CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *14th Chapter*

...PELANGI DALAM SAKURA...
*14th Chapter*


Keadaan dirumah tidak mengalami banyak perubahan, kecuali... Ve, sang Kakak yang sedang mencoba mendekat kembali pada Shania. Tapi, Shania yang memang sudah terlalu sering merasa kesepian hingga akhirnya dia menjadi biasa dan begitu terbiasa dengan sendiri dan kesendiriannya, tanpa perlu ada sandaran, malah tidak menanggapi usaha Ve yang ingin bisa kembali merangkulnya.

Sepulang ngampus, Ve langsung pulang, tanpa mengikuti seabrek kegiatan tak tentu tujuan, yang dulu biasa dia lakukan dengan teman-teman barunya. Mencoba membunuh jarak yang membentang luas diantara dirinya dan Shania.

Pagi hari... menyempatkan diri untuk mengajak si bungsu sarapan, dapat penolakan dengan dinginnya wajah Shania.

Siang hari... jika kebetulan kampus tidak ada kuliah, mencoba menawarkan makan siang pada Shania, dapat lagi penolakan tanpa tolehan, malah.

Malam hari... kegiatan di kampus selesai sebelum senja, kembali mencoba peruntungan, memohon pada Shania untuk makan malam bersamanya, dan lagi-lagi... dapat penolakan yang kadang dibarengi ucapan lantang.

Perubahan sikap yang Ve tunjukan, bukan hanya agar hubungannya dengan Shania kembali harmonis, tapi juga agar dia bisa kembali melindungi adiknya itu, jika suatu hari nanti, Shania melihat apa yang pernah dia lihat pada Mama nya (padahal Shania tahu lebih banyak!), yang membuat perasaannya hancur, dan hatinya begitu kalang-kabut, hingga membuat dia kelepasan menyentuh Shania begitu kasar. Ve tidak ingin Shania ikut merasakan apa yang pernah dia rasa, dan dampaknya untuk Shania.. bisa lebih dahsyat dari sekarang. Karena melihat Shania seperti sekarang saja, sudah sangat membuat Ve menganggap dirinya Kakak yang bodoh! karena membiarkan adiknya mengikuti jejaknya, saat kesepian menghampiri sisi hangat hatinya.

Shania melamun di dalam mobil nya.. memang seperti itu yang sering dia lakukan jika hanya sedang seorang diri, melamun! Tapi, entah apa yang sering mengisi lamunannya. Kejadian dulu? Kejadian sekarang? Perubahan sikap Kakaknya? yang diapun menyadari perubahan baik itu, tapi tidak ingin menghiraukan, hanya melamunkan saja! Perkataan Melody kemarin siang saat dipergoki di kantin? Pingsannya Beby hingga sudah mau satu minggu, dia belum juga masuk sekolah? entahlah... banyak sekali yang bisa membuatnya melamun, mematung dalam memori, hingga lamunan bisa begitu akrab mengekor di jalan hidupnya, saat sedang sendiri.

Perempatan lampu merah, mobil ford silver yang disupiri itu berhenti tepat di sebelah BMW hitam, visualisasi yang tertangkap mata Shania, sedang coba dia transferkan ke pikirannya yang sedang dipakai melamun.

Hingga.... pesan itu sampai, lamunan pun berubah. Tatapan Jijik, kesal, marah, benci, sebal, tergambar di wajahnya Shania. Saat bisa melihat dan tahu siapa yang sedang ada dalam BMW itu.

"Masih perempuan jalang itu!"
umpatnya dalam hati,
"Sinema apa yang sedang kalian (Papa dan Mama) pertontonkan? Kenapa juga Tuhan menitipkan gue sama mereka!?. . . huft! is God exist?!"
Shania masih mengarahkan kedua matanya pada Papa yang sedang asik ngobrol dengan wanita di sebelahnya.
"kalo gue mati! mereka (Papa Mama) pasti akan senang. Karena tidak akan takut kalo melihat gue di rumah!! (Shania sudah melihat, bahkan sering melihat... ketika Mama nya sedang dengan pria lain, meski tidak seperti Ve yang pernah bertatap muka secara langsung. Dan kali ini, untuk kesekian kalinya, Shania melihat Papa bersama wanita yang sama, namun Papa belum menyadari keberadaan Shania yang sudah mengetahui tabiat buruknya. *2rahasia ditangan Shania* tanpa disadari oleh Papa juga Mama.) . . .Dasar, kelurga tak bernyawa!!"
Kesalnya, terus mengumpat.

Shania terus menancapkan tatapan tajam penuh kebencian. Dan Papa yang sedang di dalam BMW dengan seorang wanita yang bukan Mama nya Shania, akhirnya bisa merasakan ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Papa menoleh ke sisi kanan, tepat dimana Shania sedang mengarah dan menghakimi kelakuannya dalam tatapan benci dan amarah.

"Sssshaania.." bisiknya nyaris tanpa nyawa, ketika matanya bisa saling mengunci dengan mata putri bungsunya.

Lampu hijau menyala, supir yang mengendalikan mobil milik Shania segera menancap pedal gas, dan berbelok berlawanan arah dengan BMW milik Papa nya. Shania lagi-lagi dan untuk kesekian kalinya, hanya bisa merasakan panas di dadanya ketika melihat Papa nya bersama wanita itu... lagi. Emosi memuncak, perasaan sesak terasa menghimpit laju nafasnya, setiap mengingat detik dari gambaran yang memperlihatkan keintiman Papa nya dengan wanita yang Shania juluki 'Wanita Jalang', bahkan dalam sebuah mobil. Apalagi jika tiba-tiba, pikirannya menyergap perasaannya dan kembali memutarkan apa yang pernah dia lihat pada Mama nya dan laki-laki lain juga, persis seperti Papa dengan si Wanita Jalang.

Seolah tak ada lagi sisi terang didalam hatinya yang sudah terlanjur gelap. Shania hanya bisa memendam rasa sakit itu sendiri, dalam kesendiriannya. Dan itu juga yang membuat dia tidak mau lagi menanggapi Ve, si Kakak yang mencoba berubah.

"kamu udah pulang?"
sambut Ve memasang tampang ceria saat Shania masuk melewati ruang santai.
"emmm... ikut Kakak bentar yuk?" ajaknya, dengan menarik paksa Shania.

Shania tidak sempat melakukan perlawanan, ia mengikuti langkah Ve.

"tarammm..."
dengan menunjuk makanan yang sudah tersaji diatas meja makan, Ve berhenti membawa paksa Shania.
"Temenin Kak Ve makan siang ya?"
pintanya, melihat wajah Shania yang masih datar.
"sebentar aja! gak apa-apa kok, walau cuma satu suapan yang masuk ke mulut kamu, yang penting... kamu cobain dulu masakan Kakak! yaa..?"
kali ini Ve tidak mau dapat penolakan dari Shania, makanya dia membawa paksa dan sampai di tempat tujuan, baru dia bicara...

Meja makan, memang selalu bisa jadi tempat bertukar pikiran, saling tukar cerita, bercengkrama akrab dengan orang-orang terkasih, melepas segala keceriaam untuk dibagikan, dan bahkan... melepas rasa sedih. Meski kadang ada satu-dua kali berujung cekcok karena obrolan meja makan, tapi yang lebih baik, bahagia, dan ceria, biasanya lebih banyak.

Shania sudah duduk di kursi yang ditarik Ve, mereka saling berhadapan duduk diatas meja bundar yang biasanya diisi oleh 4orang. Entah kenapa, Shania tidak bisa menolak ajakan memaksa Kakak nya kali ini, apalagi setelah apa yang tadi dia lihat di perempatan lampu merah, amarah yang sempat menguasai dirinya, serasa dilebur oleb perlakuan Kakaknya saat ini.

Menyuapkan nasi yang sudah diambilkan oleh Ve (Shania yang dingin dapat full service).
Ve mulai membuka tema untuk mendongkrak suasana supaya tidak aneh.

"gimana sekolahnya? ada yang seru gak?"
Shania melihat, lalu menggeleng untuk menjawab.
"ujian semester akhir kan sebentar lagi, kamu harus semangat ya, dek. Biar nanti... kamu naik kelas 3 dengan hasil yang memuaskan.!"
Kembali, Shania menjawab hanya dengan bahasa tubuh (mengangguk). Seperti orang bisu, Shania tidak menanggapi Kakak nya dengan suara.

Ve yang sangat merasa tidak nyaman dengan apa yang diperlihatkan adiknya, menyimpan sendok yang tadi sedang beradu dengan piring untuk membantunya makan. Dan, tiba-tiba... Ve meletakan kedua tangannya di tangan Shania, mencoba berkomunikasi lebih dekat.

"Kak Ve tahu... kamu pasti masih marah sama Kakak! iya kan?"

Shania yang masih kaget hanya bisa menatap lekat Ve. Dengan bayangan kejadian lalu kembali melintasi pikirannya secara liar.

"Maafin Kak Ve, ya? Dek!, Kakak gak ada maksud apapun waktu itu. Kakak cuma gak mau, kamu tenggelam terlalu dalam di dunia itu!! Kakak sayang sama kamu, maaf... karena akhir-akhir ini, kelakuan Kakak, bikin kamu membenci Kakak!!"

'haahh.. kata maaf itu... perlakuan seperti ini... kenapa baru sekarang? kemana saja selama ini?'

"Kak Ve gak mau kehilangan kamu! cuma kamu yang sekarang Kakak miliki!! Kakak mohon... maafin Kakak, ikutlah Kakak, dan kita... akan jalan dikehidupan seperti dulu, saat masih di Jogja! kamu mau kan?"

'seperti dulu....? keadaan rumah gak akan bisa seperti dulu, Kak! banyak yang tidak Kakak tahu soal orang tua kita!' melunak, hati Shania mulai melunak. Ada perasaan kasihan pada Kakak nya yang menurut dia tidak tahu apa-apa.

Shania tidak sedikitpun buka mulut, inginnya sih bercerita pada Kakaknya itu, menumpahkan segala perasaan yang membuat sesak dadanya, tapi... seperti ada penghalang dalam mulutnya untuk mengeluarkan suara hingga membuatnya jadi urung bicara. Dia sadar, bukan cuma Kakak nya yang salah, dia juga punya andil berbuat kesalahan.

Kedekatan Adik-Kakak ini sudah tidak ada, tidak terasa, dan berasa!.

Shania menarik tangan nya dari genggaman Ve, yang hangat, dia tidak ingin dibuai angan, serasa sedang diobati dari rasa sakit, tapi padahal sedang ditambahkan luka. Entahlah, Shania begitu menjaga jarak dari Ve, dia yang sudah dalam kekecewaan, tidak ingin lagi menambah kadar kecewanya pada Ve. Dan.. Ve yang merasakan tarikan tangan Shania darinya, hanya bisa menatap sedih.

Kembali saling diam, hingga dari ruang keluarga terdengar suara Papa yang ternyata pulang ke rumah. Shania mengerungkan keningnya, mendengar suara Papa. satu pertanyaan dalam benaknya 'apa Papa pulang dengan wanita jalang itu!?'

"Papaaaaa..."
teriak Ve bahagia, dia langsung memeluk Papa nya yang sudah hampir 2minggu tidak dia lihat.

Papa membalas pelukan si anak pertama, dengan pandangannya dia pakukan pada Shania.

"Papa udah makan siang belum? kapan berangkat dari Malaysia?"
Ve memberondongi Papa nya dengan tanya; Shania hanya menatap benci.

Ve, jadi teringat akan kelakuan Mama nya, makanya dia begitu perhatian dan hangat pada Papa nya. Karena Ve merasa kasihan pada Papa yang sudah dikhianati Mama nya, orang yang dulu beliau pilih untuk jadi Ibu bagi anak-anaknya.

"Shania... kenapa malah bengong? Apa kamu tidak kangen sama Papa?" tanya Ve sudah melepaskan pelukannya dari Papa "ayo sini peluk Papa!" lanjutnya mengajak.

Shania tidak sama sekali menggubris, hanya duduk ditempat semula, dengan tatapan begitu dingin.

"Pah, makan siang dulu ya? bareng aku, juga Shania! "
pinta Ve sudah berdiri di samping Shania, bersiap duduk di sebelahnya.
"iy..."
"Shania mau ke kamar!" potongnya saat mendengar suara Papa akan mengudara, dengan mengangkat tubuhnya dari tempat duduk.
"jangan gitu dong, dek. Papa baru pulang, dia pasti kangen sama kita! duduk dulu disini, temani Papa menikmati lagi makan siang pertama nya dirumah.. sama kita juga!"
"Papa udah kenyang! gak mungkin mau makan disini!! lagian, diluar Papa pasti lebih senang menghabiskan makan siangnya!!!"
celetuk Shania yang tidak bisa menahan sakitnya, kala melihat wajah Papa, dan menarik gambaran-gambaran dulu yang sebelumnya pernah dia saksikan .
"kamu bicara apa, Shania? Itu Papa.. masa kamu bicara nya seperti itu!?"

Shania kesal, tadi dia dengar langsung Ve bicara seolah dia ada di pihaknya, tapi kini.. saat Papa datang, dia malah berpaling ke Papa, Papa yang tidak dia ketahui soal kelakuan nya diluaran sana. Apa yang tadi dia pikirkan kala Ve menjalin komunikasi, benar saja adanya. Seolah mau mengobati padahal tidak!

"ini mulut aku! Jadi apapapun yang mau aku katakan, itu Hak aku!! Percayalah, dia lebih bisa memberikan kebahagiaan buat Papa, dibanding kita... yang sekarang cuma jadi pajangan!!!"
Ungkapnya sambil menatap Papa yang dari air mukanya, terlihat ekspresi sedih mendengar ucapan Shania yang menurut Papa Shania sepertinya sudah sering melihat dirinya dengan wanita itu, hingga Shania begitu terdengar benci dan juga sakit.

Ve terbelalak mendengar ucapan demi ucapan Shania, yang entah apa maksud sebenarnya.

"lihat lebih baik! Akan ada hal yang menakjubkan, yang Kak Ve tidak tahu soal malaikat didepan kita ini!!" Shania pergi dari ruang makan, dan berlari pelan kearah kamarnya.

Ve yang masih bingung dengan ucapan Shania, menoleh ke arah Papa nya.
"Maksud Shania apa Pa? Dia...? Dia siapa yang dimaksud Shania!?"
Papa hanya menggeleng lesu, dan itu membuat Ve terenyuh. Dia tidak bisa melihat wajah Papa nya yang sedih karena dapat perlakuan dari putrinya seperti tadi.

"Ve... samperin dulu Shania ya Pa"
pamitnya, ingin membujuk Shania agar tidak bersikap seperti itu pada Papa.
"gak usah! biarin dulu dia sendiri!!" jawab Papa, dia terlalu takut kalau Shania 'meledak', di depan Kakaknya.
"...ini yang salah Pah, kita terlalu sering membiarkan Shania sendirian, hingga dia bersikap seperti tadi. Sama Papa, sama Aku, dan mungkin juga nanti.... sama... mama" kata terakhirnya Ve ucapkan dengan enggan.
"Ve ke kamar Shania dulu!!" langsung pergi ke kamar Shania.

Papa hanya bisa termenung dengan ucapan Ve barusan.

*tok- tok- tok--* 4x Ve mengetuk pintu kamar Shania.

"Kak Ve masuk ya?" ucapnya dengan perlahan membuka pintu kamar.

Shania sedang dibalkon kamarnya, menatapkan matanya pada luasnya langit biru yang sedikitnya bisa membuat dia tenang.

"melihat keatas.. seperti menemukan tempat lain yang membuat nyaman bukan?"
Shania melihat sekilas pada Ve. Dia tidak marah pada Kakak nya yang masuk dan sekarang sudah berdiri di sebelahnya.
"boleh, Kak Ve tanya? kenapa kamu bicara seperti tadi sama Papa!?"
Shania hanya diam, menimbang dalam hati.
"jangan biarkan Kakak beridiri di tempat salah, dek! Kakak mau kita sedekat dulu lagi!!"
Shania mengerung kecil, dia merasakan ketulusan diucapan Kakaknya.
"kakak hanya tahu... ada sisi lain yang akan membuat keluarga kita hancur, kalau sisi lainnya mengetahui! (maksudnya perselingkuhan Mama jika terbongkar Papa)"
Shania tidak mengerti.
"tapi... Kakak juga tahu! serapat apapun, kita menutupi suatu kabar. Entah itu kabar baik apalagi kabar buruk! semua akan menguap juga pada akhirnya!". . . . "dan saat sisi itu terbongkar! Kakak mau.. kamu bisa berada disamping Kakak. Kita saling melindungi, saling menguatkan!"
Shania merenung dengan ucapan Ve, yang sudah begitu lama tidak dia dengar sedekat ini. Itu yang Shania inginkan dari dulu, saling melindungi, saling menguatkan kala dia mengetahui sisi gelap di diri Papa dan Mama, dan saat dia bisa memberitahu Ve soal kelakuan 2malaikat penjaganya yang dulu penuh kasih sayang dan kehangatan.
"kamu mau kan? membagi cerita yang kamu dapat! tentang apa yang membuat hati kamu sakit, sama Kakak!! seperti dulu... kamu yang selalu cerita panjang lebar, dari sekedar hal kecil, sampai hal yang begitu besar!"

Saat Shania kembali mendengar ucapan 'seperti dulu' dia seperti disadarkan, kalo kondisi keluarganya, atau kondisi dia dengan Kakaknya, tidak akan bisa seperti dulu.. Lagi!

"gak akan ada seperti dulu!"
suara Shania mulai terdengar. Ve hanya diam.
"kalian semua... udah jalan ditempat yang bikin kalian nyaman, dengan tanpa kalian sadari... ada seseorang yang kalian tinggal dibelakang!"
Ve tahu maksud Shania, dia merasa bersalah. Sangat bersalah.
"semua udah berubah! tidak ada satupun.. dari kalian yang aku kenali, dan kalian yang mengenali aku!"
Shania Meluapkan perasaan sesaknya, membuat Ve yang mendengar mencaci dirinya sendiri, atas apa yang pernah dia lakukan.
"apapun cerita yang Kakak punya... dan apapun cerita yang aku punya, biarlah waktu yang menguapkannya! karena kita... tidak akan bisa lagi sedekat dulu!! Dulu... ya dulu! Sekarang... inilah kehidupan kita!! Aku, tanpa Papa, Mama juga... Kakak!!!"
mendengar kalimat terakhir Shania, sungguh membuat Ve sedih.

Shania berbelok dari menatap kedepan, dia bermaksud untuk pergi meninggalkan balkon, dan juga Kakaknya yang begitu terlihat sedih. Tapi, saat dia sudah membelokan badannya dan mulai berjalan.... tangan kanan Ve mengunci pergelangan tangan kiri nya, Ve jalan untuk ada di depan Shania, lalu memeluknya... erat... sampai Shania yang saat tangannya dikunci kaget, menjadi semakin kaget.

"jangan bicara seperti itu.. Kak Ve mohon!! Kakak tidak mau kamu menjauh dari Kakak!!"
ucapnya dengan air mata mengiringi, Shania merasakan hangat berada dalam pelukan Kakaknya yang sudah sangat lama tidak dia rasakan.
"ijinkan Kakak, buat memperbaiki semuanya. Kakak mau... jadi Kakak kamu lagi, dan kamu jadi Adiknya Kakak lagi!!"
Shania hanya diam mematung dalam pelukan Ve, tanpa membalas pelukannya. Tapi, perasaannya benar-benar mulai luluh, mendengar suara Ve yang beriring dengan tangis yang dia tahan.
Shania sadar betul, disini, diposisi ini. Bukan hanya dia yang tersakiti, tapi Kakak nya juga. Mereka berdua sama-sama tersakiti, sakit yang disebabkan oleh orang tua mereka, sakit yang disebabkan oleh keegoisan dari sikap mereka masing-masing.
Mungkin... inilah, awal dari permulaan dia bisa dekat lagi dengan Ve, dan mungkin juga dia bisa menumpahkan semua rasa sesak yang selama ini mendiami dadanya. Mungkin!.
Tanpa Shania sadari... dia ikut menangis, menitikan air matanya, meski tanpa suara.

***
Vanka yang sedang bicara ini... itu... di depan Shania dan lainnya saat dalam perjalanan ke kantin, dengan posisi jadi jalan mundur, tiba-tiba menubruk Cindy yang baru kembali dari kantin.

Cindy yang sadar sudah tabrakan (ditabrak lebih tepatnya) dengan orang-orang yang ........., segera mempersiapkan dirinya untuk jadi bulan-bulanan cibiran dari mereka ber enam terutama Vanka yang menabraknya.

Suara Cindy tidak terdengar, hanya gesture tubuhnya yang terlihat sedikit sakit akibat dari benturan yang di sebabkan Vanka. Saat Vanka yang sudah mengetahui siapa penghalang jalannya hingga dia menabraknya, akan mengumpat. Gaby malah bicara duluan.
"lu gak apa-apa, Cindy?"
kontan, ucapannya membuat teman-temannya, juga Cindy Shock!
"Cindy? lu gak apa-apa kan?" kembali suaranya dengan diikuti menepuk pundak Cindy.
"eh! uhm... iiiya.. aku... aku gak apa-apa kok!" jawab Cindy dengan menebak perlakuan Gaby padanya.
"aku minta maaf, karena tidak lihat kamu sedang jalan disini tadi!" lanjut Cindy sambil membungkukan badannya.
"baguslah kalo lu sadar! lu emang salah kan?" serobot Vanka yang padahal dialah yang salah.

"bukan Cindy yang harus minta maaf! Harusnya itu... lu yang minta maaf, Vanka! orang lu tadi yang salah!!"
Dan kembali ucapan Gaby membuat yang lainnya tidak habis pikir, tentang apa yang sedang dilakukan Gaby. Cuma sandiwarakah seperti lalu-lalu? (dia sok baik pada korban, tapi akhirnya malah menambahkan luka). atau... ini seriusan, setelah tempo hari dapat sedikit ucapan dari Melody.

"lu okey, Gab?" ujar Noella melihat Gaby.
"maksudnya?"
"lu... ucapan lu itu..."
Gaby tahu arah dari ucapan Noella, "itu asli! gue udah gak mau lagi bikin onar ahh"
"duhhh..."
"Cindy! maaf ya, karena barusan si Vanka ceroboh!!" lanjut Gaby kembali ke Cindy.
Cindy hanya bisa mengangguk pelan.

Awal perubahan dari Gaby si pemilik banyaknya gadget canggih yang biasa dia pakai untuk mengerjai orang lain, apa yang diucapkan Melody tempo hari, sepertinya hanya berlaku untuk Gaby saja, karena yang lain biasa-biasa saja dalam bersikap. Atau... mungkin ada hal lain yang membuat Gaby sadar.

"pada kenapa sih? Liatin nya biasa aja kali!"
seloroh Gaby yang sedang mendapat tatapan 'aneh' dari Vanka, Noella dan Octy.
"ada yang gak biasa, dari lu hari ini Gab!" Noella lebih dulu membuka mulut.
"huh? apaanya?"
"sikap lu!" jawab kembali Noella dengan cepat.
"gue setuju ama Noella!" Vanka bicara sembari diikuti anggukan.
"apalagi lu? main ikut setuju aja!! emang lu tahu? arah pembicaraan si Noella?"
Vanka menggeleng, "yaahhh... bentar lagi lu pasti sama Loading nya ama si Octy!" ledek Gaby.
Octy yang sedang menyantap makanannya melihat kerah Gaby.
"sikap lu tadi pas si Vanka nabrak Cindy! itu kali maksud Noella!!" Ochi ikut berbaur.
"nahhhh... Ochi bener! sikap lu pas tadi si Cindy nabrak Vanka!! kenapa sikap lu kayak tadi? kan itu aneh Gab!!" jelas Noella.
Gaby mengerung, "gak ada yang aneh kok! gue ngerasa biasa aja!! kalian nya aja yang aneh kali? lagian... seingat gue, si Cindy itu bukan nabrak! tapi di tabrak!!"
"tuh kan.. aneh lagi! lu kenapa jadi belain Cindy? bukannya tadi itu kesempatan bagus buat kita ngerjain anak cupu itu ya! iya kan?"
" gue kan tadi udah bilang, Well. Gue udah gak mau lagi bikin onar! dan itu.. SERIUS!!"
"what! lu pasti lagi bercanda?" kembali Noella menggelitik, ucapan serius Gaby, "kalian ada yang percaya gak? sama omongan Gaby barusan!?" lanjut Noella, ditanggapi gelengan dari yang lainnya.

"(sigh) terserah sih, kalian pada mau percaya apa enggak! yang pasti, ucapan gue itu see..ri..uss!"
"(senyum sinis) lu pasti kepikiran sama ucapan Bu Melody waktu itu, iya kan? makanya lu jadi kayak gini!" Ochi kembali berspekulasi.
"emmm.. ya! lu bener, Chi!! gue emang kepikiran, Banget malah!!"
"gak salah Gab?" ledek Shania yang tadi hanya diam menyimak.
"gak ada yang salah, Shan!"
"lu.. bisa mikirin apa kata seorang Bu Melody? hahah.. sounds impossible!" . . . "biasanya juga, kalo ada guru sok nyeramahin, lu malah rekam suaranya terus lu upload dan lu ejek abis!" tutur Shania.

"hemm.. gue emang semenyebalkan itu ya dulu!? (tampang mikir), tapi sekarang.. gue mau berubah ahh! semua... apa yang di ucapkan Bu Melody waktu itu, benar! kita gak dapetin apapun dari mengerjai teman-teman disini! waktu kita.. hanya kita habiskan buat mikirin hal yang bisa membuat orang lain sakit hati! sampe gue lupa... tujuan gue memakai seragam ini, seragam yang tidak semua anak seumuran gue, bisa memakainya!"
ucapan panjang lebar dari Gaby, membuat yang lain memasang tampang tanya 'ada apa dengan Gaby?'
"kenangan apa yang bisa gue ceritain sama orang terdekat gue entar? tentang putih-abu ini? tentang seragam yang paling menyenangkan di masa kehidupan yang sedang gue jalanin ini!? apa harus? gue cerita tentang banyak nya teman-teman yang udah gue hilangin senyumnya?! gue bener-bener terdengar jahat bukan?"

"si Gaby! lu jadi sok dewa (dewasa) gitu sih! woles aja kali Gab, nikmatin apa yang bisa bikin lu senyum bahagia!!" kata Noella,
"senyum mana yang bisa bikin gue bahagia? pas gue ngerjain teman-teman? (Gaby menggeleng-gelengkan kepalanya) gue baru sadar sekarang, kalo senyum yang selalu gue pasang itu... cuma senyum penutup luka, dari ketidak puasan gue terhadap orang tua gue sendiri! Dan gue.. eh, bukan! kita... kita semua, lagi dalam fase menuju dewasa, Well!! terus mau sampai kapan? sikap kita kayak gitu!? seolah tidak bisa berpikir, kita melakukan tindakan seenak jidat kita sama yang lainnya!"

Yang lain terlihat diam merenung (sepertinya), ucapan Gaby ternyata sedang mereka bayangkan.

"Kita kan gak pernah tahu tuh, kapan Tuhan ngasih expired (kadaluarsa) di waktu kita! Tapi coba, kalo kalian ada di posisi adik sepupunya Bu Melody, yang waktu itu pernah Bu Melody singgung!"

"emangnya... Bu Melody pernah ngomong apaan, Gab!?" celetuk Octy, yang didalam mulutnya masih dipenuhi makanan.
"hemmph! udah lah, lu mah makan aja, cerna tu makanan, jangan cerna omongan gue!!" kesal Gaby.
"deuhhh.. katanya mau berubah! tuh barusan, celetukan lu ama Octy! apa bedanya ama nge bully!?" ucap Vanka, rada membela karena dia menyimak Gaby sambil sibuk makan (jadi si Vanka rada kesinggung ama ucapan Gaby)
"duhhh... lu kesinggung ye? ya maaf... kan itu mah cuma becanda! gak ada serius-seriusnya! soalnya kalo yang serius pasti gue abadi ini moment nya!" jawab Gaby, sambil bercanda jayus.
"udah ah! kok jadi bahas makanan! kembali ke topik!! jadi... emang kenapa dengan sepupunya Bu Melody!?" Noella mulai penasaran dengan cerita Gaby.

"kalian pasti masih pada ingat kan, waktu Bu Melody yang bandingin kita ama adik sepupunya, soal mimpi dan segalanya... (yang lain mengangguk), tapi soal waktu... dia gak punya waktu sebanyak yang kita punya!"
"iiiya! lantas?" Noella sangat penasaran, yang lain juga terlihat sama
"yang gue denger! adik sepupunya itu... kena penyakit Kanker!!"
mereka kaget, mendengar ucapan Gaby.
"dan katanya lagi... penyakit kankernya itu, udah parah banget!! dan mungkin waktu Bu Melody nyindir kita, itu dia gak nyindir, tapi ngingetin dengan cara lain, karena kita selalu susah kalau dibilangin baik-baik! Bu Melody ternyata sayang yah sama kita!!" Suara Gaby berakhir dengan membayangkan sosok Melody sambil mengulas senyum.

"ehmm... terus? apa karena itu... lu mau ngerubah sikap lu, Gab?" tunjuk Ochi lewat kata.
"ya... gitulah, Chi! lagian, lu bayangin deh... kalo kita yang dikasih penyakit kayak gitu? Mana sebelumnya kita banyak nyakitin orang lain lagi! mungkin yang tahu soal kondisi kita, malah nyumpahin kita biar usia nya segera udahan!" . . . "Tapi bakal lain cerita, kalau kita hidup saling berdampingan dengan perasaan tanpa menyakiti siapapun! penyakit itu bisa membunuh kita, kapan aja! tapi dia tidak akan bisa mengambil kenangan indah kita bersama orang-orang sekitar yang sayang dan kita sayangi, gitu aja!! kalau waktu kita habis!!"
Gaby terdengar sangat dewasa, sampai yang lain jadi merenung (ini beneran, merenung!) atas apa yang Gaby utarakan.

Selalu harus ada contoh, agar kita bisa benar-benar mengerti, tentang apa yang akan dihadapi. Contoh itu ya... contoh, hanya ilusi dari sebuah kejadian, tapi sekian persen kecil nya.. memang bisa jadi acuan yang tepat, untuk membandingkan.

"....lu.... tahu? siapa adik sepupunya, Bu Melody itu?" tanya Shania, yang entah karena dorongan apa dia jadi meluncurkan pertanyaan itu.
"...(Gaby mengangguk, diikuti raut menyesal)..."
"siapa, siapa, Gab?" antusias Vanka.
"dia... (mukanya sangat menyesal! ingat kelakuan dulu yang pernah dengan sengaja membuat Beby jatuh hingga lututnya berdarah)... dia itu, Beby!"

Seolah waktu sedang berhenti, pergerakan orang di sekitar juga ikut berhenti. Shania merasakan itu saat mendengar nama Beby di sebutkan oleh Gaby.
Yang lain, jadi ikut terdiam. apalagi saat mendengar nama Beby, mereka jadi ingat rencana bully-an yang akan mereka eksekusi dengan Beby jadi badutnya.

"Beeeby! jadi dia... ssepupunya Bu Melody? Kena kanker!" dengan nada rada ngeri, Vanka mengeja setiap kata yang dia ucapkan.
Gaby mengangguk, "gue tahu kalo Beby itu, adik sepupunya Bu Melody, dari guru-guru.. pas waktu itu, gue di suruh bawa buku tugas sama Pak Halim ke ruang guru, nah... gak sengaja deh, dapet obrolan beberapa guru yang lagi gak ada jadwal ngajar. nyinggung Bu Melody, sodaranya yang kena kanker dan.... ya itu! pas denger itu... ngeri juga ngebayanginnya! mana waktu itu, gue pernah ngerjain si Beby lagi. Dan sekarang? udah hampir dua minggu dia gak masuk sekolah!"

Wajah mereka, mixing.; Vanka: Takut, sedih, tersentuh, rada ngebayangin kalo dia di posisi Beby.; Noella hampir sama dengan Vanka.; Octy... entahlah, hanya Tuhan yang tahu apa ekspresi dia!; Ochi... memikirkan, terus melihat Shania; Shania... dia shock, percaya tak percaya, ingin tidak perduli tapi hatinya meminta untuk perduli, coba masuk kembali di memory lamanya kala di Jogja.

"kalau... misalanya gue yang ada di posisi Beby, tapi amit-amit! gue gak tahu bakal bakal ngelakuin apa? sembunyi dari dunia? hanya diam dirumah karena waktu gue mungkin cuma tinggal hitungan hari, bulan, atau tahun yang gak akan lama?!. gimana dengan keluarga sama orang-orang di sekitar gue? sedih? pasti! marah sama Tuhan? mungkin!.terus... apa mereka akan ingat sama gue? kalo nanti gue udah meninggal! iiihhhh... gak mau!!! ngeri bayanginnya!!!!" teriak Vanka, sambil mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri.

"makanya... gue mau......................"

mereka terus berbincang, sementara Shania melamun, hingga ucapan lanjutan Gaby atau yang lainnya pun tidak bisa masuk lagi ke gendang telinganya. Hatinya kini... mencoba menerka dalam kecampur-adukan apa yang di rasakannya.
'sejak kapan?'
'kenapa dia gak pernah bilang apapun, dulu?'
'hmm.. lu masih sama! Sama seperti Beby yang gue kenal, menyembunyikan sesuatu yang bisa bikin orang disekitar lu panik!!'
'tapi kenapa?'
Air mukanya... kesal, sedih, sakit, kecewa, tapi coba di balut dalam kepura-puraannya di depan teman-temannya.


Ve sudah mejeng (nongkrong) di depan sekolah Shania, hari ini sepulang dari kampus dia sengaja langsung ke sekolah Shania dan menyuruh supir yang biasa menjemput Shania untuk tidak usah datang. Ingin cepat bisa kembali dekat dengan adiknya, Ve terus gencar mendekati Shania, dan kali ini dia ingin bisa makan siang plus muter-muter di Jakarta mencari tempat untuk bisa kembali mengakrabkan diri. Sebelumnya Ve sudah memberi kabar pada Shania dan dia menerimanya.

"lu nyari siapa, Shan?" tanya Ochi,
"Hah!(kaget Shania karena tadi sedang celingukan), emh... nggak! gue gak nyari siapa-siapa kok!!" jawabnya, padahal Shania sedang mencoba mencari sosok Melody.
"eump! ya udah... cabut yuk? lu mau di sekolah terus emangnya!?" ajaknya,
Shania mengangguk, dan dia ikut berjalan bersama Ochi, juga Gaby. di parkiran mereka berpisah, karena Shania di jemput dan yang menjemputnya menunggu diluar sekolah, Shania pun berpisah dengan kedua temannya yang tadi dia hindari saat sedang mencari sosok Melody.

Sampai di depan gerbang... Shania sudah melihat mobil Kakaknya, namun baru beberapa langkah menuju mobil Ve, Shania terhenti, dan terlihat berlari kecil kearah lain yang berlawanan dengan tempat dimana Ve sudah menunggu. Kontan, Ve yang sedari tadi menunggu dan sempat tersenyum manis saat Shania berjalan kearah mobilnya, menjadi kecewa, dan sedikit kesal juga dengan tingkah Shania yang malah jadi mengacuhkannya dan menghampiri mobil lain, yang tidak lebih mewah dari mobil yang dia kendarai.

"Cindy!?"
Cindy yang sudah siap naik taksi, jadi berhenti dan menatap kearah si pemanggil. Shania yang berlari kecil jadi semakin dekat pada Cindy.
'duhhh... dia mau ngapain ya?' bisik Cindy saat tahu yang memanggilnya adalah Shania.
"Ss--shania.." ucap Cindy pelan dan agak terbata.
Shania sudah berdiri didepannya.
"gue mau ngomong sama lu?!" Shania langsung to the point.
"ssama aaku?" Cindy menunjuk dirinya sendiri, dengan perasaan agak takut juga, karena disamperin seorang Shania. Mana sebelumnya, pas waktu istirahat tadi dia sempat beradu fisik dengan Vanka yang berujung pembelaan Gaby untuk dirinya.
"iya sama lu! bisa kan?" datar Shania,
"taapi... akuu, mau pulang, Shania!" balas Cindy.
"ya udah! gue ikut lu naik taksi, lu kearah mana? biar nanti taksi nya gue yang bayarin!" Shania mengajukan penawaran, karena yang ingin dia tahu dari Cindy adalah hal penting tentang Beby. Shania ingin dapat kejelasan sejelas mungkin tentang kondisi Beby.
"tapi aku,-"
"udah gak usah banyak tapi! ada yang mau gue tanyain! ayok masuk!!" Shania memotong dan mendorong Cindy lewat ucapan untuk segera naik taksi, karena dia melihat Ve keluar dari mobilnya.

Ve yang ditinggal seperti itu, hanya bisa menghela nafas dalam, begitu dalam. melihat tingkah Shania memperlakukan dirinya seperti itu. Ve tahu kalau Shania dengan sengaja mengacuhkannya, tapi Ve tidak tahu alasan pengacuhan itu. Dia pikir, Shania menyetujui ajakannya, hanya untuk mempermainkannya dan bermaksud balas dendam, pada dirinya yang dulu sering mengacuhkan Shania. (membuat janji pada Shania, tapi kemudian Ve mengingkarinya!) Ve pernah, sering malah. berbuat seperti itu pada Shania. (Shania minta di jemput di tempat les, Ve jawab 'iya' tapi ternyata dia telat datangnya, telat banget dan malah tidak jarang, Ve tidak datang memenuhi keinginan Shania. Dan janji lain yang Ve ingkari pada Shania)
'sampai kapan kamu mau menghukum Kakak seperti ini, Shania?' wajah Ve terlihat menyedihkan

Didalam taksi, Shania yang tadi ngotot ingin bertanya, malah diam. Cindy hanya bisa ikut diam dengan tebakan dalam hati tentang apa yang mau di bicarakan Shania padanya.
"Aku" "Gue" secara berbarengan, Cindy dan Shania berucap.
"lu kenapa?" Shania lebih dulu bertanya,
"kamu aja dulu" balas Cindy, "kan kamu yang mau ngomong sama aku" lanjutnya.
".... gue.... gue mau... gue mau nanya soal Beby!" dengan susah payah, Shania mengeluarkan kalimat itu.
Cindy cukup kaget mendengarnya.
"Beeby? kenapa Beby!?"
Shania diam sejenak, saat tadi akan menghampiri Ve, sudut matanya menangkap gambar Cindy yang entah kenapa pikirannya seperti berbisik untuk menghampiri Cindy yang terlihat dekat dengan Beby. tubuhnya memang seperti acuh, saat mendengar Beby yang sakit.. sakit yang begitu parah. Tapi hatinya, berbisik lain dan mendorong Shania untuk bisa tahu yang sebenarnya, sampai sebenar-benarnya! Shania memang membenci Beby, tapi dia... tidak bisa menghapus begitu saja Beby si sahabat kecilnya dari dalam ingatannya. Terlalu banyak yang sudah mereka bagi dan saling tahu satu sama lain, hingga terasa berat untuk saling melepaskan, terasa sayang meski kata benci meluncur begitu fasih, terlalu rindu saat mulut bilang tidak lagi ingin dipertemukan dengan sosoknya. Keangkuhan itu... hanya penutup kerapuhan!.

"Beby.. dia gimana kabarnya, Cindy?" suara Shania kembali terdengar.
Cindy pikir, inilah kesempatannya untuk membantu Beby bisa kembali menemukan sosok sahabat kecilnya.
"dia terlihat lebih baik, dari saat hari pertama masuk rumah sakit!" jawab Cindy,
"kok, tumben! tanya soal Beby!?" pancing Cindy yang sudah tidak was-was tentang apa yang sebenarnya Shania inginkan dari menghampiri dirinya.
"emhh.. gak apa-apa! cuma pengen tanya aja!!" jawab Shania sok jual mahal, padahal banyak sekali yang ingin dia tanyakan.
"kamu... ikut naik taksi sama aku, dan bayarin argonya, cuma buat nanyain itu?" kembali Cindy memancing, dia bisa melihat wajah Shania yang seperti ingin bicara, tapi merasa kagok (canggung)
"apa memang cuma itu, yang mau kamu tanyakan, tentang Beby... sahabat kamu itu!"
Pancingan Cindy membuat Shania begerak, dia melihat kearah Cindy.
"Beby itu... memang sahabat kamu kan? persis seperti yang waktu itu Ochi bilang (saat dikantin), dan dapat penolakan dari kamunya!"

"gue,.. dia emang udah bukan sahabat gue lagi! itu kenapa waktu itu gue nyangkal!" jawab Shania,
"kalau memang, dia bukan sahabat kamu lagi! untuk apa sekarang kamu duduk di sebelah aku?" tanya Cindy langsung menusuk.
"gue... gue... cuman.... ahhh" Shania sepertinya begitu berat untuk mengeluarkan setiap ucapannya. Mungkin takut pada apa yang akan dia dengar kalau dia terus bicara dan Cindy terus menanggapinya, apalagi kalau dia mengeluarkan tanya soal Beby dan dapat jawaban 'ya' dari Cindy.

"ok! gue sebenarnya... mau tanya.... soal Beby yang,- apa benar? dia kena penyakit kanker otak!?" akhirnya Shania bisa juga mengeluarkan pertanyaan itu.
Cindy kaget mendengar pertanyaan kali ini, dia pikir.. darimana Shania tahu soal itu!?
"kenapa diam? lu gak mau ngasih tahu gue!?"
"hah? ohh... emmm... kamu... dapat pertanyaan seperti itu darimana?" bukannya Cindy menjawab, dia malah balik mengajukan pertanyaan.
"itu gak penting! yang gue pengen, lu tinggal kasih gue jawaban, 'iya' atau 'enggak', kalau Beby itu.... sakit!"
"kamu.. beneran mau tahu kan?"
Shania mengerung, jawaban tanya macam apa itu? bukannya cepat jawab iya kalo iya, dan enggak kalau tidak. Ini malah balik bikin pertanyaan.
"kalau memang, kamu mau tahu yang jelasnya. Kamu ikut aku, karena tujuan taksi ini bukan ke rumah aku! tapi kerumah sakit!!"
Shania tidak menjawab, seolah meng iyakan usulan Cindy yang sulit dia tolak.

"ternyata... apa yang waktu itu Beby bilang sama aku, tentang kamu... itu benar!" senyum Cindy, membuka obrolan di setengah perjalan menuju rumah sakit. Shania melihat sekilas pada Cindy.
"kalau kamu... bukan orang yang nyebelin, kamu itu orang yang baik, orang yang begitu periang dan sangat perduli sama orang lainnya!". . .
"tak salah memang, kalau kisah persahabatan kalian, bisa bikin siapapun yang medengar, pasti akan iri!"
Shania hanya diam mendengarkan kecerewetan Cindy.
"katanya benci... tapi dengar sedikit kabar yang tidak mengenakan! langsung nyari jawaban!! (nyindir Shania), katanya coba lupain sahabatnya, tapi pas liat sahabat baiknya ada dalam hal mengerikan, langsung kembali mengingat kebahagiaan dulu, yang pastinya tidak akan dengan mudah dihapus gitu aja!" tuturan Cindy membuat angan Shania bermain, dimasa dulu.


Cindy sudah menceritakan, sedikit tentang kondisi Beby pada Shania, dia memang terlihat khawatir saat mendengar ucapan dari Cindy tentang seberapa buruknya kondisi Beby saat ini. Shania tidak habis pikir, tentang Beby yang begitu elegannya menyembunyikan penyakit mematikan itu dari orang-orang disekitarnya. Dia begitu pintar menipu setiap mata yang melihat senyum manis dalam kepahitan hidup yang sedang dia hadapi.

Mereka berdua tinggal beberapa langkah lagi sampai diruangan tempat Beby dirawat. Cindy membuka pintu ruangan itu tanpa mengetuk dulu, karena dia sudah tahu jadwal segala jadwal di ruangan tempat rawat Beby.
"jam segini, Beby biasanya lagi tidur, karena dia baru dikasih obat!" bisik Cindy yang berjalan di depan Shania.
"jadi kamu gak akan bisa say hay....."
Suara Cindy mental dari gendang telinganya Shania, dia kini sedang diam mematung melihat apa yang ada di depannya. diatas bangsal itu... memang ada Beby yang sedang tidur persis seperti yang dibilang Cindy, wajahnya pucat, badannya lebih kurus dari Beby yang terakhir Shania temui, atau selama ini Shania memang tidak mau menyadari perubahan fisik Beby yang terlihat drastis. Karena kebencian yang menyelimuti nama Beby dalam dirinya. Tapi.. Shania mematung bukan hanya karena melihat Beby yang terbaring lemah, dia juga melihat seseorang tertidur disebelah Beby, meskipun tangannya (tangan si yang sedang tidur) menghalangi wajahnya sendiri saat dia sedang tidur di sebelah Beby, namun Shania bisa mengenalinya. Shania kembali menggambar lukisan terakhir yang akhirnya membuat dia membenci Beby, orang itu... yang tidur disebelah Beby dan menemani Beby itu... dia Subhan!

Kini... entah apa yang Shania rasakan? dia marah, tapi tidak bisa! inginnya langsung melabrak dan membangunkan 2 orang yang sudah dia anggap menghianatinya, namun seperti ada yang mengunci pergerakan dan juga suaranya, Shania hanya bisa diam berdiri di tempat semula, tidak mengikuti langkah Cindy. Tanpa sepengetahuan Cindy, Shania menarik tubuhnya untuk keluar dari ruangan itu! ruangan yang berisi pemandangan yang cukup membuat dia sesak, bukan hanya karena melihat ketidak berdayaan Beby, tapi sekarang ditambah Shania melihat Subhan yang dia pikir masih tinggal di Jogja, jauh-jauh dari Jogja ke Jakarta untuk menjenguk Beby. Padahal selama Shania tinggal di Jakarta, Subhan tidak pernah satu kalipun datang untuk menemuinya, tapi ini... sekarang... untuk Beby, yang baru hitungan bulan tinggal di Jakarta, Subhan bisa datang melihat kondisinya. Dan yang lebih membuat dadanya sesak, ternyata... Subhan lebih tahu kondisi Beby, dibandingkan dirinya yang Beby sebut sahabat.

'Sialll! kenapa juga.. gue harus ikutin apa yang hati gue pengen!(tahu tentang kondisi Beby)' gaduhnya dalam hati
'harusnya gue tahu! Beby lebih bahagia, dari apa yang gue pikirin! meskipun dia sakit, tapi semua perhatian .. bisa dia dapat... semuanya!!'
'harusnya gue gak perlu merasa kasihan karena mendengar Beby sakit! harusnya....' Shania terus mencerca dalam hati, hingga dia sampai di depan rumah sakit, dan langsung menaiki taksi yang sudah mangkal.

"Cindy.. kamu ngomong sama siapa?" suara Melody, dari belakang.
"eh? Buu Melody! kok ibu ada disana sih? Shania nya mana Bu?" heran Cindy.
"Shania? dari Ibu buka pintu, gak ada siapapun yang berdiri disini!" jelas Melody,
"tapi tadi,-"
Suara Cindy kepotong oleh Beby yang sudah bangun dari tidurnya.

Cindy dan Melody tidak heran dengan keberadaan Subhan yang menemani Beby, karena dia sudah dari kemarin siang menjenguk dan menemani Beby disiang hari, saat yang lain sedang menjalani aktifitasnya.

"kamu... tadi bilang Shania, Cindy?"
Subhan ikut terbangun, "apa? ada Shania? mana-mana? Shanianya dimana, Beby!?" ucapnya dengan nyawa belum kumpul semua, tapi terdengar girang.
"huh? Beby... itu... em, enggak kok! iya kan bu?" jawab Cindy berbohong, karena tidak mau membuat Beby kepikiran Shania yang tadi sempat melihatnya sebentar.
"yaelahh.. kirain beneran ada Shania tadi!" kecewa Subhan, Beby menertawakan kecil wajah Subhan.
"hemmm... puas ngetawain gue!" Melody dan Cindy hanya ikut tersenyum melihat tingkah Subhan.

Beby belum menceritakan soal Shania yang sedang marah dan membenci dirinya karena dikira dekat dengan Subhan lebih dari teman.

"Shania.. kenapa kamu tadi,-" Ve menghentikan suaranya saat melihat Shania yang baru datang, terlihat sedih. "kamu kenapa, Dek?" dia ganti ucapannya yang tadinya ingin rada marah dengan perhatian.

Shania tidak menggubris, dia terus melangkah agar segera sampai dikamarnya.
"Shania!?.... Shania...?!" panggilan Ve benar-benar tidak dia perdulikan.
"kamu benar! kita memang tidak akan bisa seperti dulu!! tidak akan, selama kamu tidak mau membuka hati kamu untuk menerima perubahan!!!" Shania mendengar suara kesal Ve dari bawah, tapi dia yang sedang dalam kondisi kacau hanya bisa menggulirkan air matanya.

"apa yang harus Kakak, lakuin, Shania?" Ve ikut menangis.

---
Hari ini... Beby kembali bersekolah, selama beberapa hari dirumah sakit, dia dikenal sebagai pasien yang "bandel" oleh dokter yang menangani, maupun oleh perawat yang dalam 3shift penjagaan, semua yang kebagian menyambangi atau mengawasi kamarnya, pasti bilang 'iya, Beby sangat "bandel"'.

Setelah badannya terasa lebih enak dan kembali memiliki energi, biasanya menjelang jam makan siang, dia pasti main ke ruangan tempat dimana, anak-anak dibawah 12th dirawat. Mencoba mengakrabkan diri dengan mereka yang juga memiliki nasib yang sama dengannya, mendengar cerita dan celotehan polos dari mereka, merupakan hiburan tersendiri untuk Beby, karena dengan seperti itu, dia tidak merasa sendiri di jalan itu.

"Beby!" senyum Cindy, diikuti kerungan kaget.
"Haiii.. " balasnya,
Cindy berdiri dari tempat duduknya, bermaksud membantu Beby.
"aku baik-baik aja, Cindy! Gak usah berlebihan gitu ah!!"
"hmm.. kalo baik-baik aja! Gak mungkin wajah kamu keliatan pucat gitu, tahu!!" Beby hanya mengulas senyum.

Ada beberapa teman sekelasnya yang menyapa Beby, yang sudah 2minggu lebih menskip sekolah.

Guru masuk, pelajaran dimulai seperti biasa....

Tidak sengaja, Beby dan Shania beradu langkah saat akan masuk ke kantin. Saling mengunci dalam waktu sepersekian detik. Beby yang lebih dulu menarik diri, mendorong tubuhnya masuk ke kantin bersama Cindy. Tidak ada keinginan seperti dulu dari Beby, saat mereka bisa berpapasan, untuk bisa meminta waktu Shania agar mau bicara dengannya. Kini Beby hanya bisa diam pasrah, dengan keadaan yang sedang berjalan, karena dia yakin, Shania tidak akan luluh dengan rasa benci dia untuk dirinya, sepanjang apapun dia merangkai kata jadi kalimat untuk mejelaskan. Dan seperti yang Mama bilang... 'seseorang yang sedang dalam emosi pada kita, lebih baik didiamkan, toh nanti pada saatnya, dia akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Selama kita tidak melakukan apa yang dia tuduhkan.' Beby merasa, apa yang dikatan Mama nya itu benar, dan dia mengikuti saran itu.

Sekilas, Shania melihat wajah Beby yang masih pucat, dia yang hanya menancapkan tatapan rumitnya, ternyata, diam-diam menguapkan kalimat khawatir di dalam hatinya.
'apa dia baik-baik saja?'
Meski gambar saat di rumah sakit muncul saat matanya bisa melihat Beby.
'udahlah, Shan! dia pasti baik-baik aja, apalagi ada Subhan yang menemaninya'.

"Masuk yuk! udah laper nih!" suara Vanka membuat mereka kembali bergerak.

"kamu gak apa-apa, Beby?" tanya Cindy setelah mereka memesan dan dapat tempat duduk.
"... ya! aku baik-baik aja!!"
"hemm... aku gak bisa bayangin gimana perasaan kamu sekarang. Ditatap begitu dingin oleh seseorang yang dulu begitu dekat dalam jalinan persahabatan, yang kisahnya... bisa bikin orang lain cemburu!!"
"gak usah dibayangin, karena tidak ada yang perlu dibayangin! Dia seperti itu.. karena kesalahan ku juga, yang tiba-tiba hilang dari kehidupannya, dan... yang katanya... ah sudahlah!! Makan yuk?" Beby sengaja memotong ceritanya, dia tidak mau Cindy terlalu memikirkannya.
"tapi... kalo seandainya, Shania masih perduli sama kamu? apa kamu percaya, Beby?" tanya Cindy.
"(mengulaskan senyum getir) itu.. gak mungkin Cind! dia sudah terlalu membenci aku, dan aku sadar... untuk ku bisa kembali menjadi salah seorang yang dia perdulikan, adalah mustahil!!"
"bukankah, kamu yang pernah bilang sama aku, 'gak ada yang mustahil di dunia ini! selama kamu percaya, maka apa yang kamu percayai, pasti akan terkabul!!'"
"(Beby menerawang), hmmm.. ya, ternyata mengucapkan kata itu lebih gampang ketimbang mempraktekan atau sekedar meyakini apa yang diucap , tak selamanya posisi kita ada dalam lingkar aman, sehingga kita bisa bicara yang terdengar sok nasehatin dan sok benar, tapi kenyataannya... saat kita ada diluar lingkar aman kita... itulah yang terjadi! (lupa akan apa yang pernah diutarakan) iya kan?"
Cindy membalasnya dengan diikuti ulasan senyum, "maka dari itu.. kenapa kita butuh seseorang ada di samping kita! untuk saling mengkoreksi, dan membagi hal lainnya, seperti kamu sama Shania, aku sama kamu, iya kan?"
Beby mengangguk, "makasih ya Cind, untuk semuanya..."
"bukan kamu, tapi aku. Makasih udah mau ngeliatin hal indah dan begitu berharga sama aku, yang dulu hanya diam seorang diri! "

'coba aja waktu itu Beby tahu.. kalau Shania pernah ke rumah sakit dan dia.. khawatir akan keadaannya, yang sudah Shania ketahui! Kenapa juga, Shania sok acuh, padahal dia perduli!?'

"Shania!" ucap Pelan Subhan, yang sedang menunggu Beby keluar dari sekolah. Dia melihat sekilas Shania yang duduk di seat belakang mobilnya.
"Hei!" Subhan yang sedang mengikuti arah laju mobil yang membawa Shania, kaget.
"Beby! Bikin kaget aja lu, ahh!!"
"kamu kok ada disini sih? terus.. lagi liatin apa, kok keliatannya serius banget!?" tanya Beby yang disebelahnya ada Cindy.
"gue disini, pengen liat tempat sekolah adek gue!  tadi udah izin sama tante Ana, dan.. dikasih SIM B!"
"huh? SIM B?!"
"iya SIM B, Surat Ijin Menjemput Beby! hahahaa "
"hah? hahahaaa.. bisa aja kamu!!" balas Beby.
"eh ya, Beb? itu... emhh... gue tadi yang salah lihat, atau.. emang ada Shania di sekolah ini ya!?"
"itu.. emm.. iiiyaa.. kamu gak salah lihat kok!"
"hah? jadi.. tadi itu beneran Shania? yang dimobil sedan itu Shania!?"
Beby mengangguk.
"...Kok lu gak pernah cerita, kalau lu satu sekolahan sama Shania?"
"hemmp.. Beby kan gak mungkin cerita itu saat dia sedang terbaring di rumah sakit, Subhan!" suara Cindy membela Beby.
"eh? hehee.. iya, ya.. sorry-sorry Beb, gak ada maksud! ya udalah, entar di rumah lu, lu bisa ceritain ke gue kan soal Shania!?" pinta Subhan terdengar senang.
"bisa! tenang aja.. entar aku ceritain soal calon pacar kamu yang gak jadi-jadi itu! hihihii" balas Beby sedikit meledek.
Cindy ikut tersenyum, dengan di hati cemas memikirkan perasaan Beby yang akan menceritakan soal Shania pada Subhan.

Siang menjelma jadi malam, sang mentari berganti shift dengan sang rembulan untuk menemani luasnya langit.
Dia, Shania terduduk, termenung sendirian didepan layar flat berukuran 14", jemarinya yang tadi dia gunakan untuk mencari bahan tugas Geografi, kini dia simpan di dagu. iseng melamun sendirian, tiba-tiba... tangan kanan yang tadi menemani tangan kirinya menopang dagu, dia turunkan dan dia simpan diatas Mouse. Mengklik Mozila, dan tangan kiripun dia perbantukan untuk mengetikan sesuatu di search engine. 'Kanker Otak'. Banyak deretan artikel yang membahas tentang itu, dari mulai 'tanda-tanda sakit kanker', 'pengobatan untuk kanker otak', 'obat tradisional penyembuh kanker', dan deretan artikel lainnya. Shania hanya membaca sekilas setiap deretan itu, karena setiap membaca tulisan tersebut, pasti pikirannya langsung ke Beby.

Setelah selesai dengan bacaan yang membuat Shania jadi melamunkan masa-masa dulu kala saat dia dan Beby masih dalam sebutan sahabat. Shania jadi kepikiran account facebook nya yang lama (setelah memergoki Beby dengan Subhan, Shania tidak pernah lagi membuka account lama yang dalam friend list nya itu ada Beby diam dalam urutan paling atas. Shania memang tidak menutup account itu secara formal, hanya tidak pernah dia gunakan lagi.). Memasukan alamat email dan password, saat mengetikan passwordnya, Shania kembali ingat akan password yang dulu dia buat dengan Beby, password account FB nya sama dengan Beby 'Percaya Sahabat!', sebuah password yang sengaja merreka bikin agar samaan.

Shania melihat ada ratusan notification, dan juga inbox messagenya, belum lagi friend request. Bukannya membuka notif, message, friend request, Shania malah ke box search, lalu mengetikan nama Beby, masuk di profilnya. Tidak ada yang beda, tetap sama. Tidak ada perubahan photo profil (tetap gambarnya dengan Shania), tidak ada perubahan photo sampul (tetap gambarnya bersama Shania, Aji, dan Subhan kala di alun-alun Jogja, berseragam putih biru), dan... tidak ada perubahan status! Tetap kosong tanpa ada in relationship, married, single, complicated.

Shania scroll down mouse nya.... ada status terakhir yang Beby tulis beberapa bulan yang lalu... (sampai di saat sekarang, Beby tidak pernah lagi memperbaharui statusnya)
'Bye Jogja  Aku akan bertahan, dan menemui sahabatku! Aku sangat.... Sangatttt... kangen sama si cerewet yang periang itu  Akhirnya '

Status, satu minggu setelah Shania memergoki Beby dengan Subhan. Dan Beby yang tiba2 memutuskan komunikasi nya dengan Shania.
'Tuhan berkata lain... Aku berhasil membuatnya jauh :'-)'

Status, yang jaraknya begitu jauh dari 2 status diatas.
'Aku tidak takut pada luka dan sakit, Apa yang terjadi, aku tak akan gentar menghadapinya.'

Status, sebulan setelah operasi pertama dalam percobaan pembunuhan sel kankernya.
'ini... semakin parah! tapi aku akan tetap berusaha  aku tidak akan menyia-nyiakan nyawaku!!'

2 status itu malah dapat Like plus koment dari Shania sendiri, Shania mengingat lagi komentarnya yang ditanggapi Beby dengan penutupan fakta dan hanya berujung obrolan manis mereka.
!
berhenti di status itu, Shania menarik kesimpulan dari makna tulisan-tulisan itu.
'sudah selama itukah? Dia menyimpan sakitnya sendirian!' tebaknya dalam kesimpulan.
'apa ini nyata? atau... tulisan itu memang benar hanya kutipan dalam sebuah buku, yang dia bubuhkan di statusnya!?' mengingat balasan komentar dari Beby untuk komentarnya.

Terus kebawah, hanya ada status-status dulu yang Shania juga sering memberikan jempol plus komentar untuk status yang dibuat Beby. Saat mereka masih akrab, saat mereka masih membuat iri banyak teman-temannya atas persahabatan mereka, saat senyum dan tangis dalam cerita masih mewarnai pillow talknya (ngobrol nerhadapan sambil meluk guling) kala keduanya menginap dirumah salah satu.

Seburuk apapun cerita buruk yang terselip dalam perjalanan cerita persahabatan insan manusia, hingga terjadi perpecahan, mau itu jadi perbedaan pendapat, selisih paham, salah mengartikan, hingga kebencian berujung tidak ingin lagi melihat dia dalam kehidupan kita. Pastilah tidak akan semudah mengedipkan mata untuk membenci sahabat kita! ya... mulut kita bisa setajam pedang saat berucap didepannya karena kebencian mendominasi, tapi hati kita... belum tentu! Hati bisa saja malah terluka saat ucapan makian benci itu keluar untuk sahabat.

Persahabatan dan Cinta itu... Selalu dipenuhi kemunafikan!
Wajah bisa kita atur gimiknya, suara bisa kita atur tone nya, tapi ada satu hal yang tidak bisa diatur... Hati!

Saat akan kembali menstalker status-status Beby di beranda, jarinya berhenti men-scroll mouse karena Shania mendengar suara gaduh dari luar kamar nya. Tidak jelas siapa yang sedang bicara. Dia bangun dari kursi dekat komputernya dan berjalan keluar kamar. dilantai bawah... suara itu terdengar dari lantai bawah! Shania menuruni tangga untuk menghampirinya.


Sumber : Cemistri Jkt48 | Facebook

SS

CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *13th Chapter*

...PELANGI DALAM SAKURA...
*13th Chapter*

Melody sampai ditempat yang tadi diberitahukan Cindy. Dia berjongkok melihat keadaan Beby yang masih menutup mata.
"Beby... kamu denger suara Kak Imel!?" 
Melody memegang pipi Beby yang entah dari kapan suhunya menjadi dingin.
"Beby bangun... Beby, kamu denger Kakak kan?!"
Melody masih mencoba membuat Beby sadar, namun Beby tidak juga memberikan reaksi pergerakan yang berarti, hingga kepanikan Melody, dan juga Cindy yang sedang melihat dari belakang semakin menjadi.

"Bu..! kita harus bawa Beby ke UKS!!" panik Cindy dengan sorot mata sedih melihat Beby.

Melody diam masih melihat wajah Beby, dan tangannya dia tempelkan di pergelangan tangan Beby mencoba mencari denyut nadi.

"Kita akan bawa Beby ke rumah sakit!.. bantu Ibu, Cindy! kita harus segera membawanya!!" ucapnya, begitu ketakutan.

Denyut nadi di tangan Beby begitu terasa lemah saat Melody bisa meraba dan merasakan denyutan yang begitu lemah dan terus melemah itu. Cindy hanya bisa mengangguk, dengan wajahnya begitu sangat amat cemas dan ketakutan.

Melody dengan dibantu Cindy mencoba membawa Beby ke pelataran parkir yang jarak nya tidak jauh dari tempat mereka sekarang (lewat belakang), tanpa ada bantuan lain.
Saat mereka lewat, hanya beberapa murid yang kebetulan sedang berada di sekitaran pelataran parkir yang melihat Melody dan Cindy menopang Beby yang pingsan. Tapi mereka hanya menatap, tanpa ada keinginan untuk membantu.

Beby sudah masuk di seat belakang mobil Melody, dengan Cindy menyusul dan duduk disebelah Beby (memangku kepala Beby di pahanya). Melody segera duduk di belakang kemudi dan mulai menstarter Mobil.

"Kak Imel mohon.. bertahanlah Beby!"
bisiknya dalam ketakutan.

Melody segera menancap pedal gas, dan saat sampai didepan gerbang, security yang akan membukakan gerbang menghampiri mobil Melody, kemudian bertanya. Dengan rasa takut yang coba Melody kendalikan, dia memeberitahukan pada security penjaga, kalau dia akan membawa salah satu muridnya yang pingsan kerumah sakit. Segera setelah mendengar apa yang diucapkannya, security itu membukakan jalan dan sedan putih yang dikemudikan Melody pun segera berlari berpacu dengan waktu membawa Beby yang entah bagaimana kondisinya kini.

Melody tahu rumah sakit mana yang akan dia tuju, karena Mama nya Beby sudah pernah memberitahukan pada Melody kalau-kalau kejadian seperti ini menimpa Beby. Melody mencoba berkonsentrasi kejalan, meski dengan sesekali dia melihat kebelakang dari spion tengah.

Sampai di rumah sakit Beby segera ditangani di Unit Gawat Darurat. Melody dan Cindy diam diluar, tapi terlihat tidak bisa diam. Berharap cemas menunggu kabar dari Dokter yang menangani Beby.


Sementara itu di sekolah, murid-murid sudah masuk kembali ke kelas. Beberapa guru termasuk Kepala Sekolah sudah tahu perihal Melody yang membawa Beby ke rumah sakit. Karena saat menunggui Beby diluar ruang UGD, Melody memberikan kabar, yang dia informasikan tidak hanya pada pihak sekolah tapi juga mengabari Mama Beby yang masih dalam ikatan waktu kerja di rumah sakit yang sama.

"hei! hei!.. ada informasi baru, masih hangat lagi!!"
Gaby yang kembali paling terakhir dari kantin, karena dia tadi ke kamar mandi dulu, bicara begitu antusias, sampai membuat Shania dan Ochi merapatkan alis matanya.
"tadi.. kan gue abis dari toilet, abis itu gu,-"
"to the point, Gab! jangan bikin orang penasaran!!"
Ochi memotong, karena dia tahu bagaimana cara Gaby menyampaikan "informasi" hangat yang baru dia dapat (bertele-tele, untuk membuat teman-temannya penasaran)

"Haaahh.. Oke, Oke! jadi gini... gue denger bisikan dari beberapa murid, katanya tadi pas istirahat mau abis, ada seorang murid yang pingsan di deket kamar mandi yang ada di belakang, di sebelah kantin!"

Shania terbelalak, nafasnya serasa menurun saat mendengar ucapan yang belum gamblang dari Gaby, tapi dia coba tutupi.

"dan kalian tahu apa..? murid yang pingsan itu... dia itu, Calon Artis kita!"

Ochi sudah tahu siapa yang dimaksud Gaby, saat Gaby menyebutkan ‘calon artis’, dan dia langsung berpaling melihat Shania; Dari agak kaget karena dia pikir Beby lah yang dimaksud Gaby, Shania jadi mengerung, karena saat pemilihan dan pembahasan calon artis, dia sedang ke kamar mandi.

"too bad! belum juga dikerjain, malah pingsan duluan!" keluh Gaby, dalam penutup ceritanya.
"emang siapa.. calon artis yang lu maksud!?" Shania bertanya, untuk memperjelas.
"itu... si Beby! anak pindahan yang baru beberapa minggu disini!!" jawab Gaby.;

Shania terlihat kembali kaget atas apa yang baru saja masuk digendang telinganya.

"rencananya kan, kalo gak besok, atau lusa, kita mau ngerjain dia! sesuai dengan apa yang sudah kita rundingkan, iya kan Chi?" Gaby mengalihkan pandangannya pada Ochi yang sedang mempelajari wajah Shania, lalu dia mengangguk sambil melihat sekilas menanggapi ucapan Gaby yang tidak semuanya dia dengar, karena dia lebih fokus ke Shania.
"jadi... yang pingsan itu, si Beby!?" ucap Shania terdengar datar di tone nya. Gaby mengangguk,
"dideket kamar mandi yang di sebelah kantin itu?" kembali Gaby memberikan anggukan atas pertanyaan Shania.

"eh iya! lu... tadi bukannya pas istirahat pergi ke kamar mandi ya, Shan? Ehmm.. pake kamar mandi yang disana kan!?" pertanyaan Gaby membuat Shania kaget.
"iya... gue tadi emang dari kamar mandi itu, tapi... gue gak lihat dia kok!!" jawabnya berbohong.
"Ohhh..." hanya itu yang bisa Gaby ucapkan,
Pikiran Shania kembali ke saat jam istirahat, saat dia bicara dengan penuh kebencian pada Beby.

Reaksi Shania dimata Gaby biasa saja (Datar dan memang tidak perduli), tapi lain di mata Ochi. Dia tahu, kalau Shania bertemu dan bahkan begitu bencinya bicara menanggapi Beby, di dekat kamar mandi pagi menjelang siang tadi.
(Pas Shania ke kamar mandi, selang beberapa menit lamanya, Ochi bermaksud ke kamar mandi juga, sekalian melihat kenapa Shania perginya lama). Dan Ochi, melihat 2 sahabat lama itu sedang dalam balutan kata di balik ekpresi wajah masing-masing (Shania marah tapi ada kilasan air muka sedih. Beby terkejut), Ochi kesana tepat saat Shania sedang memuncaki amarahnya dan bicara pada Beby soal apa yang sudah membuatnya membenci dia.

Guru datang untuk memulai pelajaran. Shania yang awalnya bisa mengikuti penyampaian materi pelajaran, malah jadi melamun, serasa ada yang mendongeng untuknya dan dia masuk lalu bermain dinegeri dongeng yang sedang dilantunkan guru bhs.inggris nya.

Sepertinya dia memikirkan Beby, memikirkan karena rasa cemas, atau mungkin memikirkan kehidupan keluarganya, atau… entah apa yang sedang bergemuruh didalam kepalanya kini. Karena yang pasti.. Shania terlihat biasa dari luar, tapi dalam hati, merasakan hal yang dia sendiri tidak bisa terjemahkan (sakit, sedih, resah, gelisah, takut, marah), semua bercampur dalam hatinya hingga akhirnya dia jadi tidak bisa tahu apa yang diinginkan hatinya sendiri.

Sementara itu, Ochi malah megerung, ada rasa kesal menelusup hatinya, saat dia lihat wajah Shania yang Sok tidak perduli, tapi jika dilihat lebih dalam.. dia sepertinya memikirkan dan mungkin saja… khawatir pada Beby yang katanya, dia itu sekarang musuh untuknya.
'wajah apa itu..?' dan tanpa sepengetahuan Shania, dia sedang memcermati wajahnya.
'kenapa dia sepertinya khawatir pada orang yang tadi dia bentak!?'. . .
'kenapa juga dia harus berbohong?, kalau dia tidak bertemu Beby di kamar mandi itu! padahal kan....'
Ochi menjadi gusar, karena dia merasa iri pada Beby, yang sedang di benci Shania, tapi pada kenyataannya… Shania yang membenci, malah seperti memperhatikan dan masih menaruh rasa sayang nya pada Beby, si sahabat kecilnya. Sementara pada dia sendiri.. cerita-cerita tentang yang sedang Shania rasakan padanya, hanya sekedar berbagi cerita, tanpa ada yang bisa menarik dia dari kehidupan bahagianya kala di Jogja, tanpa ada yang bisa menggeser cerita dulu tentan persahabatannya dengan Beby.


"Bu, ikut saya, dokter mau bicara!"
Seorang suster yang juga kenal pada Mama Beby, mendekati dan mengajak Mama untuk masuk ke ruang UGD.

Mama melihat dulu pada Melody dan Cindy.
"temani tante, Mel!?" tiba-tiba Mama meminta pada Melody,
Melody sempat menarik alis matanya, tapi kemudian meng iyakan dan berjalan bersama Mama, dengan sebelumnya bicara pada Cindy.

"...kondisi Beby... sudah sangat menghawatirkan! sel kanker nya, terus dan terus menyebar lebih cepat, untuk merusak jaringan didalam tubuh Beby!"
Mama menitikan air matanya,
"kita harus secepatnya melakukan operasi itu Bu, tubuh Beby terus melemah akibat dari serangan sel kanker dalam tubuhnya, dan kalau kita terus berlama menunda operasi dan hanya mengandalkan imunotherapy... itu tidak cukup. Perlahan tapi pasti, sel itu terus menggerogoti bagian dalam tubuh Beby!"

"tapi, bukannya imunotherapy itu untuk memperlambat perkembangan sel kanker?! lantas kenapa? kenapa sel kanker dalam tubuh Beby bisa mengalami pembelahan dan penyebaran begitu cepat, dok!?" Mama mencoba bertanya, karena sesaknya rasa di dada.

"imunotherapy itu.. diperuntukan bagi yang belum terserang, yang dari silsilah keluarga sudah ada yang pernah mengidap kanker, bukan untuk yang sudah terkena penyakit tersebut. Fungsi obat itu berubah untuk Beby, hanya untuk memperlambat pembelahan sel, tapi, kita tidak bisa memprediksi berapa persen obat itu bisa membantu. karena obat bekerja sesuai dengan kinerja didalam tubuh pasien sendiri!!"

Melody memegang lembut bahu tantenya, mencoba memberikan sedikit kekuatannya agar beliau tegar.

Kehidupan yang sudah berjalan dalam kesedihan, bisa mereka (Mama dan Beby) atasi pada awalnya, tapi semakin kesini.. himpitan itu semakin membuat sesak, apalagi untuk Mama. Kondisi Beby yang semakin hari semakin mencemaskan tapi Beby... dengan memasang senyum di wajahnya, dia selalu berusaha menghibur Mama, mengabarkan secara tidak langsung, kalau dia baik-baik saja. Dan Mama… beliau memang tidak pernah putus asa agar Beby bisa sembuh, tapi, Mama tidak pernah tahu bagaimana tangan Tuhan bekerja, kali ini Mama merasa seperti sedang dipermainkan takdir.


"Shania..."
Suara Ve terdengar memanggil Shania yang baru pulang sekolah, dan akan menaiki tangga menuju tempat "ternyaman" (Kamarnya) didalam ruangan gede milik orangtuanya. Dia terhenti meski dengan perasaan enggan.

"Udah makan siang belum?" Tanya Ve melanjutkan.
Shania mengerungkan wajahnya tanpa terlihat oleh Kakak nya.
"Makan siang bareng Kakak, yuk?" Lanjutnya masih belum mendapat balasan dari sibungsu yang kemarin pagi dia tampar.
"Kakak tadi dibantu sama si mbok masak makanan kesuka,-"
"Aku udah makan!"
Singkat Shania akhirnya menjawab, tanpa menoleh, dan kembali melanjutkan jalan gontainya menuju kamar.

Pikirannya saat ini terlalu sumpek dia rasakan! Kebaikan yang sedang Kakaknya sendiri perlihatkan, sepertinya tidak bisa mengusir kesumpekan itu.

Dan, Ve yang ditinggal tanpa ditoleh, hanya bisa mendesah menghela nafas yang menyesakan dadanya. Dia sadar, tidak akan semudah melangkah untuk membuat Shania kembali dekat lagi dengannya sebagai Adik-Kakak seperti dulu. Tidak akan semudah menghirup dan mengeluarkan udara untuk membuatnya menarik Shania dari kesepian yang mendalam, yang sudah dia dan orangtuanya sebabkan. Dan, tidak akan semudah memijit remote tv mencari tontonan menyenangkan, untuk mengembalikan kondisi keluarganya agar bisa baik dan harmonis kembali, seperti yang dulu.

Masih bisakah, keluarga nya itu baik dan harmonis lagi (?).

Terkadang.. butuh kesalahan untuk kita mengetahui kebenaran, butuh kesedihan untuk kita merasakan kebahagiaan, butuh perpisahan untuk kita menghargai pertemuan. Dan itu yang sedang dialami Ve, kembali dia sadar kalau kehidupan yang kini dia jalani, bukan lagi kehidupan sehat. Dia sedang mengobati kehidupan itu, berharap bisa setidaknya menarik Shania untuk kembali bisa dia dekap. Karena Mama sama Papa.. untuk memikirkan nya saja, Ve merasa tidak tertarik.

Shania yang sudah masuk dalam kamarnya, tidak langsung mengganti pakaian atau membersihkan diri sekedar mencuci mukanya yang terlihat lusuh, tapi dia langsung membanting tubuh lenjang nya keatas pembaringan. Matanya yang menyipit jika dia tersenyum, dia arahkan ke langit-langit kamar.

'Aku tidak sepicik itu.. Aku tidak ada hati sama dia!'
Hanya beberapa kata yang Shania masih ingat saat bertatap muka dengan orang yang dia benci.. si 'mantan' sahabat.

Membuat mozaik gambaran pertemuan terakhir yang menyakitinya, mengacak kembali ingatannya pada apa yang dikatan Beby.
'Aku membencimu! Sungguh!! Tapi kenapa? Saat mata itu menatap dan bibir itu merangkai kata, kearahku. Seakan ada kebenaran yang tidak ingin kuterima dari setiap pengakuannya!!'

Kesakitan dalam kesepian, terlalu lama menaungi langkahnya. Tidak ada lagi hal yang indah yang bisa dia rasakan. Senyum itu.. Tawa itu.. hanya perisai dari ketidak tahuan pada apa yang sedang dia hadapi, dan bagaimana cara menghadapinya.
Tanpa Shania sadari, dia kini sudah terlelap. Ditarik kedalam dunia lain (dunia mimpi) yang untuknya terasa lebih indah, dibanding dunia nyata yang sedang dia tapaki.


Cindy sudah pulang, setelah sebelumnya masuk ke kamar rawat Beby, yang sudah di pindah dari UGD, untuk sekedar melihat bagaimana kondisi teman barunya itu. Raut sedih menemaninya di dalam taksi, dia sudah tahu perihal penyakit yang mendera Beby. Ingin dia melakukan sesuatu untuk menolong Beby, tapi apa? Cindy bertanya pada Tuhan, kenapa dia harus di pertemukan dengan seseorang yang baik, namun mungkin.. tidak akan lama dia jumpai. Bukan maksud Cindy memvonis, tapi kenyataan berbicara sangat nyata di depan mata.

apa pernah, Cindy membaca dalam sebuah artikel, seseorang yang sudah terserang kanker, bisa kembali sembuh.. Total?

apa pernah, Cindy mendengar sebuah berita tentang pengidap kanker yang masih bisa bertahan hidup, dalam jangka waktu yang panjang?

apa pernah, Cindy menyaksikan sebuah keajaiban dari seorang pesakitan kanker, kembali berjalan menempuh hidup, secara normal lagi?

Pertanyaan dalam pikiran yang sedang dia mainkan, tidak sama sekali membuatnya tenang, setiap mengulang kembali memory video tadi siang, dan percakapan Mama nya Beby dengan Melody yang begitu terdengar kesakitan, setelah keluar dari ruang dokter.

Melody menelpon Mama nya dan memberitahukan semuanya, hingga malam menjelang larut, tante yang juga Kakak dari Mama Beby itu datang. Dia yang memang satu aliran darah dengan Mama Beby, mencoba menguatkan Mama yang sudah terlihat lelah. Lelah bukan berarti ingin menyerah, Mama cuma sedang mengeluarakan sesak didadanya lewat ekspresi lelah yang sebenarnya tidak ingin dia perlihatkan.

Sementara Beby sendiri, masih belum membuka mata untuk memberitahukan pada sang Mama atau yang lainnya yang sedang menunggunya dalam kesedihan, kalau dia baik-baik saja. Dia masih memejamkan mata, yang entah sedang dimana roh nya sekarang. yang terlihat kasat mata hanyalah, Beby masih ada bersama mereka, masih ada lewat sebuah alat deteksi jantung (ECG) yang terpasang di dadanya, memberikan informasi kalau dia masih ada. Hanya suara nyaring itu yang menggema didalam ruangan, suara penanda masih adanya kehidupan dalam setiap detak saringan bunyi alat tesebut.


***
Hari ketiga, Cindy duduk disebelah bangsal Beby, kondisinya sudah cukup (belum sangat) stabil. Dia menjenguk Beby sepulang sekolah, kini didalam ruangan hanya ada dia dan Beby yang masih tidur, Mama Beby sedang ke kantin dengan tantenya Beby. Sementara Melody masih di sekolah.

"di sekolah gimana, Cindy?"
Cindy yang sedang melihat wajah Beby, terkejut. Saat dia pandangi wajah itu... matanya masih menutup rapat, tertidur dengan wajah pucatnya.
"Bebyyy.. kapan Bangun?!"
"kaget ya?" senyum lemah Beby
"enggak kok! senang malah!!" balas Cindy dengan senyum juga.
"kalo senang... masa mukanya muram gitu?!"
"kalo aku ketawa-ketiwi, nanti yang ada aku dimarahin suster, karena udah ganggu istirahat pasiennya!!" jawab Cindy dengan tekanan datarnya.
Beby kembali memasang senyum "udah bisa becanda sekarang?"
Cindy hanya tersenyum.

Beberapa detik... ruangan sepi, tanpa ada suara dari keduanya.

"kamu.. jenguk aku cuma buat diam aja?"
Cindy mengangkat kepalanya, air mukanya sungguh sendu.
"hibur aku dong Cindy! aku bosan dengan bau rumah sakit kayak gini!!"
Cindy coba tersenyum pada Beby.
"cerita dong... di sekolah gimana?"

"(menghela nafas)... disekolah... beda!" jawab Cindy.
"beda?. . . bedanya?"
"gak ada Beby.." Cindy terdengar polos,
"dulu juga gak ada aku kan?" jawab Beby.
"iyaa.. dulu gak ada kamu, dan aku... cuma seorang Cindy yang hanya diam dalam ketakutan, karena tidak pernah bisa memiliki teman apalagi sahabat!"
Beby memandang Cindy, yang masih melagu.
"tapi.. saat kamu datang dan mengulurkan tangan kamu, aku ngerasa, masa SMA ku gak akan aku habiskan seorang diri, tanpa ada kenangan berarti! kamu memperlihatkan padaku banyak hal. Aku yang sekarang udah gak malu buat senyum dengan tanpa menunduk, Aku yang sekarang bisa berbaur dengan teman-teman sekelasku, Aku yang sekarang tahu bagaimana memulai pertemanan. Dan semua hal baik itu... Aku dapat dari kamu,. . . Beby Chaesara... Anadila!!" Cindy kembali menunduk dengan kali ini menangis, mengingat penyakit Beby.

Beby terharu, mendengar pengakuan Cindy tentang dirinya.
"karena kamu yang sekarang, maka... kamu akan mendapatkan kenangan berarti dan indah saat kamu menyanyikan lagu kelulusan nanti :'-)" meski dia merasa kepalanya sedikit sakit, dan suaranya tidak terlalu besar. Dia tetap bicara untuk memberi semangat pada teman, yang bisa jadi nantinya menjadi sahabat.
"kamu pantas mendapatkan memory indah di masa SMA kamu Cindy! bahkan tanpa aku sekalipun, kamu pasti bisa membuat coretan indah yang kelak akan kamu ceritakan pada suami kamu, anak-anak kamu , jadi kamu harus Semangat..!!!"
Cindy mencoba menahan aliran air matanya, mendengar suara lemah itu.

"Kamu perlu tahu? Aku… akan berada di sebelah kamu, kita akan bersama menyanyikan lagu kelulusan, menanggalkan seragam penuh kenangan. Aku akan ada di sebelah kamu, dan sahabat aku. Dengan... atau tanpa kalian bisa lihat lagi wujudku.. :"-)"

Mencoba menahan tangis, bukannya berhasil malah semakin deras keluar, Cindy membekap mulutnya agar suara dari kesedihan itu tidak menggema beriringan dengan suara detak lemah jantung Beby, dalam ruangan bercat cream smooth.

"udah... jangan nangis terus! seprai tempat tidurku jadi basah.. hehe" canda Beby dengan memegang lembut tangan Cindy.

Cindy menyeka air matanya sambil memaksa sedikit tersenyum.

"Cindy?"
"ya?"
"ehmm... Shania sama teman-teman nya gimana?"
tanya Beby, membuat Cindy sedikit mengerung.

Cindy tidak habis pikir, saat dia lihat Beby pingsan dan sebelumnya berpapasan dengan Shania, dia meyakini kalau Shania sudah melakukan sesuatu yang membuat Beby akhirnya tumbang. Tapi, kenapa Beby masih mau menanyakan tentang dia, yang jelas tidak memperdulikan dan bahkan membenci dirinya.

"dia... dia masih sama, seperti Shania yang aku tahu!" lalu Cindy menjawab sekenanya.

Beby hanya bereaksi 'ohh' menanggapi cerita singkat Cindy. Pikirannya kini membuat garis lurus yang dia tarik kebelakang, pada waktu istirahat, waktu dimana dia tahu penyebab Shania sebegitu membencinya.

Beby... memenuhi pikirannya dengan Shania dan Subhan. Bagaimana cara memberi tahu Shania kalau dia tidak sama sekali tertarik pada Subhan, yang hanya dia anggap sebagai Kakak lelakinya, tidak lebih.
Bagaimana cara meyakinkan Shania kalau Subhan hanya suka dan mencintai dirinya, bukan Beby.
Bagaimana cara memberitahukan pada Subhan tentang kesalah pahaman yang sedang menguasai sisi hati Shania, karena Subhan.. kini sedang berada di Jepang. Kembali mengekor orang tuanya yang dipindah tugaskan, dan kini.. bukan di kota lain, tapi di negara lain.

"kenapa… kamu kok masih menanyakan soal Shania sama teman-temannya? Padahal... yang terakhir Cindy lihat, Shania sudah meninggalkan kamu di tempat itu! Tentang sikap mereka yang tidak enak dilihat juga!! kenapa kamu harus perduli sama mereka, terutama Shania?"

Beby yang melamun, ditarik kembali oleh pertanyaan dari suara Cindy.

"karena dia... Shania itu... sahabat aku, Cindy!"
Cindy kaget mendengar hal itu,
"…maaf, aku udah salah sama kamu, gak jujur! dari awal.. aku tidak pernah mengatakan apapun soal sakit aku, soal sahabat kecil aku, yang aku ceritakan sama kamu! aku mungkin sudah menipu kamu. Menghadap sebagai teman, dan kamu berharap aku bisa jadi sahabat kamu. Tapi kenyataannya? aku tidak baik buat kamu, Cindy! Aku membohongi kamu!!"

"(Cindy menggeleng), itu hak kamu! aku tidak pernah menganggap kamu gak baik buat aku, karena kenyataannya, tanpa perlu kamu menceritakan sosok sahabat kamu dan atau hal lain yang kamu pendam... kamu baik buat aku! aku tahu bagaimana menikmati kehidupan aku, bersyukur atas apa yang sudah Tuhan anugerahkan dalam kehidupan aku, itu dari kamu! aku harap... kita bisa jadi sahabat. :'-)"

Cindy berdiskusi dengan dirinya sendiri, saat mendengar ucapan Beby yang sedikit-banyak membuat hatinya merasa sakit. Tapi kemudian.. dia sadar, Beby melakukan itu bukan untuk tujuan yang jelek, dan akan merugikannya. Mungkin itu cara Beby membuat yang didekatnya bahagia, tanpa ada yang disakiti, ataupun tersakiti.

"Shania... harusnya merasa bahagia, bisa punya sahabat seperti kamu! dia beruntung karena kamu masih begitu menaruh rasa khawatir kamu buat dia, yang secara fisik, lebih kuat dari kamu sendiri!!. . . apa harus? Cindy kasih tahu tentang kondisi kamu sama dia!?"

Beby menggeleng cepat, "Jangan!"
"kenapa? Kamu bukannya mau, biar Shania bisa kembali jadi sahabat kecil kamu!?"
Cindy merasa, inilah.. sesuatu yang bisa dia lakukan untuk membuat Beby bahagia, mengembalikan persahabatan indah diantara dia dan Shania.

"bebannya terlalu berat Cindy! iya.. secara fisik, dia jauh lebih kuat dibanding aku, tapi secara mental? dia sangat rapuh, salah memegang, dia bisa hancur!! Aku tidak pernah bisa jadi sahabat yang baik buat dia!!!"

Ada catatan kecil dipikiran Cindy, untuk melakukan hal yang Beby tidak perlu tahu. Mencoba merekatkan kembali ikatan itu.

"Cindy... (Cindy menatap Beby), mau janji sesuatu gak?"
"(mengerung kecil), aapa?"
"jangan sampai, siapapun tahu soal kondisi aku yang seperti ini! tanpa terkecuali!! mau kan!?"
Cindy berpikir sesaat, lalu mengangguk pelan. Tapi dalam hati bicara sendiri…
‘Maaf.. kalau aku nantinya tidak bisa menepati janji yang ini… Beby!’
Cindy membalas senyum yang sedang Beby lukiskan untuknya.


***
Di sekolah, masih seperti biasa, belajar... mempelajari sesuatu untuk bekal masa datang. Shania, Ochi, Gaby, Vanka, Noella, dan Octy. Masih sama! Tidak ada yang berubah dari sikap menyebalkan mereka, suka ngerjain murid lain, dengan durasi singkat bahkan bisa lebih dari 30 menit. Acuh-tak acuh menanggapi guru yang memberikan materi, hal tidak baik lebih banyak daripada hal baik yang mereka lakukan. Seolah... sekolah itu, ajang pertunjukan yang pemilik panggung nya adalah mereka, tapi pertunjukan tidak layak tonton!!.

Shania tidak mau memperdulikan soal Beby, yang sempat sedikit.. mencuri perhatiannya saat mendengar Beby pingsan, yang sebelumnya bicara dengan dirinya.

Sang calon artis berubah, aksi bully tanpa Beby si target utama pun, terus berlangsung. Shania dan pasukannya, tetap dengan santai dan tanpa dosa, mengerjai murid lain tanpa memperdulikan efek samping dari tingkah mereka, untuk dirinya masing-masing (si bullyer), terlebih untuk mereka yang jadi korban.

Saat Shania dan pasukannya, sedang melancarkan penganiayaan halusnya, dengan iringan tawa puas dari masing-masing bibir, dan juga cibiran. Melody tidak sengaja lewat ke tempat itu (Kantin), dia yang memang sudah beberapa kali (berkali-kali lebih tepatnya) menyaksikan apa yang diperbuat murid yang dulu pernah ada dalam pengawasannya (Shania dan Ochi), beserta murid lain yang dulu pernah dia ajari (Gaby), dan tambahan lain nya, murid yang dari kelas sepuluh sampai sekarang kelas sebelas, dia ajari pelajaran, menjadi pengajar untuk mereka bertiga selama 2th berturut-turut (Noella, Vanka, Octy), melakukan pengeroyokan halus, mengucilkan, membuat yang lain terlihat menjijikan dimata mereka, melakukan segala hal tidak baik dengan seenak jidatnya, pada murid lainnya yang sama tingkatan, dibawahnya, dan bahkan satu tingkat diatasnya.

Biasanya, ada saja salah satu, atau salah dua diantara mereka (Shania+pasukan), memergoki setiap adanya guru yang akan melewati tempat "main" mereka. Tapi kali ini... karena mungkin terlalu asik dengan "mainannya" jadi tidak ada satupun yang menyadari kedatangan Melody.

"Apa yang sedang kalian lakukan!?"
Suara Melody mampu menghentikan "pembuatan film" yang sedang di shoot Gaby.

"Eehhhh.. ada Bu Melody!" nyengir Gaby, dengan refleks kamera videonya jadi terarah ke depan Melody.
"Iibu.. lagi apa Bu? Mau beli makan ya!?" Vanka ikutan,

Noella memegangi si "artis" dengan tangan kirinya. Gimiknya terlihat biasa, tapi gesturenya.. tidak biasa (mencengkram terlihat bersahabat, padahal... *bayangin aja sendiri*)

"Kamu sedang apa dengan handycam itu?!"
Gaby segera menurunkan Handycam nya. "ehm.. itu... anu... ini..." gelagapan, "inituh.. ini itu.. buat… tugas sekolah Bu! iyaaa.. tugas sekolah, bener kan teman-teman?"

"tugas yang mana Gab? sekelas aja enggak kita mah!" celetuk Octy yang tadi hanya diam planga-plongo.

Apa yang Octy ucapkan, seketika membuat Vanka memberikan tatapan sadis padanya; Noella mendengus kesal; Gaby lebih-lebih, kesalnya. Celetukan polos yang kelewat polos, membuat yang lainnya greget. Hanya Shania dan Ochi yang cuek bebek, tak mau memperdulikan ucapan dingin Melody. Cuma memasang tampang bertahan, tapi siap menyerang jika Melody menusuk lebih dalam.

"Sudah! jangan kalian terus berkilah!, kalian pikir.. Selama ini, Ibu tidak tahu apa yang suka kalian lakukan!? lepaskan adik kelas kalian itu?!!" Ujar Melody begitu tegas, diikuti menunjuk tangan Noella.

Perlahan, Noella melepas genggamannya. Si murid yang tadi jadi artis, di suruh pergi oleh Melody.

"Hemm.. Ibu sangat tidak habis pikir, dengan tingkah kekanakan kalian itu!. . . Ibu tanya, apa yang kalian dapat dari mengerjai murid lain disini!?"

Hanya Gaby, Octy, Vanka, dan Noella yang mendengarkan secara khusuk (sepertinya) perkataan Melody. Sementara Ochi terlebih Shania biasa saja, dan terkesan tidak menghargai ucapan Melody (sudah sedari tadi begitu).

"Mau sampai kapan? kalian bertingkah seperti sekarang ini?... kalian sudah kelas sebelas (Dua SMA) apa akan sampai lulus nanti, sikap kalian seperti ini!?. . . itu juga, kalo kalian bisa lulus!!" tusuk Melody lewat permainan kata-kata nya.

"kenapa bereaksi seperti itu? takut kalo gak lulus? atau.. kalian emang udah kepikiran bakal gak akan lulus!?" Dia bisa lihat begitu jelas sedikit kekagetan di wajah Gaby dan lainnya.
"apa kalian tidak sayang sama orang tua kalian, yang sudah bekerja keras untuk membiayai sekolah kalian ini?"

Shania mulai meletup mendengar Melody menyinggung orang tua.

"apa kalian tidak pernah memikirkan sedikit saja, kalau diluaran sana.. banyak anak remaja seusia kalian yang ingin bisa memakai seragam seperti kalian! belajar... mempelajari ilmu.. memiliki teman.... Kehidupan kalian, yang hanya bisa tahu cara meminta pada orang tua apa yang kalian mau dengan rengekan manja. Kehidupan kalian yang saling berbagi cerita indah tanpa ada kekurangan! tidak pernahkah? kalian berpikir sejauh itu..?" Kekesalan Melody mulai menurun.

Shania sudah ingin pergi tanpa menghiraukan lagi "ceramah" Melody yang menurutnya Sok Tahu!

"Ibu cuma tidak mau, kalau kalian... saat sudah masuk dalam kehidupan sebenarnya kelak, kalian hanya punya kenangan pahit. Kenangan membuat goresan luka dihati orang lain! Kenangan seutas senyum palsu yang kalian ciptakan dari keyakinan kalian, kalau hidup kalian tidak bahagia! Kenangan... tanpa Kenangan! itu yang akan kalian dapat, kalau kalian masih bersikap seperti sekarang!"

Tertegun, kalimat terakhir yang diucapkan Melody, ternyata bisa menembus gendang telinga bahkan sampai ke hati paling dasar Gaby, Octy, Vanka, Noella dan bahkan Shania juga Ochi yang tadi hanya menatap Melody kesal.

"Ibu... punya adik sepupu, seumuran sama kalian! Dan kalian tahu? (ekspresi Melody tidak sedingin dan semenyeramkan tadi), dia punya impian, sama seperti kalian. Dia punya harapan, sama seperti kalian. Dia punya segala bayangan kehidupan kelak, sama seperti kalian. Tapi, .... dia tidak punya banyak waktu, sebanyak yang kalian punya!"

Iba, ada bayangan wajah iba terpancar dari mereka si murid-murid pembuat onar.

"Ibu cuma mau bilang... Manfaatkan dan gunakanlah waktu yang sudah Tuhan titipkan sama kalian, waktu panjang tanpa kalian tahu batas waktunya, jutaan bahkan milyaran detik waktu yang kalian miliki. Untuk kalian gunakan berbuat hal yang lebih bisa kalian kenang dengan iringan senyum bahagia kalian, bukan dengan kenangan yang diikuti tangis sesal.!"

Melody mengulaskan senyum, pada mereka semua, dan lalu... pergi melewati ke 6 nya. Dia tidak seperti pengajar lain yang jika secara tidak sengaja memergoki apa yang sedang Shania dan kawan-kawannya lakukan, langsung menggiring mereka ke ruang kesiswaan, dan bahkan ke kepala sekolah.

Dan baru kali ini, dalam beberapa kali penangkapan basah aksi kriminal halus, Melody terhadap Shania dan kawanannya, dia bicara menegur kelakuan mereka. Dan ternyata… STRIKE! Dia sepertinya sukses menusuk langsung kedalam hati mereka dengan setiap ucapannya, membuat raut wajah si anak-anak bandel ini, berpikir. Dan semoga saja ekspresi yang terlihat dari luar itu, bukan hanya sekedar ekspresi sinteron.!


Sumber : Cemistri Jkt48 | Facebook
Chrome Pointer