya tidak ingin ada dalam posisi sekarang, tapi.. rasa sakit yang sudah mengebal di hatinya, membuat dia sulit melunak dan menerima lagi Kakaknya. Dia terlalu takut, kalau dia meraih kembali tangan Ve, suatu hari didepan, tiba-tiba Ve menarik kembali tangannya, dan kembali menenggelamkannya dalam kesepian dan kesendirian.

Shania menjatuhkan Ve perlahan keatas tempat tidurnya, dia mencopot sepatu heels yang di pakai Ve.

Saat Shania akan meninggalkan Ve dan bermaksud menyusul si Mbok yang lama membawa apa yang tadi dia pinta. Refleks, Ve memegang pergelangan tangannya, hingga Shania jadi terduduk di sebelah Ve.
"jangann.. tinggalin Kak Ve.. sendirian, Dek! Kakakkk... butuhhh kamu!!"
Shania sedih, mendengar ucapan itu dari Kakaknya yang sedang dalam kondisi dibawah sadar, tapi.. ucapan yang mengalun dibawah kesadaran biasanya adalah ucapan jujur, tanpa rekaan.

"Mama... udah gak cinta... sama Papa.... dia juga... pasti udah gak sayang... samaaa kita..." Shania terus mendengarkan ucapan Ve.
"Mama... Mama kitaaaa.. gak lebih baik dari seorangg Ibu tiri!"
Shania belum mengerti arti kalimat yang meluncur dari mulut Ve.
"Diaaa... pergii sama... laki-laki.... lain (ekspresi Shania kaget), Laki-lakii brengsekk, yang tidakk lebih... tampannn darii Papa! Hahaaa... Mama kitaaa.. bodoh Dek, dia lariii dari Papa... tapi... berpaling sama pria jelek! bodoh kan itu? hahaa.. hahaa.........."

Shania mengerung sambil melihat wajah Kakaknya yang sudah tertidur,
'Jadi... Kak Ve udah tahu soal Mama! sejak kapan?! Apa perubahannya akhir-akhir ini, ada hubungannya dengan tahu nya Kakak tentang kelakuan Mama!?'

si Mbok mengetuk pintu, dia masuk dan memberikan air hangat juga handuk yang tadi diminta Shania.
"makasih ya Mbok!"
"iya Non, apa ada yang lain, yang bisa si Mbok bantu?"
"gak usah Mbok! Biar Shania yang merawat Kak Ve! makasih ya Mbok!"
Si Mbok mengangguk, Shania terdengar halus saat bicara. Dia mulai memasukan handuk kedalam air hangat, dan mengusap-usapkan ke wajah Ve, lalu ke tangan dan kakinya. Dia menggantikan pakaian berbau asap rokok yang menempel di tubuh Kakaknya. Duduk di sebelah Ve, memandang wajah Kakanya yang sedang tertidur begitu damai.

'Maafin Shania Kak, harusnya Shania bilang sama Kakak, soal kelakuan Mama... juga Papa...' mata Shania berair
'karena bukan cuma Mama yang berbuat hal itu, tapi Papa juga! Kakak, juga Aku... kita korbannya Kak,  Shania kangen sama keluarga kecil kita di Jogja! Shania kangen kalian!!' tangis Shania pecah, dia membekap mulutnya, agar suara tangis tak terdengar. Hatinya merasa sangat sakit di sesaki masalah yang tak kunjung menemui titik akhir.

Waktu tidak pernah bisa berkompromi, apa yang kita lakukan detik ini, hanya akan jadi kenangan di detik berikutnya. Tidak ada yang bisa kita rubah dari detik yang sudah kita lewati. Apa yang terjadi dalam waktu yang kita tempuh, hanya akan menyisakan 2 hal... kenangan manis untuk diingat dalam senyum, dan kenangan pahit untuk diingat dalam penyesalan. Manfaatkan waktu yang belum kita lewati, pasrahkan detik yang sudah berlalu, meski penyesalan sempat memburu, biarkan dia hilang bersama pembelajaran yang akan kita terapkan di waktu berikutnya.

---
"gue gak lama disini, Beb! lusa malam, gue udah harus balik, tapi... mendengar cerita lu tentang Shania... gue gak bisa biarin dia benci lebih dalam sama lu. Gue harus bicara dulu sama dia, dia juga harus tahu gimana kondisi lu! lu... kita... gak bisa biarin Shania, benci sama apa yang tidak pernah kita lakuin!! kalo dia mau benci gue, gak masalah buat gue, tapi kalo dia benci sama lu... itu gak bisa gue biarin. Gue gak mau, lu sama dia saling nyakitin, hanya karena salah paham!!"

"udahlah, Chub! aku udah nyaman dengan setiap tatapan dingin yang Shania perlihatkan, dengan gesture bencinya sama aku, dan itu... membuat aku lebih ringan dalam menerima semua kehendak Tuhan! aku gak perlu lihat kesedihan dia karena mengasihani aku, aku yang sedang sekarat!"

Sarapan pagi ini, dibuka dengan obrolan Subhan yang semalam dapat penjelasan dari Beby soal dia satu sekolah dengan Shania, soal Shania yang membenci dirinya juga Beby.

Subhan hanya 4hari di Indonesia, dia tidak ke Jogja tapi langsung ke Jakarta menemui Beby yang sudah dia anggap adik, dan berharap bisa bertemu Shania juga. Selama berlibur, Subhan tinggal di rumah Beby dan karena saat dia datang, Beby sedang di rumah sakit, jadi dia ikut menginap menemani Beby.

"itu salah, Beby! Bukan seperti ini seharusnya, lu tahu... tadinya gue pikir, saat gue liburan kesini.. kita bisa bertemu dalam kebersamaan, bukan seperti sekarang. Gue juga udah hubungin Aji, agar bisa ke Jakarta, meskipun dia akhirnya gak bisa datang, karena masih sibuk sama sekolahnya. Kita cari alamat Shania sama-sama, menghabiskan seharian kita berkenalan sama Jakarta :'-)! hmm.. tapi ternyata itu cuma angan gue, dan lu.. gak pernah bilang dalam setiap chat lu, kalau lu udah ketemu Shania yang malah membenci lu! lu menyembunyikan ini, bukan cuma dari gue atau Aji, tapi dari diri lu sendiri!!"
Subhan menekan suaranya, dia kecewa, kenapa Beby memendam semua ini sendirian?
"lu lagi sakit!... lu gak bisa terus menyiksa diri lu dengan berpura-pura kalau lu baik-baik aja, Beby!! sikap lu yang tidak ingin bikin orang lain khawatir, justru malah membuat... membuat kita nyesal nantinya!. . . pulang sekolah nanti, gue akan temuin Shania, kita selesaikan semuanya hari ini!"

Beby tidak bisa lagi bicara, dia hanya diam mendengar letupan dari ucapan Subhan.


Pagi hari, telah lewat. Sinar mentari yang sudah mulai benderang di musim kemarau ini.. menelusup di setiap celah gorden kamar bercat cream, hingga tusukan cahayanya terasa menyapa kulit putih dari si pemilik kamar yang masih terlelap. Matanya yang tidak sipit, tapi tidak belo juga, terbuka perlahan. Kepalanya yang dia rasa begitu berat, karena kadar alkohol masih menyisakan panas dan tusukan di kepalanya. Membuat, Ve memejamkan matanya merasakan sakit di kepala, hingga beberapa menit lamanya. Dia menarik tubuhnya untuk bangun.

Kaget, saat melihat pakaian yang melekat di tubuhnya bukanlah pakaian yang semalam dia pakai. Ve mencoba mengingat lagi kejadian semalam, saat dia dikuasai minuman.

"kenapa juga, aku mesti kaget! ini pasti kerjaannya si Mbok, yang menggantikan pakaian aku!!"
ucapnya, karena yang dia ingat Si Mboklah yang membukakan pintu rumah.

Saat akan menuruni tempat tidurnya, kembali Ve melihat yang aneh. Kali ini dia melihat roti selai dan segelas susu putih yang masih hangat, diatas meja sebelah tempat tidurnya.
"si Mbok ngapain sih! pake nyiapin sarapan di kamar segala!!" tanyanya,

Ve keluar dari kamarnya, berjalan kemeja makan.

"Non, Non sudah bangun toh?"
"Mbok, minta kompresan air dingin dong! kepala aku sakit nih!!" pintanya menjawab tanya si Mbok.
"iya Non, sebentar!"

"Non Shania, telaten juga ya? ngerawat Non Ve.. "
"huh? Maksud Mbok?"
"itu Non, Non Shania... kan semalam itu, si Non pulang sambil mabuk tuh, ehh.. Non Shania yang keluar dari kamarnya, nyuruh si Mbok buat bawain air hangat sama handuk, terus Non Shania yang bawa Non ke kamar!"
Ve merasa senang, dia mencoba kembali mengingat.
"terus ya... kayaknya Non Shania semalam ndak keluar dari kamar Non Ve deh, Si Mbok soalnya ndak liat! sama tadi, sebelum berangkat.. Non Shania bikin dulu roti isi sama segelas susu, lalu dibawa ke kamar Non, apa Non udah makan sarapan yang dibikin sama Non Shania?"

Ucapan si Mbok belum selesai, Ve sudah berlari kecil menuju kamarnya, dia kegirangan atas apa yang dia dengar dari Mbok tentang ternyata Shania lah yang menggantikan pakaian dan sampai membuatkannya sarapan.
'Kak Ve tahu.. kamu nggak sedingin itu! Kamu juga gak pernah benci sama Kakak, kan? '
Seperti anak kecil yang mendapat kabar kalau dia dapat mainan baru yang disimpan Papa Mamanya di kamar. Senyum Ve begitu, lebar.


"kamu yakin, Gak apa-apa!? muka kamu pucat banget Beby! istirahat nanti, aku antar kamu ke UKS ya? kamu istirahat aja disana, terus nanti pulangnya, aku antar ke rumah sakit! kamu chek up kan hari ini!?"

Pergantian jam pelajaran, membuat Cindy yang tadi sempat menangkap kegelisahan Beby yang sesekali memijat-mijat kepalanya, membuat dia menaruh khawatir. Selain itu, Cindy juga tahu betul jadwal chek-up atau yang lainnya tentang Beby, yang berhubungan dengan sakitnya.

"im oke, Cindy! gak usah berlebihan gitu ahh!! soal ke rumah sakit, nanti aku dianter sama Kak Melody kok" jawab Beby, yang melihat kecemasan diwajah Cindy.
"Lagian... aku udah 2minggu skip sekolah, masa sekarang harus skip pelajaran lagi!?"
"ya kalo kamu sakit, itukan gak apa-apa! gurunya juga pasti ngerti kok!"
"gurunya udah pasti mengerti dan gak akan kenapa-kenapa, tapi aku? aku yang kenapa-kenapa! aku udah banyak banget ketinggalan pelajaran!!"
"ihhh! kamu tuh kalo dibilangin susah ya? keras kepala gituh!"
Beby memasang senyum, "Kalo kepala aku keras, gak mungkin virus ini masuk dan mengacak-acak sistem tubuhku yang lain, Cind!"
"Jayus, tahu gak?!"
"gak apa-apa jayus juga, yang penting aku bisa bikin kamu gak terlalu khawatir sama aku! "

Pengajar datang... dia datang bukannya langsung memberikan materi, ternyata malah memberikan pengumuman, kalau selepas jam pelajaran di jam ini selesai, maka murid-murid di perbolehkan pulang, karena para guru akan mengadakan meeting bersama dengan guru dari sekolah lain.

"hahaa.. lihatkan, ini kehendak Tuhan namanya! Aku nyaranin kamu buat istirahat di UKS, ternyata Tuhan malah ngasih rumah buat kamu istirahat, karena kita akan pulang cepatttt!" girang Cindy,
"iya dehh.. suster Cindy, aku kalah!"
"bagus.. nanti pulang, aku anterin kamu kerumah, oke , entar abis makan siang, langsung tancap ke rumah sakit deh! "
"siapp suster, apapun ucapan mu, aku turutin deh!"
Cindy terlihat senang,

Mereka berdua duduk tegap mendengarkan setiap penjelasan dari guru.


Beby dan Cindy berjalan keluar kelas, menyusuri setiap koridor menuju gerbang, ditemani obrolan kecil. Tanpa Beby sadari ada seseorang yang sedang memperhatikannya, perhatian yang masih dalam tatapan rumit. Ingin menyelesaikan apa yang membuat hatinya membenci, tapi tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan sesuatu yang entah darimana mula nya itu.

Ketukan dalam hati... selalu keras berbicara, kalau dirinya harus menghampiri Beby dan kembali menata setiap bahasa yang terucap dulu, agar terdengar lebih baik. Memperbaiki kembali jalinan yang sedang rusak karena kekalutan, ketakutan dan ketidaktahuan, tapi Shania bingung.. bagaimana cara dia memulai? Kalau dia menghampiri Beby, dan mengambilnya dari Cindy? apa yang akan di katakan murid lainnya? Kalau dia meminta baik-baik? apa tidak keenakan untuk Beby nya?! terus... apa? bagaimana dia memulai untuk mengklarifikasi?!

Shania sudah bisa sedikit membenahi hatinya untuk Kakaknya yang dia acuhkan dalam perubahan sikapnya, dan hari ini.. mungkin akan ada perubahan nyata antara dia dan sang Kakak yang semalam mengucapkan hal yang selama ini dia pendam sendiri. Namun, hatinya yang masih rumit untuk Beby, sedang coba dia tata, mengingat setiap status yang kemarin malam sempat dia stalk. Karena Shania merasa... ada yang salah dalam langkahnya membenci Beby.

"mau kemana, Shan?"
Gaby melihat Shania bergerak kearah lain, bukan kedepan untuk ke gerbang.
"ada yang harus gue selesain!"
jawabnya sambil bersiap berjalan, kearah koridor sebrang tempat kelas Science berderet.
"perlu ditemenin gak?" kata Gaby menawarkan.
"enggak! gak usah, gue bisa sendiri!" jawabnya,
"ya udah! gue pulang duluan ya?"
Shania hanya mengangguk, setelah Gaby jalan, diapun ikut jalan di jalur yang tadi dia pilih.

Saat langkahnya semakin dekat pada Beby, tidak tahunya ada Melody menghampiri Beby dan Cindy. Entahlah apa yang sedang Melody ucapkan pada mereka, yang memasang senyum dan diikuti anggukan setelah Melody selesai bicara.

Niat awal pun jadi urung. Shania hanya bisa memaku ditempatnya kini, melihat kepergian Beby dan juga Cindy, yang terlihat begitu akrab.

"Shania?"
Shania menoleh, pada yang memanggilnya.
"kamu ngapain diam disana?"
tanya Melody yang tadi sempat melihat Shania mengikuti langkah Beby dan Cindy dengan matanya.
"...nggak apa-apa, Bu! Aku permisi dulu!!" jawabnya sambil pamit.

Melody yang bisa menebak pada apa yang dilihat Shania, tidak mempersilahkan secara langsung untuk Shania pergi saat dia berkata 'permisi'. Melody malah mengajukan pertanyaan.
"bisa Ibu bicara sebentar sama kamu?"
tanyanya sambil meminta.
"Ibu.. bukannya ada meeting?"
"meeting nya masih setengah jam lagi! kita duduk dulu... disana?:-)" jawab Melody, begitu hangat.
Dia berhasil membuat Shania duduk di sebelahnya, mereka berdua duduk di sebuah bangku yang pemandangannya kolam air mancur berbentuk lingkaran berukuran tidak terlalu besar.

Shania diam, karena Melody juga diam. Hingga Melody... bicara, menguntai kalimat untuk Shania!

"saat kesakitan mendatangi kehidupan nyaman yang sedang kita jalani, kita pasti marah sama Tuhan! Kenapa Dia melakukan itu sama kita? Apa... kesalahan kita? apa yang sudah kita perbuat? hingga Tuhan membiarkan kita merasakan sakit itu!?"
Shania diam mendengarkan alunan suara Melody yang meskipun tidak begitu dia pahami, tapi Shania merasa sesuatu yang menenangkan dalam ucapan seseorang yang pernah menjadi wali kelas nya dulu.

"Tapi kamu tahu? rasa sakit yang kita dapat dalam setiap perjalan hidup, itu bukan kutukan, atau rasa marah Tuhan sama kita! rasa sakit yang dititipkan itu... sebuah alat yang bisa mendekatkan kita, menjadi lebih dekat sama Tuhan. kalau kita bisa mengatasi rasa sakit dari luka yang di goreskan seseorang, tanpa kita sadari... kita naik satu tingkat menjadi lebih dewasa. Berpikir tentang bagaimana cara sembuh dari luka itu? Bagaimana mengatasi sakit itu? dan perjalanan yang sempat tersendat karena sakit pun, akan menjadi lapang, juga membuat kita bisa memaknai setiap jalan yang sedang ditempuh! (Shania melamun, mencoba memaknai ucapan Melody)... Seseorang yang hidup tanpa goresan luka yang menyakitkan, tidak akan pernah tahu.. bagaimana indahnya kehidupan yang Tuhan titipkan sama kita!!"

"sakit dari luka itu... tidak berhak mengambil senyum kamu, dia juga tidak berhak membuat air mata kamu kering, karena sakit itu mengebal di diri kamu! Senyum dan tangis adalah 2hal yang bersebrangan, tapi saling menyatu. Mewarnai hari yang kamu lewati, menunjukan bagaimana itu hidup dan kehidupan!"

Shania merasakan tenggorokannya sakit, saat mendengar ucapan Melody yang ini... dia merasa, seperti itulah kehidupan yang sedang dia jalani. Senyum yang sudah tidak nampak, tangis yang tidak pernah keluar. Luka yang semakin menganga, tanpa tahu bagimana cara mengobatinya.

"kamu berhak sembuh! Kamu pasti bisa mengalahkan sakit dari luka yang sudah mereka goreskan!!"

Shania menggerakan kepalanya kearah samping kanan, tempat Melody duduk.
"Tapi tidak semudah Ibu bicara! luka dan sakit ini... terlalu lama aku rasakan, sampai aku tidak tahu, bagaimana cara mengobatinya!!"
Shania mulai nge-blend dengan ucapan Melody. Dia tahu ucapan dari Melody itu untuknya.

"kalau setiap luka dan sakit, bisa dengan mudah setiap orang obati! Maka tidak akan pernah ada yang bisa memaknai rasa itu lebih dalam!! Ibu tahu, kamu pasti bisa melewati dan mengobati rasa sakit yang membelenggu kamu, kamu.. dan keluarga kamu, kamu.. dan bekas sahabat kamu!!"
Shania tercekat saat mendengar ucapan Melody.
"maksud Ibu apa?" tanya Shania sekedar memastikan.
"Ibu memang tidak tahu terlalu dalam tentang permasalahan yang membuat kamu berubah seperti sekarang ini. Tapi yang ibu tahu dan sangat Tahu, Shania sekarang bukanlah Shania yang dulu pernah menjadi salah satu murid favorit Ibu  kamu anak yang ceria meski teman-teman di sekitar kamu sepertinya tidak memperdulikan keberadaan kamu. Kamu anak yang baik dan begitu santun terhadap guru maupun muid lain disini, meski mereka terkesan merendahkan kamu yang hanya seorang gadis dari sudut Jogja. Kamu sendiri di sekolah ini, tapi kamu tidak pernah kesepian, karena diujung telpon itu ada yang sering kamu ajak bicara yang bisa membuat kamu tetap tersenyum manis, meski murid lain terus mengusik kamu. Kamu... bukanlah anak arogan yang sombong, yang sukanya menindas murid lain! Ibu tahu, itu hanyalah pelampiasan dari ketidak tahuan kamu tentang sakit yang semakin hari semakin membuat kamu terluka!!"
Ucapan Melody berhasil membuat Shania termenung dan me-rewind sikap-sikapnya dulu hingga sekarang. Sampai Shania bertanya dalam hati
'sedalam inikah Melody tahu tentang sikap nya?, Wali kelas yang dia pikir tidak pernah memperhatikan tingkah dan atau dirinya langsung, ternyata diam-diam tahu tentang dirinya.'

"Tatalah kembali hati kamu! . . . anak baik itu... gak akan pernah bisa jadi jahat! keadaan semenghimpit apapun pasti bisa di lewati asal tidak menyerah sama keadaan itu. Jangan biarkan keadaan yang sudah rumit mengendalikan hati kamu, lawanlah... jadilah pengendali keadaan, bukan dikendalikan keadaan!! "
Shania merenungkan ucapan Melody,
'yaa.. menata hati, mengembalikan semua yang sudah keluar dari jalurnya!' bisiknya memantapkan hati, untuk memperbaiki hubungan dengan Kakaknya melawan orang tuanya yang sudah salah mengambil jalur, untuk memperbaiki hubungannya dengan sahabat yang sedang dalam kondisi parah, dalam sakit yang bisa kapan saja membawa dia jauh dari dirinya.

Sebelum Melody berdiri untuk meninggalkan Shania, tahunya Shania mengunci langkah Melody dengan ucapannya.
"Bu!?"
"ya?"
"emm.. apa boleh, aku tahu? gimana kabar tante Ana, sama.... Beby!?" tanyanya dengan melihat pada Melody.
"cuma mau tahu kabarnya aja? bukankah kamu sudah tahu kabar tante Ana, sama Beby..?!" kata Melody, membuat Shania yang menatapnya menjadi memainkan bola matanya, mencari jawaban atas pertanyaan balik Melody.

"...ya udah! kalau Ibu tidak mau memberi tahu!" jawaban Shania mematahkan pertanyaan balik Melody.
"bukan tidak mau memberi tahu! Tapi bukankah, sebaiknya kamu datang langsung ke rumah Beby? Agar setiap tanya dari kekalutan itu.. bisa mendapat jawaban hingga kamu tahu, apa yang harusnya kamu lakukan!"
Shania membayangkan, bagaimana jika dia datang ke rumahnya Beby? Tapi, berpikir ulang... kalau di rumah itu ada Subhan? dan dia kembali melihat apa yang waktu itu masih abu-abu, namun langsung jadi hitam dimatanya!?
"seperti Beby... yang dulu, dengan masih malu nya. Dia datang kerumah Ibu, meminta alamat rumah kamu, karena ada pertanyaan yang dia butuhkan jawabannya!"
"Beby? Dia pernah ke rumah..?"
"iya! Waktu itu... Ibu menawarkan untuk mengantarnya ke rumah kamu, tapi dia menolak dengan membohongi Ibu. Mungkin karena dia, menginginkan kejelasan dari perubahan sikap kamu yang jauh dari apa yang selama ini dia lihat dan rasakan, tanpa ada campur tangan siapapun!!"

"Dan ternyata... besoknya dia berhasil mendapat jawaban itu, meski tidak dirumah kamu! Kebencian yang kamu tatapkan padanya, kekesalan yang kamu tunjukan dihadapannya, kemarahan, kekecewaan atas penghianatan dan semua hal.. yang tidak dia ketahui awalnya, yang tahu-tahu sudah memburuk!"
Shania ingat saat dia bertemu Beby di toilet dekat kantin sekolah.
"pertanyaan dalam hati, tidak akan pernah terjawab, Shania. Jika kamu hanya menerka jawabannya. Apalagi... jika kamu hanya mengandalkan penglihatan dan pendengaran dari orang lain, dengan jarak yang cukup jauh! jawaban itu akan terlihat abu-abu! Kamu tidak akan pernah mendapat jawaban yang putih kalau pandangan dan pendengaran kamu tidak kamu pakai secara maksimal!!"

Shania lagi-lagi hanya diam termangu atas ucapan yang digelontorkan mulut Melody.
'salahkah kebencian yang aku tanamkan untuk Beby?' tanyanya pada hati.

"...Ibu harus segera keruang meeting! ambilah, kalau kamu siap menggunakan pendengaran dan penglihatan kamu secara maksimal!" ujar Melody sambil memberikan sebuah kertas kecil yang sudah berisi alamat tempat tinggal Beby dan Mama nya. (Entah kapan Melody mengisi kertas kecil itu dengan alamat rumah Beby).

Shania menerimanya, dia membaca setiap kata yang terhubung hingga menjadi kalimat sebuah alamat tempat tinggal.

"haruskah? aku melakukan ini, Bu?" ragu Shania yang mulai merasa nyaman dengan Melody.
"cuma kamu yang tahu! Harus... atau Tidak Harus... kamu tahu tentang pertanyaan kamu itu!!" jawab Melody, lalu berjalan meninggalkan Shania sendiria n.

Shania memainkan kertas berisi alamat rumah Beby, dengan menatap kosong kepergian Melody.


"Kamu kenapa, Beby?" tanya Cindy yang duduk di sebelah Beby.
"Kepala aku saakit! hssss... haaahhh, aahhhrrgh--"
Cindy panik, "hah? ehm... Pak, Pak!! langsung kerumah sakit ya!!!" sigapnya dalam ketakutan dan kepanikannya.

Supir pribadi Cindy, yang tadi mengarahkan mobilnya ke rumah Beby, segera memutar kemudi, kearah rumah sakit terdekat yang bisa dia jangkau.

"ehhh... o-obat, obat kamu mana? dimana?"
"...di....di tas aaku!.." jawab Beby menahan sakit,
Saat Cindy akan mengambilkan obat, dia jadi terhenti dan langsung mengangkat wajah Beby yang tadi tertunduk.
"hidung kamu mimisan lagi!" ucapnya, sambil bergerak mengeluarkan tissue dari tasnya.

Beby menggerakan tangan kanannya untuk menutup hidungnya sendiri, tapi tidak lama... dia merasa mual hebat terasa mengoyak perutnya hingga, terbatuk sebentar dan.... Beby muntah, cairan yang keluar dari mulutnya itu berbau, bau pekat obat dan penyakit. Sampai Beby sempat berpikir, dia merasa malu karena sudah mengotori mobil Cindy.

"Ya Tuhan! Beby?"
Cindy sungguh ketakutan, karena untuknya baru kali ini melihat kejadian kompilasi menyerang tubuh Beby, (sakit dikepala menyerang, mimisan, batuk, hingga muntah.)
"(Beby terbatuk).... keluarkann.. aku... *uhuk-uhuk*.. dariii... *uhuk* ... darii mobil kamu.." ucapnya dalam melawan rasa sakit yang teramat sakit dia rasa.
"kamu bicara apa sih!?"
"ini... ini.. bau Cindy, aku *Beby mengadukan gigi atas dan bawahnya, untuk menahan sakit dan mual*.. aku mengotori... mobil kamu..."
"enggak! gak ada yang akan nurunin kamu!! Pak cepetan dong Pak!!" ucapnya diakhiri bentakan pada supirnya.

Cindy mendekati Beby, dia memeluk Beby dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya dia pakai menyeka kan tissue ke hidung Beby, lalu dia ganti dengan lembaran tissue baru dan menyeka mulut Beby. Cindy menitikan air matanya, dia sangat takut, kalau Beby kenapa-kenapa.

"...jangan... lakukan itu.. Ciindy... ini.... menjijikan.." Beby mencoba menolak kebaikan Cindy.
"jangan bicara seperti itu! Diamlah Beby, aku gak jijik, aku mau kamu melawannya. Aku mau bantu kamu melawannya, bertahanlah!"
Cindy tidak sedikitpun melepas Beby yang mencoba mendorongnya dengan kelemahan tenaganya.

Beby yang sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang merasuki tubuhnya... memejamkan mata, dan.... dia tidak sadarkan diri.

"Beby?" Cindy menggerak-gerakan badan Beby. "Beby! Beby...? Beby kamu dengar suara aku kan? Beby!..." Cindy membuang tissue dari tangan kanannya, lalu dia pakai tangan itu untuk memeluk Beby. "Bertahanlah... aku mohon! Pakkk cepetan dong Pak, rumah sakit mana pun!!" suara Cindy dalam tangisnya.


Sampai di depan gerbang, Shania dikejutkan oleh seseorang yang sedang berdiri di depan sekolah nya itu.
"Subhan!" bisiknya, saat tahu siapa yang sedang dia lihat.

Subhan yang masih menunggu dengan memainkan kaki dan matanya, serta tangan yang dia simpan di saku celana jeans. Melihat Shania yang sedang berdiri dan melihat kearahnya. Saling membalas tatapan, hingga Subhan mengeluarkan kedua tangannya dari saku celana. Memandangi Shania yang sudah hampir 2tahun tidak dia lihat.

Subhan melambaikan tangan kanannya kearah Shania, namun... Shania malah bergerak untuk menjauhi Subhan yang sedang berjalan menghampirinya, kontan saja, Subhan yang tadinya jalan, jadi berlari agar bisa cepat sampai dan mencegah kepergian Shania yang memasang tatapan dingin dalam ekspresi wajahnya.
"Shania? Tunggu!" setengah berteriak Subhan memanggil, untuk mencegah kepergian Shania.
Namun Shania tidak menoleh, dia terus berjalan kearah mobilnya yang dia suruh menunggu diluar gerbang.

"Shania!" Subhan berhasil memegang tangan Shania, dan menghentikannya. "Kenapa kamu menghindari aku?" tanya Subhan langsung, tanpa basa-basi.
"Gak ada yang menghindari lu!" tegas Shania menjawab.
"elu? sejak kapan? kenapa nada bicara kamu jadi seperti itu? terus... Kalau kamu gak menghindari?... barusan itu apa?" Subhan belum melepaskan genggamannya ditangan Shania.
"Gue cuma nggak mau, ketemu sama orang yang gak perlu gue temui!" Subhan tercengang mendengar gadis yang ada di depannya bicara seperti itu, "lepasin tangan gue! Dan gak perlu lu bicara, seolah lu tahu siapa gue!!" lanjut Shania, yang pikiran labilnya kembali dirasuki gambaran lalu. Niat untuk menemui Beby pun seketika batal karena dia melihat Subhan.

Perlahan Subhan melepaskan genggamannya,
"Ternyata benar, dugaanku. Kamu berubah... berubah begitu drastis. Sampai aku, tidak tahu siapa yang sedang bicara denganku saat ini! Wajah kamu, masih sama seperti dulu. Tapi tidak dengan ekspresi kamu seperti saat ini, ekspresi yang tidak pernah aku lihat dari kamu yang periang!"
Shania hanya menatapkan tatapan dinginnya.
"Dan Beby... salah! Dia terlalu baik, saat bercerita tentang kamu!"
"Apa maksud lu?" Shania merasa panas, saat mendengar Subhan menyebutkan nama Beby dan diikuti kalimat yang dia rangkai.
"Dia selalu menutupi kedinginan kamu dengan kehangatan ucapannya padaku. Dia menceritakan kebencian kamu sama dia, juga aku, dengan rasa sakit yang dia tahan. Dia terlalu tinggi menilai kamu yang selalu dia sematkan nama kamu dihatinya sebagai sahabat terbaik."
"Kalau Dia benar, dan gue salah! Untuk apa lu disini!? Hah?! Kenapa lu gak temenin aja Dia? Dan gak usah temuin gue, terus bicara seolah lu tahu siapa gue!" sakit Shania mengucapkan kalimat itu.

Penataan hati yang baru saja akan dia mulai, mendapat cobaan dengan dilihatnya sosok yang dia sukai, sekaligus sosok yang dia benci dan membuat dia benci pada sahabatnya sendiri.

"Karena kesalahpahaman ini, tidak seharusnya merubah kamu!"
"kesalah pahaman? Gue gak sebodoh itu, menilai mana kesalah pahaman, dan mana kebenaran yang di sembunyikan!"
"Tidak ada kebenaran yang disembunyikan! Apa yang pernah kamu lihat antara aku dan juga Beby, tidak seperti apa yang mata kamu sampaikan ke hati dan pikiran kamu!... Bicaralah dengan hati kamu, tanya, tanyalah sama diri kamu sendiri, apa mungkin... seorang sahabat seperti Beby, akan menusuk kamu dari belakang? Menghianati kamu seperti apa yang kamu tuduhkan?" Subhan sedikit meledak, dia bisa melihat kebingungan di wajah Shania.
"Untuk apa menjalin persahabatan, kalau hanya karena seorang laki-laki, persahabatan kalian yang indah, kalian rusak, tanpa berpikir lebih panjang!?"
"Lu gak tahu apa-apa tentang gue! Lu gak tahu apapun, tentang gue.. dan Beby!!"
"kamu salah! Aku tahu kamu, aku tahu kisah kalian! Dan itu... yang akhirnya bisa bikin aku... suka sama kamu!!" Shania tertegun, "aku selalu menatap kamu diam-diam, saat kamu sedang menenangkan sahabat kamu, saat kamu sedang memberikannya hiburan gratis, menyapu air matanya dan menggantikannya dengan tawa. Aku selalu menguping kamu diam-diam, saat kamu sedang membagi cerita kamu. Aku! Selalu memperhatikanmu diam-diam, karena aku... tidak punya keberanian untuk melihat atau dilihat sama kamu secara terang-benderang! Aku suka... kesederhanaan kamu, aku suka... keceriaan kamu, aku suka... perhatian kamu sama orang-orang di sekitar kamu, aku suka kamu... kamu yang selalu bisa memberi pelangi dikehidupan orang lain, dan hidupku juga!!" dari suara cukup tinggi, Subhan mengecilkan suaranya, tapi tetap terdengar tegas.

Shania merasa... apa yang sedang diucapkan Subhan padanya, tulus dan apa adanya. Tapi dia tetap bingung dan... terlalu rumit untuknya membiarkan diri sendiri luluh dengan ucapan Subhan.

"Lihatlah! Aku... sama Beby, gak ada apa-apa! Apapun yang dulu pernah kamu lihat, itu hanya kesalah pahaman. Aku sayang sama Beby, sebagai adik, yang harus aku lindungi. Dia hanya punya seorang Ibu, dengan kelemahannya kini, membuat aku semakin sayang sama dia. Aku tidak bisa, melihat kesakitan yang merusak tubuhnya, dia tanggung sendiri, karena dia tidak mau membuat kamu... sahabat terbaik yang begitu dia sayangi, tahu tentang kondisinya, dan membuat kamu cemas, lantas tidak bisa menikmati kehidupan kamu disini!!"

Shania merasakan air matanya mendorong.

"adek-kakak? lu pikir ... gue sebodoh itu, percaya dengan apa yang lu ucapkan? hah!"
"aku gak butuh kamu percaya sama aku, ataupun enggak! Karena apa yang aku bilang, itu kenyataannya. Beby... hanyalah adik buatku, sementara kamu? Kamu, adalah gadis yang aku harapkan bisa jadi seseorang yang tidak hanya bisa sekedar aku lindungi sebagai adik, tapi... lebih dari itu! Aku mau.. kamu jadi penjaga hati aku, dan aku, akan menjadi penjaga untuk hati kamu! ada lebih banyak hal yang ingin aku bagi sama kamu, tidak hanya sebagai teman, sahabat, atau adik. Tapi, sebagai kekasih!!" pernyataan Cinta itu, begitu saja mengalir dari bibir Subhan. Hingga Shania diam termangu.

"Salahku, karena selama aku masih punya kesempatan dekat dengan kamu, aku tidak pernah bisa mengungkapkan apapun! Salahku juga, yang membuat kamu membenci Sahabat kamu! Tak apa, kalau kamu mau membenciku, tapi aku mohon, kembalilah.. jadi kamu yang dulu, kembalilah... pada sahabat kamu, yang kini sangat butuh dukungan dari kamu!! Aku tahu... aku tidak salah jatuh cinta. Jatuh cinta sama seorang gadis Jogja, yang bisa memberikanku pelangi meski aku.. tidak didekat kamu! :'-)"

"Cukup! Diamlah... jangan bicara lagi, gue muak, dengan omongan kosong lu itu!!"
Teriak Shania, dia langsung pergi meninggalkan Subhan sendiri, berlari memasuki mobilnya dengan air mata yang sudah tidak bisa dia tahan dan akhirnya jatuh menghujani pipinya.
'Kenapa semuanya terlambat?! Kenapa Tuhan begitu senang mempermainkan aku!?' lirih batin Shania, mengingat setiap ucapan Subhan.

Subhan yang ditinggal sendirian, hanya bisa melihat kepergian Shania.
'Setidaknya... Aku sudah memberitahu kamu, tentang perasaan yang selalu menyiksaku! Kamu harus bahagia dan kembali ceria.. Shania!' Subhan menarik nafas panjang.

Lamunannya dalam tatapan pada sosok Shania yang sudah hilang dari matanya, buyar. Ketika bunyi dari smartphone nya berdering, pertanda seseorang ingin bicara dengannya.


Shania berjalan gontai meraih pintu rumahnya, matanya yang sembab dia biarkan, karena dia berpikir... siapa juga yang akan melihat kesembaban dimatanya, di rumah ini?

Terus berjalan dengan putaran ucapan dari Melody... lalu Subhan, pertemuan hari ini dengan mereka berdua membuat Shania berada di ujung kebimbangannya. Ingin berubah kembali menata hati, tapi kemudian sosok Subhan malah kembali muncul. Ada rasa sesak, namun juga lega, atas pertemuannya dengan Subhan. Tapi, tetap! Perasaannya yang labil dan seperti buta, membuat rasa lega yang masuk di hatinya, malah di kuasai rasa sesak saat Subhan bicara soal Beby.

'Dia sedang mempermainkan ku! haaaahh...' ucapnya dalam hati pada Tuhan,

'Apa aku tidak pantas untuk merasakan lagi bahagia? Semua mulai terbuka, langkahku salah! Tapi, aku tidak tahu bagaimana membuka hatiku! Jalan mana yang harus aku tempuh!? Tidakkah semua rasa sakit dan pedih ini cukup, Tuhan? Tidak kah!?'

'Semua salah! Aku salah! Tuhan salah, menitipkan cobaan ini sama aku! Aku tidak bisa mengatasinya, tidak bisa..., karena aku... sendirian!!'
Shania menutupkan telapak tangannya ke wajah, dia sudah sampai di kamar dan terduduk sendiri di bawah tempat tidurnya. Merasakan kesakitan dihatinya yang sudah dingin karena luka. Hanya bisa menangis sendirian, tanpa tahu harus berbagi pada siapa.

Dirumah sakit... Beby sedang berjuang dengan kehidupannya, sudah terlalu sering, rasa sakit yang menyiksanya membuat dia merasakan ada di batas Hidup dan Mati. Kalau dia bisa meminta, dia pasti sudah mengajukan surat kematian pada Tuhan. Bukan dia mau menyerah dengan takdirnya, tapi apa yang dia rasakan... tidak hanya menyakiti tubuhnya secara fisik, namun secara mental juga, dia jadi sangat down.

Merasakan kepedihan, kala melihat Ibu nya berjuang mati-matian agar dirinya bisa sembuh. Merasakan kesepian, kala sahabat yang dia harap bisa menemaninya, ternyata mendorongnya, karena berpikir kalau dirinya adalah penghianat yang tidak lagi pantas berada di dekatnya. Merasa setiap langkah yang dia ambil, hanya akan berakhir dengan kesia-siaan. Ingin cepat meninggalkan tubuhnya sendiri, agar beban berat itu... bisa cepat dia tanggalkan, dan kembali bisa melihat wajah Mama nya yang tidak dipenuhi beban, beban karena memikirkan dirinya.

Tanpa Shania sadari, Ve sedang berjalan mendekat kearahnya, bermaksud untuk berterima kasih dan basa-basi lainnya tentang kejadian semalam. Namun Ve malah tercengang, ketika bisa dia lihat kondisi adiknya yang menurutnya, ada beban yang begitu berat, yang sedang dia pikul di pundaknya. Sebuah beban, yang harusnya bisa dia ketahui, beban yang harusnya bisa Shania bagi padanya.

Ve semakin mendekat, lalu... dia meletakan tangannya di tangan Shania yang sedang dia pakai menutup wajahnya, membuka tangan Shania, hingga Ve bisa melihat wajah adiknya, hatinya sungguh sakit melihat apa yang dia lihat sekarang. Dan Shania yang sedang dalam kekalutan hanya menatap kosong pada Kakaknya. Ve sungguh bisa merasakan kesakitan yang begitu dalam, di wajah Shania yang... bahkan entah kalimat seperti apa yang bisa menggambarkan keadaan Shania dimulut Ve.

"Maafin Kakak, Dek! Kakak gak pernah bisa lagi menyeka air mata kamu, membuat kamu mau membagi rasa sakit kamu, sama Kakak!"
ucap Ve, sambil menyeka air mata yang masih menetes dari mata Shania. Dia memang belum tahu keseluruhan luka yang sudah menggores, hingga membuat hati Shania tidak saja sakit, tapi juga jadi begitu dingin.

"...Sakitt, Kak! Aku... Aku gak bisa lagi, bertahan dalam rasa ini!" balas Shania berucap dengan menahan tangis.
"Tuhan.., Tuhan tuh gak adil sama aku! Kenapa Dia membuat skenario, biar aku membenci sahabat ku sendiri?... Kenapa Kak!?" lanjutnya dengan tatapan sakit kearah Ve, "Kenapa aku harus melihat semua itu, Kak? (perselingkuhan Papa dan Mama nya), kenapa Papa sama Mama tega merubah sikap mereka demi uang? Kenapa keluarga kita, sama kehidupan aku jadi seberantakan ini!?.., tidakkah Tuhan sayang sama aku Kak? Tidakkah Tuhan senang, kalau keluarga kita bahagia?!"

Ve sungguh merasakan kesakitan yang begitu dalam di ucapan Shania.

"Aku tidak pernah meminta hal yang berlebihan pada-Nya! Tapi..., kenapa Dia begitu... begitu senang melihat ku terluka seperti ini!? Ditinggalkan oleh keluargaku sendiri. Di asingkan seolah aku tidak pernah ada diantara mereka! Apa salah Aku, Kak?!"
Ve menggigit bibir bawahnya, menahan tangis mendengar ucapan Shania.
"Dan aku... aku udah benci sama sahabat aku sendiri, sampai aku tidak pernah tahu, kalau dia sedang sekarat! Aku benci dia, aku membenci mereka, padahal... padahal mereka tidak pernah membuat kesalahan! Karena ternyata aku yang salah, aku yang sudah buta, tidak bisa melihat kebenaran!! Aku... Aku... begitu.., sangat bodoh, Kak! Aku bodoh karena mendorong sahabat ku sendiri, aku bodoh karena menjauhkan dia dari kehidupanku!!" air mata Shania menderas, dia merasakan kesesakan didadanya tumpah lewat air mata.

Ve tidak bisa lagi mendengar ucapan Shania yang begitu terluka. Dia segera memeluk Shania, memeluknya begitu erat dan hangat, hingga isakan tangis Shania bisa terdengar di dadanya sendiri.

"bukan kamu yang bodoh. Bukan kamu yang salah! semua ini... salah Kakak, salah kita (dirinya, Papa, dan Mama). Kamu gak salah, Dek. Kita yang salah! Membiarkan kamu sendiri menanggung beban. Membiarkan kamu, terluka hingga kamu tidak tahu bagaimana cara mengobati luka kamu. Kakak yang salah! Maafin Kakak!!?" sesal Ve, dalam ucapannya menenangkan Shania.

Tangisan Shania semakin menjadi, dia yang tadi tidak merespon pelukan Ve.., pada akhirnya melingkarkan kedua tangannya membalas pelukan tulus dari Kakaknya, menumpahkan kesesakan yang selama hampir hitungan 1th lebih mendiami dadanya.

Pemandangan didalam kamar Shania, sungguh membuat hati perih. Membayangkan ada di posisi Shania, yang kehidupan terdahulunya begitu menyenangkan, tapi kemudian.. secara perlahan tapi begitu pasti, kehidupan yang bisa dia kuasai alur dan tujuannya, malah berbalik, jadi kini alur kehidupan itu yang menguasai dirinya, hingga Shania tidak tahu tujuan dari alur yang dia tempuh.

Merasa hidup, tapi tidak bisa hidup. Merasa sedih, tapi tidak bisa menangis. Merasa bahagia, tapi tidak bisa tertawa atau hanya untuk sekedar tersenyum. Merasakan sesuatu, tapi tidak tahu apa yang dia rasa!

Beberapa lama posisi itu mengeratkan Ve dan juga Shania, hingga Ve lebih dulu melepas pelukannya, dan kembali memakukan pandangannya pada Shania.
"Mulai hari ini... Janji Kakak, untuk selalu ada di samping kamu. Tidak akan pernah Kakak ingkari lagi!" ucapnya, dengan kembali menyekakan air mata yang meleleh dan menuruni lekukan kedua pipi di wajah Shania.
"Kakak, gak akan pernah mengasingkan.. apalagi meninggalkan kamu sendirian... lagi!" lanjutnya dengan sekarang memasang senyum hangat mencoba meraih lagi Shania.

Shania, yang Ve pikir tidak akan membalas, ternyata berucap. "Makasih, Kak! Maafin Shania juga!?"

Ve kembali memeluk Shania, dengan sedikit senyum mengembang di bibirnya.

***
4 hari kemudian... setelah perbincangan dengan Melody, pertemuan dengan Subhan, dan mulai kembali membaiknya hubungan Shania dan Ve, hingga Ve mengetahui cerita Shania yang membenci Beby, yang kini sudah tinggal di Jakarta, juga tentang Beby yang sakit. Dan Shania akhirnya tahu langsung dari Ve soal apa yang dia lihat pada Mama nya, meski dia sendiri.. masih menyembunyikan tentang hal itu, karena tidak ingin membuat Ve merasakan sakit yang berlebih.

Shania di sekolah juga sudah tidak tertarik lagi dengan yang namanya membully, begitupun dengan teman-teman lainnya, mereka terlihat menjalani kehidupan dalam status murid baik dengan tenang.

Dia mencoba mencari sosok Beby, dari hari setelah menumpahkan apa yang membuat hatinya sakit, pada Kakaknya. Tapi, Shani tidak bisa menemukan Beby dalam kilasan pandangannya, entah itu di depan gerbang sekolah, di kantin, atau di koridor tempat kelas science berderet.
Ingin bertanya pada Cindy, tapi ada rasa canggung menyergap. Ingin kembali berbincang dengan Melody, tapi ada rasa tidak enak, karena dia belum menemui Beby di rumahnya, seperti yang di sarankan oleh Melody. Namun hatinya, benar-benar berteriak ingin bisa bertemu dengan Beby dan berharap masalah kesalah pahaman atas kebutaan nya dulu, masih bisa dia perbaiki.

Bell pulang sekolah bunyi... Shania yang keluar bersama Ochi juga Gaby, hanya melamun dalam langkahnya menuju gerbang depan.

"Siap pulang?" tanya Ve, setelah Shania masuk dan duduk manis di seat sebelahnya.
Shania mengangguk, dengan wajah bingung nya, namun masih bisa dia sempatkan tersenyum kecil, pada Ve.
"Kalau ininya gak dipasang, berarti kamu belum siap pulang!" ucap Ve, sambil bergerak kearah Shania. Mengambil seatbelt, lalu memasangkannya di tubuh Shania. Hingga Shania yang tadi bengong, bisa menghirup wangi rambut Kakaknya itu.
Shania tersenyum malu,
"yup! udah siap, kita pulang sekarang.." ujar Ve beralih ke kemudi.
"Kak?"
"iya?"
"emm... bisa anter Shania dulu gak?"
"kemana?" tanya singkat Ve.
"ke... kerumahnya Beby!"
Ve diam sebentar, membuat Shania jadi menebak kalau dia tidak bisa mengantarkan dirinya pada Beby.
"emh, enggak bisa juga gak apa-apa Kok! "
"kata siapa gak bisa? Kakak kan juga mau, ketemu sama Mama... juga adik Kakak yang satu lagi! Sudah lama Kak Ve tidak melihat mereka, apalagi Beby yang.. sedang sakit!" ucapan terakhirnya menurun, Shania melihat Kakak nya.
"mana alamat nya, Dek?"
Shania merogoh tas yang ada di pangkuannya, dia mengeluarkan secarik kertas kecil pemberian Melody.

Mobil pun melaju, menuju tempat yang tertulis.

Sampai di depan rumah yang begitu terlihat damai dari luar. Balutan warna cream di dinding luar rumah, dengan pagar setinggi 1mtr, dan halaman yang cukup luas dengan ditemani rerumputan dan beberapa pohon rindang, hingga membuat rumah terlihat hijau dan segar. Siapa sangka, didalamnya, pernah dan masih ada yang tinggal, juga masih berusaha keluar dari penyakit mematikan. Ayah dan Anak, yang mendapat cobaan sama dalam beda usia. Cobaan, yang tidak hanya sekedar cobaan. Karena cobaan itu, membuat mereka terlihat lemah, terus melemah, dan semakin melemah, hingga Tuhan... menyuruh mereka untuk kembali ke tempat-Nya!

"Ini rumahnya?"
Ve bertanya sambil mengitarkan pandangannya ke setiap sudut lahan yang berdiri kokoh bangunan lama, berlantai dua.
Shania ikut memainkan bola matanya, "Kalau udah sesuai sama yang di kertas. Pasti bener, Kak!" Jawabnya.
"Ya udah! yuk, turun!" Ajak Ve, sambil melepaskan seatbeltnya.
Shania ragu. Bukan karena tidak ingin, tapi karena malu. Mengingat apa yang pernah dia ucapkan, apa yang pernah dia perlihatkan, tentang kebenciannya pada Beby.
"Kalau cuma mau lihat-lihat rumahnya dari luar, capek dong, Kakak nyetir dari sekolah sampai kesini!"
Shania melihat Kakaknya, "Shania... Shania takut Kak!"
"Takut? Takut apa? Kenapa?" heran Ve,
"Kakak kan tahu, kalau Shania... udah benci sama Beby, malah, Shania udah nyakitin hatinya Beby, dengan tingkah laku Shania yang nyebelin. Sampai-sampai... pernah biarin Beby pingsan, hingga dia dirawat berminggu-minggu!!"
"Dan untuk hal itulah, sekarang... kamu ajak Kakak ketempat ini. Tempat tinggal Sahabat kamu!. . . . Untuk menjernihkan lagi, apa yang sudah keruh. Untuk mengembalikan rasa sayang yang sempat menghilang. Untuk mengembalikan.. Kebahagiaan yang dulu kamu dapat dari dia... Beby!" lagi
Shania melihat Kakaknya,
"Sahabat yang benar-benar Sahabat itu... Tidak akan merasa sakit, dengan ucapan atau tingkah sahabatnya yang sedang diluar kendali keadaan yang biasanya bisa dia kendalikan. Beby lagi nunggu kamu! Percayalah? Dia sahabat baik, bahkan terbaik yang kamu miliki!!"
Ucapan Ve, mampu membuat Shania keluar dari rasa ragunya.

Mereka berdua berjalan mendekati gerbang, mencari-cari bell di pagar, kemudian memijitnya, memberitahukan pada si pemilik rumah, ada mereka diluar yang ingin bertamu.

Tidak ada yang membuka pintu rumah, kembali Ve memijit bell. Tapi, kembali juga.. tidak ada yang keluar dari rumah itu.

"Haaah.. mungkin Beby lihat dari dalam kalau Shania lah yang sedang ada di luar!" keluh Shania,
"ya terus? Kalau kamu.. sama Kakak yang ada di luar, emangnya kenapa?"
"Iyaaa... Beby mungkin gak mau ketemu sama Shania Kak!"
"Hemph! Jangan bicara seperti itu. Siapa tahu Beby sama Tante Ana lagi keluar!" jawab Ve, yang masih bisa melihat keraguan dari ketidak enakan Shania jika nanti bertemu Beby.

Saat Kakak-Adik itu masih berdiri ditempat semula. Sebuah sedan putih, sedang mendekat kearah mereka.
"Siapa itu ya?" Tanya Mama yang duduk di seat belakang dengan Beby yang menyandarkan kepala di pundak Mama. Dia sedang tidur, tanpa bisa mendengarkan ucapan pelan Mama.
"Melody gak tahu Tante!" Jawab Melody sambil memperhatikan.
"Itukann... Itu sih Shania, Bu!" Cindy yang bisa menangkap gambar dengan jelas. "Tapi yang disebelahnya siapa Ya? Cindy gak tahu!"

"Shania? Itu Shania.. sama Ve!"
kedua nama itu meluncur dari mulut Mama.

"Biar Melody yang turun Tante!"
Maksud Melody turun itu, dia akan membuka dulu pintu gerbang.

"Ibu?" Shania melihat Melody jalan kearahnya,
Melody tersenyum pada Shania, "Ibu.. tahu, kamu pasti akan datang kesini! Beby ada dimobil, dia memaksa pulang dari rumah sakit!" Ucap Melody, Shania melihat kedalam mobil putih milik Melody.
"Rumah sakit?"
Melody mengangguk, "4hari yang lalu, saat mau check-up, Beby malah ngedrop, untung dia sedang bersama Cindy. Cindy begitu sigap, dia langsung membawa Beby ke rumah sakit yang terdekat!"
Shania melamun mendengar ucapan Melody.
'...aku udah gak pantas lagi untuk jadi sahabat kamu! Cindy... dialah, teman baik kamu sekarang!!' bisiknya dalam lamunan.
"Ibu, bukakan dulu pintunya. Kita masuk!" Sambil mengeluarkan kunci, lalu membukakan gerbang berwarna coklat itu. Suara dan gerakan Melody, membuat Shania sadar dari lamunannya.

Shania dan Ve masuk kemobilnya, begitupun Melody.

"Heyy.. sayang? Bangun! Kita sudah sampai di rumah!" dengan begitu lembut, Mama membangunkan Beby.

Cindy dan Melody sudah keluar dari mobil, dengan Cindy berlari kebelakang, ke bagasi mobil untuk mengeluarkan kursi roda yang akan diduduki Beby. Sementara Melody kembali menghampiri Shania dan Ve, yang kali ini, dia bisa berkenalan dengan Kakaknya Shania. Tidak lama, Melody didepan Shania dan Ve, karena dia harus membantu Beby yang masih lemah, untuk keluar dari dalam mobilnya.

Kursi roda sudah siap di dekat pintu mobil, menunggu seseorang yang akan mendudukinya keluar. Shania dan juga Ve, melihat dengan tatapan pedih. Mengingat sakitnya Beby.

Beby keluar dari mobil, mata Shania terlihat berair. Bagaimana tidak! Sahabatnya itu, terlihat sangat kurus, juga pucat. Dia di bantu Melody keluar dari mobil dan kemudian duduk di kursi rodanya. Tak lama.. Mama nya ikut keluar dari mobil. Mama tersenyum pada mereka berdua yang sedang mematung melihat kondisi Beby.

Ve sama Shania, segera menghampiri Mama.
"Tante?" suara Shania juga Ve terdengar,

tanpa mengeluarkan suara, Mama langsung memeluk keduanya. Hingga Ve juga Shania merasakan sedih dari kebahagiaan, dapat kembali bertemu dengan seseorang yang begitu lembut, hangat dan begitu penuh kasih sayang, yang sudah mereka anggap Ibu sendiri.
"Maafin Shania tante!"
Beby mendengar suara yang sudah tidak asing itu, masuk ke telinganya.
"Ve juga minta maaf! Karena Ve tidak pernah tahu, kalau ternyata tante ada di dekat Ve!"

Cindy sudah memutarkan kursi roda yang sudah diduduki Beby, hingga Beby, kini bisa melihat keduanya. 2orang yang... juga berarti dalam kehidupannya. 2orang yang dulu pernah memperlihatkan kebahagiaan dihidupnya kala menjadi anak pindahan (saat masih di Jogja).

"Kenapa kalian harus minta maaf? Tante merasaaa, kalian tidak ada salah apapun sama Tante!" ucap lembut Mama,
Tidak lama, Mama melepaskan pelukannya. Menatap wajah mereka berdua, dengan air muka yang terlihat lelah.
"Kalian... :'-) sudah besar ya? Lihatlah... kalian sudah sama tinggi, dan kalian berdua begitu cantik!" sambil mengelus pipi Shania dan Ve, Mama berucap. Shania dan Ve membalas dengan senyum manis nya.

Beby yang sedang memperhatikan, ikut tersenyum.
'Aku harap... kalau waktuku habis! Mereka bisa menjaga dan menganggap Mama, bagian terpenting dalam kehidupan mereka!!' harap Beby dalam angannya, pada Shania dan juga Ve. 'Jadi.. tidak ada yang perlu aku khawatirkan, saat nanti aku harus pergi!'.

Shania yang pertama melihat Beby, tapi dia tidak berani menyapa. Lalu Ve, dia tidak hanya melihat Beby, namun langsung menghampirinya.
Dengan senyum yang coba Ve lukiskan, dia berjalan kearah Beby, kemudian... dia langsung berjongkok, dihadapan Beby. Melihat begitu dekat, wajah Beby yang pucat. Ve mengangkat kedua tangannya, dan memegang wajah Beby.
"Hai? :'-)"
"Haai, Kak!" balas Beby.
Ve tidak lagi banyak bicara, dia memeluk Beby, dan mengelus rambut Beby yang dulu dia tahu rambutnya itu menjuntai panjang, tapi kini terlihat hanya sebahu, dan terasa sangat tipis.

"Maafin, Kak Ve, Beby?" beberapa detik kemudian, terdengar suara Ve dalam tahanan tangisnya. "Kakak tidak tahu kalau kamu... kamu sedang sakit! Kakak juga tidak tahu, kalau kamu sama Mama, ada di Jakarta! Maafin Kakak!!"

Beby menggeleng pelan dalam pelukan Ve, "Gak! Kak Ve gak perlu minta maaf! Seperti Mama bilang 'Kakak.. Kalian, tidak ada salah apapun sama Beby!'" Ve tersenyum haru mendengar ucapan Beby.

"Kak Ve emang gak punya salah! Tapi aku yang punya salah, banyak kesalahan sama kamu!!"
suara Shania terdengar, diantara scene Ve memeluk Beby.

Ve segera melepas pelukannya; Beby menatap Shania yang sudah menatapnya lebih dulu.

"Aku emang bodoh! Gak seharusnya aku membangun kebencian sama kamu!!... Maaaf..." dengan tertunduk, Shania berucap. Air matanya terlihat berlinang, menyesali setiap tindakan bodohnya pada Beby.

Beby yang masih lemah, mencoba berdiri dari kursi rodanya. Cindy dan Melody, juga Ve yang melihat pergerakan Beby, langsung belingsatan untuk membantu, takut-takut kalau Beby malah jatuh. Tapi, Beby... dia segera memberi isyarat, kalau dia akan baik-baik saja.

Perlahan, Beby berjalan kearah Shania, meski pandangannya kabur dan kepalanya sedikit berdenyut, Beby tidak menghiraukannya. Yang dia pikirkan adalah bertumpu di kakinya sendiri untuk mencapai Shania.

"Sejak... kapan?... Kamu... bodoh?" Suara Beby yang terdengar mendekat, membuat Shania mengangkat kembali wajahnya.
"Kalau... kamu bodoh! Terus.. aku.. apa?" dengan senyum, Beby bicara.
Apa yang Shania lihat pada Beby yang dengan susah payah, ingin menjangkaunya, membuat dia semakin merasakan salah yang teramat.
"Aku...pasti lebih bodoh! Karena aku... mau sahabatan... sama orang bodoh!"

Mama, Melody, Cindy dan Ve, jadi penonton adegan itu. dengan rasa sedih bertamu ke hati mereka masing-masing.

"Aku... Aku gak seharusnya ada disini! Kamu terlalu baik, bahkan setelah apa yang aku lakukan sama kamu!!" Sesal Shania,

Beby yang tinggal beberapa langkah lagi, bisa berhadapan bersama Shania lebih jelas, berhenti. Dia merasa tubuhnya sudah tidak bisa diajak kerjasama untuk terus melangkah lebih dekat.

"Aku minta maafff.. Aku gak tahu lagi, bagaimana caraku untuk meminta maaf sama kamu!"
"Mengikuti... apa kata hati kamu... itu memang bukanlah hal yang mudah. Tapi, seperti apa yang... aku yakini.... kamu... pasti akan mengikuti suara hati kami itu... :'-), kebenaran dan kebahagiaan... kadang datang... disaat yang tidak sedikitpun, kita bayangkan, atau... kita mainkan dalam pikiran kita!" Shania masih terisak ditempat semula.
"Kalau... kamu... minta maaf, karena kamu... sempat benci sama aku! Maka... aku juga harus... memintaa maaf, karena aku... aku sempat menjauhi kamu. Sampai kamu... membenci aku, karena tidak.. adanya lagi, sandaran!"
Tangis, Shania semakin menderas, mendengar kata-kata dari Beby.
"Akulah... orang yang paling bersalah! Maafin aku... :'-)"

Tidak mau lagi mendengar ucapan Beby tentang penyalahan dirinya sendiri, membuat Shania berjalan cepat menghampiri Beby, lalu... dia mendekapkan tubuhnya pada Beby, hingga mereka berdua saling menyatu dalam pelukan penuh tangis juga kelegaan yang dirasa di dalam hati.

"Bukan kamu, tapi aku! Akulah yang salah... aku gak pernah bisa jadi yang pertama, tahu tentang kamu! Aku tidak sehebat kamu, Beby. Aku sangat lemah dan memalukan!!" ungkapnya dalam pelukan pada Beby.
"Dan meskipun... aku bisa jadi yang pertama tahu tentang kamu, aku... gak bisa ngelakuin apapun! aku lemah dan menyusahkan!!"

Mama mendekap mulutnya sendiri, melihat dan mendengar apa yang ada di depan matanya.; Melody, memegangkan kedua tangannya di lengan atas Mama, mengisyaratkan ketegaran.; Ve dan Cindy.. saling mengisi pikiran mereka dengan apa yang sedang mereka saksikan.

"...Kita.... sama-sama lemah! Tapi, kamu... jauh... lebih baik, dibanding aku.. (nafas Beby tersengal), aku... aku mau... titip... Mama... sama kamu.... juga... Kak Ve..." suara Beby menurun, dan hanya Shania yang bisa mendengar dengan sangat jelas, kalimat terakhir yang diucapkan Beby soal menitipkan Mamanya, karena mereka masih dalam posisi berpelukan. Shania mengeratkan pelukan pada Beby, seolah mereka tidak akan lagi bertemu.
"Jangan sia-siakan... nyawa kamu, ya? Apapun... yang terjadi.... Kamu harus tetap, jadi Shania... yang ceria dan selalu... membawa keceriaan.... Aku... Aku akan... ada di samping kamu... selalu....."
Beby tidak bisa lagi menopang tubuhnya sendiri, dia terkulai perlahan, di dalam pelukan Shania, membuat Shania panik dan begitu sangat ketakutan.
"Beby... (air mata terus tumpah dari mata Shania.), Tuhan... aku mohon, kasih aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan ku dengan Beby! Kasih aku kesempatan, untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan sahabatku, Tuhan! Aku mohonnn!!" Shania tidak sedikitpun melepaskan pelukannya dari Beby. Meski Mama, Melody, Ve dan Cindy, berhamburan menghampiri dia dan Beby yang akan ambruk ke tanah.

Ketakutan dan kekalutan, bisa membuat kita bodoh, karena kita dibodohi oleh hal itu, bukan karena kita memang bodoh! Coba tenangkan diri, dan lihat lebih jelas, agar setiap langkah yang mengiring, tidak berakhir dengan kesia-siaan.

Hari kemarin... kita mungkin sudah membuat kesalahan.
Hari ini... ada untuk kita lewati, perbaikilah, apa yang pernah dilakukan, yang membuat orang lain terluka, dan membuat kita merasa bodoh.
Hari esok... hari baru yang tidak satupun diantara kita bisa mengetahui apa yang akan dilewati. Namun, apapun kejadiannya, tetaplah bersyukur.

Kesedihan... bisa membuat kita, menemukan senyum bahagia pada akhirnya.
Kebahagiaan... bisa saja berubah jadi kesedihan, tapi kalau kita tetap memasrahkannya pada Tuhan, dan berusaha mengembalikan kebahagiaan yang pernah kita miliki itu, pasti akan jadi bahagia lagi pada akhirnya.

Tuhan... tahu apa yang terbaik untuk umatnya, bersyukurlah untuk kita, yang masih punya keyakinan pada Tuhan. 

...Belum Ending! Masih ada sambungannya ...
Terimakasih yang sudah mau menunggu dan membacanya.
Di tunggu Coment dan.. Like nya yaaa! 


Chrome Pointer