CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *8th Chapter*


...PELANGI DALAM SAKURA...
*8th Chapter*

Sampai di tempat tujuan, pojok salah satu ruangan sekolah yang tidak pernah dijamah atau bahkan dilewati murid-murid dikala pagi seperti saat ini, Shania mengitarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan yang baru dia pijak selama dia menjadi murid di sekolah itu.

"Gimana? Suasana disini enak bukan? Untuk dipakai ngobrol?" Shania hanya mengerung.
Ini bukanlah ruangan yang layak untuk dijadikan tempat ngobrol, berbagi cerita atau share pengalaman. Tempat yang sudah seperti gudang, dengan disana-sini tumpukan barang tak layak pakai, ditambah serabut benang putih hasil rajutan laba-laba kecil yang menghiasi setiap sudut, bahkan setiap tumpukan yang sudah berdebu.

"Be calm Shania! kita gak bakal ngapa-ngapain lu kok, selama lu mau dengerin obrolan gue, dan... ikutin apa yang gue mau!!" Nadanya mulai terdengar menyudutkan Shania,

Shania yang sedang melihat-lihat, segera memakukan matanya pada Sinka "apa yang sebenarnya kalian mau dari aku? Selama ini, aku gak pernah ngusik kalian! sekalipun kalian selalu ngusik aku!!" Ucap Shania memberanikan diri, karena dia ingin keluar dari ruangan pengap itu.
"Oo, Shania marah? Eh bukan! Kesalll, iya? Kamu kesal? Sama siapa? Sama gue? Sama temen-temen gue?" Teman Sinka lainnya memasang senyum sinis, "Kiiita.. ngusik lu karena kita SUKA sama lu!" Dengan angkuhnya Sinka bicara "harusnya lu itu ngerasa beruntung, karena kita SUKA sama lu! Jarang loh, ada cewek-cewek kota yang begitu modis nan socialita kayak kita-kita, mau ‘meNYUKAI’ cewek kampung, orang kaya baru, yang mau Sok socialita kayak lu! Iya gak teman-teman?!" Octy, Vanka dan Noella mengangguk dengan senyum sinis, atas ucapan Sinka.
"Haah! Biar gak terlalu lama, dan keburu bell juga, gue percepat deh! Lu tahu gak? Apa yang gue mau dari lu?!” Shania hanya bisa menatap Sinka, “Gue tuh.. mau Lu… O..UT! dari sekolah ini!!?" Perlahan, terlihat kegerungan di alis mata Shania, "kenapa ekspresinya kaya gitu? Gak suka? Mau marah?" Sinka semakin menyudutkan Shania

"Kalian.. kenapa kaya gini sih sama aku? Salah aku apa? Kenapa kamu tiba-tiba pengen aku keluar dari sekolah?"
"Ouwhh, Shania yang malang... gue itu, cuma mau buka mata lu, lu sendiri pasti sadarlah, selama lu jadi murid disini, apa ada yang mau temenan sama lu? Hah!" Shania diam, "enggak kan? Jadi ya.. gue sih cuma ngasih jalan keluar aja buat lu, karena tempat ini gak cocok buat cewek kampung yang sok cakep depan murid-murid cowok, dan sok innocent depan guru-guru, kayak lu gini!" Kasarnya dengan mengangkat kerah seragam putih Shania.

"Gimana? Lu mau kan, ikutin apa yang gue bilang tadi!?"
Shania mulai merasa kesal "enggak! Aku gak akan ikutin kemauan kamu! Aku ngerasa gak ada masalah disini!! Kenapa aku harus Out!?" . . . "Aku mau keluar dari sini, bell masuk udah bunyi!" Lanjutnya sambil bersiap melangkah, tapi malang, langkah Shania dapat hadangan dari teman-teman Sinka.

"Tadi gue udah bilang, gue gak suka di tolak! Dan barusan.. lu nolak gue me..ntah banget!!" Ucap Sinka dengan posisi membelakangi Shania. "Terpaksa deh, gue harus ngelakuin sesuatu sama lu!" Dia membalikan badannya dan *breeet* Sinka menyabet tas gantung Shania, sementara teman-teman lainnya (Noella dan Vanka memegangi lengan Shania)
"Kalian mau apain aku? Balikin tas aku Sinka!" Ucap Shania dengan memasang tatapan marah
"Auw, auw.. Shania marah teman-teman, Hahahaaaa" Mereka menertawakan Shania, "euhm, Octy.. cepet bawain mainan buat mainan kita!" Perintah Sinka, Octy langsung bergegas entah kemana dan akan mengambil apa. "nunggu si Octy balik, gimana kalau kita lihat... isi tasnya orang kampung dari JOGJA ini! Kalian setuju?"
"Aahh, ide bagus! Buka aja Sin, gue penasaran sama isi tas dari Shania Jogjanatha, Hahaa" sambut Noella
"Alah.. palingan juga isinya, buku... buku... dan buku...! So bored!! Haaah" ikut Vanka
"Eits siapa bilang cuma itu, siapa tahu aja ada gudek Jogja di tasnya, kan lumayan buat kita makan pas istirahat nanti! Hihii" Noella terkikih sambil membayangkan, Shania tidak bisa melakukan apapun dibawah cengkraman 2orang.

"Ahh! Sudah diam, kalian pada berisik tahu gak!!" Sinka mulai membuka resleting tas dan mengeluarkan satu persatu isinya "hmm,, novel.. 'Pelangi.. Dalam... Sakura' ck- novel apaan nih? Gak mutu! Mending gue buang terus gue injek, kayak gini nih!!" Ucapnya sambil mempraktekan, Shania merasa sangat marah dengan kelakuan Sinka, melihat novel yang diberikan oleh sahabatnya kala dia berulang tahun yang ke 14, di buang dan injak-injak oleh Sinka.
"Lihat yang lainnya, buku (dijatuhkan), buku lagi (dijatuhkan lagi), lagi-lagi buku (lagi-lagi dijatuhkan)" Shania mencoba berontak "dan.. Buku lagi (dijatuhkan lagi), HaH! She's got a be kidding me? Sok pelajar banget lu! Gak ada yang lain apa ini isi tas ny,- Ahhh, ada yang baru nih…" Shania membelalakan matanya, melihat dompet nya ada di tangan Sinka "kita lihat isi dompetnya, girls!" Vanka dan Noella semakin memperketat cengkraman mereka pada Shania yang terus berontak "widihhh, siapa nih? Wahh… ini pasti temen kampung lu yah? banyak banget nih photo, HAH! Gue robek satu, gak masalah kali yah?"
"Jangan!!" Teriak Shania
"Apa? Barusan lu ngomong apa?"
"si Shania ngomong robek aja semuanya!" Sambar Vanka
"Owhhh, okey!" Tangan Sinka mulai mengambil kuda-kuda untuk merobek
"Enggak! Jangan!! Aku mohon!!" Shania meronta,
"Dia barusan ngomong lagi? Ngomong apaan ya?"
"Katanya cepet di robek!" Giliran Noella yang memanasi
"Gimana kalau... gini cara ngerobeknya (Sinka mulai merobek pas photo Shania saat dengan Beby di tempat jajanan pinggir jalan ketika di Jogja) biar greget!!" Dengan tersenyum puas Sinka menunjukan hasil robekannya tepat di depan wajah Shania. "keren kan? Hasil sobekan gue! Lu... disini (lempar sobekan photo Shania) dan dia... disana (giliran sobekan photo Beby) dan kalian... harusnya kaya gini!! (Photonya diinjak dan di putar-putar oleh kedua kaki Sinka)"
"Kalian... (Shania menangis), Keterlaluan!!". . . . “Aku gak pernah cari masalah sama kalian! Tapi kalian?!,-”
“Adu-du-duh… Shania yang malang! Hahahaaa” Sinka tertawa kejam, diikuti Vanka dan Noella yang sedang memegangi Shania.

Kembali, saat Sinka akan merobek photo kedua, Octy tiba-tiba datang, dengan dikedua tangannya membawa ember kecil "cuma ini yang aku dapat!" Ucapnya sambil mengangkat ember yang berisi air bekas pel an OB sekolah.
"Aduh! Lama lu keluar, cuma dapat kaya ginian?!" Kata Sinka
"Tahu nih si Octy, Loading banget!" tambah Noella
"Tapi... gak apa-apalah Sin, siapa tahu aja Shania belum cuci muka, iya gak Shan?" Ujar Vanka sangat penuh dengan maksud.
"Bener juga kata Vanka, ya udah deh, sini!" Sinka menyambar satu ember, dan photonya dia jatuhkan "gue… udah bilang dari awal, kalau gue, Sinka Juliani! GAK SUKA nerima pe..no...lakan!!" Lalu. . . *byuuurrrr* satu ember air bekas itu mengguyur wajah Shania, dengan Vanka dan Noella sebelumnya melepaskan genggaman mereka pada Shania.

Octy, Vanka dan Noella tertawa terbahak; diwajah Shania kini, air matanya sudah bercampur dengan air bekas pel lan.

"Sin, satu lagi nih.. tanggung!" Ucap Octy terlihat lugu, Dengan senyum sinis Sinka menerima dan kembali dia mengguyurkannya ke wajah Shania.

Setelah puas mengerjai Shania, kertiganya mulai meninggalkan Shania dengan sebelumnya menghapus jejak terlebih dahulu.
"Gue udah coba baik, lu nya yang gak mau baik-baik! jadi aja, keceplosan ngerjain lu kayak gini!!” Sinka benar-benar memasang wajah begitu sinis pada Shania. “denger yah, gadis kampong! Kalau lu buka mulut, sama siapapun!!maka… akan ada hal lain yang lebih mengerikan yang akan menyambut keseharian lu, dan perlu lu ingat, selama lu masih keras kepala untuk stay di sekolah ini, jangan pernah kapok ketemu sama gue! Oh ya… Sama satu lagi, jangan bilang, kalau gue gak pernah ngasih peringatan sama lu!!! Okey manis " Sinka lagi-lagi membuat kedipan jahat di bola matanya untuk Shania.

Pergerakan kaki ke 4 murid yang cukup di segani oleh murid lainnya itu, perlahan mulai meninggalkan ruangan pengap yang hanya menyisakan Shania, yang masih terisak dengan rasa marah, malu, benci, perasaan yang campur aduk tentang perlakuan Sinka dan teman-temannya.

ini mungkin akan menjadi hari yang tidak akan pernah bisa Shania lupakan dalam masanya mengejar mimpi. Isi tas yang keluar semua, pas photo yang dirobek, kata-kata halus yang menusuk, ancaman tak terlihat, dan… guyuran air bekas Pel lantai, menyambutnya di pagi hari yang cerah ini.
Sambutan hangat matahari milik duniapun, seakan terasa dingin membekukan hatinya. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Shania hanya bisa menangis sendirian di ruangan penuh debu itu, dia berjalan pelan kedekat tasnya, mengambil photo-photo yang belum sempat dirobek Sinka, dan juga mengambil photo yang sudah di robek, dia menatap sosok sahabatnya itu dengan ditemani air mata kepedihan.


"SHANIA!!..." teriak Beby dengan keringat dingin membasahi kening dan lehernya
"Bebyyyy... lihat Mama bawai..n,- sayang, kamu kenapa?" Tanya Mama yang memasuki kamar rawat Beby dengan membawa semangkuk sup plus segelas susu putih, Mama sesegera mungkin menyimpan nampan berisi sarapan untuk Beby itu, dan duduk di sebelah putrinya dengan wajah cemas begitu tergambar jelas
"kamu kenapa, sayang? Kepala kamu sakit lagi?" Beby yang masih mengatur nafas saat terbangun dari mimpi buruknya tentang Shania yang baru saja dia alami, hanya menggeleng pelan menjawab Mamanya, "Perut kamu mual lagi, atau.. apa yang kamu rasain? Mana yang sakit sayang?!" Mama benar-benar begitu mencemaskan putri tunggalnya itu.

Beby kembali menggeleng dengan kali ini sudah bisa mengatur nafasnya sendiri, "Beby gak apa-apa Mah, cuma..-" Beby menatap lekat wajah lelah dibalik kesedihan sang Mama.
"Cuma.. apa sayang?" Potong Mama
"Hemm--- Maamaa.. stop worry about me!” ucapnya menggantikan kalimat sebelumnya yang dia pungkas “Beby tahu Beby sakit, tapi Beby mohon, jangan perlakukan Beby kaya orang sakit Mah! Mama tahu? sakit Beby itu gak ada apa-apanya, dibanding dengan melihat raut Mama yang seperti ini, kelelahan Mama, kesedihan Mama, itu rasa sakit buat Beby!!" Beby menggenggam kedua tangan Mamanya "Beby sayang sama Mama, Beby gak mau lihat Mama nangis, apalagi cuma buat nangisin Beby (mata Beby berair)".

Beberapa bulan terakhir ini, Mama selalu menjalani kehidupannya dalam sergapan rasa was-was, memikirkan putrinya yang dijamahi rasa sakit. Mama memeluk Beby dengan tangis mengalir di pipinya "kamu itu.. bukan 'cuma' kamu itu segalanya buat Mama, Mama rela memberikan apapun untuk melihat kamu tersenyum bahagia sayang, Mama rela bertukar tempat dengan kamu, merasakan sakit kamu!"
Beby menggeleng "Beby yang gak akan rela! Beby ikhlas menerima takdir Beby dari Tuhan Mah, Beby anak Mama yang kuat kan? Beby kuat karena Mama juga kuat, Beby sayang Mama... karena Tuhan!" Mama mengencangkan pelukannya "Mama jangan nangis lagi ya? Kalau Mama nangis, siapa yang akan bikin Beby senyum? :’) Air mata Mama, kesedihan buat Beby.. Senyuman Mama, itu kekuatan buat Beby! Senyumlah Mah… kasih Beby kekuatan dari Mama.."
Mama melepas pelukannya dan menyeka air matanya, lalu memasang senyum untuk Beby "naaahh.. kalau gitu kan cantik, yang ini baru Mama nya Beby :')" Mama tersenyum haru dan memegang lembut wajah Beby yang sedang terlihat pucat.

Setelah kejadian Beby pingsan di sekolah waktu itu, dan beberapa rentetan rasa sakit yang terus menjamah kepalanya yang kadang diikuti rasa mual yang begitu hebat. Mama membawa Beby ke rumah sakit tempatnya bekerja sebagai perawat. Disana Beby diperiksa, sampai dilakukan tes darah untuk mendapat hasil yang akurat. 3hari menanti hasil Laboratorium. . . Dengan hasil yang sangat mengejutkan untuk Mama yang pertama kali tahu apa yang membuat putri semata wayangnya mengalami gangguan di kepala akhir-akhir itu, Mama menangis tidak percaya dengan skenario yang sudah dibuat oleh Tuhan untuk kehidupannya, Beby mengidap Kanker otak, penyakit yang sudah terlebih dahulu merenggut Papa Beby, orang yang juga sangat dia sayangi selain Beby, dari jalannya menempuh kehidupan.

Sempat menyalahkan keputusan Tuhan, Mama mencoba menutupi apa yang diderita putri tunggalnya itu, Beby hanya tahu kalau dia Tidak apa-apa dan apa yang dia alami tentang rasa sakit di kepalanya… hanyalah sakit kepala biasa karena kecapean. Tapi, sepintarnya menyimpan suatu kebohongan, tidak pernah ada yang abadi, pasti semua terbongkar pada waktu yang tidak diduga. Beby tahu kalau ada yang tidak beres di tubuhnya, dia mencoba mencari apa yang dia rasa, secara kasar (searching, atau sekedar Tanya-tanya pancingan ke teman-temannya Mama di rumah sakit), dan akhirnya… Beby menarik kesimpulan sendiri, dan mulai menelusuk Mama secara perlahan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya sedang dialami tubuhnya.

"Oh, ya.. tadi kamu kenapa sayang?" Tanya Mama kembali
"Beby... Beby mimpiin Shania Mah" jawabnya
"Kamu kangen ya sama dia?" Beby mengangguk, "Mama telponin ya? Biar kamu bisa ngobrol sama dia! Sudah sebulan lebih juga kan, Shania tidak main kesini!?"
"Ah, gak usah Mah.. nanti... nanti Shania tahu lagi soal Beby! Mana selama ini Beby udah susah-susah nyembunyiin penyakit Beby dari Shania lagi, ntar sia-sia dong Mah" Beby masih sempat menyunggingkan senyum lebarnya pada Mama "… emmm,.. Lagian... kayaknya Shania marah deh Mah, sama Beby! Karena akhir-akhir ini.. Beby jarang menghubunginya dan bahkan Beby sangat jarang mengangkat telpon dari Shania., . . . Tapi, ada bagusnya juga sih :'-) Beby gak perlu ngelak dari Shania, iya kan Mah?!" Katanya diikuti senyum luka.

Mama menatap lembut Beby "memangnya, kalau Shania tahu soal kondisi kamu kenapa?"

Saat Beby sudah tahu kalau dirinya sakit keras, dia meminta pada Mama nya untuk tidak memberitahukan soal ini pada Shania, Subhan, Aji dan atau teman-teman lainnya. Dengan alasan, dia tidak mau melihat orang-orang yang dia sayangi menjatuhkan air matanya, dan juga mengasihaninya karena dia sakit. Bahkan, Beby masih sempat meyelipkan candaan kalau dia yang pertama kali tahu soal tes darah tubuhnya, soal penyakitnya, dia juga pasti tidak akan memberitahukan pada Mama nya. Tapi sayangnya, kedok itu tidak bertahan lama untuk orang di sekitar Beby yang secara fisik dekat dengannya, Subhan, Aji dan mungkin satu sekolah sudah tahu soal sakitnya Beby.

"Kasihan Shania sayang, dia itu sahabat kamu.. masa dia yang justru tidak bisa tahu soal keadaan kamu, jangan tiru apa yang dulu Shania lakukan sama kamu (menyimpan rencana kepindahannya), dia berhak tahu apa yang sedang terjadi sama kamu, kamu berhak merasakan bahagia bersama sahabat kamu! Jangan menutupinya, karena suatu hari nanti... semuanya akan tetap ketahuan juga kan? dan Shania pasti akan ngerasain sa,-"
"Kalau begitu, biarlah waktu yang membisikan pada Shania tentang Beby Mah, seperti waktu Beby tahu apa yang hadir di tubuh Beby!" Beby memotong ucapan Mama "karena apa yang Beby lakuin sekarang... gak sama dengan apa yang Shania lakuin dulu! Shania menyimpan untuk diberitahukan disaat dia move, sementara Beby... Beby ingin menyimpan dan total mengubur semuanya, agar Shania tidak bisa tahu! Shania udah punya kehidupan lain di Jakarta. Jogja itu masa lalunya Mah, dan Jakarta.. itulah masa depannya. Masa depan Shania... si gadis yang selalu penuh keriangan dengan senyum khasnya!! :')" senyum haru Beby membuat Mama merasakan perih di dalam hatinya, mendengar pernyataan Beby.

Suasana rumah sakit pagi ini, masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Saat Beby harus dirawat inap karena kekebalan tubuhnya tidak mampu menjaga ke stabilan kondisinya, dia terpaksa dan dengan paksaan harus diinap. Karena kondisi sakitnya sekarang, untuk Beby yang sudah pernah melakukan satu kali operasi, mencoba membunuh sel kanker yang baru diam di stadium 2 kala itu, namun tidak mendapat hasil yang diinginkan. kondisi tubuhnya haruslah selalu 'fit' karena jika sakit sedikit saja, akibatnya akan sangat cukup merepotkan, seperti sekarang. Diam di rumah sakit untuk beberapa hari.

"Maafin Mama ya sayang, Mama gak bisa jaga kamu dengan baik!" Ucap lembut Mama
"Mah, berapa kali Beby harus bilang? Mama jangan mengucapkan lagi kalimat-kalimat itu!"
"Semua ini salah Mama, kalau saja Mama jaga kamu dengan baik, Mama gak perlu melihat kamu dalam rasa sakit seperti sekarang ini!" Beby menggeleng-gelengkan kepalanya "Mama udah gagal jadi Mama buat kamu, Mama bisa merawat orang lain sampai sembuh, tapi untuk anak Mama sendiri.. (Mama menunduk dan kembali untuk kesekian kalinya, Dia mengeluarkan air matanya)"
"Husssttt.. Mom please! Beby gak mau lagi denger kata-kata seperti itu dari Mama!! Mama itu... Mama terhebat untuk Beby, Mama bisa jadi Papa sekaligus Mama dalam satu tubuh untuk Beby!" Beby menitikan air matanya "Mama gak pernah gagal dalam merawat Beby! Mama selalu bisa jadi apa yang Beby mau. Mama nyediain bahu Mama saat Beby sedih, Mama ngasih Beby semangat saat tidak ada satupun yang menyemangati Beby, Mama ngasih nasehat sebagai Papa dan Mama ngasih pelukan hangat sebagai Mama dalam satu waktu bersamaan! Kurang hebat apa Mama Beby?! " Beby menyeka air mata Mamanya "jangan nangis lagi ya Mah,  nanti kalau air matanya habis gimana? Mama nanti gak bisa nangis di pemakaman Beby dong :'-)" canda Beby, yang akan menjadi kenyataan, namun entah kapan waktu datangnya.

Mama memukul lembut bahu Beby mendengar candaan yang menyakitkan seperti itu.
"Sarapan dulu ya? Tuh lihat sup nya jadi dingin kan, karena dari tadi ngobrol terus!"
"Gak apa-apa, coba deh sup nya angkat, simpan di tangan Mama, pasti langsung hangat lagi " senyum Beby disambut oleh Mama.


Aku hanya bisa terdiam dengan perlakuan mereka semua! Ada apa dengan hidupku belakangan ini? Kenapa? Apa yang salah dengan cara ku?!

Shania menangis merasakan kepedihan yang entah bisa dia bagi dengan siapa, ia terduduk sendu tanpa tahu harus melakukan apa. Photo itu... wajah di photo yang sudah robek itu... masih bisakah dia dijadikan tempat berbagi, seperti dulu? Kenapa harus ada sekarang? Kalau dulu saja sudah cukup membuat hati bahagia?! Apa seperti ini kehidupan? Aku butuh kamu. . . Beeby 

"Kalau lu terus nangis, mereka akan semakin senang, memperlakukan lu kaya gini!"
Seorang murid perempuan berjongkok memunguti buku-buku dan lainnya yang harusnya diam di tas Shania. Shania menoleh kearah murid itu, "Tas nya agak basah, tapi gak apalah entar juga kering " senyumnya sambil menyodorkan tas kedepan Shania yang masih dalam posisi duduk bersimpuh.

"Ooochi.." dengan rada sesenggukan Shania menyebutkan namanya.
Ochi tersenyum mendengar Shania menyebutkan namanya, "iya! Gue Ochi, dan lu Shania kan? "
Shania mengambil tas yang didalamnya sudah terisi kembali oleh barang-barang sekolah miliknya "kamu... ngapain disini?" Tanyanya dengan menyeka bekas air mata
"Nontonin orang... apa ya? emm- gue harus nyebut lu apa ya?" Pura-pura berpikir Ochi menjawab "orang lemah? orang sabar? orang penakut? atau.. orang bego aja kali ya!?" Lanjutnya, membuat Shania mengerung. Hatinya sempat kembali berpikir kalau dia akan kembali mendapat bully-an dari murid yang berbeda tapi kali ini teman satu kelasnya.
"Lu gak seharusnya dapat perlakuan kaya tadi dari Sinka sama teman-temannya!". . . "Gue yakin kok, lu bisa ngelakuin sesuatu untuk melawan atau sekedar menghindar dari aksi belagu mereka!!"
Shania tidak sedang ingin berpikir untuk menebak apa yang sebenarnya ingin Ochi sampaikan, dia masih merasakan rasa sakit dan malu dalam waktu bersamaan karena ulah beberapa gadis kota yang senang mencari musuh.
"Tangisan lu, malah bakal bikin mereka makin greget buat ngelakuin hal yang sama di lain hari! photo itu.. bisa lu cetak lagi kan? jangan melemahkan diri hanya karena sebuah gambar yang kenyataannya masih bisa lu jumpai!" Ucap Ochi, karena saat memperhatikan Shania, dia melihat Shania begitu sedih ketika Sinka merobek sebuah photo, yang tadi sempat Ochi lihat waktu memasukan barang-barang yang keluar dari tasnya Shania.

"Sebenarnya maksud kamu apa sih? Apa kamu juga sama kaya mereka!?" Tanya Shania akhirnya,
"Gue gak ada maksud apa-apa, cuma gerah aja, lihat orang sok lemah hanya karena sebuah gambar mati!"

"Gambar mati?... hmm-- gambar yang kamu bilang mati ini... hidup buat aku! Ini tuh namanya kenangan, ini gerak dalam otak aku!" bela Shania untuk menjawab.
"Karena kenangan itu... makanya lu jadi lemah dan diperlakukan tidak seharusnya oleh mereka!!" . . . ."Siapapun dia, orang yang ada di sebelah lu, gak seharunya bikin lu lemah! Dia yang harusnya bikin lu kuat!!". . . ."Buat apa lu nangisin orang yang bikin lu lemah!? Sementara di kehidupan yang lagi lu jalanin sekarang, lu di incar oleh orang-orang tak berotak bahkan tidak mempunyai hati, mereka bukan cuma bisa merobek kertas bergambar itu, dan juga menyiram lu pakai air bekas kaya tadi.. mereka bisa ngelakuin hal yang lebih dari sekedar merobek dan menyiram, sama lu!" Shania diam dalam kesal dan ketidak mengertian pada ucapan yang sedang dirangkai Ochi.

Ochi itu... saat pertama bertemu dengan Shania di kelas, pagi pertama berseragam putih-abu. Dia diam-diam memperhatikan tingkah Shania yang berusaha mendekatkam diri pada teman-teman lainnya, meski tidak pernah mendapatkan sambutan selamat datang yang hangat, tapi dia tetap selalu berusaha untuk bisa berbaur. Dia dan Shania duduk bersebelahan, pernah beberapa kali Shania mencoba menjalin komunikasi dengannya, tapi itu tidak pernah berakhir dengan obrolan seru. Ochi yang dalam pandangan Shania sama saja dengan yang lainnya, yang hanya menganggap keberadaannya antara ada dan tiada, membuat Shania pada akhirnya menyerah pada keadaan yang sedang berjalan di sekitarnya. Shania menanamkan kalimat "dia mau ngobrol, aku temenin. Dia mau diem, aku diemin!" Dalam otaknya. Tidak ada keinginan menggebu dalam dirinya untuk mencari sosok teman.

Semakin hari... setiap pergantian tanggal, Shania semakin diam dan hanyut dalam dunianya sendiri. berteman dengan smartphone saat istirahat (telponan dengan Beby, dan kadang suka ikut nimbrung Subhan dan Aji), menenteng sebuah novel dengan judul yang sama yang sepertinya tidak habis-habis dia baca, menyibukan diri agar terlihat kalau dia tidak butuh sosok teman karena dia sudah punya teman yang bisa diajak enak dalam segala hal. Dan tiba… masa dimana Shania mulai mendapat lirikan dari bullyer. Ochi ingin membantunya, setiap dengan atau tanpa sengaja dia melihat Shania sedang diintimidasi oleh murid lain (seringnya sih Sinka cs), tapi Ochi tidak langsung membantunya, dia hanya memperhatikan bagaimana Shania mengambil sikap dalam meladeni murid-murid itu. Ochi ingin tahu apa yang membuat Shania selama beberapa minggu bahkan menginjak hitungan bulan, bisa tetap kuat dengan intimidasi yang di lancarkan lawan padanya. Dan sekarang, pagi ini.. Ochi sepertinya bisa tahu, siapa orang yang sudah bisa membuat Shania bertahan tidak melawan, saat dia disudutkan. Orang itu..., orang yang ada di photo, di photo yang sudah di robek oleh Sinka, di photo yang kini tengah ditangisi oleh Shania, dialah yang sepertinya membuat Shania bertahan tidak melawan pada apa yang ditimpakan ‘teman-teman’ satu sekolahnya.

"Bentar lagi jam istirahat! Kalau lu mau keluar dari sekolah ini tanpa keliatan murid lainnya, sebaiknya sekarang lu keluarnya! Gue bisa bantuin lu... itupun kalau lu mau!?" Ucap Ochi setelah beberapa menit sebelumnya saling diam. Shania belum menggubris, dia masih menebak apa yang sebenarnya sedang Ochi lakukan padanya, "kalau emang gak mau dibantuin, ya udah. Gue pergi!... jangan terlalu lama diam diruang gelap yang pengap kayak gini, entar hati lu ikut gelap!" Lanjutnya sambil berjalan meninggalkan ruangan kosong penuh debu itu.

"Tunggu! mmm-- aku emang gak tahu apa maksud kamu berkata kaya tadi, tapi.. sepertinya kamu bukan salah satu dari Sinka, atau bagian lain yang kaya Sinka sama teman-temannya!!" Ochi menghentikan langkahnya "kalau kamu mau bantuin aku keluar dari sekolah ini... aku mau, aku mau dapat bantuan dari kamu!" dengan masih terduduk Shania mengucapkan kalimatnya. Ochi menyiratkan segores senyum tipis saat mendengar pernyataan Shania, dia membalikan badannya dan berjalan mendekat ke Shania.

"Gue bantu.. " dengan senyum Ochi mengulurkan tangannya,
Shania meraih tangan itu "makasih... kamu bantuin aku!"
"Gak masalah, oh ya.. soal ucapan gue yang tadi, gue minta maaf ya? Tadi gak ada maksud-maksud apa-apa kok! Gak ngeledek lu, gak juga ngejek orang yang ada di photo itu" Shania hanya menatapkan matanya pada Ochi "gue cuma gak suka aja, liat orang lemah ataupun sok lemah, padahal dia bisa ngelakuin sesuatu!" Shania hanya tersenyum untuk membalas ucapan Ochi.

"hemm-- Kamu... beda ya?" Ucap Shania.
keduanya mulai berjalan meninggalkan ruangan kosong yang hanya menjadi saksi bisu atas apa yang telah Shania terima.
"Beda? Apanya yang beda?" Heran Ochi
"Udah mau kelas XI, selama ini kita duduk sebelahan, tapi baru kali ini aku ngerasa bisa bicara sedekat ini sama kamu!" Papar Shania
Ochi tersenyum kecil "itu sih.. karena lu nya aja yang suka sibuk sendiri! Sibuk sama suara dari smartphone lu, sibuk sama novel lu, sibuk memikirkan pandangan orang lain sama lu, lu serba sibuk dalam garis lu sendiri, jadi, lu gak bisa memperhatikan lebih detail apa yang ada di sekitar lu!!" Jawab Ochi dengan penjelasannya. Shania diam, menurutnya.. apa yang diucapkan Ochi tentangnya ada benarnya juga.

Berjalan dilorong belakang sekolah, tanpa ada satupun yang memperhatikan keberadaan Ochi dan Shania, keduanya terus menembus jalan belakang untuk bisa keluar dari sekolah. Jalan rahasia itu... jalan yang Ochi temukan saat dia mengikuti Ospek dan menghabiskan waktunya sendirian tanpa ada yang dia kenal ataupun mengenalnya.


---
Malam ini... ditemani sinar benderang bintang nan jauh diatas sana, Shania kembali mencoba menghubungi sahabatnya. Dia mencoba menghubungi Beby lewat saluran telpon biasa, tidak memakai video call. 1 kali. . . . Tidak ada jawaban, Shania masih bersikap biasa. 2 kali. . . . Tidak ada juga jawaban, Shania merasa cemas dan campur aduk perasaannya menebak 'ada apa dan kenapa sebenarnya dengan Beby? Yang sangat dia rasa kalau Beby sedang menjauhi dirinya!'. 3 kali. . . . Tidak lagi mendapat jawaban, Shania mengambil jalan lain untuk komunikasi. Dia mengirimi Beby chat 'Hai... Beby ' ada tanda read, tapi tidak ada respon.
'Kamu lagi ngehindarin aku ya? Kenapa!?' Lagi, dia kirim Chat lagi. Masih seperti chat pertama, ada tanda read tapi tidak ada respon.
'Apa... ada kata-kata aku yang nyakitin kamu, pas kita terakhir ketemu?' . . . . .
'Kamu kenapa? Apa yang salah dari aku Beby? Jawablah? Aku mohon! Aku...' Shania mengirim chat dengan menghentikan dulu ketikannya, 'Aku butuh kamu... :'-( aku. . . Aku sangat butuh kamu, Beby! Aku sendirian sekarang!! :'-('. Tak terasa Shania menitikan air matanya kala ia mengetikan chat terakhirnya itu.

"Kalau kamu, gak mau angkat telponnya Shania. Setidaknya, balas lah chat nya dia sayang!" Mama memberi tahu dengan begitu lembut "ikatan batin kalian sepertinya sangat kuat , tadi pagi... kamu mimpiin dia kan? Dan sepertinya itu mimpi buruk!" Beby menatap Mamanya "dan sekarang... orang yang kamu mimpiin, coba menghubungi kamu, mengirimi kamu chat yang entah apa isinya, karena Mama tidak bisa lihat. Tapi pasti itu menyentuh! Apa kamu tidak ingin mengetahui keadaan Shania disana, sayang?" Mata Beby berair "kamu pernah cerita sama Mama. . . Kalau Mama Papanya Shania, bahkan Kakaknya yang sudah seperti Kakak kandung kamu itu, sering sekali ninggal-ninggalin Shania di rumah sendirian! Tidakkah kamu mau tahu tentang dia, yang kamu kasihi sebagai saudara itu!?" Beby terdiam, berpikir dalam-dalam "kita itu... meski dilahirkan sebagai yang sempurna oleh Tuhan, tapi kita tetaplah seorang manusia lemah, yang butuh seseorang untuk saling menolong atau mendampingi! Dampingilah sahabat kamu, sayang. dia mungkin butuh kamu sekarang, seperti kamu ... butuh dia!! " Mama tersenyum begitu sangat lembut, dengan mengelus pipinya Beby, Mama beranjak dari kursi didekat ranjang Beby.

Perasaan seorang ibu sangatlah kuat, ia bisa tahu kalau putri kesayangannya itu juga sebenarnya sangat ingin berkeluh kesah, menumpahkan isi hatinya yang dipenuhi rasa sesak karena himpitan rasa sakit di kepalanya yang seperti bom waktu itu, pada orang terdekatnya, pada seseorang yang sangat dia percayai selain dirinya yang sudah melahirkan Beby. Mama keluar dari ruangan Beby membawa nampan bekas makan malamnya Beby, sebenarnya... tidaklah perlu Mama keluar dari ruang rawat Beby dengan beralasan menyimpan bekas makan Beby, karena itu bukanlah alasan bagus. Tapi demi memberi ruang untuk Beby bisa berpikir dan mau menerina telpon ataupun membalas chat nya Shania, Mama jadi memakai alasan itu. Mama tidak ingin melihat Beby menyiksa dirinya sendiri seperti sekarang, sudah rasa sakit hebat sedang bermukim ditubuhnya, ditambah sekarang, rasa sakit yang sengaja dia pupuk dihatinya, dengan menarik diri dari sahabat karibnya.

Beby melihat handphone nya, membaca ulang setiap chat yang dikirim Shania, memikirkan ucapan Mama.
'sakit ini... boleh merenggut nyawaku tanpa ada pemberitahuan sekalipun, tapi. . . Tidak untuk merenggut persahabatanku dengan Shania! Mama benar, aku sayang sama Shania, jadi aku harus dampingi dia, tidak perduli apapun yang terjadi, aku akan tetap selalu ada untuknya!' Bisik hati Beby memupuk kekuatan. Saat Beby akan menghubungi Shania balik, Handphonenya bergetar lebih dulu, karena ternyata Shania kembali menghubunginya.. dan sekarang, tanpa perlu menunggu lama Beby langsung menggeser slide nya ke arah kanan untuk menerima telpon dari Shania.

"Halo!" Shania begitu antusias saat bunyi *tuut yang tadi dia dengar, ternyata sudah hilang dan berganti dengan mode kalau telpon sudah diangkat, "Haloo Beby! Kamu denger aku kan?" Lagi Shania bicara,
Beby merasa terharu mendengar suara Shania "Hhaa..I Shanju :'-)" balas Beby terbata
"Bebyyyyyyy.. akhirnya! Kamu ngejawab juga :'-)"
"Maaaf.. "
"Kamu emang perlu, dan bahkan harus! Minta maaf sama aku!!. . . Kelakuannya ya? Ish nyebelin tahu!!" Protes Shania dengan suara harunya, "kamu kemana aja sih? Sesibuk itu ya sekarang?! Sampai telpon dan bahkan chat dari sahabatnya sendiri, diabaikan gitu aja! Udah punya sahabat baru yang lebih segalanya dari aku ya?" cerewet Shania,
"Enggaklah, kalaupun aku punya teman lain, mereka pasti gak bisa gantiin kamu!" Puji Beby membalas
"Pujian kamu, tetap gak nembus dinding rasa kesal aku yang udah dicuekin lebih dari beberapa minggu kebelakang itu!" Kesal Shania.
"Iya dehh.. aku minta maaf! Aku salah!!"
"Hmm… Kamu belum jawab pertanyaan aku! Kamu kemana aja? Kenapa susah banget buat komunikasi sama kamu!? Kamu baik-baik aja kan?!"
Beby menahan harunya kala mendengar pertanyaan dari sahabatnya, apalagi pertanyaan terakhirnya, pertanyaan yang menanyakan tentang kondisinya, "Aku.. aku ada kok, dan... baik-baik aja! Cuma emang, kegiatan disekolah akhir2 ini terasa sangat menguras segalanya!" Jawab Beby,
Shania melamun mendengar ucapan akhir dari Beby tentang sekolah, "Disana... pasti asik banget ya Beb!" Suara Shania mulai terdengar dalam kesulitan yang dia sembunyikan "kalau aja, aku bisa sekolah disana! Pasti masa SMA ku akan sangat menyenangkan!!”. . . Beby terdiam mendengarkan “Kamu tahu? Aku butuh kamu Beby... aku gak tahu lagi, harus menyandarkan kepalaku dibahu siapa, saat kesedihan ini begitu menelusup tajam menyambangi hatiku!!!"
Beby merasakan perih saat mendengar ucapan itu "kamu bicara apa sih? Hah! tanpa adanya akupun, kamu pasti bisa menyandarkan kepala kamu dibahunya Kak Ve, Mama kamu, dan bahkan Papa kamu! Kamu juga pasti punya banyak teman yang bisa kamu ajak berbagi tawa-sedih kamu disana!!" Ujar Beby rada berbohong, karena dia tahu Shania sangat tertekan.
Shania melukiskan senyum getirnya "Haah, Papa.. Mama.. dan bahkan Kak Ve... aku.... aku sepertinya sudah kehilangan pegangan mereka, Beb!"
Beby merasa kasihan akan kisah Shania yang memang terakhir saat dia masih bisa berkomunikasi langsung secara fisik ataupun lewat telpon seperti sekarang dengan Shania, selalu mendengar keluhan hatinya tentang perlahan menjauhnya Papa, Mama dan juga Ve dari lingkupnya dalam satu udara itu.
"Coba aja, aku tetap diam disana, meski Papa dan Mama nenggelamin aku dalam kegilaan mereka pada pekerjaan, setidaknya... masih ada Kak Ve yang bisa aku jangkau, dan kamu... yang selalu bisa membuat hariku menyenangkan!!" Beby malah melamun dan ikut bermain dengan kata 'coba aja' yang sedang dirangkai Shania 'coba aja, aku gak sakit! Aku pasti bisa dampingin kamu, dampingin Mama, dampingin kalian, orang-orang paling berharga dalam kehidupan aku. Sampai nyawaku terbang dari tempatnya dengan cara Tuhan yang tidak bisa aku, atau dokter sekalipun tebak kapan akan perginya dari dalam tubuhku ini! Aku masih ingin melihat kebahagiaan kalian semua!!'
"Gak kayak sekarang, tidak seorangpun yang perduli sama aku, Beb. Bahkan disekolah pun, rasanya begitu sulit untuk aku bisa membaur dengan mereka!! Aku seperti orang buangan, yang tidak satupun diantara mereka yang mau menemani, bahkan sepertinya untuk menoleh ke arahku saja itu hal yang tidak pantas mereka lakukan!!!"

"Kamu bukan Shanju yang aku kenal!" Beby mulai menanggapi, "Shanju itu... gadis yang tidak pernah mengeluh, apalagi untuk urusan pertemanan. Shanju itu... gadis kuat dari Shakusi Jogja, yang bisa menempuh masa SMA di Ibu Kota negara kita. Shanju itu... gadis periang yang selalu membawa keceriaan, tidak perduli ketempat manapun yang sedang dia pijak. Shanju itu... gadis yang penuh pengertian dan toleransi pada siapapun. Shanju itu... gadis manis penebar senyum, yang bisa memikat orang yang melihat untuk bisa dijadikan teman. Shanju itu... gadis yang tidak pernah pilih-pilih dalam menjalin pertemanan. Dan Shanju itu... sahabat terbaik dan terindah yang Beby miliki! :'-)" Shania begitu terharu mendengar ucapan manis yang mengalir lembut dari bibir sahabatnya,
"kamu tidak pantas untuk mengeluh, Shan! Kehidupan kamu terlalu indah untuk diisi dengan keluhan!!" suara Beby menurun, dia merasakan sakit dikepalanya perlahan menyerang, mengetuk kepalanya. "Kamu pasti bisa ngelewatin semua yang merintangi jalan kamu.... (Beby memegang kepalanya yang terasa sakit) dengan.... atau tanpa aku!"
Shania tersenyum diikuti heran, karena mendengar suara Beby seperti menahan rasa sakit "Beby... kamu kenapa?" Beby tidak menjawab, rasa sakit mulai terasa intens terus menusuk dikepalanya. "Beb, Beby? Kamu baik-baik aja?" Shania terdengar khawatir,
Beby mencoba mengendalikan rasa sakit yang sedang menguasai dirinya "aaku.... aku ga..k aapa-apa...!"
Shania mencoba menerima ucapan Beby, meski terasa ganjil, dia kembali bicara "kamu.. emang selalu bisa ngasih aku ketenangan Beb, aku bahagia bisa punya sahabat kaya kamu! Makasih ya!!!"
Kali ini, Beby tidak bisa lagi menahan rasa sakitnya untuk dia sembunyikan dari Shania. Dengan tanpa membalas ucapan Shania yang sebenarnya masih ingin berbagi cerita dengannya, Beby menekan tombol merah di touchphonenya, dengan sebelumnya terdengar suara rintihan rasa sakit yang di tekan agar tidak terdengar begitu gamblang di gendang telinganya Shania.

"Halo? Beby? Halo!" Shania merasa cemas, karena sebelumnya mendengar suara aneh dari Beby. "Beb, Beby!?" Shania mengedapankan Handphone nya dan melihat ternyata sambungan telponnya terputus. "Hhaaaah.. aku harap, kamu baik-baik aja disana Beby, makasih sudah mau mendengarkan keluhanku.!"

Shania memutar musik dari IPad yang tergeletak disebelahnya, sebuah lagu yang dulu sering dia dengarkan dengan Beby. Alunan musik yang membuatnya melamun memutar setiap kenangannya sewaktu di Jogja, bersama pencerah hari-harinya. Sampai dia akhirnya tertidur dengan lengkungan senyum menghiasi wajah lelah dalam kesedihan yang sebagizn kecil sudah dia bagi pada Beby.

Sementara itu, di rumah sakit.. Beby sedang diperika oleh dokternya. Setelah menutup telpon dari Shania, handphonenya jatuh dan tak lama Mama pun datang, beliau sangat kaget ketika melihat Beby sedang menahan rasa sakitnya. Segera dengan tergesa dalam ketakutan dan kekalutan, Mama memanggil dokter yang biasa menangani Beby. Hampir satu jam, dalam pemeriksaan, dan dokter pun berhasil menidurkan Beby dengan dosis dari obat yang dia berikan.
Dokter bicara sedikit pada Mama, saat dokter masuk dan melihat handphone nya Beby tergeletak di bawah, yang menurutnya itulah salah satu pemicu kenapa Beby sampai merasakan serangan dari penyakitnya dengan kekuatan yang bisa saja membuat Beby tidak bisa lagi bertahan.
"Sebaiknya, benda-benda yang memancarkan radiasi seperti HP, dijauhkann saja dari Beby!" dokter itu melihat Mama Beby yang tidak lain adalah temannya sendiri
"denger An, Sel kanker dalam tubuh Beby, setiap hari terus berkembang dan membelah untuk menyebar dan masuk lebih cepat dalam sistem tubuhnya, perkembangannya itu cepat, bahkan sangat cepat, dari yang kita duga!! Kita harus segera mengambil tindakan lebih dari pemberian obat untuk mencegah pembelahan sel itu, seperti sekarang ini. Kita tidak bisa setengah-setengah dalam mengobati kanker, operasi sudah pernah dilakukan, tapi nyatanya.. tidak bisa membunuh penyakit itu begitu saja!! ikutilah saranku, bawa Beby ke Jakarta, disana... fasilitasnya lebih lengkap, ajak Beby untuk mengikuti imunoteraphy, karena mungkin itu jalan terakhirnya!!!" Mama memejamkan matanya sejenak mendengar ucapan dari dokter.
"Kalau... masih soal biaya yang kamu khawatirkan, kamu tidak perlu terus memikirkan hal itu! Aku dan semua dokter, perawat bahkan staff di rumah sakit ini siap membantu kamu sama Beby! Kalian itu bagian dari keluarga besar rumah sakit ini!!"

"Bukan soal itu, dok. Saya tahu... untuk biaya, pasti tidak akan menelan biaya yang sedikit, tapi saya akan selalu berusaha melakukan apapun agar Beby sembuh."
"Lantas? Apalagi?"
"Ini soal kekuatan dari Beby sendiri, untuk bisa melawan sakitnya itu. dan... Beby bukanlah orang pertama yang sakit kanker, ada Papa nya.. ada Papa nya yang lebih dulu terkena penyakit itu, Papa nya yang begitu kukuh berjuang untuk bisa sembuh tapi pada akhirnya.. " Mama hanya bisa menunduk sesak menceritakan kisah Papa
"Setiap orang... punya jalan kehidupan masing-masing! meskipun dalam keluarga kamu, ada Papa nya yang lebih dulu menderita karena penyakit itu, bukan berarti Beby akan mengalami hal yang sama dengan yang Papa nya alamin (meninggal pada akhirnya, setelah perjuangan melawan kankernya).; Berjuang itu perlu, untuk menunjukan sama Tuhan, kalau kita tidak pernah menyerah akan apa yang Dia berikan. Semua orang... semua yang hidup didunia ini, akan meninggal! Hanya cara dan waktu kepergiannyalah yang tidak kita ketahui, karena itu rahasia Tuhan!! Tabahlah untuk putrimu, dia membutuhkanmu lebih dari kamu membutuhkan dia untuk tetap bisa hidup dan berjuang dalam sakitnya, Beby anak yang kuat, maka dari itu.. kamu harus lebih kuat dari dia " nasehatnya begitu membuat Mama Beby terhanyut, apa yang dokter bilang tidak ada salahnya.

Mama masuk kedalan kamar Beby, duduk disebelahnya, membelai rambut hitamnya, menangis dalam hati, merasakan kesesakan yang teramat sangat memikirkan bagaimana agar putri kesayangannya ini bisa tetap ada disampingnya, sampai nanti... nanti saat beliau terlebih dulu yang melambai pergi pada Beby.



***
Komunikasinya yang total dia putuskan dari Beby, setelah percakapan terakhir yang menimbulkan tanda Tanya di benaknya, dan pertemuan yang direncanakan Shania karena ada pertanyaan itu, tanpa di duga.. ternyata itu menjadi pertemuan terakhirnya dengan sang sahabat. Pertemuan yang diakhiri dengan timbulnya rasa kesal di hati Shania,, atas apa yang dia lihat kala menemui sahabat kecilnya itu. Karena kesepian dan rasa terasing yang di alami Shania didalam rumah, membuat sosoknya kini jadi begitu sensitive dan merasa kalau dunia tidak berpihak padanya, dan ditambah apa yang dia lihat pada Ibunya saat sedang berada di luar rumah, kerap kali membuat Shania hanya bisa menahan amarah tanpa tahu harus dia lampiaskan pada siapa, atau sekedar berkeluh kesah dengan siapa. Dan kini… Shania tidak lagi mau menghiraukan apa yang membuat hatinya sakit; tidak Papa, Mama, Veranda, dan atau Beby sekalipun. Dia sekarang lebih asik dengan apa yang ditunjukan Ochi padanya, tentang persahabatan baru, tentang kesamaan nasib yang ditinggal-tinggal bahkan hampir diabaikan keberadaannya oleh orang tua mereka, tentang adanya penghianatan oleh orang yang dulu begitu dia percayai, dan tentang kesamaan lainnya yang mulai mereka temukan seiring dengan seringnya mereka mengungkap sebuah cerita dalam perjalanan hidupnya. Karena setelah pertolongan pertama di hari kelam itu, di sebuah ruangan kosong yang membisu, Shania dan Ochi mulai dekat, seperti baru pertama kali mengenakan putih-abu, Shania bisa menemukan teman untuk menemani kesehariaannya, dan bahkan bisa Shania pakai untuk menenggelamkan nama beby di dalam alur hidupnya.


Beberapa kali, setelah bully an terakhir Sinka pada Shania waktu itu, dia selalu mendapat perlawanan dari Shania. Perlawanan yang diperlihatkan Shania tidaklah ekstrim (menghindar dari Sinka dengan sebelumnya mengucapkan kalimat pedas yang berhasil membuat Sinka terbakar) seperti bully-an yang dilancarkan Sinka. Namun satu hari, saat Shania sedang asik bercanda dengan Ochi di dekat kolam air mancur halaman depan sekolah, dia kembali di datangi oleh Sinka dan teman-temannya yang kali ini, Sinka langsung membawa backingan Kakak kelasnya untuk menyerang Shania. Ochi pernah bilang pada Shania, kalau tingkah menyebalkan yang sering di perlihatkan Sinka ataupun murid-murid sebangsanya yang suka menindas murid lain, tidak terlepas dari yang namanya senior. dengan uangnya, mereka bisa membayar senior yang memiliki pengaruh besar (ditakuti) di seantero Sekolah, untuk menjadi pelindung atau penyerang demi kepuasan mereka menaklukan murid yang tidak mereka sukai.

"Ada apa lagi nih?" Tanya Ochi pertama kali
"Diem lu! Gue gak ada urusan sama lu!! Gue ada urusannya sama dia!!!" Sinka menancapkan pandangan tajamnya pada Shania.
Saat Ochi akan kembali bicara, Shania menghentikannya.
"aku pikir, kalian mau udahan jadiin aku mainan! Tapi ternyata... kalian masih terus mancing kesabaran aku!!" Ochi melihat Shania yang memasang tampang tidak seperti biasanya saat menghadapi Sinka "mana sekarang, pake bawa-bawa senior lagi!"

"Gue gak suka sama gaya lu! Selama lu masih ada di sekolah ini, selama itu juga gue bakal terus bikin lu gak betah sekolah disini!!" dengan belagunya Sinka bicara.

Shania tersenyum sinis menanggapi ucapan Sinka, "terus? kamu pikir.. aku akan terus diam selamanya? Kesabaran itu ada batasnya! jangan bikin apa yang sudah kamu rencanain malah balik nyerang kamu!!" Ochi merasakan kegelapan yang ditunjukan Shania; Sinka geram akan apa yang dia dengar.
"Kalian.. dibayar berapa sama dia?" Lanjut Shania yang kini mencoba menjalin komunikasi dengan senior guard nya Sinka "aku... bayar kalian 4kali lipat, dari yang sudah dibayarkan Sinka sama kalian, Gimana?" Tanpa banyak apapun lagi, Shania langsung menawarkan. Ochi merasakan senang saat mendengar ucapan Shania, dia merasa inilah titik balik dimana kesabaran dari seseorang yang merasa kesepian membuncah; Sinka melebarkan matanya mendengar perkataan Shania.
"Kalau kalian setuju, aku mau... kalian bawa Sinka sama temannya-temannya ke ruangan kosong yang ada di pojok sekolah!"
Senior yang jumlahnya 8orang itu, saling berbisik sejenak lalu... mereka menyekap tangan Sinka dan teman-temannya dan menyeret paksa mereka ber4 ke tempat yang diminta oleh Shania, tanpa banyak pertanyaan atau pernyataan.
"Heh! Apa-apaan nih?" Berontak Sinka "gue udah bayar kalian ya! Lepasin tangan gue!?! Gertak Sinka "jangan kalian dengerin apa yang dia ucapkan! Dia itu gak punya apa-apa!!" Shania dan Ochi hanya melukiskan senyum sinisnya.

"Sorry Sin, ada yang lebih dari apa yang lu berikan! Gue ikutin mana yang lebih!!" Jawab seorang senior, lalu membawa Sinka dan teman-temannya ketempat yang ditunjuk Shania.


CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *7th Chapter*


...PELANGI DALAM SAKURA...
*7th Chapter*

"gue, Ochi!" ucap, murid perempuan yang memiliki tinggi badan yang sama dengan Shania.
"aku, Shania.." balas Shania
"lu, ga ikut ospek ya kemarin?"
Shania menggeleng, dengan matanya masih melihat ochi
"owhh.. pantes, gak lihat!"

Ochi inginnya mencoba mengakrabkan diri pada Shania, namun tak lama seorang guru datang, yang ternyata guru itu adalah wali kelas untuk kelas mereka sekaligus guru bahasa inggris. Semua siswa terlihat begitu tenang tak bergemuruh, hanya alunan nafas mereka yang berbisik, saat guru yang berperawakan kecil, terlihat masih muda dan cantik, tapi begitu penuh karisma itu memperkenalkan dirinya pada murid-murid yang akan berada dibawah tanggung jawabnya.

"selamat pagi anak-anak.."
"pagiiiii….. bu" secara serempak dan senada mereka menjawab, dengan suara yang lebih didominasi oleh suara dari murid laki-laki.
"hmm.. kok gak ada semangatnya? ini hari pertama loh!" basa-basi guru mungil berkulit putih itu, dengan wajah dipenuhi senyum bahagia.

tidak ada tanggapan, semua murid diam. mungkin karena ini hari pertama, jadi masih mencoba meraba untuk beradaptasi.

"kira-kira... dari kalian ada yang sudah tahu nama ibu?" ibu wali kelas mencoba membuat jalan untuk anak muridnya bisa mengeluarkan suara.
"ibu.. Kirei!" dengan lantangnya seorang murid laki-laki berbicara, membuat guru bahasa inggris itu melengkungkan senyum, karena sepertinya pancingannya berhasil membuat murid-murid siap berbicara.
"salah, weii!" sambar murid laki-laki lainnya "ibu itu... namanya, ibu... Melody! Iya kan?!” lanjutnya begitu percaya diri.
"huuuh, sok tahu lu!" ikut lainnya, hanya murid laki-laki yang rame bicara, sementara murid perempuannya belum ada yang terlihat ingin bicara, mereka hanya ikut menyoraki saja.
"ya tahu lah, lu kemarin pas Ospek gak pada baca buku panduan sekolah ini apa ya? disono jelas banget ada profil, guru-guru sama staff sekolah ini!" jawabnya
"iya, dan gue juga tahu.. yang lu lihat pasti staff sama pengajar yang cantik-cantik gitu kayak Bu Melody, iya kan?"
"ya iyalah.. gue kan masih normal! gile aja lu gue baca-baca profil staff sama pengajar yang bapak-bapak!!"

Semua murid bersorak ria menanggapi murid tersebut. sementara Ochi, hanya tersenyum sambil menggeleng melihat tingkah teman-teman sekelasnya. Shania tak berkomentar, tak bereaksi, dia tidak terlalu focus pada apa yang sedang bergemuruh di kelasnya. Ochi melihat Shania, dia terhenti sejenak dan terus melihat Shania sambil memikirkan sesuatu.

"Sudah-sudah, kenapa ramenya jadi seperti dipasar!” kata Melody, menghentikan adu argument murid-muridnya.
Seketika mereka diam, menuruti apa yang dikatakan gurunya.
"iya! Nama ibu Melody, dan mulai hari ini.. ibu menjadi guru bahasa inggris.. sekaligus, ibu juga di berikan tanggung jawab oleh pihak sekolah untuk menjadi wali kelas kalian!" lanjutnya begitu mantap. Semua murid terlihat senang dan antusias dengan apa yang di ucapkan Melody.

"2jam ini, ibu tidak akan memulai pelajaran dulu. Karena Ibu mau tahu dan kenal terlebih dahulu sama murid-murid ibu yang penuh semangat ini! Bagaimana? Ada yang berani maju untuk memulai? Atau, ibu panggil sesuai absensi!?"

Dengan cepat seluruh siswa di kelas mengangkat tangannya, kecuali ochi dan Shania.

"hmm, ibu mau... kamu yang maju lebih dulu!" ucap Melody dengan telunjuk tangannya dia arahkan pada Shania yang duduk bersebelahan dengan ochi. Teman-teman lainnya langsung mengarahkan pandangan mereka pada Shania.

Shania melangkahkan kakinya kedepan, dengan raut muka yang tidak ada semangat sama sekali. Ibu Melody memperhatikan muridnya itu. Dia menghela nafas sebelum memulai perkenalannya
"hai semua… nama aku Shania junianantha, aku dari SMP N 4 Shakusi Jogjakarta. . . . mmm, kalian bisa panggil aku Shania, Terima kasih!” Ucap Shania, dengan diakhiri membungkukan badannya.
"ada hal lain yang mau kamu katakan Shania?" Tanya Melody, Shania melihat kearah wali kelasnya itu, lalu menggeleng.
"ada yang mau ditanyakan? Pada Shania!" Melody beralih pada murid lainnya.

Seperti tingkah murid laki-laki kebanyakan, mereka saling berebut mengacungkan tangan nya untuk bisa bertanya pada murid perempuan, untuk sekedar mencari perhatian.
Perkenalan terus berlanjut hingga 2jam tidak terasa. Setelah perkenalan, berlanjut ke obrolan lain, dan. . . pemilihan murid-murid yang akan bertanggung jawab atas kelas X-4 selama satu tahun kedepan.


***
"Gimana Jakarta? Enak gak tinggal disana?!"
Subhan membuka obrolan kala ia hanya berdua dengan Shania.

Mereka ber empat sedang bermain di pesisir pantai kala Shania main ke Jogja, dia mengajak Subhan, Aji dan juga Beby untuk bermain ke pantai menggunakan mobilnya.

"Emmm-- enakan disinilah! Ada Beby, tante Ana, ada kalian juga " jawabnya dengan diakhiri memandang Subhan
"Emang disana kenapa?"
"Disana... aku selalu merasa sendiri Chub, di sekolah juga, aku gak bisa punya banyak teman. Seolah mereka sedang menghakimi aku yang hanya seorang gadis dari sudut Jogja, yang tidak setingkatan dengan mereka!" Kesahnya dalam jawaban "mereka dekat kalau aku punya segalanya, tapi... kalau aku tidak punya apapun mereka pasti akan menyingkirkan aku. Haaahh-- Jakarta terlalu menuntut harta, bahkan untuk seorang teman :'-)"

Subhan melihat Shania "kamu pasti bisa melewati semuanya, kamu harus tunjukan sama mereka, yang menganggap pertemanan itu hanya sebuah simbol yang digambar oleh harta. Waktu disini, kamu bisa dikenal oleh hampir seluruh penghuni Shakusi, masa di Jakarta enggak! "
giliran Shania yang melihat Subhan, dan posisinya jadi tatap-tatapan, "dan kamu tahu gak? Kenapa mereka waktu di SMP begitu senang mengenal kamu?",
Shania mengerung kecil, lalu menggeleng pelan.
"Itu karena kamu punya ini (Subhan mempraktekan senyum 2jari, dengan mata dia sipitkan, khas senyum Shania)"
"Eh? Apaan tuh? Hahahaa bisa aja!" Tawa renyah Shania.
"Aku serius tahu, itu yang bikin mereka senang kenal sama kamu. Senyum kamu Shan, senyum kamu yang merangkul mereka untuk bisa membuka diri, senyum hangat kamu yang membuat mereka berpikir, kalau kamu itu gadis yang menyenangkan dan tidak memilih-milih untuk dekat dengan siapapun!", Shania mengeluarkan senyum manisnya setelah tawa renyah "apapun yang terjadi, jangan hapus, apalagi dihilangin senyum manisnya ya, karena senyum kamu juga yang bikin aku...-"
"Bikin. . . Aku. . . Aapa?" Tanya Shania penasaran
"Bikin aku su,-"

"Woyyy! waduhh, malah pacaran lagi.. gue ama Beby gue jauh-jauh nyari air kelapa, lu berdua malah asik bisik-bisikan, mana tatap-tatapan lagi, udah kayak di sinetron striping lu berdua!!"

Shania kaget akan kedatangan Aji dan Beby; Subhan menjatuhkan kepalanya lemas, karena lagi-lagi dia gagal menyatakan cintanya pada Shania; Beby tersenyum dan mulai bersuara
"Yaaa.. maaf ya udah ganggu  kayaknya barusan ada moment penting deh!"
"Moment? Moment apaan Beb?" Tanya Aji
"Euhh! Gak pernah berubah, nggak bisa peka banget sih!!" Ejek Beby "kedatangan kita ituuu.. mengganggu mereka tahu!!"
Aji melihat Subhan dan Shania "ouwhhh, maksud lu, mereka yang lagi pacaran?!"
Beby tersenyum dan mengangguk kecil "yaudah deh, nih ambil kelapanya! Gue mau main di pantai sama Beby gue.. yuk Beb!" Lanjut Aji lalu menarik paksa Beby.
"Eeehh. . . Aku ikut!" Shania malah ikutan berdiri mengejar Aji dan Beby.

Angin sepoi menemani keriangan mereka ber4, bermain air laut yang begitu biru, tawa bahagia, ejekan canda yang menyenangkan, membuat ke4 nya terlihat sangat akrab.

Akankah seterusnya aku bisa tertawa bareng bersama mereka semua? Aku merasa hidup saat dengan Beby dan juga mereka, Tuhan semoga kegembiraan ini akan bisa terus aku rasakan, setidaknya bersama sahabatku aku masih bisa merasakan kebahagian, karena Mama sama Papa terasa terus menjauh dalam kehidupanku. Terima kasih untuk hari ini Tuhan! 

Sepulangnya dari pantai, Shania mampir dulu kerumah Beby, disana dia menceritakan perbincangan dirinya dengan Subhan, Beby dari diam serius mendengarkan... berubah senyam-senyum manis hingga di ending dia meluncurkan godaan untuk Shania.

Tidak lama, Shania diam dirumah Beby karena waktu semakin sore, dan dia harus kembali ke Jakarta. Sebuah pelukan hangat mengantarkannya pulang ke Jakarta. Rotasi itu mungkin akan terus seperti saat ini untuk Shania dan juga Beby hingga... entah hingga kapan.

"Pokoknya! Kalau libur semester nanti, kamu yang harus main ke Jakarta! Kalau perlu, aku culik aja kamu dari Mama Ana!! "
"Kayak yang berani aja, nyulik-nyulik aku!"
"Emm, ngeremehin Shanju!? Gak tahu siapa Shanju?"
"Enggak! Emang kamu siapa? Penting apa aku harus tahu siapa kamu " balas Beby dengan canda ejekannya.
"ck_- iya deh.. tahu dehhhh... siapa Beby Chaesara Anadila yang sekarang! Hmm-- susah deh, sekarang mau ngerjain kamu, udah gak pemalu sih!!"
"Iya! Dan itu karena kamu!! Aku berubah jadi gak pemalu, tapi..,-"
"Malu-maluin! Hahahaa" sabet Shania pada apa yang akan diucapkan Beby, Beby memanyunkan bibirnya sedikit lalu ikut tertawa bersama Shania.

Mobil berplat B itu mulai meninggalkan aspal komplek, Shania pulang dengan raut wajah yang begitu bahagia. setelah plat nomor mobil yang membawanya ke pantai tadi hilang dari penglihatan Beby, ia pun mulai menggerakan kakinya untuk kembali masuk kedalam rumah, namun... saat dia didekat gerbang yang tingginya hanya sepinggang, Beby merasakan pusing sampai-sampai dia tidak bisa menahan berat tubuhnya sendiri, dan akhirnya dia menggapaikan tangannya kepagar besi untuk mempertahankan agar dirinya tidak sampai jatuh keatas tanah
"Hsss-- aaaauwww..." rintihnya sambil memejamkan mata "kenapa tiba-tiba pusing gini! Aduuuhhh, heeeeuu ssakit lagi!!" Kini tangan kirinya dia angkat dari pagar besi untuk meremas kepalanya yang terasa sakit.

Entah berapa menit Beby dalam posisinya kini, dia mulai membuka matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menyeimbangkan penglihatannya, dengan tangan kiri masih meremas kepalanya, Beby berpikir kalau dia harus bisa masuk ke rumah untuk mengistirahatkan tubuhnya. Mulai berjalan meski sedikit sempoyongan, akhirnya Beby bisa masuk juga ke rumah, dia langsung membantingkan tubuhnya keatas sofa di ruang keluarga, memijat-mijat kepalanya. Dengan perlahan, rasa sakit yang tadi menyerangnya tiba-tiba, hilang dengan sendirinya. Sampai, tanpa Beby sadari dia ketiduran di sofa, hingga Mamanya pulang dari rumah sakit.

Mama menatap sebentar putri satu-satunya itu, ia mengusap lembut pipi Beby dengan senyum dan ucapan yang hanya dia lantunkan di hati.
"Kamu begitu mirip dengan almarhum Papa kamu sayang! Mama sayang banget sama kamu!!" . . . "Mama tidak mau kehilangan kamu, seperti Mama kehilangan Papa dulu, Mama akan selalu menjaga kamu! :')"

Beby yang merasakan sentuhan dibagian wajahnya perlahan terbangun
"Ma..Mama...!" Mama membalasnya dengan senyum "Mama kapan pulang? "
"Baru saja, pasti mainnya rame banget ya? Sampai wajah kamu terlihat lelah begitu!" Beby mengangguk dengan diikuti senyum
"udah makan belum?"
"tadi sih.. beli bakso sama Shania Mah, oh ya... Shania titip salam, katanya maaf karena pulangnya gak pamit sama Mama!"
"Berarti belum makan dong! Mama tahu, tadi Shania mengirimi mama pesan singkat! cuci muka dulu sana, Mama bawain makanan kesukaan kamu, kita makan malam sama-sama!"
"Wihh.. enak nih, tapi... apa nantinya Beby gak akan gemuk? Kan kalau makan malam-malam gini suka cepet gemuk Mah!"
"Memangnya kenapa kalau gemuk? yang penting itu.. bukan Gemuk atau kurus, tapi sehat! Kalau kurus tapi sakit-sakitan? Mau!?"
"Iya deh bu Suster.. paling bisa nih Mama suster " Beby berdiri dari sofa, dia sudah tidak merasakan lagi sakit di kepalanya, sebelum berjalan untuk mencuci muka, Beby menyempatkan mendaratkan ciuman di pipi Mamanya, hingga Mama mengeluarkan protes
"Beby sayang Mama... *mmuachh "
"SaYang.. ihh itu jorok tahu? Iler kamu nempel nih di wajah Mama!"
"Biarin, yang penting Beby sayang sama Mama, hehee"

---
Hampir setiap hari, di jam yang berbeda, setelah kejadian waktu 2minggu lalu di depan rumahnya sendiri, Beby selalu merasakan pusing itu, rasa pusing yang sama persis seperti waktu itu yang datang tiba-tiba merasuki kepalanya, meski hanya dalam hitungan menit yang tidak terlalu lama, tapi itu cukup membuat Beby kerepotan, apalagi jika rasa sakit nya datang saat dia sedang berada di kelas mengikuti pelajaran, seperti sekarang.

"Beb.. psst... psst-psst" Aji mencoba memanggil Beby yang sedang meremas kepalanya "Bebyy.. lu kenapa?" Beby belum bisa menjawab, karena dia tidak mendengar ada suara seseorang sedang memanggil dan membuat pertanyaan padanya.

Aji menatap lekat Beby, ia tidak memperhatikan guru yang sedang memberikannya ilmu, sampai dia kena tegur guru itu dan diancam akan disuruh keluar kelas kalau masih seenaknya selama ada dikelasnya. Beby yang sedang memegang kepalanya pun seketika menghempaskan tangannya kebawah agar guru yang sedang memperingati Aji tidak melihat kearahnya. wajahnya terlihat menahan rasa sakit, dia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir sesuatu yang sedang memukul-mukul kepalanya.

*jam istirahat datang*
"Lu kenapa Beb?" Tanya Aji yang saat mendengar bell istirahat langsung melesat ke tempat duduk Beby
"Kenapa? Apanya?
"Lu sakit ya? Muka lu pucet tahu!"
Beby memegang kedua pipinya "masa sih? Enggak ah! Aku gak lagi sakit!!" Sanggahnya,
Aji membuat kerungan kecil, saat dia akan kembali bertanya, suaranya keburu kepotong oleh Subhan yang datang dari arah luar. Subhan tidak satu kelas dengan Beby dan Aji, itu kenapa dia datang ke kelas mereka untuk mengajaknya makan di kantin.

"Woy! Ngapain lu berduaan dikelas?! Bikin orang sirik aja!!" Ucapnya dengan mengejek "ke kantin yuk ahh, gue yang traktir deh! Panas gue liat lu berduaan kayak gini, entar gue dikira setan lagi!" Subhan merangkulkan tangan kanannya pada Aji, dan melihatkan pandangannya pada Beby yang sedang tersenyum, dan sudah sedari tadi melihat dirinya. Perlahan dia melepaskan rangkulannya pada Aji dan mulai menilik Beby dengan begitu telik
"lu... saakit Beby?" Pertanyaan Subhan sama persis dengan pertanyaan Aji sebelumnya, dia mendekatkan wajahnya pada Beby dan tanpa ada komando, Subhan menempelkan punggung tangannya di kening Beby "gak panas sih, tapi muka lu pucet banget!" Ucapnya, dapat hempasan dari Beby pada tangannya yang sedang parkir di kening Beby.

"Ini.. gak si Aji, gak kamu.. kenapa sih? Pada tanya-tanya gue sakit apa enggak! Gue itu baik-baik aja, gak panas, gak dingin. Biiiasa aja! Puas?"
"Lihatkan, emang bukan gue aja yang bisa liat wajah pucat lu itu! Kalo lu sakit, lu pulang aja, biar gue anterin!" Subhan hanya diam mendengarkan dengan wajahnya masih mempelajari wajah pucat Beby.
"Apa sih Ji, lebay tahu gak! Udah ahh yuk ke kantin, pada lapar kan!?" Ucap Beby dengan mengangkat tubuhnya dari tempat duduk tapi, belum sepenuhnya berdiri. . . Dia merasakan kepalanya sakit kembali, dan kali ini... bikin Aji dan Subhan memasang tampang cemas bukan main, karena Beby tidak bisa lagi mempertahankan kesadarannya, untuk menahan rasa sakit.

*bruuukkk* dengan sengaja, dan entengnya seorang murid perempuan dari kelas lain menabrakan lengan atasnya pada Shania yang sedang berjalan. Shania mengambil novelnya yang jatuh, dia tidak ingin menghiraukan si penabrak. Ia berdiri dan memulai berjalan untuk melewati murid-murid itu.

"heh! Lu gak minta maaf apa!? Barusan lu nubruk gue, Freak!" Cemoohnya pada Shania,
"Eh, malah diem lagi.. lu gak denger apa yang barusan di katakan temen gue? Udah salah, malah sok bener lagi! Dasar cewek kampung dari Jogja!!" Shania membalas tatapan murid-murid itu ketika menyebutkan Jogja
"Apa lu liat-liat kita kayak gitu? Gak suka lu? Hah!" . . . "Ambil novelnya!" Kemudian dia memerintahkan teman-teman lainnya untuk merebut novel yang ada di tangan Shania
"Nggak, Jangan! Aaku minta maaf.. barusan aku yang salah, maaf karena sudah menabrak kalian.." ucap Shania, dengan tangannya menyembunyikan novel di belakang punggungnya.

karena masih melihat tatapan pemburu dari si murid-murid itu, Shania kembali meminta maaf dan kali ini diikuti bungkukan badannya, begitu terlihat sangat sopan dan terkesan memang dialah yang salah.

Murid-murid yang sedang melancarkan aksi bully nya itu tersenyum sinis bak seorang perampok yang sudah bisa menggasah rumah mewah dengan imbalan yang besar.
"Girls.. enaknya, si anak kampung orang kayak baru ini, kita apaain ya?" Teman-teman lainnya saling sahut, menanggapi.

Belum aksi bully lainnya mereka lakukan, Melody terlihat berjalan diujung lorong tempat Shania sedang dikelilingi Bullyer paling berkuasa di sekolahnya.
"Waduh, Sin.. Sinka!"
"Apa sih Van?"
"Itu.. ada guru lagi jalan kesini!" Tunjuk Vanka dengan dagunya kearah Melody yang sedang berjalan.
Sinka memiringkan wajahnya untuk melihat ke ujung lorong, dan benar saja, seorang guru berperawakan kecil itu sedang berjalan kearah mereka "ck.. ganggu acara tuh guru! Cabut, gue lagi males debat sama guru kesiswaan!" Ajaknya kemudian, dengan sebelumnya dia mendekatkan wajahnya dan berbisik pada Shania
"kalau nanti... lu berdoa yang lain buat minta bantuan sama Tuhan! Jangan berdoa minta datengin guru!!. . . Kita, pasti akan ketemu lagi, dan nanti... akan jauh lebih menyenangkan" Sinka mengedipkan mata kirinya pada Shania yang diam mematung, merekapun pergi meninggalkan Shania.

Satu-dua bulan saat menjalani masa SMA di Sekolahnya kini, Shania biasa saja menjalani kesehariannya sebagai murid disana. datang tepat waktu, pulang langsung ke rumah tidak keluyuran seperti murid-murid lainnya, selama mengikuti pelajaran dikelas dia tidak pernah membuat masalah, dimata para pengajarpun Shania itu anak yang baik, dan untuk wali kelasnya, Melody. Shania itu anak yang penurut, tidak banyak tingkah, baik di kelas dengan teman-temannya, ataupun dengan murid-murid lainnya di sekolah. Meski, dia lebih banyak menghabiskan waktu selama di lingkungan sekolah itu sendirian, nyaris tidak ada satupun seseorang disampingya ketika dia berjalan ke kantin atau saat akan masuk dan pulang sekolah. Shania tetaplah baik.

Shania... bukan tidak tertarik untuk mengulurkan tangannya pada teman-teman di sekolah atau bahkan di kelasnya sendiri, tapi, mereka yang Shania ajak bertemanlah yang tidak mau membalas uluran tangan Shania secara tulus (Di Jakarta, semua terasa begitu sulit, jangankan untuk mencari rezeki, mencari teman saja saja susahnya minta ampun. Mungkin. . . Pemikiran mereka terlalu dikuasai materi tanpa memikirkan imaterinya). Setelah itu, Shania tidak pernah lagi dengan sengajanya mengulurkan tangan diikuti senyum manis penuh kehangatan untuk merangkul seorang teman. Dan ditambah kini, semakin hari setip perpindahan tanggal, yang entah dimulai di angka berapa, Shania mulai diincar oleh bullyer di sekolah elite nya itu, tanpa dia inginkan dia selalu dijadikan sasaran si 'sadis' yang membuatnya terlihat jadi si 'lemah', Shania pernah coba melawan, tapi dengan hitungan orang yang berdiri dikiri, kanan, depan bahkan belakang mereka, Shania mustahil untuk bisa melawan, dan akhirnya... setelah dia pelajari bagaimana pergerakan si bullyer (semakin dilawan, semakin menjadi ingin menjatuhkan dirinya) Shania pun tidak ingin melawan dan selalu dengan sengaja menghindar dan mengalah.

"Shania, kamu kenapa?" Tanya Melody, saat dia sampai ditempat Shania berdiri, pandangan Melody sekilas dilihatkan pada Sinka dan teman-temannya.
"emm, enggak Bu, aku gak apa-apa!" Balasnya dengan mengukirkan senyum,
"Oh, ya sudah! Kalau kamu ada masalah, cerita sama Ibu, siapa tahu Ibu bisa bantu kamu " tawarnya penuh kehangatan, Shania membalas senyum Melody "iiya Bu, makasih " ... "Shania pamit dulu Bu, mau ke Kantin!" sambungnya dengan berpamitan pada Melody. Melody membalasnya dengan anggukan yang masih diikuti lengkungan senyum.
"Kasihan Shania, dia yang selalu terlihat sendiri di kelas, dan bahkan saat jam istirahat seperti ini! Apa yang sebenarnya membuat kamu terlihat sulit untuk berbaur dengan yang lainnya?" Ucap dalam hati Melody dengan matanya melihat punggung si anak didiknya "dan... kenapa dengan wajah kamu? Kenapa akhir-akhir ini, begitu tersirat rasa tidak bahagia? Apa kamu sedang ada masalah dirumahnya?"

Melody memang sangat memperhatikan murid-muridnya, apalagi dia diberikan tanggung jawab oleh pihak sekolah menjadi wali kelas. Menjadi wali kelas, kelas Satu itu... bukanlah hal yang mudah, ada tantangan tersendiri untuknya berada di posisi ini, mereka yang kedepannya harus menentukan akan mengambil jurusan apa setelah kenaikan kelas, mereka yang harus dituntun untuk menemukan bakat dan kemampuan baik dibidang akademis maupun non akademis, banyak lagi hal yang harus di pelajari dari mereka yang baru memakai seragam Putih-Abu, dan peranan Wali Kelas sangatlah penting dalam rentetan perjalanan awal mereka hingga akhirnya mereka ada dilangkah yang berikutnya.


***
Rumah yang seharusnya, menjadi tempat paling nyaman untuk berteduh, menyandarkan diri dari kerasnya dunia, dalam kehidupan seseorang. bisa bercerita lepas tentang keluh, kesah, suka dan duka, berbagi setiap cerita yang dialami baik dengan orang tua, adik, atau kakak. Bagaimana? jika Tiba-tiba keadaan nyaman itu berubah. secara perlahan tapi pasti, rumah justru menjadi tempat yang paling tidak ingin dipijak dan akhirnya yang tersisa hanya keheningan dari gemuruh yang sebelumnya begitu menderu.

Satu tahun sudah, Shania dan keluarganya tinggal di Jakarta. Menempati rumah megah dengan fasilitas serba Wah. Awalnya, Shania selalu mensugesti dirinya sendiri dengan apa yang dikatakan Kakaknya, Papa dan Mamanya kalau keadaan keluarganya akan baik, bahkan lebih dari baik dengan saat tinggal di jogja.

Awal episode kepindahan yang dipercepat itu memang cukup menyenangkan dirasa oleh Shania, karena masih tetap bisa main ke Jogja, bertemu Papa dan Mama di meja makan saat sarapan dan atau makan malam, bersenda-gurau dengan Kakak perempuannya. Tapi semakin kesini, setiap hari saat episode itu terus bertambah, keadaan dirumah dalam kota baru berhiaskan kegemerlapan itu berubah... bukan lebih atau lebih dari baik, namun menurun dan sangat menurun. Bukan dalam hal financial tentu, tetapi dalam hal kehangatan keluarga. Belum lagi Beby, sang sahabat karib yang selalu bisa mengerti dirinya, akhir-akhir ini begitu susah untuk dihubungi. Shania pikir, mungkin Beby sedang sibuk dengan sekolahnya dan juga kegiatan dia yang lain. Dan ditambah dengan masalah yang sedang dia hadapi kini disekolah.

Yang akhirnya. . . Membuat sugesti dari bisikan Ve, Ucapan lembut Mama, Janji Papa, yang di tanamkan di dalam otaknya pun perlahan luntur, dan hanya menyisakan rintihan kerinduan dari hatinya. Rindu akan adanya sosok Papa yang bisa memberikan nasihat, rindu pelukan Mama yang menenangkan, rindu candaan Kakak yang mengundang tawa hangat dalam cengkrama. Dan rintihan rasa sakit dari apa yang sedang dia hadapi tanpa adanya satu orangpun di sebelahnya.


Shania mencoba menghubungi Beby untuk membagi ceritanya yang selama satu semester terakhir ini dia alami di sekolah, dan kisah yang sepertinya akan mendapat ke suraman di depan nanti tentang keadaan keluarganya yang dirasa sudah tidak "sehat".
*tuuuut... tuuuut... tuuuut...*
Panggilan itu tersambung, namun belum ada respon.
*tuuuut... tuuuut..,- nomor yang anda tuju..,*
Shania menekan tombol putus, lalu kembali menekan tombol pemanggil, beberapa kali dia melakukan itu tapi tidak ada sama sekali jawaban dari Beby, yang biasanya tidak pernah lama jika ada telpon darinya.
"Apa sih yang sedang terjadi sama kamu?" . . .
"Apa kamu marah sama aku?!" . . .
"Aku butuh kamu Beby! Aku butuh bahu kamu!!" . . .

Shania membanting tubuhnya keatas tempat tidur empuknya dengan emosi dari kekecewaan yang sedang dia rasa.
"Kenapa... dia semakin hari semakin sulit untuk dihubungi? apa disana dia sesibuk itu? apa dia sudah lupa akan sosok ku?" ... "atau apa dia...? Terakhir, waktu kita ketemu lagi di Jogja. Kamu sama dia terlihat begitu akrab, dan terasa lebih dari biasanya!" Shania memainkan ruang bayangannya, mengingat 1bulan yang lalu, di pertemuan terakhirnya bersama Beby, Aji dan Subhan.

Saat itu Shania melihat Subhan memperlakukan Beby yang tidak seperti biasanya, dia sepertinya begitu memperhatikan Beby lebih dari biasanya, "Waktu itu... hari itu... sepertinya memang ada yang lain diantara kalian?!" Terkanya dalam bayangan kehampaan, "dan setelah pertemuan itu... kamu mulai sulit untuk aku hubungi, kamu terkesan selalu menghindar dalam setiap percakapan seluler kita! Apa sekarang... apa yang dulu pernah membuatku marah pada kesalahpahaman kamu sama dia, itu berubah nyata!?"
Kepedihan yang Shania rasa membuatnya tidak bisa berpikir lebih dari itu "Subhan memang belum pernah mengatakan apa yang dia rasa sama aku, tapi... tingkahnya, ucapannya, apa itu cuma kegeeranku saja? Apa selama ini hanya aku yang merasa suka pada dia?" . . . "Apa jangan-jangan... memang Beby lah yang Subhan sukai? Aku emang bego! Gak bisa lihat kebenaran yang begitu nyata di hadapanku!!". . . "Dan Beby sendiri.. sahabat aku sendiri, apa yang sebenarnya dia rasa? Selama ini dia selalu terlihat biasa saja menanggapi ceritaku tentang Subhan, dan malah terkesan mendukung aku dengannya, tapi... Ahhghh!" . . . "Kenapa jadi gak karuan gini sih!?" Shania menghentikan terkaannya dalam ucapan kesal yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri.
"Minggu ini... aku harus ke Jogja! Aku mau tahu dan memastikan sendiri kalau kecurigaan ku hanya bentuk rasa takut saja!!" Keinginannya yang besar membuatnya menarik keputusan itu, tanpa harus memberi tahu Beby kalau dirinya akan menemui dia tanpa ada pemberitahuan sebelumnya.


Shania menuruni mobilnya, pagi ini langit sudah terlihat bersih tanpa ada gumpalan awan yang menyelimuti hamparan langit biru, yang berkilau karena sinar mentari yang benderang memberikan kehangatan. Tidak seperti sambutan matahari yang hangat, di depan gerbang, Shania sudah disambut oleh 4 murid yang selalu mengisi hari-hari sekolahnya dengan hal yang membuat Shania, menuliskan kisahnya dengan ke4 murid itu dalam Diary dengan tinta merah, menceritakan kelakuan 4 murid ini.

"Haiii Shania  selamat pagi!" Sambut Sinka dengan senyum 'tulus' penuh makna.
Shania melepaskan earphonenya "Hhaii, pagii juga!" Balas Shania
"Pagi ini cerah ya? Emhh.. gimana kalau kita ngobrol-ngobrol pagi sebelum masuk ke kelas? Kamu mau kan Shania?" Sinka terlihat manis merangkaikan katanya untuk Shania.
Shania mencoba mencari alasan untuk menolak "euhmm, aku gak bisa.. ada yang harus ditanyain sama temen di kelas soal tugas yang harus dikumpulin nanti!"
Sinka terlihat perlahan melepas topeng manisnya "Ayolah Shania, barusan aku udah lembut banget loh  ngajak kamu, masa kamu tega sih nolak ajakan aku!?" Shania tidak merespon, Sinka mendekatkan tubuhnya kedekat Shania "kamu tahu.. barusan, ajakan aku itu... ajakan yang begitu lembut untuk orang asing!". . . "Dan kamu harus tahu juga, aku paling gak suka ditolak! So.. let's come with me" lanjutnya dengan nada dibumbui tekanan ancaman, Shania tidak bisa melakukan apapaun selain mengikuti Sinka dan yang lainnya.


CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *6th Chapter*


...PELANGI DALAM SAKURA...
*6th Chapter*

"Beby... sayang bangun!" 
"Bentar lagi Mah... ini kan hari minggu!"
"Ini udah siang sayang,-"
"Masih pagi Mah.. Beby masih ngantuk, kasih Beby beberapa menit lagiiii aja.. nanti Beby bangun, langsung beresin tempat tidu..r abis itu... nyucu baji,....."

"Hmm.. Sayang, Apa kamu gak mau nganter sahabat kamu pergi!"
"Beby gak ada janji sama Shania hari ini..! Kan semalem udah ngobrol panjang lebar, ampe pagi sama Shania!!" Sahutnya masih dengan mata terpejam, dan ingatan yang masih dia ingat saat semalam tepatnya jam 10.48, Shania menghubungi walky-talky Beby dan mengajaknya untuk begadang
"Shania sama keluarganya pindah ke Jakarta pagi ini!"
Dengan tanpa aba-aba dan alibi elakan, Beby langsung membuka matanya lebar saat mendengar ucapan Mama nya "Mama bilang apa barusan?" Dan ia juga langsung menarik tubuhnya sampai akhirnya posisinya kini duduk diatas tempat tidurnya.
"Shania, Ve, Papa sama Mamanya akan pindah ke Jakarta pagi ini.. tuh, mobilnya aja udah siap!"
"Hah?  gak mungkin Mah?! Mama pasti lagi becandain Beby nih! Shania pindahannya kan nanti, kalau dia udah lulus!!"
Beby menuruni tempat tidurnya dan berjalan cepat kejendela kamar, dia langsung menujukan matanya ke kediaman Shania, dan... benar saja, apa yang dikatakan Mamanya memang benar.

Sebuah SUV hitam terparkir di depan pagar rumah Shania, Beby bisa melihat Mama nya Shania sedang memasukan koper dibantu Ve, Papanya Shania sedang berbincang pada tetangga, tapi dia tidak melihat Shania....

Beby mengenakan jaket untuk menutupi piyamanya, ia menyambar HandPhone nya.. mengetikan chat singkat yang dia kirim ke Subhan lalu berlari untuk menghampiri Shania...
Saat sampai di depan pintu rumahnya dan dia membuka pintu, hampir saja dia menabrakan dirinya, pada sosok yang entah dari berapa menit yang lalu, seseorang sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
"Shaa...nia!" Shania mengulaskan senyum manisnya. "Ngapain senyum-senyum? ada yang lucu!?" kata Beby begitu ketus, Shania masih tetap memasang senyum getirnya. . . "Kamu pikir.. karena tempo hari pas kamu ngasih tahu soal pindahan kamu aku gak marah, lantas sekarang untuk kedua kalinya.. kamu gak ngasih tahu lagi aku, soal dipercepatnya pindahan kalian! Aku gak akan marah!?" Pelahan Shania merubah ekspresinya. . . "Semalam.. kamu ngajak aku ngomong sana-sini, tapi gak nyinggung soal ini! Aku bisa marah Shanju.. aku tahu gimana caranya marah!"

Sebenarnya.. Shania bukan tidak memberitahu, tapi.. saat dia bicara soal pindahannya yang ternyata dipercepat.. Beby tidak meresponnya karena ternyata dia ketiduran.
"Aku akan terima itu Beb, (Shania mencoba memasang senyumnya lagi) tempo hari.. aku udah puas liat senyum kamu, dan sekarang... aku akan simpan wajah marah kamu! Kedua wajah itu yang akan membuat aku ingat sama kamu!!"
"Ya udah, pergi sana! Ngapain masih disini!? Keluarga kamu udah siap tuh!" dengan dinginnya Beby bicara.
"Maafin aku ya Beb.." ucap Shania lesu "aku harap.. marah kamu gak sungguhan, karena kalau kamu beneran marah... entar pas aku main kesini, aku mau nemuin siapa? Cuma kamu sahabat baik yang aku miliki di Jogja!" Lirihnya penuh harap.

Shania berjalan lesu menjauhi pintu rumah Beby, dan Beby sendiri... diam sejenak lalu berlari masuk ke dalam rumahnya dengan diikuti menutupnya pintu rumah begitu keras, sampai Shania menolehkan wajahnya kebelakang *sighhh* kemudian dia menghela nafas mendengar sura pintu yang ditutup cukup kencang. Ve sempat melihat ekspresi Shania yang terlihat begitu sedih, dia melihat kearah rumahnya Beby
"Maafin Beby ya sayang" pinta Mama Beby yang keluar dari rumah
"Gak Tante, Beby gak salah kok :'-) Shania yang salah.."
Mama nya Beby memegang pundak Shania untuk menenangkannya, beliau mengulaskan senyum hangat khas seorang ibu. Shania memeluk Mama Beby lalu mengucapkan terima kasih dan kata perpisahan lainnya, Mama membalas dengan mengusap lembut kepala Shania dan mengucapkan sepatah-duapatah kata untuk memberikan Shania semangat.
"Kalau kamu kangen sama Tante, sama Beby, .. telponlah, atau... mainlah kesini, disini kamu punya rumah dan keluarga!"
Shania mengangguk "makasih Tante, Shania bakal kangen banget sama Tante.. sama Beby juga... maafin Shania ya tante, Shania sayang sama Tante, Shania sayang sama kalian!" Ucapnya sudah terisak.

Pelukan terlepas, Mama Beby mengantar Shania kedepan rumahnya dimana keluarganya sudah siap untuk berangkat. Ucapan perpisahan, pelukan selamat tinggal, Papa Shania masuk lebih dulu, disusul Mama dan kemudian Ve.. lalu Shania, yang sebelumnya, dan untuk kesekian kalinya sebelum akhirnya dia benar-benar masuk mobil, dia kembali memeluk Mama Beby, sudahnya.. Shania melihat kearah kamar Beby..
"Masuklah sayang, mereka sudah menunggu! Beby akan baik-baik saja!! Percaya sama tante "

"Jangan percaya sama Mama, itu musyrik namanya..." tiba-tiba suara Beby terdengar dari seberang rumah Shania.
"Beby..."
Beby berlari kecil sampai dia berhadapan dengan Shania; Papa melihat dari spion tengah kebelakang; Mama melihat sekilas lalu kembali ke laptop; Ve mendongakan wajahnya dan menonton scene yang ada di depan matanya.
"Ngapain ngeliatinnya kayak gitu? Biasa aja!" Ucap kesal Beby, bukannya Shania marah dengan tingkah yang sedang diperlihatkan Beby, dia malah memeluk Beby.
"Aku tahu kamu gak mungkin marah sama aku!"
"Emang siapa yang marah sama kamu?" Sahut Beby dalam pelukan sepihak Shania
"Aku akan sangat merindukan kamu.. si pemalu yang pintar menyembunyikan apa yang dirasa" Kata Shania, tidak menghiraukan ucapan Beby "meski nanti akan banyak orang yang berjabat dan kujabat tangannya untuk dijadikan teman, kamu tetap teman terbaik dan terindah, yang pertama meraih jabatan tanganku... dan aku gak akan pernah lupa sama semua itu. Aku sayang kamu Beby!"

Beby tersenyum sedih mendengar ucapan Shania, inginnya membiarkan air mata yang sudah sedari tadi mendorong keluar, dibiarkan tumpah saja. Tapi Beby menahannya karena dia tidak mau kepergian Shania dia iringi dengan lelehan air matanya. Terlalu egois untuknya, membuat Shania yang cukup lama mempertahankan senyum ceria di wajah dirinya kala Shania menyembunyikan kepindahannya, dia balas dengan air mata saat waktu pindahan itu kini ada didepan mata menghadap badannya.

"Kenapa kamu jadi cengeng sih?!" Beby melepaskan pelukan Shania "kamu pergi ke Jakarta, bukan ke tempat Tuhan!" Candanya sambil menyeringai, Shania ikut tersenyum tipis.
"Entah itu kamu, atau aku.. kita akan saling menemukan lagi! Di Jakarta, di Jogja, atau... mungkin di Jepang nanti, hehehe.. kita akan tetap menjadi kita, persahabatan kita terlalu kuat untuk dirapuhkan oleh sebuah jarak!" .... "aku akan selalu ada disini, ditempat ini, jika nanti kamu pulang untuk sekedar mengenang Jo..gja!" Senyum Beby begitu sangat manis, pertahanannya untuk mencegah air matanya jatuh bisa dia lakukan begitu hebat. Meski matanya terlihat berair, tapi tidak dia biarkan air itu jatuh dari muaranya.

"Em.. aku punya sesuatu buat kamu!" Beby mengedepankan tangan kanannya yang dari tadi dia simpan di belakang, Shania tersenyum haru melihat benda yang ada di hadapannya kini. Sebuah bola kristal dengan didalamnya ada sebuah pohon sakura, yang di depannya duduk 2buah boneka menghadap pohon itu..
"Yang ini kamu... dan yang ini aku... suatu saat nanti apa yang terlihat di bola kristal ini akan menjadi kenyataan! Kita akan duduk dan memandangi pohon sakura, untuk melepas setiap impian kita, dan biarkan Sakura menyimpannya hingga saat musim semi berikutnya datang... impian itu akan terwujud bersama bermekarannya Sakura"
Shania yang sudah menggenggam hadiah dari Beby, kembali memeluk erat sahabatnya itu setelah mendengar ucapan doa darinya. "Jangan lupain aku Beb,.. apa yang kamu bilang, pasti akan bisa terkabul, kita akan bisa melakukan hal itu! Tetaplah menjadi Sahabat aku, aku sangat sayang sama kamu.."
"Aku juga... aku sayang sama kamu, jangan lupain aku juga ya?"
Kali ini pertahanan Beby roboh, dia akhirnya menangis. Hatinya terasa terlalu rapuh, seolah tidak ingin melepas sahabatnya pergi, dia mengencangkan pelukannya pada Shania yang sudah sedari tadi memeluk dirinya begitu erat.

Beberapa menit lamanya gambaran 2hati yang terikat dalam persahabatan itu saling melepas kesedihan akan perpisahan, dalam sebuah pelukan tulus dibawah sinar mentari yang tidak begitu benderang pancaran sinarnya. Hingga... Papa Shania memanggilnya untuk dia segera masuk ke mobil, karena kalau terlalu siang jalanan akan sangat tidak bersahabat dalam kemacetan.

Shania masuk kedalam mobil, Beby dan Mamanya berdiri di samping mobil, Papa menstarter mobil.. lalu SUV itupun mulai melaju dan Beby, dia berlari mengikuti laju perlahan mobil, dengan tangannya dia lambaikan pada Shania, senyum sedih Beby lukiskan pada Shania dan Shania membalasnya, saling melambaikan tangan hingga laju kecepatan mobil mulai tidak bersahabat dengan lari kakinya Beby... Beby berhenti berlari, dengan nafas terengah dan mata masih terpaku di bagian belakang SUV yang perlahan tapi pasti mulai menjauh dari jarak pandang.


---
Ini seperti mimpi.. pagi ini aku berjalan sendirian, kemarin aku baru saja melepaskan genggaman dari seorang sahabat yang begitu aku sayangi. Harusnya dia masih bersama ku pagi ini dan untuk pagi-pagi berikutnya, sampai selembar kertas pemberitahuan kelulusan ada di kotak surat depan rumah kita masing-masing. Tapi, itulah Tuhan... selalu bekerja diluar pemikiran, apa yang dia kehendaki untuk umatnya pasti akan langsung terjadi.

Selama ini, waktu yang selalu kita habiskan bersama terasa begitu sebentar ketika perpisahan jarak datang menyapa. Aku tahu dan yakin kalau disana dia tidak akan menghapus aku dari ingatannya, menyimpanku dalam box Jogja, yang tidak akan dia buka. Dia di Jakarta, aku di Jogja, berapa ratus kilomoter jarak kita sekarang? Entahlah, karena yang pasti bukan jarak yang akan mengendalikan alur persahabatan kita, tapi kita yang akan mengendalikan alur dan tetap memegang tangan masing-masing, hingga sampai dititik tertinggi impian kita.

"Masih ngelamunin Shania?" Subhan datang dari arah belakang.
Beby sengaja jalan kaki pergi kesekolahnya, berjalan enggan dengan hanya ditemani hembusan angin dan lamunan kejadian kemarin pagi.
"Hmm-- ya gitu deh Chub! Kamu sendiri? Gimana?"
"Yaa.. gitu juga deh! :'-)"
"Gitu gimana?"
"Gitu.. kayak lu!"
Beby diam tidak lagi menanggapi Subhan, dan Subhan pun ikut diam.

Saat Beby mengirimkan chat padanya kemarin pagi, dia langsung menelpon Aji untuk ikut dengannya menemui Shania sekaligus melihatnya sebelum dia pergi, namun mereka terlambat.. saat mobil Shania sudah meluncur dan hanya menyisakan bagian belakangnya, dia dan Aji baru datang.

"Tumben, lewat Sini?" Tanya Beby memecah hembusan angin
"Pengen aja!" Singkatnya "eh ya... jadinya masuk SMA mana?" Giliran Subhan bertanya
"48! As what I.. and her plan! Hemmh..!!"
Subhan mengangguk-angguk tak lagi bersuara.

Beby dan Subhan terus menyusuri jalanan beraspal yang basah karena embun di pagi hari tadi, saling diam dalam kenangan masing-masing tentang Shania.

---
Hari pertama.. haahh. . . Aku tidak begitu tahu apa yang harus aku lakukan di hari pertamaku berada di dalam rumah sebesar dan semewah ini!?

Kemarin, kita semua sampai di kota metropolitan ini setelah matahari tenggelam dan langit berubah begitu gelap. Kota baru ini. . . Rumah baru ini. . . Suasana baru ini. . . Begitu memperlihatkan ke 'Wah' han nya di banding yang dulu waktu di Jogja, tapi.. tetap saja apa yang kini bisa kunikmati dengan mata telanjang, tak bisa menggetarkan hatiku untuk bilang 'Wah' seperti yang di suguhkan.

Aku masih disana, di Jogja. Bermain dengan mereka menanti kelulusan, melalui upacara kelulusan atas hasil kerja keras aku selama 3th ini, meski akhirnya aku memang harus berpisah jalur dengannya, dengan mereka, dalam memijakan kakiku untuk menggapai mimpi. Tapi setidaknya kalau aku masih disana, sampai batas waktu yang sudah di sepakati, aku masih bisa menggoreskan seulas kenangan indah bersamanya. Bukan seperti ini, bukan ini yang ada dalam bayanganku , mereka terlalu, dan bahkan sangat berpengaruh atas diriku yang hanya titipan.

Masih bermalas-malasan diatas tempat tidur empuk yang berada di ruangan yang besarnya 2.. bukan, tapi 4 kali lebih besar dari ruangan privasiku dulu yang ada di Jogja. Aku coba mengetikan sebuah pesan singkat untuk Beby, tapi tidak jadi-jadi , seolah aku lupa bagaimana cara menulis merangkai kata salam, sapaan, pemberitahuan, pertanyaan, pernyataan.. mm-- ntahlah, rasanya sulit untuk ku memberitahukan padanya kalau aku sudah sampai di Jakarta.
"Gimana kabar kamu pagi ini?"
"Kamu ke sekolah sama siapa, Beby?"
"Kayuhan kamu saat naik sepeda ke sekolah pasti lebih ringan kan? Soalnya udah gak ada aku yang kamu gonceng!"
"Aku udah sampai loh di Jakarta.. :')"
Haruskah aku mengetikan rangkaian pertanyaan itu untuk Beby?
Siapkah aku untuk jawaban yang diketik balik oleh Beby!?

*tok..tok..tok*
"Yaa.." sahut Shania terdengar malas
Ve masuk, dia memberikan Shania senyum khas Kakak.
"Ada apa Kak?" Tanyanya sambil menarik diri dari rebahan, dia menyingkirkan bola kristal yang disimpan diatas perutnya saat dia melamun tadi.
"Sarapan dulu yuk!" Ajak Ve, dengan posisi berdiri di depan Shania.

Tanpa perlawanan, meski enggan dirasa.. Shania berdiri untuk ikut Kakaknya. Sampai di meja makan, Shania mengerung kecil karena tidak mendapati kedua orang tuanya.
"Papa sama Mama mana Kak?"
"Kamu bangunnya terlalu siang, Papa sama Mama udah berangkat kerja!"
Shania mencoba mencari jam.. ia melihat jam dinding putih classic, yang berdiri di sudut ruang makan. Dia bisa melihat jelas jarum jam yang menunjukan waktu sekarang 8.14
"Kirain Papa Mama mau ambil dulu jatah libur dari kantor..! kita kan baru pindahan!!" Suaranya begitu mengeluh
Ve tidak bisa menjawab ucapan Shania, ia hanya menyunggingkan senyumnya.

Inikah? Awal dari perubahan yang di janjikan Papa sama Mama? Hmm-- semoga ketakutanku, hanya sebuah kekalutan sesaat yang timbul karena belum bisanya hatiku menerima percepatan dari gerakan Papa sama Mama. (Batin Shania)


***
Hari demi hari terus mereka jalani, sudah hampir satu bulan tidak terasa, Shania dan Beby tinggal di kota berbeda. komunikasi Shania dan Beby tidak pernah putus, karena memang jarak tak pernah jadi penghalang untuk persahabatan mereka.
Seperti saat tiba waktu pengumuman kelulusan, Beby menelpon Shania yang juga sudah tahu akan kelulusannya.
Kalau tidak Shania yang menelpon, ya Beby yang ambil inisiatif.

Shania belum memiliki satupun teman di kompleknya kini, dan Beby.. dia masih tetap dengan Subhan dan Aji, belum ada teman lain yang bisa dia jadikan tempat berbagi tawa atau sedih yang dirasa. Dalam komunikasinya kini, Beby menceritakan rencana dia, Subhan dan Aji yang akan mengikuti test di SMA 48 Jogja, Sekolah yang dulu mereka jadikan incaran jika sudah lulus SMP.
"Shanju... tahu gak?"
"Apa?" Tanyanya di ujung telpon
"Aku, Aji sama Subhan bakal ikut test di 48 loh.. " jelasnya,
Shania mengerung kecil, ada cekatan di hati yang membuat dia merasa tidak nyaman mendengar berita kali ini. Bukan karena Subhan yang akan satu sekolah dengan Beby, tapi karena apa yang dulu dia hayalkan ternyata tidak terkabul.
"Hmm.. sudah aku duga! Bagus dong, biar nanti aku titipin kamu sama mereka " jawabnya dengan diakhiri candaan
"Eh? Kamu pikir aku tas apa? Pake dititip segala sama mereka!"
"Cieee.. sekarang udah bisa nyahut pake candaan, hehehee" sambut Shania
"Harus dong, kalau enggak.. nanti aku yang dibecandain terus (korban maksudnya)"
"Giliran kamu nih, yang cerita.."
"Cerita apa? Perasaan dari tadi, aku udah paling banyak deh ngeluarin kata!"
"Oh ya? Masa sih! Kok aku gak denger apa-apa sih?" Goda Beby diikuti senyum yang tidak terlihat oleh Shania
"Tsahh.. makin mahir aja nih si pemalu becandanya!" Giliran Shania yang tersenyum

"Aku kangen sama kamu.." ucap Beby
"Aku juga.."
"Kapan dong main ke Jogja!?"
"mmm...ntahlah Beb, Kak Ve lagi sibuk ngurusin dulu administrasi pindahan kuliahnya!"
"… … …"
"Aku udah minta sama Kak Ve buat nemenin ke sana, tapi ya itu alasannya.. minta ijin sama Papa Mama biar aku berangkat sendiri ke sana, gak di Acc! Surem deh pokoknya!"
"Haha.. hmm-- mungkin nanti akan ada waktu yang pas buat kamu bisa main ke sini!"
"Atau... kamu aja yang main kesini! Nanti aku ajak kamu main ke mall, ke monas, sama.. ah, ke dufan, disana asik loh Beb! Wahananya itu... wihhh bikin lupa masalah deh " ceritanya berpanjang lebar
"Oh ya? Wahh asik tuh! Tapi kapan ya aku bisa kesana? Mama juga pasti gak akan ngasih ijin kalau aku kesana sendirian!"
"Kayaknya kita sama-sama surem ya? Hahahaa.."
"Hahahaa, iya bener! Tinggal di kota yang namanya sama-sama di awali huruf J, tapi untuk bisa ketemuan susah banget!"
"Hah? Apa hubungannya Beb?"
"mm-- nggak ada sih! Hahahaa"

Shania dan Beby tertawa bareng, jalinan komunikasi itu berakhir setelah 4jam lebih, berbagi kisah dari 2 kota berbeda. Meski tidak ada saling tatap muka keakraban tetap terasa kental diantara keduanya.

---
"gimana? kalian nyaman tinggal disini?" suara mama, membuyarkan lamunan kedua anak gadisnya yang sedang menyuapkan makan malam.
"Asik Mah, di kampus, Ve udah punya teman-teman baru, terus ya mereka.. enaklah diajak ngobrol, dan mereka juga mau ngajak Ve untuk tahu Jakarta!" Jelas Ve terdengar sangat antusias, Shania asik sendiri dengan makanannya.
"Bagus dong " Senyum Mama dan Papa
"Kalau kamu, Sayang? nyaman tinggal disini?" giliran Papa yang bertanya dan langsung melihat Shania yang belum angkat bicara.
"mm-- ya gitu lah Pah"
Mama, Papa dan Ve menguncikan pandangan mereka pada Shania.
"gitu gimana? Kakak kamu saja sudah bisa berbaur dengan yang lainnya! kamu mau sampai kapan cuma berdiam diri di rumah? coba sesekali muter di komplek!" saran Papa
"males ah, entar juga pas sekolah Shania bisa ketemu sama orang lain!" jawabnya.

Selama hampir 2bulan mereka tinggal di Jakarta, memang Shania yang terlihat tidak begitu menikmati laju kehidupan di Ibu Kota. Meski mereka tinggal di komplek perumahan yang pemiliknya kaum ekonomi diatas rata-rata, tapi itu tidak membuat Shania tertarik akan hal apapun. Kalaupun dia keluar rumah, pasti diajak oleh Kakaknya. seperti waktu ke Mall atau ke Dufan.

"Papa sama mama punya kejutan buat kalian!" kata Papa, untuk kembali menghidupkan obrolan.
"buat kamu kaka. . . papa kasih ini…" Papa merogoh kantong celananya, dan mengeluarkan sebuah kunci
"ini, kunci mobil dan yang ini.. surat-surat mobil sama SIM A sudah atas nama kamu…."
Ve hanya bisa menganga mendengar yang diucapkan papa nya dan menatap sebuah kunci dan sebuah dompet kecil warna biru yang sudah ada di hadapannya.
"Mo…bil….!" Ucap ve terbata.
Papa dan mama tersenyum melihat ekspresi anak sulungnya itu. Kemudian mengalihkan pandangan pada Shania.

"dan buat kamu… peri kecil Papa, selain kamu udah papa daftarin di sekolah swasta yang ada di Jakarta pusat, Untuk berangkat sama pulangnya, kamu diantar-jemput pak maman, dia akan jadi supir pribadi kamu!! terserah kamu, mau kamu ajak Pak Maman keliling atau,-"
"Ke Jogja boleh Pah?" Shania memotong ucapan Papa saat mendengar dia memiliki supir pribadi.
Papa tersenyum melihat keantusiasan Shania yang sedari tadi biasa saja.
"hmm.. gimana ya?" Shania menekuk wajahnya "Haha.. ya tentu boleh dong sayang, Pak Maman kan supir pribadi kamu!"
Wajah Shania seketika cerah "Wahh.. serius Pah? Yessssss, Asik nih!" girangnya, membuat Papa Mama dan Ve tersenyum melihat tingkahnya.
"eits, jangan senang dulu! tetap ada Rules, yang harus kamu patuhi!"
"Aaaapa?"
"Kamu... ke Jogja nya kalau ada libur panjang, atau.. long weekend!"
"yahhh,, itumah sama aja bohong! gak jadi ahh asiknya!! Papa mah gitu!!!"
"itu untuk kebaikan kamu juga sayang, kalau kamu setiap hari atau setiap minggu ke Jogja, nanti kamu sakit gimana? atau Pak Maman yang sakit gimana?"

Tadinya Shania ingin melancarkan lagi protes, tapi dipikir-pikir.. segitupun sudah untung untuknya. lagian Papa sama Mama gak bisa melihat apa yang Shania lakukan kalau seandainya mereka ada pekerjaan ke luar kota.
"ya udah deh.. daripada Pak Maman sama mobilnya di cabut terus Shania gak bisa ke Jogja!"
"Nah... gitu dong, itu baru anak Papa sama Mama!" ujar papa pada anak bungsunya itu. Shania membalas ucapan Papanya dengan senyum manis.

---
Kini, Shania sudah menjadi salah satu murid di salah satu SMA swasta bertaraf Internasional, ini hari pertamanya setelah Ospek yang tidak dia ikuti sebelumnya karena malas.
Shania masuk di kelas X-4, dia duduk di barisan ke-4,
"kosong?" Tiba-tiba suara seorang murid perempuan bertanya pada dirinya yang sedang asik menikmati lamunan di bawah mentari pagi yang sedang menyinari ruang kelasnya.

Shania mengangguk untuk menjawab, murid perempuan itupun langsung duduk di sebelah Shania dan lalu mengulurkan tangannya,,,


Chrome Pointer