JKT48 Umumkan Daftar Anggota Senbatsu Single ke-5 'Flying Get'


Pada 16 Februari, JKT48 mengumumkan daftar anggota senbatsu untuk single ke 5 yaitu “Flying Get“. Hal ini disampaikan di Teater JKT48 pada hari minggu.
Pengumuman tersebut disampaikan melalui layar yang dibentangkan di depan teater. Sebelumnya, single Flying Get sudah ditampilkan hari sabtu 15 Februari dalam acara WAKUWAKU JAPAN MUSIC FESTIVAL, dan single tersebut juga menjadi soundtrack TVCM dari WAKUWAKU JAPAN TV.
Daftar anggota senbatsu single JKT48 – Flying Get :
  • Team J : Melody Nurramdhani, Nabilah Ratna Ayu, Jessica Veranda, Shania Junianatha, Haruka Nakagawa, Devi Kinal Putri, Ayana Shahab, Sendy Ariani, Jessica Vania, Rezky Wiranti Dhike, Ghaida Farisya
  • Team KIII : Cindy Yuvia, Shinta Naomi, Ratu Vienny Fitrilya, Viviyona Apriani, Alicia Chanzia
Ini adalah pertama kalinya bagi Ghaida Farisya, Sendy Ariani, Viviyona Apriani dan Alicia Chanzia masuk kedalam single senbatsu.

Kalau mau download silahkan >> Download JKT48 - Flying Get (80% Clean) <<
Password : yoganewbie

CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *18th Chapter* *Final Chapter*


Ve duduk disebelah Shania, menatapnya dalam tatapan penuh kesedihan. 
Apa yang harus dia ucapkan saat nanti Shania bangun? Apa yang harus dia lakukan saat nanti Shania bangun dan bertanya tentang gelapnya ruangan tempat dia sekarang dirawat? 

Hal sulit itu masih belum enyah dalam hidup mereka berdua. Sekalipun Shania bisa bertahan dalam kecelakaan yang melibatkan Mamanya, tapi kesulitan lain yang tidak kalah sulitnya, menghadang, memotong jalan yang sedang dilalui. Menguji kepercayaan, ketabahan, dan kesabaran keduanya.

Ve, merasakan tangannya bergerak, karena ternyata tangan Shania yang sedang dia genggam melakukan gerakan.
"Dek..?" Panggilnya, memastikan.

Saat matanya mulai terbuka, Shania merasakan itu lagi... gelap, ada suara, dan dia tahu siapa pemilik suara itu. tapi dia tidak bisa melihat Kakaknya, hanya ruang yang begitu legam gelap yang dia lihat! sebelahmana suara itu.. Shania coba mencari.
"Kaak Ve..?"
"Kakak disini, Dek!"
"Kenapa... kenapa disini gelap, Kak?"
Ve menahan tangisnya, dia seketika diam, tidak tahu harus menjawab apa.

"Shania.. Shania gak bisa lihat Kakak! Kenapa gelap Kak? Apa... Kakak juga merasakan yang sama!?" Tanyanya kembali, mengira mati lampu!

"Selamat siang!"
Dokter dan Suster masuk kedalam ruang rawat Shania.

"Suara siapa itu?.. Siapa yang datang, Kak?"
Ve menyeka air matanya, menekan suara tangisnya. "...itu.. itu Dokter, dek!" lalu menjawab tanya Shania.

Meski kondisi Shania belum pulih benar, tapi dia tetap bisa mempekerjakan otaknya. Shania jadi berpikir, kalau diruangan itu mati lampu, kenapa Kakaknya bisa tahu kalau suara yang keluar tadi itu milik dokter?!
"Dokter..? Kakakk.. bisa lihat? Jadi? Disini.. disini gak lagi mati lampu Kak?! Terus Shania.., kenapa Shania gak bisa lihat apapun! Kenapa semuanya gelap Kak?"
Shania mulai takut, dia meyakini, ada yang salah dengan penglihatannya, dengan kedua matanya. Tapi, Shania mencoba memungkirinya.

Ve tercengang, ucapan yang awalnya tidak tahu harus dia rangkai seperti apa untuk memberi tahu Shania, ternyata malah sebuah ucapan tidak lebih dari 8 kata yang menjadi pembuka.

"Kakk..? Shania kenapa? Kenapa disini... (Shania merabakan tangan pada kedua matanya, dan menguceknya perlahan), Shania lagi buka mata! Tapi kenapa? Ada apa sama Shania Kak? Kenapa Shania gak bisa melihat?"
Shania yang belum begitu stabil, meluapkan rasa takut dalam kegelapannya.

"Maafin Kakak.. Shania..."
Ve memegang tangan Shania dengan tangis mengiring. Shania bisa merasakan tangis kesakitan dari Kakaknya.
"Kenapa Kak?... Dokter? Ada apa sama mata aku? Kenapa semuanya gelap!?"
Shania memainkan matanya untuk menjangkau Dokter dan menanyakan keadannya secara rinci.
"Kenapa.. gak ada yang jawab! Ada apa sama penglihatan aku!?"
Shania semakin menjadi, dia merabakan kedua tangannya, dan kini diikuti gerakan dari tubuhnya, hingga dia nyaris jatuh. Tapi untungnya, Ve begitu sigap. Shania mencoba berontak dalam tanya ketakutannya, di dekapan Ve.

"Kamu.. Kamu akan baik-baik aja, Dek! Semua akan baik-baik aja!!" Ve mencoba menenangkan.
"Apanya yang baik, Kak? Semuanya gelap! Kenapa dengan mata Shania!?" Jawabnya dalam tangis dan pemberontakan, pada Kakaknya.

Dokter yang didampingi seorang suster, sesegera mungkin mendekat kebangsal Shania. Dan dengan cepat dia menyuruh suster untuk menyuntikan pembius ringan pada Shania, karena dia terus bergerak melakukan pemberontakan. Dokter mengambil tindakan itu untuk mencegah rasa sakit di tubuh bagian lain Shania timbul, dan mengakibatkan kondisi Shania yang baru setengah stabil kembali drop.

Setelah pemeriksaan yang Dokter lakukan pada Shania selesai, Ve duduk sebentar didekat adiknya yang sedang tidur. Beberapa menit lamanya, dia memutuskan untuk berjalan keluar ruangan.
Duduk sendiri didepan ruang rawat Shania. Pikirannya dipenuhi tentang bagaimana cara agar dia dapat donor retina mata secepat mungkin, tanpa harus mengantrikan Shania di daftar penerima donor, pada bank mata.
'Ah! Darimana?, Siapa yang akan dengan sukarela memberikan retina matanya untuk orang lain?'
Ve begitu resah dan gelisah,
'Jangankan yang masih memiliki kehidupan! Yang sudah meninggalpun... sangat sedikit yang dengan sukarela memberikan retina matanya!!'
Dia menyandarkan kepalanya ke dinding. Menerawang langit-langit.

Sementara itu, Papa dan Mama tidak tinggal diam. Merekapun mengerahkan kemampuannya untuk mencarikan donor mata, bagi Shania. Memasang iklan, mengimingi siapapun yang mau mendonorkan matanya dengan rupiah yang berjumlah fantastis, tanpa mereka mau sadari kalau perbuatannya itu bukanlah perbuatan baik.

Dan lagi, Mama yang ingin dan rela, mendonorkan matanya sendiri demi menebus rasa bersalahnya pada Shania, ternya.. tidak Tuhan kehendaki. Mama tidak bisa mendonorkan mata karena matanya yang minus. Mungkin, ini hukuman yang Tuhan berikan atas semua kehilafan Mama yang sempat menelentarkan kedua putrinya, meninggalkan keluarganya dengan pergi bersama pria lain. Niat baik yang keluar dari lubuk hatinya sekalipun, mendapat tentangan dari Tuhan. Atau mungkin..., ada hal lain yang akan Tuhan tunjukan, sesuatu yang lebih indah, bahkan lebih indah dari apa yang mereka bayangkan. Bukan hanya sebuah hukuman dari keteledoran, namun suatu akhir yang akan melahirkan banyak makna, untuk dijadikan pelajaran.

Tuhan selalu punya alasan atas semua rencana yang Dia buat!

"Kak Ve?"
Ve masih dialam lamunannya, saat Beby memanggilnya.; Melody menatap Ve.
"...Kak!"
Kembali Beby memanggil dengan kali ini diikuti sentuhan ditangan Ve.

Ve yang akhirnya menyadari seseorang sedang memanggilnya, segera menatapkan matanya.
"...Beeby!"
Suaranya terdengar tidak percaya, menyebutkan nama Beby.
Beby mengulaskan senyumnya pada Ve,
"Kakak kenapa?" Tanya Beby cemas.
Ve menyeka air matanya, "Kamu... Kenapa kamu bisa disini?" Tanyanya kemudian, tidak menghiraukan kecemasan Beby.
"Beby mau ketemu Shania, Kak!" Jawab Beby.
"Tapi kamu kan?.., Bagaimana Operasinya? Udah?" Ve melencengkan ucapannya, jadi pertanyaan untuk Beby.

Beby diam belum menjawab. Ve melihat Melody, dan Melody yang sadar akan tatapan tanya Ve, segera menggelengkan kepalanya pelan, berisyarat kalau belum ada Operasi.

Ve kembali melihat Beby. Belum sempat Ve bicara, Beby memotong dengan mengeluarkan suaranya.
"Beby... Beby minta maaf Kak! Beby bukan sahabat yang baik buat Shania!" Beby menundukan kepalanya.
"Apa maksud kamu, Dek?" Ve mengerungkan keningnya.
"Beby... gak tahu kalau Shania... dia mengalami kecelakaan, dan...," Suara Beby terhenti karena dia tidak bisa menahan tangisnya.
Melody yang berada dibelakang kursi roda Beby, mengelus pundak adik sepupunya yang tadi memaksa dirinya untuk mengantarkan dia pada Shania. "Beby minta maaf... Beby gak bisa ngelakuin apapun, Kak! Beby..,-"

Ve yang bisa merasakan kesedihan Beby, segera turun dari bangku yang tadi ia duduki dan berjongkok didepan Beby.
"Sssutt... Jangan bicara apapun lagi! Kamu gak seharusnya bicara seperti itu!" Ve mengusap air mata Beby. "Shania... dia udah siuman kok. Dia udah baik-baik aja, meski...," Ve menahan ucapannya.

Beby dan Melody melihat kearahnya, yang tidak melanjutkan kata-kata namun malah melamun. (Ve belum memberitahu soal perkembangan Shania.)

"Meski apa Ve...?" Melody yang mempertanyakan. Ve menatap Melody, kemudian kembali ke Beby.
"Shania... dia mengalami kebutaan, Kak!"
Kedua tamu yang juga sudah Ve anggap keluarga itu melebarkan kedua matanya. Kaget dengan informasi yang baru saja masuk dalam telinganya.
"Aaapa? Shania... dia... dia gak bisa lihat Kak?" reaksi Beby yang masih dalam sisa tangis, bercampur dengan kekagetan. Ve mengangguk lemah.
"Bagaimana bisa?..." Beby terdengar menyesal dan sedih kala mendengar apa yang Ve ucapkan. Karena semalam, dalam tidurnya setelah sore hari dia pingsan, dia melihat Shania yang ketakutan dan menyinggung soal kegelapan. Inginnya dia mendekap dan memberikan sedikit kekuatannya pada Shania, tapi semua sia-sia, karena meskipun dia ada di dekat Shania, dia tidak bisa melakukan apapun, tubuhnya ditarik.. menjauh dari Shania yang sedang duduk sendirian.

"Separah apa, Kak? Shania bisa melihat lagi kan?" Tanya Beby dalam wajah sedihnya.

Ve berdiri, menghela nafas begitu dalam.
"Kalau saja, hanya dengan Operasi biasa Shania bisa kembali melihat, Kakak gak akan menunda pelaksanaan Operasi itu. Tapi ini,... Shania... dia tidak bisa sembuh hanya dengan Operasi biasa! Dia harus... mendapatkan donor mata, agar bisa kembali melihat!! Operasi pencangkokan retina mata, yang akan membuatnya kembali bisa melihat. Hanya itu jalannya..." Jelasnya dalam kepedihan teramat sangat.

Beby kembali menjatuhkan air matanya. Mendengar apa yang Ve uraikan, membuat dia begitu mengutuk diri sendiri, karena sempat mengira Shania sedang marah padanya saat dia tidak ada datang menjenguk.

"...Bukan Operasi pencangkokan matanya yang Kak Ve khawatirkan, tapi... Pendonor matanya!"
"Maksud Kakak..?"
"Dokter bilang, Kondisi kebutaan Shania.. tidak bisa membuat matanya menunggu terlalu lama. Kalau dalam waktu 1bulan dia belum juga mendapatkan donor mata, maka... dia akan hidup dalam kebutaan itu untuk selamanya!"
Apa yang Ve jelaskan adalah pukulan telak yang menghantam dada Beby dan juga Melody.

Tidak Beby rasakan, ada darah segar keluar dari hidungnya. Bahkan denyutan dikepalanyapun dia abaikan, karena rasa sakit mendengar kondisi Shania lebih mendominasi sensorik tubuhnya, hingga dia tidak merasakan hal apapun. Selain bayangan dari sakitnya Shania.

"Darah? Hidung kamu berdarah, Dek!"
Ve melihat diwajah pucat yang tirus itu mengeluarkan cairan berwarna merah. Dia segera berjongkok kembali menghadap Beby.; Beby meraba hidungnya; Melody mengeluarkan saputangan dan ikut berjongkok didepan Beby, dia menutupkan saputangan itu.
"Kita harus kembali ke rumah sakit, Beby!" Cemas Melody.
"Kak Melody benar! Wajah kamu juga sangat pucat, Dek!" Ve jadi ikutan mencemaskan Beby.
"..Beby gak apa-apa..." Suaranya terdengar lemah, tidak seperti tadi. "Beby mau lihat... Shania... Beby mau... jenguk dia Kak!"
"Tapi kamu,-"
"Beby mohon!"
Ve tidak bisa menolak, keinginan Beby.
"Ya udah, kalau kamu mau lihat Shania! Tapi setelah itu, kamu langsung kembali ke rumah sakit ya, biar Dokter bisa memeriksa kamu!"
Dengan seutas senyum lemah, Beby menganggukan kepalanya, menyetujui syarat yang diajukan Ve.

Masuk kedalam ruangan itu dan melihat Shania yang terbaring lemah diatas bangsalnya, membuat Beby tidak bisa mengendalikan air matanya sendiri. Apa yang tadi Ve ucapkan, semuanya berputar dalam otaknya yang sedang sakit. Beby sudah berada disamping Shania. Dia merasa tidak bisa membuka mulutnya sendiri, hanya memandang wajah yang di pipi sebelah kirinya masih ada bekas lebam berwarna ungu kehijauan. Mengangkat tangan Shania dan memegangnya, hatinya menangis hingga air matanya kembali untuk kesekian kalinya meleleh membasahi lagi wajah pucatnya.
"...Shhaniaa..."
Mengeluarkan satu kata saja begitu terasa berat untuk Beby.
"Maafin aku... kamu... denger aku? Maaf.. karena aku gak berguna, aku cuma jadi beban buat kamu! Aku bukan sahabat yang baik buat kamu!! Maafin aku.. Shania..." Dengan keterbataan dalam tangisnya, Beby mengutarakan ucapannya.

Denyutannya semakin menjadi, hingga pada akhirnya Beby bisa merasakan. Dan tanpa Beby sadari, dia melepaskan genggamannya dari Shania lalu... dia tidak sadarkan diri. Terkulai tanpa daya dengan darah segar lagi-lagi keluar dari hidungnya. Membuat Melody dan Ve panik.

Duniaku hitam, tidak ada lagi pelangi yang bisa aku lihat. Aku membuka mataku, tapi.. tidak ada warna yang bisa kulihat. Hanya warna hitam, sebuah kegelapan yang tidak berujung, tak ada tepi tak ada awal, semua hitam, pekat... tanpa ada cahaya secelah pun.

Shania masih terbaring tanpa ada daya, tubuhnya yang berangsur pulih dari setiap benturan yang diakibatkan kecelakaan, tidak dia ikuti dengan pemulihan hatinya. Hati yang sedang merasakan kesedihan teramat sangat, atas apa yang sedang Tuhan titipkan dalam kehidupannya kini. Sebuah kegelapan yang merenggut tatanan warna yang biasa dia lihat, dikala dia membuka matanya.

Sudah 4hari, semenjak kesadarannya mulai bisa dia raih kembali, dan... berita kegelapan yang memasuki dunianya kini. Membuat Shania seolah enggan untuk bisa merasakan atmosfir bumi. Bahkan, untuknya bernafaspun, rasanya ingin dia tinggalkan. Keberadan Ve di sampingnya, tidak lantas membuat dia merasakan aman, nyaman, tenang, karena Shania tetap saja diam dalam kegelisahan dan ketakutannya. Apalagi keberadaan Papa sama Mama, sama sekali tidak membawa efek apapun! Dia hanya diam, untuknya... entah itu siang ataupun malam. Membuka mata ataupun memejamkannya. Sekarang tidak akan ada bedanya. Semua... sama, sama gelapnya!

Dan, Ve yang selalu diacuhkan dalam 4hari ini, tidak pernah menyerah untuk menyentuh Shania agar mau kembali berbicara, menumpahkan segala ketakutannya, berbagi rasa sakitnya. Selain itu, Ve bersama Mama, Papa, juga tidak pernah berhenti berusaha mencarikan donor mata, agar Shania bisa kembali melihat. Karena waktu terus berjalan, dan Shania... bisa saja kehilangan warna dalam hidupnya untuk selama-lamanya.

"Selamat pagi, Adeknya Kak Ve! mmm.. tadi Suster udah bawain makan loh. Kamu makan dulu ya?" Kata Ve berbasa-basi yang biasanya selalu berujung basi, karena Shania tidak pernah mau menanggapi.

Shania hanya diam, selalu diam. Terlihat, matanya seperti melihat Ve, tapi sebenarnya tidak. Karena memang selalu terlihat seperti itu. Melihat namun entah arah mana yang dia lihat, karena dalam kegelapannya kini, tidak ada arah pasti yang bisa dia lihat.

"Ayo, buka mulut kamu... Kakak suapin, supnya terlihat enak loh Dek? Makan ya?" Tawarnya, melihat wajah Shania dengan kesedihannya.

Shania tidak juga menggubris.

"Kalau kamu.. gak mau makan, Kakak akan temenin kamu. Kakak juga gak akan makan!"

Hati kecil Shania terusik dengan ancaman halus Ve.

Ve menghela nafasnya, "Bahkan kalau bisa, Kakak nemenin kamu dalam kegelapan itu. Kakak akan lakukan! Atau... Kakak switch posisi Kakak sama kamu. Kakak akan lakukan itu!!"

Ve yang sudah merasa lelah dengan kediaman Shania, sudah tidak tahan lagi dengan apa yang adiknya itu lakukan. Karena dia merasa jadi Kakak yang tidak ada gunanya, tidak bisa melakukan apapun untuk Shania.
"Kakak masih bisa melihat, tapi.. apa yang Kakak lihat saat ini, membuat Kak Ve berpikir... tidakkah, dalam kegelapan kehidupan Kakak akan jauh lebih baik!?" Ve menitikan air matanya. "Tidaklah perlu.. Kakak ada dalam posisi mengetahui siapa yang sudah melukai kamu! Tidaklah perlu.. Kakak melihat kemuraman diwajah kamu! Tidaklah perlu... Kakak melihat penderitaan kamu... tapi Kakak tidak bisa melakukan apapun! Kakak bisa melihat.. Tapi Kakak tidak bisa melakukan apapun!!" Ve menundukan wajahnya.

Usikan itu, perlahan mulai menyentuh hati Shania.

"Apa yang harus Kakak lakuin, Dek? Beritahu Kakak? Perlihatkan sama Kakak, bagaimana cara... agar Kakak bisa..., bisa melihat lagi senyum kamu!?.. Bicaralahhh... Kakak mohon! Kakak gak bisa lagi lihat kamu seperti ini, terus-menerus!!" Lirih Ve, menggenggamkan tangannya ke tangan Shania.

Tanpa Shania sadari sudut matanya meneteskan bulir air, ketika mendengarkan rasa sakit Ve tentang dirinya.

"...Kalau saja, retina mata yang Kakak miliki memenuhi persyaratan seperti Dokter bilang. Kakak tidak akan berpikir apapun, Kakak akan langsung memberikan retina mata Kakak sama kamu!"

Sentuhan dari setiap ucapan itu semakin membuat pudar dinding gelap dihati Shania.

"Kamu merasa.. sendirian diujung kegelapan, dan Kakak... sama, sendirian. Kakak ada dalam ribuan lorong warna, tapi? seperti tidak melihat satupun warna ceria disetiap lorong itu. Seakan semua hanya warna berkabung, warna yang berwarna, namun fana!"
". . . . . . . . . ."
"...Kakak memang, gak pernah bisa ngelakuin apapun buat kamu! Bahkan untuk sekedar menjaga kamu, agar kamu tidak terluka.. Kakak tidak pernah bisa melakukannya. Harus selalu kamu, yang bisa jagain Kakak. Tapi giliran kamu yang butuh penjagaan, Kakak malah tidak bisa melakukan apapun! Maafin Kak Ve, Dek...!!!"

Shania merasakan tetesan air membasahi tangannya, dan itu adalah air mata Ve.

Ve mencoba terus menembus kegelapan dalam hati Shania lewat permainan kata-katanya. Mungkin ini puncak dari perasaan seseorang yang merasa tidak bisa melakukan apapun untuk bisa menggapai kembali orang yang dia sayangi, hingga Ve terlihat dan terdengar begitu aktif mengungkapkan apa yang beberapa hari ini dia rasa, dalam ketidak berdayaannya melihat Shania.

Karena tetap tidak ada respon berarti dari Shania yang diam membisu. Ve memutuskan untuk melepaskan genggamannya dari Shania, dia menyeka air matanya, menghirup udara begitu dalam, agar banyak udara yang masuk memenuhi rongga parunya yang sedang terasa sesak. Perlahan, Ve mendorong kursi yang dia duduki, memutuskan untuk meninggalkan Shania sendirian, dan dia akan keluar sebentar, menenangkan pikirannya.

Shania bisa merasakan genggaman itu mengendur lalu terlepas, ditambah adanya suara decitan kaki kursi. Shania menebak kalau Ve akan meninggalkannya. Shania malah jadi merasa ketakutan akan ditinggalkan. Dia tidak mau kalau Kakaknya itu pergi dari sampingnya, meninggalkan dirinya sendirian.

Dengan gerakan dari bibirnya yang tipis, Shania segera mengunci pergerakan Ve. Setelah 4hari lamanya suara itu tidak pernah terdengar.
"Jangan tinggalin Shania sendirian!"
Ve seketika melihat Shania.
"Shania takut... Shania takut dalam kegelapan ini, Kak!" Shania mencoba mencari tangan Ve untuk dia raih.

Ve yang mendengar kerapuhan Shania segera kembali duduk di sebelahnya, dan menggenggamkan lagi tangannya.
"Enggak! Kakak gak akan pernah ninggalin kamu. Seperti janji Kakak yang tidak akan pernah melepaskan pelukan Kakak sama Kamu!!"
Ve terharu mendengar suara yang belum dia dengar lagi setelah kecelakaan yang tiba-tiba itu membuat Shania lemah. Membuat dia membisu dalam kegelapan. Tanpa mau membagi keresahan dan kegelisahan yang memburunya dalam ketakutan.

"Shania takut Kak!..."
Shania menangis tersedu dalam ketakutan di kegelapan yang selama ini dia pendam sendiri.
"Apa Shania bisa melihat lagi? Shania takut kalau harus berjalan dalam kegelapan yang Shania lihat!.." Shania terisak, begitu pedih.
"Kamu pasti bisa kembali melihat. Kakak tidak akan pernah biarin kamu berjalan sendirian dalam kegelapan.!"
Ve memeluk Shania, mendekapnya erat, hingga Shania bisa mengeluarkan ketakutannya lewat tangis yang menjadi.

"Maafin Shania, Kak! Shania terlalu takut. Shania gak pernah menganggap, kalau Kak Ve gak pernah bisa jagain Shania. Shania.. sayang sama Kakak!" Lantunnya dalam pelukan hangat Ve.
"...Kakak juga sayang sama kamu! Kakak janji... akan melakukan apapun agar kamu bisa melihat lagi!!" Janji Ve, yang dia sendiripun ragu akan bisa menepati. Karena waktu yang terus berputar tanpa bisa ditawar, bahkan untuk di pause barang sedetik saja.

Sepersekian menit, pelukan pelepas rasa sakit itu Shania bagi dengan Kakak sulungnya. Hingga dia yang merasa tubuhnya masih lemah, tertidur dalam pelukan Ve. Dalam beberapa malam ini, Shania tidak benar-benar menenggelamkan ruhnya ke alam mimpi, dia memejamkan mata hanya untuk sekedar penenang hati, dari gelap warna yang terlihat dikala matanya terbuka.

Ada dalam posisi sakit itu.. memang sangat tidak mengenakan! Tapi, ada dalam posisi tidak sakitpun akan sama tidak mengenakannya dengan berada diposisi sakit. Tahu kenapa? Kalau kita begitu dekat dengan orang yang kita kasihi, kita sayangi. Terus mereka sakit, membutuhkan pertolongan, namun kita tidak sama sekali bisa menolong. Maka rasanya akan sama sakitnya dengan orang yang sedang menderita dalam sakit itu.

Tidak ada yang tahu, kapan sakit akan mampir dalam kehidupan yang sedang dijalani. Syukuri kesehatan yang sudah Tuhan berikan, sebelum sakit.. datang menindih sehat, hingga membuat tubuh merapuh dalam lemah. Sekalipun tidak bisa memberikan pertolongan, setidaknya kita selalu ada di dekat mereka, menunjukan kalau kita... siap untuk mereka kapanpun mereka butuhkan, dan kita tidak akan pernah meninggalkan mereka sendiri dalam sakitnya.

"Kamu mau kemana, sayang?"
Mama terlihat heran dalam ucapannya, kala melihat Beby yang sedang bersiap, dia sudah turun dari ranjangnya, dan sudah memakai pakaian biasa.
"Mama! emm.. Beby mau jenguk Shania Mah!" Jawab Beby.
"Bebyy? Kondisi kamu itu lemah! Kamu gak mungkin bisa nemuin Shania, sayang.."
Cemas Mama, mendekat pada putri tunggalnya.
"Mah! Tanpa Beby bergerak dari ranjang ini, dan pergi menemui Shania pun. Kondisi Beby akan tetap lemah, bahkan terus.. dan semakin melemah! Mama pasti tahu itu, kan?" Beby melakukan pembelaan.
"Iya, karena Mama tahu pasti. Itu kenapa Mama tidak memberikan kamu izin untuk keluar dari ruangan ini!" balas Mama, membuat Beby mengerung,
"Mama tidak mau.. kamu kembali pingsan dan untuk... entah untuk keberapa kalinya, kamu bikin Mama dalam ketakutan yang hebat!"

Beby bisa mengerti dengan rasa cemas Mama.
"Maafin Beby Mah, kalau Beby... selalu membuat Mama ada dalam ketakutan! Tapi Mama tahu kan? Bagaimana kondisi Shania sekarang? Beby janji! Beby gak akan lagi bikin Mama ketakutan, karena Beby pingsan lagi!... Beby mau ngasih semangat Beby untuk Shania, yang selalu bisa ngasih Beby semangat Mah. Beby mau ada disamping dia, dan membuat dia merasakan, kalau Beby tidak pernah ninggalin dia!" Kata Beby sambil memegang kedua tangan Mama, hingga Mama terharu,
"Apa.. Mama mau ngasih izin untuk Beby menjenguk Shania?"
Mama menatapkan matanya yang dipenuhi kesedihan, tidak tahu bagaimana cara menghalangi Beby untuk tidak keluar dari rumah sakit dan menanggalkan pengobatan juga alat-alat medis yang sebelumnya terpasang di tubuhnya. Hingga akhirnya, memberikannya ijin untuk pergi.

"Kak?"
"Iya?"
"Beby... dia gimana kabarnya, ya? Apa... Beby sudah menjalani Operasi?" Tanya Shania disela suapan terakhir makan siangnya.

Ini adalah obrolan pertama setelah sebelumnya Shania hanya bisa membisu dalam kegaduhan di gelap matanya.

"Beby... Dia... dia belum melakukan Operasi itu, Dek!" Jawab Ve.
"Hah? Kenapa? Apa dia tidak mau menerima bantuan dari Shania, Kak?"
"Bukan! Dia tidak mau masuk keruang Operasi bukan karena tidak mau menerima bantuan dari kamu. Tapi,.." Suara Ve terhenti, karena dia melihat Beby masuk keruang rawat Shania, tanpa kursi roda, tanpa ada yang menemani. Seperti terakhir saat Beby ditemani Melody, diatas kursi roda.

Beby memberikan senyuman khasnya pada Ve, lalu melihat Shania.

"Kak..? Tapi kenapa?" Penasaran Shania.
"Ah.. itu... Karena Beby... dia, gak mau di Operasi tanpa ada kamu menungguinya diluar ruang Operasi! Itu yang Beby bilang!"

Shania mengerung sedih; Ve belum menyebutkan adanya Beby diruangan Shania sekarang; Beby duduk disamping Shania.
"..Bodoh!"
Satu kata yang Shania ucapkan membuat Beby yang ingin menyapanya jadi menahan suara, dia diam karena mau mendengarkan lebih, komentar Shania tentang dirinya.
"Kenapa kamu bicara seperti itu, Dek?" Tanya Ve mewakili keinginan Beby yang juga ingin mengajukan pertanyaan yang sama.
"Aku udah susah payah Kak, jual mobil aku untuk bisa dapetin uang itu. Tapi Beby... dengan alasan konyolnya, malah menolak untuk masuk ruang Operasi! Itu sama aja... dia tidak menghargai usaha keras aku!!" Jelasnya, membuat Beby menyimpulkan segaris senyum bahagia.
"Bukan maksud Beby untuk menolak dan tidak menghargai apa yang sudah kamu usahakan untuknya. tapi justru.. dia sangat amat menghargai usaha kamu, hingga dia, tidak mau melakukan Operasi karena kamu tidak ada didekat dia.!"
"Dan itu juga kenapa Shania bilang dia bodoh, Kak! Kenapa dia harus menghiraukan keberadaan Shania untuk jalannya bisa sembuh? Bukankah, kalaupun sekarang Shania bisa menghampiri Beby dan menyuruhnya untuk melakukan Operasi, itu akan sia-sia juga, dan kembali akan dapat penolakan dari Beby!?"
"Maksud kamu? Kenapa berpikir kayak gitu?"
"Kakak pikir... Dengan kondisi Shania sekarang? Beby akan mau, masuk ruang Operasi menerima pengobatan agar dia bisa sembuh? Enggak Kak!. Dia tidak akan mau menerima itu, karena dia mencemaskan kondisi Shania!!"

Beby mengharu mendengar tebakan Shania tentang dirinya, yang memang benar adanya. Ve melihat pada Beby, tersirat diwajah Beby kalau apa yang ditebakan adiknya itu memang benar.

Mereka berdua sudah tahu satu sama lain, tentang watak dan bagaimana mereka.. dari yang bagus sampai yang jelek, tentang sifat dan sikap masing-masing.

"Shania mau... apapun, dan bagaimanapun caranya. Beby harus bisa di Operasi, Kak. sama... Beby belum tahu kan Kak, soal kondisi Shania?"
Sebelum menjawab, Ve melihat Beby terlebih dahulu. Beby menggelengkan kepalanya, agar Ve memberikan jawaban belum, dan mereka bisa tahu apa yang diinginkan Shania.
"..Belum! Kak Melody bilang.. Kamu sama Kakak lagi di Jogja. Jenguk Kakek yang lagi sakit!" Jawab Ve, yang mengerti akan isyarat Beby.
"..Baguslah Kak! Shania akan lebih gampang minta sama Beby untuk segera di Operasi. Dan Beby juga gak perlu lihat Shania dalam kondisi seperti sekarang!! Karena ini... pasti hanya akan jadi beban pikirannya, dan.. Shania cuma akan jadi beban buatnya, penghalang untuk jalannya menuju kesembuhan. Iya kan, Kak?!"
Dari senyum berakhir sendu, ekspresi Shania saat mengucapkan kalimatnya.
Beby mengerung sedih, inginnya dia bicara dan menepis apa yang Shania ucapkan tentang dirinya sendiri yang jadi beban dan penghalang. Tapi Beby tidak bisa sama sekali membuka mulutnya. Perasaannya begitu campur aduk. Bahagia, namun sedih juga.
"Shania mau... Biarkan ini tetap tersembunyi, Kak. Membiarkan Beby dengan apa yang di pikirkannya tentang Shania. Hingga nanti Shania dapat donor mata, atau paling tidak hingga Beby selesai di Operasi dan dinyatakan sembuh oleh Dokter!"
Ve kembali memakukan penglihatannya pada Shania. Dengan sekilas mencuri pandang pada wajah Beby yang mengeluarkan ekspresi sedih, saat mendengar keinginan Shania.
"Kak? Kakak mau kan, janji sama Shania, untuk ikut dengan apa yang Shania ucapkan? Merahasiakan semuanya!"
"Ttt-tapi, Dek..? Itu tidak mungkin! Beby.. sama keras kepalanya sama kamu, dia pasti tidak akan mau melakukan Operasi itu, tanpa adanya kamu didekat dia!"
"Shania akan telpon Beby, agar dia mau di Operasi. Atau, kalau tidak... Shania akan ancam aja Beby, kalau Shania gak mau lagi ketemu sama dia, selama dia belum mau masuk ruang Operasi!"

Beby sungguh tidak habis pikir dengan apa yang diutarakan Shania. Sampai segitunya Shania mencemaskan dirinya, padahal dia sendiri sedang dalam kejaran waktu. Sebuah waktu yang bisa merenggut semua warna dalam hidupnya, untuk selama-lamanya. Namun, belum dia ketahui.

Beby, yang tidak bisa menahan tangisnya, segera berdiri dari tempatnya duduk dan berlari kecil keluar ruangan agar Shania tidak mengetahui keberadaanya.

"Itu siapa Kak?!" Shania bisa mendengar decitan kecil dari kursi dan suara pintu yang sesaat setelah dibuka menutup sendiri.
"Itu...," Ve terlihat bingung, "...gak ada siapa-siapa kok! Barusan Kakak geserin dikit tempat duduk Kakak!" Kilah Ve menutupi. "Oh, iya? Kakak baru ingat, Dek! Kakak harus nebus dulu obat di apotik. Kamu gak apa-apa kan sendirian sebentar?" Ve mencari alasan, untuk mengejar Beby.
"hmm.. Shania gak akan kenapa-kenapa Kak!" Shania sedikit heran, tapi kemudian dia menjawab diikuti anggukan kecilnya.

Ve segera keluar untuk menyusul Beby...

Beby terduduk sendiri didepan kamar rawat yang jarak ke kamar Shania terpaut 2 ruangan. Perlahan Ve menghampiri Beby yang sedang menundukan kepalanya, ia duduk disebelah Beby.

"Maafin Shania, ya Beby?"
Beby mengangkat kepalanya.
"Jangan terlalu kamu dengarkan apa yang tadi dia ucapkan!"
(tidak memberitahukan Beby, dan berpura-pura dia sedang di Jogja!)

Beby sedikit memberikan senyumnya, sebelum menjawab ucapan Ve.
"Gak ada yang perlu dimaafin, Kak. Shania gak salah kok! Beby gak marah sama dia!" Beby mengingat lagi setiap ucapan Shania. "Beby... Beby malah merasa bahagia denger apa yang Shania ucapin. Dia sampai segitu menghawatirkan Beby, padahal dia sendiri sedang dalam kesulitan!"

Ve menyunggingkan senyum, mendengar kata-kata Beby.

"Egois kalau Beby masih bersikeras menginginkan Shania ada didekat Beby, saat akan melakukan Operasi! Sementara, Shania yang sudah susah payah mencarikan dana untuk kesembuhan Beby, begitu mengharapkan kesembuhan Beby!!"
Ve menganggap ucapan Beby adalah persetujuan pada apa yang diinginkan Shania (Operasi).
"Tapi,.. akan jauh lebih egois dan tidak adil untuk Shania termasuk Beby juga. Kalau Beby harus masuk ruang Operasi, dengan Shania yang masih dalam penantian pendonor matanya! Iya nggak, Kak?"
Ve yang mendengar uraian lanjutan dari Beby hanya bisa mengangkat wajah memperlihatkan ekspresi kagetnya.
"Kalaupun Shania mau Beby di Operasi, maka Beby akan menunggu dia mendapat donor mata terlebih dahulu. Agar kita sama-sama masuk ruang Operasi dan mendapatkan kembali kesehatan kita. Itu jauh lebih adil kan, Kak?" .. "Dan soal yang diinginkan Shania, untuk Beby tidak tahu akan kondisinya. Beby akan ikuti kemauannya. Kak Ve sama yang lainnya, bantuin Beby ya?"

Ve benar-benar kehabisan pemikiran jika menghadapi mereka berdua. Saat diruangan, dia mendengar Shania begitu sangat mencemaskan Beby dan menyuruhnya untuk bungkam, dalam sandiwara. Dan kini diluar ruangan, Beby melakukan hal yang sama. Meminta bantuannya untuk bersandiwara juga.

"Haaaahh... Kenapa kamu jadi benar-benar keras kepala, kayak Shania?" Keluh Ve dalam tanggapannya.
Beby tersenyum, "Karena Adik, Kakak yang mengajarkan itu sama Aku" Balasnya dengan diikuti seringai tipis. "lagian,..." Beby kembali memasang tampang serius. "Kemungkinan berhasilnya Operasi buat Beby, sudah sangat kecil Kak. Beby gak mau terlalu menaruh harap pada hal itu, sampai bikin Beby menutup mata dan telinga akan kebaikan orang-orang di sekitar Beby!"

"Kenapa kamu bicara seperti itu? Seperti bukan Beby yang Kak Ve kenal? Kamu gak perlu hopeless gitu. Bayangan kita mungkin terlihat mengerikan, tapi gambaran Tuhan... tidak pernah kita tahu, akan seperti apa? Jangan berburuk sangka, apalagi sama Tuhan. Lakukanlah dulu, soal hasilnya.. kita serahkan sama Tuhan" Ujarnya melihat Beby yang seperti menurunkan rasa percayanya.

"Beby bukan mau berburuk sangka atas apa yang akan Tuhan berikan, tapi justru Beby melihat kenyataan didepan mata. Beby percaya, keajaiban itu selalu ada. Tapi, menurut Beby, tidak akan tercipta keajaiban, tanpa adanya perantara. Tuhan sudah menyeting semuanya Kak. Shania itu ditunjuk Tuhan, untuk jadi keajaiban buat Beby, karena dia.. udah ngasih Beby jalan menuju kesembuhan. Dan seperti yang Kakak bilang, 'Bayangan kita bisa terlihat mengerikan, tapi belum tentu dengan gambaran asli dari Tuhan nanti!' begitupun sebaliknya. Bayangan kita bisa indah, tapi belum tentu dengan gambaran aslinya nanti. Apapun tebakan kita, apapun keputusan Tuhan, itu adalah yang terbaik. Beby percaya itu!! ."
Ve mendengarkan dengan seksama,
"...Jika Tuhan.. bisa menunjuk Shania untuk jadi keajaiban buat Beby. Kenapa tidak, Tuhan menunjuk Beby.. untuk jadi keajaiban buat Shania!? :'-)"
Ve yang begitu serius mendengar setiap ucapan Beby, seketika melihatkan kedua matanya pada Beby saat mendengar ucapan terakhir Beby.
"Apa maksud ucapan kamu, Dek? Jangan bilang..." Pikiran Ve membuat pola tebakan, kalau Beby akan mendonorkan matanya. "Kamu akan jadi... pendo,-"
"Shania sahabat terbaik Beby..." Ve terdiam karena Beby memotong ucapannya. "Dia yang mengajarkan Beby banyak hal. Dari senangnya kehidupan, sampai pahitnya kehidupan. Jika Beby bisa menjadi keajaiban buat Shania, Beby tidak akan menolak hal itu. Beby akan jadi harapan dalam kegelapan yang sedang Shania hadapi! Beby akan tetap hidup, dengan orang terbaik, yang selalu mengajarkan banyak hal baik dalam hidup Beby!" Paparnya, dengan wajahnya dia terawangkan.

Ve tercekat sesaat, mendengar uraian itu. Hingga keduanya jadi saling diam, beberapa saat.

"...Jangan lakukan itu, Beby!" Beby menatap Ve.
"Beby gak akan ngelakuin itu, Kak. Tapi Tuhan, Dialah yang akan melakukannya!"
"Shania gak akan suka dengan apa yang kamu pikirkan! Belum... Mama kamu! Dan bahkan... Kak Ve juga! Jangan pernah kamu ungkapkan pemikiran kamu itu, didepan siapapun lagi. Cukup Kak Ve yang dengar! Dan Kakak, akan anggap, tidak pernah mendengar ucapan itu dari Kamu!!... Kita masih punya harapan buat Shania, dia masih punya waktu!!"
"Berapa lama Kak?" Tanya Beby, yang padahal sudah tahu. "Cuma 1 bulan, Kan? Aku tahu, dan Kakak juga pasti tahu. Kemungkinan dapat pendonor mata dalam waktu sesingkat itu, presentasenya sangat kecil. Sekeceil presentase kesembuhan Beby dengan jalan terakhir yang Dokter sarankan (Operasi)! Beby masih punya waktu dalam kecilnya kemungkinan kesembuhan Beby, tapi Shania... dia tidak punya itu Kak! Shania diburu sama waktu, sementara Beby? Beby itu ditunggu sama waktu. Gak ada salahnya kan? Beby kasih waktu senggang Beby untuk memberikan warna dikehidupan Shania!?"

Beby yang memang sudah membebani pikirannya dengan kebutaan Shania saat pertama tahu (kunjungan waktu diantar Melody), dan penjelasan yang begitu rinci dari Ve. Membuat keputusan sepihak dalam hati, untuk mendonorkan matanya. Belum ada yang tahu akan niatan yang sudah Beby buat itu. Dan saat tadi mendengar apa yang diucapkan Shania, yang begitu mencemaskan dirinya, membuat keputusan sepihak dalam hati itu, akhirnya terlontar juga. Meski baru satu orang yang Beby kabari tentang ide... ide gilanya itu.

"Kalau Kak Ve merasa kita masih punya harapan buat Shania. Kita tunggu sampai harapan itu bisa jadi kenyataan. Namun, jika waktu yang tidak bisa kita hentikan itu datang, dan Dokter masih belum memberikan kejelasan, akan nasib Shania. Maka.., jadikanlah Beby.. harapan terakhir untuk Shania. Beby siap, untuk jadi penerang dalam gelapnya dunia Shania saat ini! Beby siap Kak, kehilangan warna yang Beby miliki, untuk sahabat Beby yang bisa memberikan warna yang lebih indah, dari sekedar warna yang kini Beby lihat!" Usul Beby.
Ve menahan tangis saat mendengar ucapan Beby. Dia begitu terharu tak percaya. Bagaimana mungkin, Beby bisa berpikir sejauh itu untuk Shania. Dia mau mengorbankan sesuatu yang indah dalam kehidupannya untuk Shania, yang bahkan sempat tidak mempercayai dirinya dan memusuhinya akan apa yang tidak pernah dia lakukan.
"Beby akan bicarakan ini dengan Mama...  Kakak jangan khawatir, Beby pasti dapetin ijin dari Mama. (Beby menghela nafas), Semoga... rencana indah ini, berjalan lancar dengan hasil yang indah juga! Amin!!" Ucap Beby dengan wajahnya dia tengadahkan, dan hatinya dia lantunkan doa.

"Beby pulang dulu, Kak! Besok atau lusa, Beby kesini lagi. Oh iya, jangan bocorin hal ini sama Shania ya Kak? Karena Beby cuma harapan terakhir, yang bisa saja berubah! Oke?" Beby masih bisa memasang senyum manisnya didepan Ve.

Saat Beby berdiri, Ve ikut berdiri. Menatap lekat wajah pucat Beby yang dipasangi senyum seolah tidak ada percakapan serius yang terucap tadi. Ve langsung melejit memeluk Beby, Beby hanya bisa menyunggingkan senyum lesung pipinya, dalam dekapan Ve.
"Kalian... sangat pintar membuat orang lain cemburu!" Ujar Ve dalam posisi memeluk Beby. "Persahabatan kalian terlalu indah untuk dirangkai dalam kata. Kak Ve... tidak tahu harus bicara apa!" Lanjutnya diikuti tangisan.
"Semua... akan indah pada waktunya, Kak. Kakak percaya itu kan?", Ve menganggukan kepalanya.
"Terima kasih... Malaikat kecil pembawa harapan! Semoga Shania.. tidak sampai di harapan terakhirnya (Beby jadi pendonor)! Kakak gak mau kehilangan kamu, ataupun Shania. Kakak sayang sama kalian berdua :'-)"
"Beby juga! Beby saaaaangat sayang, sama Shania, juga Kak Ve! Malaikat pelindung yang aku sama Shania miliki!! :'-)" Balasnya ikut memuji Ve.

Kehidupan.. memang selalu memberikan banyak pilihan! Namun, ada kalanya pilihan yang diberikan sang pemilik kehidupan. Tidak ada satupun yang bisa membuat kita mengembangkan segaris senyum saat memilih dan menjalani pilihan itu.

Tidak memilih, tidak lantas akan bisa membiarkan hidup tenang dan tetap tersenyum lega. Tapi, memilihpun. Tidak selalu berakhir dengan seutas senyum bahagia. Memilih itu sebuah keharusan, hasil dari pilihan yang diambil.. itu adalah sebuah konsekuensi!

Apapun kejadiannya, pilihan haruslah tetap diambil. Jangan takut pada apa yang akan terjadi setelah mengambil pilihan. Ketakutan diawal, tidaklah lebih baik dari sesal diakhir, semua kenyataan dalam hidup harus terus dihadapi.


Diam-diam, Beby menanyakan pada Dokternya tentang kondisi tubuhnya. Setiap mendengar uraiannya, Beby semakin memantapkan hati, untuk memberikan matanya pada Shania.

"Mendonorkan mata?" Kaget Dokter mendengar pertanyaan Beby.
"Iya! Mendonorkan retina mata. Apa... pesakitan Kanker kayak aku, bisa mendonorkan mata, Dok?"
"Kenapa? Tiba-tiba bertanya seperti itu, Beby?" Dokter balik membuat pertanyaan.

Dari awal Beby dirujuk kerumah sakit di Jakarta, dialah Dokter yang menangani Beby. Untuknya, Beby bukan hanya sekedar pasien, dia sudah menganggap Beby seperti anaknya sendiri. Disela pemeriksaan dan therapy kecil yang Beby lakukan, dia selalu berbagi cerita dengan anak pemilik lesung pipit berpostur tinggi kecil ini.

"Cuma sekedar pertanyaan, yang... ya siapa tahu, kalau Beby nanti dipanggil sama pemilik jasad dan ruh Beby (meninggal), Beby bisa ngasih sesuatu demi kebaikan, Dokter!" Jawabnya diikuti senyum lebar.
"Kamu sedang berbohong!" Tebak Dokter.
"hm.. Gak cuma Dokter yang punya hak berbohong pada pasiennya mengenai kondisi tubuh si pasien. Beby juga punya hak, seperti Dokter, iya gak?" Balasnya dengan nada bercanda.
"Apa yang sebenarnya mau kamu lakukan dengan pertanyaan tadi, Beby?" Tanya Dokter.
"HAahh... Apa boleh buat. Dokter udah bisa nebak sih! Jadi...," Beby berhenti sebentar. "Beby itu sebenarnya mau.. mau donorin mata buat sahabat Beby, Dokter!" Jawabnya tanpa beban.
"Apa?" Kaget lagi Dokter, berparas ayu itu.
"Jadi gimana, Dok? Apa bisa, Beby... donorin mata, dalam kondisi sakit seperti sekarang ini?"
Beby tidak menghiraukan kekagetan diwajah Dokternya.

Dokter yang melihat kesungguhan diwajah Beby, jadi merasa terenyuh.
"...Saya tidak bisa memastikan apapun, tanpa ada pemeriksaan!"
"Maksud Dokter?" Beby mengerung.
Dia dan Dokter sedang ada diruang therapy kecil yang biasa Beby lakukan setiap satu minggu sekali. Dokter memberikan sedikit penjelasan pada Beby.
"Kalau begitu... Periksalah Beby. Cari tahu apa kedua retina mata Beby bisa didonorkan buat dia, Dok?" Desak Beby meminta.
"Kenapa kamu terlihat begitu yakin dan bersikeras? Seberapa pantas, orang yang kamu sebut sahabat itu mendapat warna dari mata kamu?" Tanya Dokter begitu serius.
"Tidak ada satupun alat ukur, yang bisa mengukur seberapa pantasnya, dia untuk bisa mendapatkan warna dari kedua mata Beby, Dokter. Dia sudah terlalu banyak dan juga sering, memberikan warna dikehidupan Beby. Bahkan, saat dalam kondisi dia seperti sekarang! Apa yang akan Beby lakukan, bukanlah hal yang besar, mengingat... kondisi Beby yang sepertinya tidak akan bertahan dalam waktu hitungan kurang dari 8bulan, iyakan Dokter?"

Dokter diam, seperti mengiyakan ucapan Beby yang terakhir tentang waktunya hidup. Waktu hidup yang dia dapat dari hasil report medis yang dibocorkan Dokter karena desakan darinya juga.

"Saya tahu, tidak akan ada yang bisa menahan kamu dari rencana kamu ini, bahkan mungkin Mama kamu sendiripun." Tebak Dokter. Beby membalas dengan senyumnya.
"Kalau memang, itu yang kamu mau. Saya akan periksa kedua mata kamu, dan segera. Akan saya kabari hasilnya."
" Makasih, Dok! Makasih sudah mau susah payah mengobati Beby."

Urusan dengan Dokter sudah dia selesaikan, tinggal menunggu pemeriksaan dan hasilnya. Setelah itu, baru memikirkan bagaimana dia bicara pada Mama, menjelaskan, memberikan beliau pengertian, tentang keputusan yang akan dia ambil. Dan Setelah dari Mama, tinggal memikirkan bagaimana memberitahu Shania soal rencananya itu. Atau... tidak usah dikasih tahu Shanianya.



Dirumah sakit, Shania dapat jengukan untuk pertama kalinya, dalam kondisi yang seperti sekarang, dari Gaby, Noella, Vanka, Octy, Cindy dan juga Ochi. Saat tahu ada Ochi diantara mereka yang masuk keruangannya, Shania langsung bereaksi menolak adanya Ochi diruangannya. Dia tidak ingin Ochi ada didekatnya, sama seperti pada Beby, yang tidak dia inginkan kehadirannya. Namun dengan alasan berbeda yang saling bersebrangan. Shania tidak mau ada Ochi karena dia... Tidak suka, akan apa yang sudah Ochi lakukan pada Beby, saat terakhir, saat dia mengalami kecelakaan. Sementara pada Beby, Shania tidak mau merasakan kehadiran Beby didekatnya karena dia mau Beby sembuh dulu dari kankernya, setelah itu... baru dia mau kembali merasakan adanya Beby, demi untuk menjaga agar Beby mau di Operasi. Shania meminta pada yang lainnya untuk tidak bilang pada Beby soal kondisinya, yang padahal... Beby jauh lebih tahu soal Shania dibanding teman-teman lainnya, dan merekapun, menyadari hal itu.

"Ochi..?"
Beby melihat Ochi keluar dari lorong tempat ruangan Shania, dengan wajahnya menunduk.
Saat Ochi akan melewatinya, Beby segera menyetop langkah Ochi, dengan suaranya.
"Ochi? Kamu.. kenapa?" Ochi yang sekilas mendengar namanya disebut melihat. "Kamu kenapa, Chi?" Tanya Beby, penasaran.
"Beby..?" Ochi menatap tak percaya pada Beby.
"Lu.., Gue gak apa-apa! Gue mau pulang!!" Lanjutnya, memotong ucapannya sendiri yang sebenarnya ingin menanyakan keadaan Beby. Dia kembali melangkahkan kakinya, menjauhi Beby. Mengingat lagi apa yang Shania ucapkan didalam ruangan kala menolak kehadirannya, dan menyinggung soal Beby.

Beby yang ditinggalkan, tidak bisa berbuat apapun, hanya melihat kepergian Ochi dengan secuil tanya menelusup dalam hati, tentang 'Kenapa Ochi terlihat sedih setelah keluar dari ruangan Shania?'. Dia kembali meneruskan langkah kakinya, menuju ruangan Shania. Saat sudah dekat, dia tidak mendengar ada suara sedikitpun diruangan itu. Beby mendongakan wajahnya, lewat jendela kecil dipintu. Terlihat masih ada Noella, Cindy, Gaby, Octy dan Vanka. Dan Ve juga.Tapi mereka semua hanya berdiam diri. Beberapa menit lamanya, terlihat pergerakan setelah sebelumnya Shania bicara entah apa yang dia ucapkan, namun Beby melihat Ve bersiap menuntun Shania yang akan turun dari bangsalnya, dengan Noella dan Gaby dalam posisi siap, kalau-kalau Ve butuh bantuan untuk membuat Shania duduk di kursi rodanya. Cindy mendorong kursi roda hingga dalam posisi ready.

Beby bisa melihat, kalau Shania akan dibawa keluar ruangan. Pintu ruangan yang ada di lantai 4 itu, terbuka. Ve yang sedang mendorong kursi roda, melihat Beby. Baru hari ini, Ve melihat lagi Beby. Setelah hari terakhir dia menjenguk Shania dengan akhir berbincang bersamanya diluar ruangan kala itu. Yang Ve lihat, sosok Beby yang terlihat segar, tidak ada nampak kepucatan sedikitpun diwajahnya. Tapi, meski begitu, ada sedikit yang menarik perhatian Ve saat melihat Beby. Penutup kepala yang dikenakan Beby! Dia menutupi kepalanya dengan sebuah kupluk berwarna Wine, Ve tidak melihat ada sehelai rambut yang nampak diluar kupluk itu. Seperti Beby menyembunyikan rambutnya atau...?

"Kenapa berhenti, Kak?"
Suara Shania membuyarkan tebakan Ve tentang Beby.
Shania minta diantar ke taman, karena dia sedang merasakan kejenuhan, apalagi tadi dia sempat esmosi pada Ochi.
"Hah? Ohh.. emm--nngak, nggak apa-apa!,-"
Baru Ve berhenti bicara, dan akan kembali mendorong. Octy yang dari belakang, tiba-tiba refleks memanggil Beby. Hingga membuat Shania menyadari keberadaan Beby, dan yang lainnya mengaduh lesu dengan tingkah Octy.

"Beby? Apa disini ada Beby?... Kak? Disini... Kenapa ada Beby?" Tanya Shania menggerak-gerakan kepalanya.

Ve diam, bingung mau menjawab apa; Vanka yang ada didekat Octy, segera membungkam mulut Octy; Beby melihat Shania, sepertinya dia tidak menyukai apa yang dia dengar tentang keberadaan dirinya.
"Kak Ve!? Kenapa diam? Kenapa kalian semua diam!? Jawab dong!" Shania memperlihatkan keengganannya atas kehadiran Beby.

"..Itu...," Suara Ve terbata kebingungan.
"Iya! Ada aku disini!!" Beby menyematkan suaranya menutupi kebingunan Ve.
Yang lainnya hanya bisa menatapkan kesedihan;Shania sendiri terlihat kaget.
"Beby..." Pelannya berucap.
"Hai, Shan?" Ucap Beby dengan menyunggingkan senyum yang tidak bisa dilihat Shania.

Shania yang merasa bingung dalam hati. Menjadi bersikap keras sedikit kasar pada Beby. Inginnya dia memeluk Beby, namun keinginan itu dia tahan, karena Shania lebih ingin Beby sembuh.
"Mau apa kamu disini?!" Suaranya terdengar dingin.
Yang sedang ada disekelilingnya termasuk Ve jadi kaget.; Beby mengerung.
"Bukankah.. kamu harusnya masuk ruang Operasi? Ngapain kamu malah ada disini!?" Shania masih memasang tone dinginnya.
"Aku mau jenguk kamu? Apa itu tidak boleh?" Tanya Beby dengan matanya dia tatapkan pada Shania.
"Aku gak mau dapat jengukan dari kamu! Karena aku..." Shania menghentikan ucapannya, "Kamu gak perlu jenguk aku! Gak usah menghawatirkan aku! Kamu... khawatirkan sajalah diri kamu sendiri!!" dia menggantinya dengan ucapan lain yang sedikit kasar. Tapi Beby tidak marah, karena dia yakin Shania melakukan itu hanya untuk topeng.

"Kak? Shania mau ketaman! Aku mau sendirian. Kalian pulanglah!!" Pintanya, "Kamu juga! Kembalilah ke rumah sakit. Jangan sampai pingsan disini!" Shania melanjutkan dengan sekarang membawa Beby.

Ve yang tidak tahu harus bersikap seperti apa, jadi menuruti kemauan Shania, mendorongnya menjauh dari Beby juga yang lainnya.
Cindy segera berjalan kedekat Beby.
"Aku gak apa-apa Cind! Aku tahu kok, itu cuma kepura-puraan Shania aja! Kamu gak perlu khawatir! " Beby seperti tahu kalau Cindy mencemaskannya.

"Kamu mau kemana, Beby?" Tanya Cindy yang melihat Beby berjalan.
"Aku mau ikutin Shania!" singkatnya menjawab.
"Tapi Shania kan?.. Nanti dia marah lagi sama kamu!" Cemas Cindy.
"Gak apa-apa Cind, kayak yang tadi aku bilang. Itu cuma kepura-puraan dia. Karena dia mau nyuruh aku buat balik kerumah sakit, sama di Operasi!" Yakinnya membalas kecemasan Cindy.

Tak lama, Beby bergerak menyusul Ve dan Shania.

"Udahlah, Cind! Kita biarin Beby sama Shania selesain ucapannya dengan cara mereka! Kita pulang aja!!" Usul Noella. Cindy hanya bisa menjatuhkan kepala pelan, dengan sebelumnya melihat Beby yang mengejar Shania dari belakang.
"Noella bener. Kita sebaiknya pulang aja! Percuma juga kita ada disini, gak akan bisa lakuin apapun! Iya kan?" Susul Gaby. "Mending... kita pikirin tentang Ochi! Kasihan dia, Shania tadi begitu marah. Ochi pasti sekarang lagi sedih banget, dan dia pasti butuh hiburan!" Sambil menerawangkan Ochi, Gaby bicara.
(Sebelumnya, Ochi sudah mengakui kesalahannya, tentang apa yang dia lakukan pada Beby. Dia menjelaskan semuanya... semua alasannya, atas apa yang dia lakukan pada Beby. Namun saat akan menjelaskan itu pada Shania, Shanianya malah marah duluan, dan mengusir Ochi dari ruangannya.)

Beby berhasil mengimbangi Ve yang mendorong kursi roda Shania. Saat disebelah Ve, Beby bicara isyarat pada Kakaknya Shania itu, untuk dia bisa menggantikan posisi Ve mendorong kursi roda yang sedang Shania duduki. Posisi sudah bertukar, kini.. Beby lah yang mendorong Shania, membawanya ketaman.

"Kenapa Kakak mengingkari janji Kakak sama Shania?" Suara Shania dalam perjalanan ketaman.
Ve yang bertukar posisi dengan Beby, jadi sedikit kaget.
"Ah! ehmm... janji? Janji yang mana, Dek?" Bingungnya dalam jawaban.
"Janji untuk gak ngasih tahu soal Shania, ke Beby! Kenapa sekarang Beby malah ada disini?" Ve belum menjawab, "Dia pasti sudah tahu tentang kondisi Shania secara keseluruhan kan Kak?".

Mereka bertiga sampai ditaman rumah sakit.

"Jangan salahkan Kak Ve!"
Kembali Shania dikagetkan dengan adanya suara Beby. Dan kembali juga, Ve terselamatkan oleh ucapan Beby. "Aku tahu soal kamu, bukan dari Kak Ve! Tapi dari Mama!!" Lanjutnya.

Shania sebenarnya tidak mau terlalu perduli darimana Beby bisa tahu mengenai dia yang sekarang dalam kondisi tidak berdaya. Yang dia cemaskan adalah kondisi Beby yang dia tahu sendiri kalau Beby belum melakukan Operasi untuk pengobatannya.
"Kenapa kamu masih ada disini!?" Suara Shania kembali terdengar esmosi.
"Karena kamu gak berhak nyuruh aku buat pergi dari tempat umum ini!"
"Keras kepala!" Celetuk Shania, menanggapi alasan Beby.
"Aku belajar dari kamu untuk jadi keras kepala!" Balas Beby dengan canda.
Ve diam menjadi penonton.
"Aku gak mau kamu ada didekat aku! Sebaiknya kamu pergi!!" Shania berusaha untuk menjauhkan Beby dari dirinya, meski dalam hati inginnya bisa ditemani Beby.
"Aku gak akan pernah pergi. Terserah, mau kamu ngucapin apapun untuk bikin aku pergi dari sisi kamu, tapi aku gak akan pernah pergi!" Beby tak kalah dengan Shania. Dia sudah jongkok didepan kursi roda Beby.

"Kenapa.. kamu harus keras kepala sih? Hah!" Shania mulai luluh, menyerah dengan kekeras kepalaan yang ditunjukan Beby, menanggapi usirannya.
"Apa kamu gak bisa ngerasain, gimana sakitnya aku.. saat tahu kamu menolak untuk di Operasi, dengan alasan konyol kamu itu?" Ujar Shania.
"Apa kamu juga gak bisa ngerasain, gimana sakitnya aku.. saat dengar kalau kamu kecelakaan, sampai koma, dan sekarang..., tapi aku gak bisa ngelakuin apapun. Bahkan, tahu kondisi kamu aja, aku terlambat! Aku gak bisa lagi jadi yang pertama tahu tentang kamu sekarang!!" Beby membalas. Balik Shania yang terdiam.
"Kamu.. berusaha keras, sangat keras untuk aku bisa sembuh! Tapi, aku? Aku memalukan! Gak tahu kalau.. perjuangan kamu buat aku yang.. yang lemah ini, malah bikin kamu kehilangan sesuatu yang berharga! Apa kamu bisa merasakan, gimana sakitnya aku saat itu?" Beby menyerang balik.

Ve mengerung sedih mendengar ucapan Beby. Begitupun Shania, yang tadi meletup ingin mengusir Beby agar kembali kerumah sakit. Malah jadi tersentuh dengan apa yang diucapkan sahabatnya itu.

"Kamu boleh, marah sama aku! Mengusir aku untuk tidak berada didekat kamu! Tapi.." Beby menyekakan telapak tangannya kesudut mata kanannya. "..Jangan harap aku akan tunduk dengan usiran kamu! Apapun yang mau kamu lakukan untuk menjauhkan diri kamu dari aku. Aku akan tetap ada didekat kamu!" Tegasnya, membuat mata Shania sukses menitikan air mata.
"Ijinkan Aku, untuk ada disamping kamu. Aku mau.. kita kembali saling berbagi. Meski sekarang, aku gak bisa ngasih warna ataupun cahaya buat mata kamu. Tapi aku akan selalu ada, menjadi tongkat buat kamu. Menjadi mata buat kamu. Hingga Takdir Tuhan yang lebih indah, menyeruak!" Shania benar-benar merasakan sentuhan dihatinya.

"...Aku malu, Beby! Apa kamu tahu itu?" Shania menundukan wajahnya.
"Kenapa kamu harus malu?" Beby mencoba menyelami wajah yang sedang menyembunyikan kesedihan yang begitu mendalam.
"Aku... Aku buta! Aku gak normal! Dan kamu tahu apa rasanya? Mungkin akan lebih baik, kalau kematian menggantikan kebutaan aku saat ini!"

Beby mengangkat wajahnya kaget, bercampur sedih mendengar ungkapan Shania. Ve hanya bisa membekap mulutnya, menahan tangis agar tidak pecah dan terdengar oleh Shania.
"Kalau kamu menganggap.. kebutaan yang kamu alamin saat ini, sesuatu yang memalukan! Terus bagaimana dengan Aku? Kanker ini.. bikin aku gak normal. Bikin aku hampir gila, sampai-sampai aku minta sama Tuhan.. agar Dia menyudahi semua cerita dalam hidup aku! Seperti yang kamu pikirkan, mungkin kematian akan menjadi lebih baik buat aku." Jelas Beby, ingin menyadarkan Shania. "Tapi apa kamu tahu? Kematian itu.. Tanpa kita mintapun, akan datang dengan sendirinya. Mau kamu tukar dengan penderitaan sesakit apapun. Kalau cerita kita masih berlanjut.. kematian tidak akan pernah bisa menghapus kisah kita gitu aja! Tidak pernah ada yang benar-benar berakhir di dunia ini, sekalipun kematian!!" Shania merasakan genggaman hangat penuh semangat dari Beby. Dia terisak haru mendengar ucapan sahabatnya yang dulu bisa jadi penenang, bahkan hingga sekarangpun, saat inipun, masih begitu.

"Kalau kamu malu, aku akan ikut mempermalukan diri aku. Biar kita sama-sama jadi memalukan! Kalau kamu takut dalam kegelapan itu, aku akan ikut menutup mataku. Biar kita bisa sama-sama berjalan dalam kegelapan! Apapun itu.. yang kamu rasakan, aku akan ikut merasakannya, karena kita.. Sahabat!" Shania yang bisa tahu posisi Beby ada didepannya, segera melejit melingkarkan kedua tangannya dipundak Beby, memeluk sahabatnya itu dengan diikuti isakan tangis bahagia.
"Maafin aku, Beby-- Aku gak pernah bisa setegar dan sehebat kamu!" Ucapnya dalam memeluk Beby.
Beby menyunggingkan senyumnya, "Kita akan selalu jadi tangan dan mata. Kita akan selalu berjalan beriringan. Tidak ada yang lebih hebat diantara kita. Karena yang ada itu.. kita saling melengkapi!" Jawab Beby, membalas pelukan Shania.
Ve yang sedari tadi menahan tangisnya, membiarkan air matanya itu terus mengaliri kedua pipinya. Dia memegang lembut punggung kedua gadis yang dia sayangi dalam hidupnya.

Sahabat itu.. Tidak pernah meninggalkan sahabatnya dikala dia sengsara. Tidak pernah merendahkan dirinya sendiri dikala sahabatnya mendapat hal yang lebih tinggi. Tidak pernah merendahkan sahabatnya dikala dia yang yang mendapat hal tinggi. Persahabatan mengajarkan kita untuk bisa saling memahami, berbagi, Meski kadang ada perbedaan. Berjalan beriringan, menghabiskan keceriaan bersama, membagi kesedihan bersama.

Untuk kalian yang masih menganggap persahabatan itu.. lebih indah dari sekedar percintaan! 

Malam ini.. Beby kembali merasakan kesakitan teramat sangat menyerang tubuhnya. Kepalanya yang sudah tinggal memiliki beberapa helai rambut itu, berdenyut hebat, hingga membuat dirinya tidak bisa lagi mengendalikan mulutnya sendiri untuk tidak membuat erangan dalam rasa sakit yang bisa membuat Mama khawatir. Beby begitu kesakitan- rasa sakit yang lebih dari biasanya. Sampai Dokter kembali turun tangan dan membuat Beby kembali mengarungi malam lewat suntikan obat-obatan.

Mentari pagi, dihari selanjutnya kembali menyambut, meski sinarnya tidak terlalu membuat kehangatan karena awan kelabu menutupi.

Beby bangun dari tidurnya yang dibantu obat, semalam. Masih merasakan kelemasan luar biasa, dengan denyutan yang tak kalah hebat. Beby sadar, kanker itu sudah semakin memperluas sel-selnya untuk memasuki setiap organ ditubuhnya, hingga membuat dirinya begitu merasakan kesakitan yang luar biasa. Entah kapan waktu tepatnya, sel-sel virus itu akan membawanya ketempat peristirahatan terakhir. Yang pasti, Operasi sekalipun.. sepertinya sudah tidak akan memberikan efek apapun. Hanya keajaiban yang bisa menolong Beby kini.

Beby mencoba membuka lebar matanya. Dia melamun dalam lemahnya alunan nafas, menerawangi langit-langit tempatnya tinggal beberapa minggu ini. Menjamah setiap sudut yang bisa dia jamah, menyelipkan setiap asa dalam satu kedipan lemahnya, dibalik slang oksigen.
'Ini waktunya! Harapan terakhir itu.. bukan cuma mimpi. Kamu akan kembali melihat Shania.. :'-)'

Beby mencoba menarik tubuhnya untuk bangun, namun belum full dia menarik. Mama yang keluar dari kamar mandi dan melihat Beby bergerak, segera menghampirinya.
"Kamu mau ngapain sayang?"
Mama sudah memegang lengan atas Beby.
"..Mama.. Pagi Mah!" jawabnya diikuti salam.
"Kamu mau apa? Biar Mama yang ambilin!"
Beby sudah kembali telentang dibangsalnya, karena masih sangat lemah, dia jadi tidak memiliki sedikitpun daya.
"Beby mau..." Beby diam cukup lama, menimbang dalam hati. Karena apa yang akan dia utarakan kali ini, bukanlah hal yang mudah.
"Mau apa?" Mama mengelus kepala Beby yang sekarang selalu pakai penutup.
Menghela nafas sebelum dia benar-benar meluncurkan ucapannya.
"Ada yang mau Beby bicarain sama Mama! Bolehkan kan Mah?" Meski suaranya lemah, Beby tetap terdengar antusias.

Mama memasang tampang kerung penuh tanya, diiringi ketidak enakan dalam hati, pada apa yang akan dia dengar dari Beby. Seperti sudah punya firasat, kalau apa yang akan Beby utarakan itu adalah sesuatu yang... yang belum, bahkan mungkin tidak akan siap Mama dengar. Jadi, Mama sengaja melamakan jawaban pada Beby.

"Mah? Mama kenapa?" Beby melihat kecemasan diwajah lelah Mama.
"..Mama nggak apa-apa, sayang."
"Jadi? Beby boleh bicara, sekarang Mah?" Kembali Beby meminta ijin.
"Mau bicara apa sih kamu, hem? sampai harus meminta ijin dulu!" alih-alih menenangkan perasaan, Mama jadi berbasa-basi.
Tapi Beby yang memang sudah membulatkan tekadnya, dengan ditambah hasil pemeriksaan Dokter atas kedua retina matanya, membuat Beby cepat bicara langsung ke inti.
"Beby mau bicara soal Shania, Mah!" Sementara Beby merasa lega bisa mengawali ucapannya. Perasaan tidak enak Mama kembali menguasai, begitu mendesir dalam raga.
"....Apa itu?" Singkat Mama.
"...Mama tahukan? Kalau Shania tidak bisa lihat, dan dia harus dapat donor retina mata?" Mama mengangguk dalam kerungannya, tanpa diikuti suara. Firasat dan ketakutannya semakin menjadi.
"Dan Mamaa.. juga pasti tahu? Kalau Shania itu... cuma punya waktu 1bulan, untuk dapat retina mata baru!" Seolah sudah tahu inti dari apa yang belum selesai Beby utarakan, Mama menjatuhkan air disudut mata kirinya.
"...Beby mau... Beby mau donorin retina mata Beby untuk Shania Mah!" Firasat itu jadi kenyataan.

Feeling seorang Ibu memang dahsyat. Mama bungkam, air itu tidak hanya keluar dari sudut mata sebelah kirinya, tapi kini dari keduanya. Menuruni lekukan kedua pipi Mama.

"Mah...?" Beby bisa merasakan kesakitan diwajah Mama, air mata itu tidak berhenti mengaliri wajah lelah Mama.
"Mmaafin Beby... Mah!" Beby menggenggam tangan Mamanya.

"Kenapa kamu.. *Mama terisak*.. tega mengatakan itu didepan Mama!? Apa kamu tidak bisa merasakan ketakutan Mama, sayang?!"
Beby merasa sangat bersalah, membuat Mama begitu terisak.
"Beby tahu Mah! Beby bisa merasakan rasa takut, cemas, Mama buat Beby! Karena itulah.. Beby mengatakan apa yang tadi Beby sampaikan!"
"Kalau kamu bilang bisa merasakan, kenapa tetap mengutarakan itu?"
"Karena Beby... udah gak mau lagi, bikin Mama repot, ketakutan setiap sakit ini Beby rasakan, kelelahan Mama, semua beban yang udah Beby bebankan sama Mama! Beby mau itu segera berakhir Mah!!" Beby meneteskan air matanya.
"Siapa yang bilang kamu itu Beban? Mama tidak pernah merasa terbebani sama Kamu! Jangan lakukan itu, Sayang! Mama mohon?" Mama meminta disela ucapannya.

Saling diam dalam hitungan menit. Beby mencoba mencari kata untuk tetap meyakinkan Mama akan niatannya. Mama diam dengan hatinya memerangi suara dalam pikirannya, kalau.. Beby akan tetap melangkah dengan niatnya. Meski Mama membuat penolakan, namun Mama tahu betul bagaimana Beby, apalagi ini menyangkut sahabatnya.

"Masih ingat.. sama apa yang dulu Mama bilang soal kehidupan, sama Beby, Mah?... 'Tegarlah! Kehidupan itu.. tentang pertemuan dan perpisahan!! Dia sahabat terbaik kamu, jadi.. berikanlah yang terbaik, sebelum dia pergi!!!'" Mama yang masih menunduk, menjadi semakin terisak, beliau sangat ingat nasihat itu. Nasihat yang beliau berikan saat Shania akan pindah ke Jakarta.
"Banyak yang sudah Shania berikan untuk Beby. Hingga hal terakhir, sesuatu yang terbaik yang akan dia kasih ke Beby, membuat dia kehilangan warna dalam hidupnya. Tapi, Beby.. belum bisa ngasih apapun Mah!..., Cuma ini, hal terbaik yang bisa Beby kasih untuk Sahabat terbaik Beby! Sebelum Virus ini, ikut menguasai retina mata Beby. Dan bahkan.. membawa Beby pergi dari sini, dengan tanpa meninggalkan apapun!"

"Mama tidak mau melepaskan kamu! Mama gak akan kasih kamu izin, untuk melakukan pencangkokan retina mata itu!..., Mama mau kamu sembuh. Kamu masih bisa sembuh, sayang!!" Mama kembali memberikan penolakannya.
"Beby mohon! Kasih Beby izin Mah. Mama sudah pasti lebih tahu, dibanding siapapun tentang kondisi Beby. Apa Mama mendengar atau.. melihat dalam report, presentase kesembuhan Beby dalam Operasi ini, tidak sampai seperempat dari presentase perbandingannya! Bahkan tanpa Operasi sekalipun, Mama pasti sudah tahu berapa lama prediksi kehidupan Beby dalam tubuh ini?" Beby tetap bersikeras.
"Seberapun kecilnya presentase kesembuhan kamu, Mama tidak akan pernah menyerah!" Mama tak kalah keras.

"Beby tahu, Mama begitu sayang sama Beby. Dan Beby juga Mah, Beby sayang... Sangat sayang sama Mama! Pahamilah apa yang Beby ucapkan, Beby melakukan itu karena Beby sayang sama Mama, sayang sama Shania. Kalau Mama masih berharap pada Operasi itu.. Baiklah, Beby akan melakukannya Mah!" Mama melihat Beby, "Tapi.., Beby akan melakukan itu, setelah Beby ngasih retina mata Beby sama Shania!"
"Kenapa kamu begitu bersikeras, sayang? Mama gak mau lihat kamu lebih menderita lagi!!" Mama balik menggenggam tangan Beby.
"Karena Mama yang mengajarkan Beby untuk memberikan yang terbaik pada Sahabat terbaik Beby, dan juga orang-orang yang Beby sayangi. Shania sangat butuh retina mata Mah, dia gak punya waktu lagi. Sementara Beby? Beby masih bisa melakukan Operasi itu, karena masih ada waktu tersisa. Dan jika Operasi itu berhasil, Beby berarti masih punya banyak waktu untuk menunggu pengganti retina mata yang sudah Beby kasih ke Shania. Beby akan melakukan yang terbaik yang bisa Beby lakukan!"
Beby begitu serius dalam kelemahan kondisinya. Kali ini.. Mama mulai menyerah mendengar ucapan Beby.
"Ijinin Beby Mah? Beby mau lihat senyum Mama, senyum Shania, Beby mau melihat kebahagiaan kalian... semua!"

Mama mengangkat tangan kanannya, beliau mengeluskan ke wajah pucat Beby. Dengan linangan air mata, akhirnya Mama benar-benar menyerah dengan kekeras kepalaan Beby.
"Kamu memang hanya titipan. Tapi, kamu adalah titipan terbaik yang Tuhan berikan dalam kehidupan Mama. Mama... bangga, bahagia, bisa dititipi putri secantik, sebaik, dan setangguh kamu!" Beby menyunggingkan senyum, "Mama mungkin akan menangisi keputusan Mama, tapi Mama tidak akan pernah menyesalinya. Kamu hebat.. persis seperti almarhum Papa kamu!" Memang tidak secara langsung Mama memberikan ijinnya, tapi ucapan terakhirnya itu.. membuat Beby menarik senyum dan kesimpulan kalau Mama memberikannya ijin.
"..Makasih Mah! Mama adalah orang yang sudah membuat Beby dan juga almarhum Papa jadi hebat. Mamalah orang terhebat itu. Maafin Beby, yang tidak pernah bisa memberikan kebahagiaan sama Mama. Maafin Beby yang hanya bisa jadi beban buat Mama. Beby sangat sayang Mama!!" Ucapnya. Diikuti Mama memeluk Beby dengan sebelumnya mencium kening Putri yang selama ini dia didik dan besarkan dengan segala rasa sayangnya.

Kabar baik tidak selalu baik untuk semua. Begitupun kabar buruk. Apapun kabarnya, akan selalu ada pihak yang merasa bahagia, dan juga sedih dalam waktu bersamaan saat menerima kabar itu.

Beby yang sudah mengistirahatkan tubuhnya lebih dari 2 hari, bangun dari bangsalnya untuk menemui Shania. Mewujudkan keinginannya, mengajak Shania ketempat yang dulu dia sebutkan. Selain itu, dia juga berencana menemui Dokter yang menangani Shania untuk memberitahukan niatannya mendonorkan retina mata, karena memang waktu yang Shania miliki tinggal menyisakan satu minggu lagi.

Sampai dirumah sakit, Beby langsung menemui Dokter. Kaget! Ekspresi awal yang diperlihatkan Dokter berparas kebapak-an, yang menangani Shania. Saat mendengar calon pendonor mata untuk pasiennya itu, ternyata mengidap Kanker....
Awalnya dia menolak, padahal prosedure pemeriksaan belum dilakukan pada Beby. Tapi dengan segala ucapannya, Beby mencoba meyakinkan Dokter. Dia bahkan langsung memberikan hasil test pada retina matanya yang dinyatakan bersih tak terjangkit virus dari kankernya. Dan... sampailah di kata OKE. Dengan sebelumnya Beby harus mengikuti prosedur pemeriksaan, yang harus dipenuhi calon pendonor.

Beberapa jam lamanya, Beby diperiksa. Menunggu hasil pemeriksaan, dengan duduk santai didepan meja sang Dokter, hingga Dokter bilang... Retina mata milik Beby bisa untuk didonorkan pada Shania.

Dengan kembangan senyum bahagia, Beby keluar dari ruang Dokter, berjalan begitu terlihat ringan, seolah niat mendonorkan mata itu.. tak lebih menyeramkan dari donor darah. Padahal Dokter dengan jelas dan gamblang mengatakan resiko yang mungkin saja terjadi saat Operasi pencangkokan mata berlangsung. Beby bisa saja meninggal setelah Operasi itu karena dia mengalami komplikasi atau hal lain yang keluar lewat prediksi awal Dokter. Tapi dengan santainya Beby menanggapi penjelasan Dokter, dan membalasnya dengan ucapan 'Tidak apa-apa!'. Niatnya yang sudah sangat bulat, tidak bisa dihentikan meski dengan penjelasan tentang resiko yang akan dia terima.

Pulang kembali ke rumah sakit tempatnya dirawat, karena waktu pemeriksaan yang ternyata cukup menghabiskan banyak waktu, hingga Beby tidak sempat menemui Shania diruangannya.

"Kenapa kamu mau melakukan itu?"
Beby menoleh, "Kak Melody?" menyebutkan nama yang muncul dari belakangnya.
"Tante udah cerita soal rencana kamu!" Wajah Melody terlihat sedih.
"Bagus dong! Jadi Beby.. gak perlu lagi ceritain sama Kakak? Iya kan?" Dengan memasang tampang Sok Oke, Beby membalas ucapan Melody.
"Kamu gak harus melakukan itu buat Shania, Beby! Apa kamu.. gak memikirkan bagaimana perasaan Mama kamu?" Melody mencoba menyadarkan.
"Memang gak harus Kak! Tapi,.. Beby yakin kok. Semua ini sudah diatur dalam skenarionya Tuhan, untuk Beby sama Shania!.. hemmh-- Beby bukan gak mikirin tentang perasaan Mama. Justru.. Beby melakukan semua ini, karena Beby merasa kasihan sama Mama Kak!" Melody sudah ada disebelah Beby.
"Kenapa gitu?"
"Kakak tahu kan, Dulu.. Mama juga sempat ada di posisi ini! Merawat Papa, menenangkan Beby yang selalu menanyakan keberadaan Papa, hidup Mama habis untuk merawat Papa, dan melindungi Beby. Meski pada akhirnya, semua usahanya, berakhir dengan kesedihan yang mengiring (Papanya meninggal). Tapi Beby yakin, itu pasti.. cerita terbaik Tuhan buat Mama! Yang terbaik.. tidak selalu harus senyum. Sebuah tangispun, bisa jadi yang terbaik kan Kak?"

Melody bisa mengerti tentang apa yang Beby pikirkan lewat ucapannya. Beby sudah tidak bisa lagi melihat kesedihan, ketakutan, kelelahan, diwajah Mamanya.

"Kak Melody... mau gak? Janji satu hal, sama Beby?" Melody merapatkan kedua alis matanya.
"Kakak.. mau kan, jagain Mama? Kalau nanti, Beby dijemput sama Papa!" Melody merasa sesak ketika mendengar ucapan datar penuh kesedihan itu.
"Kamu gak boleh bicara seperti itu!" Jawab Melody, bukan dengan meng iyakan.
"Beby akan tetap hidup Kak, hidup dalam matanya Shania. Tetap bisa melihat dan mengawasi Mama, dari balik matanya Shania. Hingga pada akhirnya... Beby sama Papa, akan menjemput Mama! :'-) Saat waktu yang Tuhan titipkan buat Mama, habis. Dan kita akan kembali jadi satu keluarga!"
Ucapan Beby benar-benar bisa membuat Melody menjatuhkan air matanya. Dia segera memeluk Beby, memberikan dukungan moril untuk adik sepupunya yang hebat itu.
"..Semoga skenario itu... skenario terbaik yang sudah Tuhan buatkan untuk kamu, Mama, dan kita semua!" Bisik Melody dalam dekapannya pada Beby. Beby mengusap tangan Melody yang melingkar ditubuhnya, dengan senyum getir menghiasi wajahnya.

Keesokan pagi! Beby kembali kerumah sakit tempat Shania dirawat. Masuk keruangan Shania, dia hanya melihat Ve, sementara Shanianya...?

"Pagi, Kak!" Beby menyapa Ve yang sedang duduk di sofa yang ada di ruang rawat Shania.
"..Beby?" Jawab Ve, Beby membalasnya dengan senyum. "Kamu sama siapa kesini?" Tanyanya, kemudian.
"Sendirian! Shanianya mana Kak?" Balas Beby santai, diakhiri tanya.
Ve tidak menjawab, dia hanya memakukan kedua matanya kearah balkon ruangan. Beby mengikuti dan.. dia dapat visualisasi Shania. Terlihat Shania sedang diam sendiri di balkon.
"Shania kenapa Kak?" Tanya Beby seolah tahu, kalau sedang ada sesuatu.
"..Dia udah tahu Beby.." Jawab Ve sedikit.
"Tahu? Tahu apa Kak?"
"Tahu kalau matanya gak akan bisa sembuh lagi jika dalam satu bulan, dia tidak mendapat pendonor!" Jelas Ve terlihat sedih. "Udah 2hari ini dia hanya mau sendirian, tanpa ditemani siapapun. Dia begitu sedih saat tahu kabar itu!"
Beby memegang bahu Ve, menguatkannya.

Beby melihat Shania dari belakang. Dia diam, melambungkan pikirannya, hingga... dia teringat akan sesuatu. Beby segera membisikan sesuatu ditelinga Ve, membuat Ve mengerung, sampai kerungannya begitu dalam, ketika mendengar apa yang Beby ucapkan.
"Mau kan, Kak?" Tanya Beby memastikan.
"Perjalanannya terlalu jauh, Beby..! Nanti kamu kecapek-an, terus kenapa-kenapa gimana?"
"Beby gak akan kenapa-kenapa! Beby janji, Kak, Serius!!.."
"Tapi,-"
"Tapi apalagi, Kak? Ayolah Kak Ve... Beby beneran pengen banget bawa Shania kesana! cuma ini yang bisa Beby kasih ke Shania. Dan lagi,.. mungkin ini kesempatan terakhir Beby, untuk bisa melakukan sesuatu yang bisa bikin Shania sedikit merasakan bahagia!" Tutup Beby dalam meminta, pada Ve.
"Haah!.. Kenapa bicaranya kayak gitu, Sih!?" Keluh Ve.
"Biar Kakak mau anterin aku sama Shania!" Balas Beby diikuti seringai manisnya.
"Ya..yaudahlah, kalau menurut kamu itu bisa bikin Shania kembali semangat, sama bikin kamu juga puas, Kakak ikutin ucapan kamu. Tapi,.." Beby mengangkat ekspresi wajahnya, saat mendengar kata tapi. "Tapi.. kamu beneran, gak akan kenapa-kenapa? Kak Ve gak mau bikin kamu dalam bahaya!" Ve masih saja cemas.
"Kakak tenang aja! Beby beneran gak akan apa-apa dan kenapa-kenapa! Kak Ve lihat sendiri kan, Beby segar-bugar gini " Beby begitu bersikeras, dengan rencananya. Tidak dia perdulikan kondisi tubuhnya sendiri.

Beby jalan ketempat dimana Shania sedang duduk sendirian, sementara itu Ve menelpon supirnya untuk menyiapkan mobil.

"Hai..?" Shania mengerungkan wajahnya, dia tahu suara siapa yang menyapanya.
"Kamu lagi apa? Pagi-pagi udah bengong sendirian di balkon rumah sakit!" Tanya Beby.
"Aku lagi mau sendiri!" Balas Shania, dingin.
"Kenapa? Kamu udah gak mau lagi denger suara aku yah?" Sela Beby.
"Jangan paksa aku untuk bicara lebih tinggi Beby, tinggalin aku sendirian, aku mau sendiri!!" Shania memohon.
"Tanpa kamu minta seperti itu, untuk aku ninggalin kamu sendirian. Nantinya aku juga pasti akan ninggalin kamu kok! Ninggalin kamu... sendiri!"
Jawaban Beby berhasil membuat Shania yang sedang dalam kekacauan hatinya setelah mendengar kabar dari Dokter, tergugah. Shania jadi merasa bersalah atas ucapannya.

"...Aku minta maaf! Aku gak ada maksud untuk bikin kamu berpikiran kayak gitu!" Sesal Shania.
"Kenapa harus minta maaf? Itukan kenyataan!.."
"Jangan bicara seperti itu Beby!"
"Maaf-Maaf-- Aku gak akan bicara kayak gitu lagi deh!.. eh ya? Mau gak? temenin aku!"
Shania yang sungguh enggan melakukan apapun, karena berita menyesakan itu. Jadi menjawab pertanyaan Beby. Dia tidak sedingin saat berhadapan dengan Kakaknya sendiri. Shania bisa luluh oleh Beby.
"Aku mau... ajak kamu ke satu tempat. Ada tempat indah yang harus kita datengin. Kamu mau ya, ikut?" Kembali Beby meminta.
"Tempat seindah apapun, buat aku sama aja, Beby. Gelap!" Lesunya dalam menjawab.
"Tidak semua kata indah itu.. bisa kita ucapkan, saat mata mendapatkan potretnya. Bukankah...? Kebanyakan hal indah itu justru tidak terlihat? Hatilah, yang akan menyampaikan keindahan itu!" Bijak Beby, menyikapi keengganan Shania.
"Kalau kamu gak mau aku ajak kesana, gimana kalau aku bilang.. 'suatu hari nanti... Kamu akan bisa lihat keindahan ditempat yang akan aku tunjukan. Dengan aku ada disebelah kamu! dan aku jamin, kamu pasti akan mengembangkan senyum kamu, saat liat itu!'.. Kamu mau ya? Ikut! Aku mohon!" Beby menyatukan kedua telapak tangannya memohon, dengan suara begitu meyakinkan. Shania yang sebelumnya enggan pun, jadi menyerah.

Perjalanan dari ruang rawat kepelataran parkir cukup melelahkan, hingga mereka bertiga sampai dimobil milik Ve. Masuk kedalam mobil, yang disupiri supir pribadi Shania. Ve duduk disebelah kanan Shania, sementara Beby duduk disebelah kirinya.

3jam lebih, mereka bertiga menempuh perjalanan. Jarak Jakarta-Cianjur cukup menguras tenaga. Beby merencanakan wisata dadakan ini untuk Shania. Mewujudkan ucapannya saat dulu melepaskan kepergian Shania ke Jakarta. Meski bukan Jepang, namun setidaknya, Beby punya niat memenuhi janjinya pada Shania untuk melihat Sakura bersama. Duduk dibawah mekarannya Sakura Seperti yang ada didalam bola kristal yang dulu dia berikan pada Shania. Mendatangi sebuah taman bunga, di kabupaten Cianjur, lebih tepatnya di taman bunga Cibodas.

"Aku gak akan kuat kalau dorong kursi roda kamu! Kita jalan yah? Kamu kuat kan, kalau jalan kaki?" Kata Beby pada Shania yang sudah keluar mobil.

Shania menggerakan kepalanya pelan. Ve segera memberikan tongkatnya pada Shania. Dari sana, dia membiarkan Shania dan Beby jalan berdua. Ve tahu, kalau Beby bisa membuat Shania tenang. Dia menunggu, melihat dari kejauhan 2 adiknya yang sedang berjalan.

Beby menuntun Shania dari sebelah kiri, mereka berdua berjalan menyusuri taman bunga, untuk bisa sampai di sudut tempat yang dipenuhi pohon bunga sakura.

"Udah sampai! " Ucap Beby.
Shania diam merasakan, menghirup udara yang begitu terasa segar. Hingga.. guguran dari bunga sakura yang menaungi dirinya dan Beby kini, jatuh melewati wajahnya. Shania merasakan beberapa guguran bunga itu.
"Kita dimana, Beby?" Suara Shania terdengar lebih baik (tidak dingin).
"Ditempat.. yang ada dalam bola kristal!" Shania mengingat.
"Sakuraa..?" Ucapnya pelan, ketika sehelai guguran bunga ada dalam genggamannya.
"Iyaa... Itu sakura!" Senyum Beby menjawab.

Dia mengajak Shania untuk duduk. Jika dilihat dari belakang, posisi Shania dan Beby kini, persis seperti yang ada di dalam bola kristal.

"Maaf, karena aku cuma bisa bawa kamu ketempat.. imitasi kayak gini! Aku gak bisa bawa kamu langsung ke Jepang, untuk merasakan guguran sakura yang sebenarnya!!" Lirih Beby mengutarakan.
"Hmm.. kenapa harus selalu kamu, yang bisa jadi orang pertama, yang tahu akan kegelisahanku, dan bahkan.. bisa tahu cara menenangkan aku, dari rasa takut ini!"
"Karena aku.. sahabat kamu, dan kamu.. sahabat aku! Simple!!" Jawab Beby.

"Andai.. mataku bisa melihat, aku pasti sudah berdecak kagum dengan tempat ini! Guguran sakura yang kamu sebut imitasi ini, begitu lembut menyentuh setiap kulitku.!"
Beby diam mendengar ungkapan Shania.
"Kelihatannya gimana disini, Beby?" Shania menanyakan opini Beby.
Beby menatapkan matanya ke wajah Shania, tanpa sepengetahuan Shania. Dia mulai menjelaskan, dengan matanya dia arahkan kelangit.
"Disini... Langit sore senja berwarna Orange yang menyatu dalam birunya langit bekas siang tadi, sangat indah.. belum sakura yang sedang bermekaran. sangat sulit untuk digambarakan dengan kata-kata!"
Shania melamun dalam lantunan Beby.
"...Andai aku bisa melihat!" Kembali Shania berandai.
"Kamu tidak perlu melihat dengan mata telanjang. Kamu bisa pakai mata hati kamu, untuk menggambarkan betapa indahnya apa yang sudah Tuhan ciptakan, ditempat ini!".

"Aku takut, Beby!" Shania mulai berkeluh.
"Takut apa? Kegelapan?",
Shania mengangguk dengan jawaban Beby.
"...Aku... Aku takut kalau aku.. gak bisa lagi melihat. Melihat Pelangi, melihat Sakura, Melihat kamu, melihat Kak Ve, melihat kalian semua! Aku sangat takut!" Shania mengeratkan tangannya ditangan Beby.
"Kenapa kamu harus takut? Kamu pasti akan bisa melihat lagi!" Ucapan Beby terdengar begitu pasti.
"Jangan buai aku dengan ucapan yang mungkin tidak akan pernah bisa aku nikmati!" Shania membalas dengan ke pesimisannya.
"Apa?.. Kamu menyerah di kegelapan kamu, ini?" Beby kini terdengar meremehkan namun begitu perhatian.
"Aku.. gak mau nyerah, tapi apa yang Dokter bilang.. soal, Aku cuma punya waktu 1bulan untuk menunggu pendonor mata. Dan Kalau dalam waktu itu,-"
"Kalau dalam waktu itu tidak ada yang pasti!" Beby segera memotong ucapan Shania. Dia tidak mau mendengar keputus asaan dari Shania. "Kecuali kematian! Meski apa yang Dokter bilang terdengar menakutkan, tapi kamu tidak harus langsung hilang harapan kayak gini!" Shania diam mendengar ucapan Beby. "Kamu melamun sendirian, diam sendirian mengasingkan diri, bikin Kakak kamu begitu cemas dan sedih!"

Ve yang selalu membawa kamera, diam-diam mengabadikan potret dua sahabat yang jaraknya dari dia kini sekitar 10mtr.

"Kamu gak tahu gimana gak enaknya ada dikegelapan kayak gini. Aku gak bisa lagi melangkahkan kaki aku dengan bebas, Beby!" Suara Shania benar-benar dalam keputus asaan.
"Aku bisa saja mati dalam setiap satu langkah yang aku ambil. Kamu tahu kenapa? Karena aku gak bisa lihat!.. Bisa saja, ada lubang besar didepan ku saat aku melangkah." Beby mengerung sedih, mendengar curahan Shania. "..Dan aku.. akan jatuh dilubang itu! Tanpa bisa kembali!!" Shania sudah menjatuhkan kepalanya, bersandar dibahu kanan Beby.

"Aku.. emang gak pernah ngerasain gimana rasanya ada dalam kegelapan di langkahku. Tapi aku yakinkan sama kamu. Kalau kematian itu nyata! Dengan... atau tanpa kegelapan sekalipun!!... Seperti aku.." Beby menghentikan sejenak ucapannya, "Aku bisa melihat, aku bisa tahu apa yang ada didepan langkahku. Aku bisa menghindari lubang itu, tapi bukan berarti aku akan selamat dan tidak terjatuh! Apa yang kamu takutkan, bukanlah hal yang benar-benar menakutkan. Masih banyak orang diluaran sana yang hidup dalam penderitaan lebih dari yang kamu rasa, yang aku rasa!" Beby ikut menyandarkan kepalanya, diatas kepala Shania.
"Kamu harus percaya, Shania. Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada tepian setelah kamu mengarungi sungai. Guguran Sakura selalu menemani, di waktu musim semi. Akan ada hasil setelah kamu menanti. Semua akan indah pada waktunya, indah bersama rencana dari Tuhan! Karena tidak pernah ada yang sia-sia dalam penantian!!"

Shania meneteskan air matanya. Dia merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti Beby yang selalu ada didekatnya saat dia merasa terpuruk dan sendirian dalam ketakutan.

Guguran bunga sakura. Langit mentari senja. Menemani Beby dan Shania, menikmati setiap cerita kegelisahan, dari masing-masing.

"Makasih Beby.. Aku gak mau kamu hilang dari mata dan pendengarkanku! Aku mau kamu tetap ada disebelah aku, kita terus bersama.. meski nanti, cerita hidupku tidak seindah yang aku bayangin!"
Beby tersenyum, "Aku gak akan pernah biarin kamu jatuh dalam langkah kamu yang tidak ada sinarnya itu. Aku akan selalu berdiri disamping kamu, menjadi tongkat, menemani setiap perjalanan kamu. Hingga nanti kamu bisa kembali melihat. Aku juga gak akan pernah biarin kamu sendirian. Karena aku ada disini.. buat kamu! Aku gak akan pernah hilang. Kita akan selalu bersama. Dalam setiap suka ataupun duka yang kamu lewati. Aku... akan selalu hidup, hidup... dalam mata kamu!"
Ucapan terakhir itu, sedikit menyentuh hati Shania. Tidak dia berpikir sejauh imajinasi liarnya. Apa yang Beby ucapkan merupakan kode untuknya. Sebuah kode yang isinya tentang ucapan selamat tinggal, Kalau-kalau dia tidak bisa melewati masa Operasi pasca mendonorkan matanya.

Seperti apa hari ini yang telah dilewati? Tidaklah akan pernah terulang dihari berikutnya. Jika bisa melihat, jauh lebih baik dari sekedar penglihatan biasa. Tidak akan ada satupun hari yang telah dilewati, yang akan disesali di ujung hari.

Secerah mentari pagi, seindah mentari senja. Meski langit kemudian berubah gelap. Harapan akan selalu ada seperti dua mentari yang menemani hari. Harapan dari titik garis berupa gugusan bintang, meski sinarnya tidak sebenderang mentari. Tawa, sedih, senyum, bahagia, akan selalu ada di sela harapan, asal kita mau belajar menerima apa yang sudah kita lewati. Teruslah maju, meski ada halangan menghadang.

Hari itu pun tiba! Hari dimana Beby sudah menyetujui prosedure Operasi pencangkokan matanya untuk Shania. Dengan Mama yang tidak berhenti meneteskan air mata, Beby terus tegar memasang senyum manisnya, memberitahukan pada Mama kalau semua.. akan baik-baik saja!

"Udah dong, Mah! Jangan nangis terus! Beby gak mau, saat Beby sama Shania masuk ke ruangan yang sama, Mama masih memperlihatkan wajah sendu lelah Mama ini." Beby memegang wajah Mama, menyekakan kedua telapak tangannya, mengusap air mata Mama, dan berusaha menggantikannya dengan senyuman.
"Mama tega? Kalau yang Beby ingat nanti, adalah wajah kesedihan. Dan kesedihan itu, karena Beby!" Mama mencoba tegar, seperti yang diharapkan Beby.
"Ini karena Mama gak tega sayang! Kamu harus menarik diri kamu, masih ada waktu untuk kamu membatalkan pendonoran ini!!" Tersirat permintaan Mama disela kesedihannya.
Melody dan Tante Rose ada di sebelah Mama.
"Jangan bicara seperti itu, Mah! Mama... kasihlah doa Mama, buat Beby sama Shania. Buat dua anak Mama yang sedang bernegosiasi sama Tuhan, meminta kesembuhan dari rasa sakit, ini! Mama mau kan?" Pinta Beby begitu terdengar pasti, dalam pertahanan suaranya yang mulai dibebani air mata.

Bukannya Mama merasa lega, beliau malah meneteskan air matanya semakin deras. Tidak tahan akan apa yang diutarakan putrinya itu. Mama langsung memelukan tubuhnya ke tubuh Beby.

"Shania takut, Kak?" Gesture Shania terlihat gelisah.
"Takut apa? Kamu harus tenang, jangan takut! Operasinya pasti berjalan lancar!!" Ve duduk disebelah bangsal Shania. Memegang tangan Shania, untuk meredam rasa cemas adiknya, dan sekaligus rasa cemas dirinya sendiri, mengingat wajah si pendonor.
"Kalau Operasinya tidak berhasil, gimana Kak? Gimana kalau Shania buta selamanya? Shania takut!"
"Ssuuttt... jangan bicara seperti itu! Itu sama saja, kamu tidak menghargai orang yang sudah mendonorkan matanya buat kamu!!"
Ve terus mencoba meredam kegelisahan dalam ketakutan Shania.

Siang hari setelah mereka pulang dari Cianjur. Dokter memberikan kabar bahagia untuk Shania, kalau dia sudah dapat pendonor mata, dan Shania bisa di Operasi transplantasi mata keesokan siangnya. Betapa bahagianya Shania kala itu! Dia segera meminta Ve untuk mengabarkan berita itu pada Beby. Saat baru akan mengambil Handphone dan memberikan kabar pada Beby, tidak tahunya Beby datang menjenguk lagi Shania. Dengan perasaan meletup-letup dalam kegirangan, Shania segera mengoceh pada Beby kalau dia sudah dapat pendonor mata. Dan Beby.. dia begitu terdengar sempurna memainkan pita suaranya, ikut ria dalam kebahagiaan Shania, yang dimana dialah sebenarnya pembawa kebahagiaan itu.

"Beby mana, Kak? Dia sama Tante Ana, belum datang ya?" Shania sudah merasa sedikit tenang.
"Beby... dia dalam perjalanan, sama Tante Ana, sama Bu Melody juga!" Jawab Ve dengan menekan rasa sesaknya sendiri.
"Semogaa.. semua berjalan lancar ya Kak!? Dan nanti.. Shania bisa temenin Beby saat dia mau jalanin Operasinya. Jadi kita berdua bisa sembuh!" Ucapan harapan itu membuat Ve menitikan sedikit air matanya. Dia tidak berani memberikan jawaban untuk untaian kalimat Shania kali ini.

"Sianggg.." Suara Beby terdengar dalam ruangan itu.
"Beby!" Shania begitu terdengar antusias, kala tahu siapa yang berucap.
Beby semakin dekat ke bangsal Shania.
"Beby.. Kamu sama Mama?" Shania kembali mengeluarkan suaranya.
"Iya! Tante ada disini, sayang!" Mama yang menjawabnya langsung.
"Makasih ya Tante, udah mau dateng ngasih Shania semangat!"
"Kamu pasti bisa kembali melihat, Nak! Semangat ya!!" Dengan mengelus wajah Shania, Mama bekata. Meski berat terasa saat mengucap kalimatnya, Mama melakukan itu dengan begitu baik, tidak terdengar getaran dari pita suaranya.
"Tante emang Mama paling Top! Shania beruntung kenal sama Tante"
"Masa ngerasa beruntungnya cuma mengenal aja! Gak ada ungkapan yang lebih baik apa buat Mama aku?" Sela Beby, setelah mendengar utaraan Shania.
"Emmm.. aku, ya... nggak gitu juga, aku tuh...,"
"Hahahaa.. becanda kali. Serius banget si tuh muka!!" Beby melepas tawanya, setelah melihat ekspresi bingung Shania.
"Ahhh.. Beby. Awas ya, kalau nanti aku udah bisa lihat lagi. Aku balas entar!" Ancam Shania.

Sedikit candaan yang Beby dan Shania perlihatkan mampu membuat orang-orang yang kini ada diruangan itu, tersenyum haru.

Suster datang keruangan itu, memberitahukan + menjemput Shania si penerima donor dan Beby si pendonor kalau Operasi sudah siap untuk di eksekusi. Tanpa Shania tahu, sebenarnya saat Beby masuk keruangannya, dia sudah mengenakan pakaian pasien seperti yang dikenakannya.
"Kamu harus semangat, Shanju! Operasinya pasti berhasil, jangan bikin aku kecewa ya?!" Kata Beby sebelum Suster membawa keduanya.
"Pasti! Aku akan semangat, sesemangat kamu yang tidak pernah lelah memberikan dukungan kamu sama aku!!" Jawab Shania.
"Bagus... itu baru sahabatnya Beby!" Balas Beby.
"Makasih ya, Beby! Makasih untuk semangat kamu, yang selalu bisa bikin aku merasa terang dalam kegelapan ini. Aku mau.. saat aku buka mata nanti, kamu ada dihadapan aku, dan aku bisa kembali melihat senyum semangat yang riang itu lagi." Ungkapan Shania sungguh membuat hati pedih. Mereka yang mendengar meraskan kesedihan itu. Dan Seketika itu juga, mereka melihatkan kedua matanya pada sosok Beby, yang begitu hebat.
"...Aku... akan jadi orang pertama yang kamu lihat, saat mata kamu nanti, bisa mengenali lagi warna!" Balasan dari Beby, diikuti senyum haru dalam rasa bahagianya.

Mama membekap mulutnya sendiri mendengar ucapan putri semata wayangnya. Hati Ibu mana yang bisa begitu kuat menyaksikan kehebatan putrinya, yang dengan sukarela memberikan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Memberikan warna dalam penglihatannya, membiarkan dirinya sendiri hidup dalam kegelapan, dengan ditambah siksaan dari sakit Kanker yang selama ini terus Putrinya itu lawan. Mama kuat, karena Beby juga kuat. Beby sangat tahu bagaimana caranya membuat Mama berdiri dari rasa sakit yang beliau rasakan untuk dirinya.

"Aku akan dampingin kamu keruang Operasi kamu nanti, seperti kamu dampingin aku! Kalau Aku udah bisa lihat lagi, kamu harus mau masuk ruangan Operasi, kayak aku!!" Kata Shania meminta.
"Udah... ngomong mulu, kapan keruang Operasinya? Dokternya keburu pegel nungguin kamu! Ayok pergi.." Beby tidak menanggapi keinginan Shania. Dia malah mengeluarkan ucapan lain dengan diikuti sedikit candaan.

Shania tidak lagi berkutik. Dia diam, kursi roda yang didudukinya melaju perlahan meninggalkan ruang rawatnya. Dengan Beby yang jadi pendorong kursi rodanya. Selama menelusuri setiap lorong menuju ruang Operasi, Beby melantunkan lagu favoritnya. Shania bisa mendengar suara itu, hingga diapun jadi ikut bernyanyi. Mereka berdua bernyanyi begitu terdengar kompak.

4..Jam! Operasi transplantasi retina mata berlangsung. Shania sudah bisa keluar dari ruangan Operasi itu, dia langsung dipindah keruang HCU. Sementara Beby sang pendonor..? Dia masih ada didalam ruang Operasi. Kondisinya menurun drastis ketika retina matanya berhasil diambil dan kemudian dicangkokan ke mata Shania. Dokter masih berusaha meraih Beby, yang sedang berada dalam tingkat kesadaran menghawatirkan. Hingga.. 1 jam kemudian, para Suster pendamping diruangan Operasi, mendorong bangsal Beby, dan memindahkannya keruang yang kondisinya lebih serius dari ruangan yang Shania tempati, yaitu.. ICU!

Langit biru itu terlihat tidak cerah, awan yang bagaikan domba, putih bersih, yang biasa terlihat mengalir dengan tenang. Kini, menemani dalam bungkusan warna abu kehitamannya. Meski operasi pencangkokan sudah berhasil dilakukan. Belumlah bisa helaan nafas mengalun lega, lengkungan senyum jadi bahagia, gerakan tubuh berpadu dalam ketenangan. Masih ada fase-fase selanjutnya yang harus dia.. sipendonor, dan dia.. sipenerima donor hadapi. Kenyataan lain, episode lainnya dari scene perjalan yang sedang mereka tempuh. Menunggu hasil dari perjuangan mereka, menunggu kabar baik yang mungkin sudah Tuhan tuliskan.

Esok pagi, kala mentari mulai menanjak. Shania terbangun. Matanya masih diperban, rencananya, 4hari setelah Operasi, perban dimata Shania baru akan dilepas. Melihat hasil dari Operasi pencangkokan retina matanya.

Senja, sehari setelah Shania bangun. Beby yang saat Operasi berlangsung sempat kritis, kini sudah sadarkan diri, mengikuti Shania yang sudah siuman sehari sebelumnya (Beby sempat kritis satu hari). Dalam kondisi lemah yang begitu menghawatirkan, ditambah sekarang dia sudah tidak bisa melihat. Beby masih saja mencemaskan Shania, dia kembali meminta pada yang lain untuk jangan dulu memberitahukan Shania soal dialah yang sudah mendonorkan matanya, Beby ingin, Shania tahu soal itu dengan sendirinya, saat nanti perbannya sudah dibuka dan dia.. kembali benar-benar bisa melihat.

Penantian itu... datang dengan sendirinya. Shania yang beberapa hari ini selalu dibuai kebohongan, saat dia menanyakan keberadaan Beby. Meminta pada Kakak, Mama dan Papanya, agar Beby bisa ada diruangannya siang nanti, dikala perban itu akan dilepas. Karena kalau tidak, dia tidak akan mau menuruti Dokter dan membuka perban untuk melihat hasil Operasi. Sementara Beby sendiri, yang sudah satu rumah sakit dengan dirinya, sedang dalam kondisi mencemaskan. Karena semalam dia kembali drop.

Tante Nia ditemani Ve, langsung datang keruang rawat Beby, tanpa sepengetahuan Shania. Meminta dan memohon agar Beby bisa ada diruangan Shania, menjadi salah satu orang yang pertama bisa Shania lihat saat penutup mata berwarna putihnya itu dilepas. Tapi ternyata... Tante Ana menolak, hingga kedua Mama yang anaknya sahabatan itu, malah jadi saling berhadapan mengedepankan egonya masing-masing.

Tante Ana... Dia tidak mau kalau Beby yang sedang beristirahat diganggu. Karena beliau tahu betul bagaimana kondisi Beby saat ini. Kondisi yang sudah... melampaui batas biasanya, Beby benar-benar dalam keadaan... bisa kapan saja meninggal, tanpa ada tanda atau ucapan perpisahan yang menjadi kode. Sel Kanker itu sudah sukses menghancurkan hampir setiap organ penting ditubuh Beby. Beby... benar-benar cuma tinggal menunggu waktunya habis.

"Saya mohon, An! Shania ingin Beby ada didepannya saat dia membuka perbannya!!"
Tante Nia terus memohon.
"Sudah saya bilang! Beby gak mungkin bisa bangun dari tempat tidurnya! Apa kamu tidak bisa melihat? Kondisinya begitu mencemaskan!" Tolak tante Ana.

Beliau menuntun tante Nia yang ditemani Ve, untuk bicara tidak terlalu dekat ke bangsal Beby.

"Tapi, Shania..,-" tante Nia bersikeras.
"Cukup! Shania sudah bisa melihat lagi, tidak perlulah, Beby ada didekatnya! Nanti juga dia kembali melihat dan tahu apa yang sebenarnya!, sekarang.. biarkanlah Beby mendapat pengobatannya kembali! Karena saya juga ingin putri saya sembuh, tidak hanya kamu!!" Dari suara tinggi, tante Ana kemudian memelankannya, karena bertabrakan dengan air mata. Melody yang sedang menemani, segera mendekatinya.

"Mah udah Mah, Tante Ana benar. Beby sedang tidak mungkin bisa meninggalkan ruangan ini. Kita kembali saja!" Ve bicara pada Mamanya.
"Tapi, sayang. Shania sangat ingin kalau Beby ada didekatnya saat dia kembali bisa melihat! Itu yang diinginkan adik kamu, saat dia akan masuk ruang Operasi kan? Menginginkan adanya Beby untuk jadi orang pertama yang bisa dia lihat, saat dia kembali melihat! Dan Beby pun pasti tahu akan hal itu!"
Kembali, saat Ve akan bicara mengajak Mamanya pergi, suara Tante Ana masuk, dengan tone yang begitu menyedihkan.
"Beby sudah melakukan yang terbaik untuk sahabatnya, sudah lebih dari cukup hal baik yang dia berikan. Apa tidak bisa kamu lihat, sedikit saja penderitaan dari Beby!? Kamu sayang sama putri kamu, begitupun saya! Saya bisa mengerti akan perasan kamu, atas ancaman yang Shania ucapkan. Tapi, saya minta.. kamu juga bisa mengerti saya. Saya mau Beby sembuh, saya tidak mau kehilangan dia!"
Tante Nia dan Ve tercekat mendengar ucapan Tante Ana, sampai mereka berdua menjadi merasa bersalah sudah begitu bersikeras meminta agar Beby ada diruangan Shania. Padahal terlihat jelas kalau Beby sedang beristirahat.
"Pergilah... jangan sampai saya bertindak kasar untuk manjauhkan kamu, dari sini!..., Saya mohon... Biarkanlah Beby istirahat, dan mendapat lagi pengobatannya!"
Melody kembali hanya bisa menenangkan Tantenya itu.

Bukannya Tante Nia pergi dari ruangan, dia malah mendekat, lalu mendekap Tante Ana.
"Maafin aku, Ana! Aku memang sosok Ibu yang gagal!!" Tante Ana diam dalam dekapan Tante Nia. "Tidak bisa mendampingi kedua putriku, menjaga mereka sehebat kamu menjaga Beby. Tidak bisa memperhatikan mereka, seperti kamu begitu memperhatikan setiap gerak dari Beby. Aku tidak benar-benar bisa jadi Ibu, untuk kedua putriku!" Tante Ana jadi ikut merasakan kesedihan Tante Nia,; Ve meneteskan air matanya mendengar ucapan dari sang Mama, yang kehangatannya sudah lama memudar, dan tidak dia rasakan.
"Aku terlalu takut, kalau Shania menyerah. Padahal dia tinggal sedikit lagi pada kesembuhannya. Maaf karena aku tidak bisa sepeka kamu. Maaf juga karena aku terlalu egois sampai tidak memikirkan perasaan kamu dan kondisi Beby! Maafin aku, Ana..."
Tante Ana yang sempat emosi, jadi bisa sedikit menurunkan emosinya.
"...Aku yakin, Tuhan selalu memperlihatkan keagungan-Nya pada waktu yang sudah Dia atur. Beby akan mendapat segala yang terbaik dari Tuhan. Sekali lagi, aku minta maaf.. Ana!"
Tante Nia melepas pelukannya, yang tidak berbalas dari Tante Ana. lalu pergi meninggalkan ruangan tempat Beby dirawat.

"Ternyata.. Mamanya Beby bisa marah juga :+)" Mama dan Melody jadi kaget mendengar suara Beby.
"Beby? Kamu sudah bangun, sayang?" Mama segera mendekati Beby. Beby hanya membalas dengan anggukan kecilnya.
"Dari kapan?" Tanya Mama.
"...ehmm.. cukup lama, untuk bisa tahu kalau ternyata Mamanya Beby itu.. bisa galak!"Jawab Beby. Yang sudah mendengar ucapan Mama dan tante Nia.

"Mah..?"
"Iya! Kenapa?"
Mama menyeka air matanya sendiri.
"Beby gak tahu, udah berapa ratus, atau bahkan berapa ribu kali, Beby bicara.. 'Beby minta maaf' sama Mama. Selama masih ada hembusan nafas yang Beby rasain, Beby akan terus minta maaf sama Mama, karena Beby.. sudah membuat Mama susah, terbebani, membuat Mama harus kembali berjuang didalam rasa sakit yang sama, membuat wajah Mama yang cantik itu... selalu dipenuhi air mata yang Mama sembunyikan, dibalik wajah lelah yang selalu Mama pasangi senyum! Maafin Beby ya Mah?"
Mama menggelengkan kepalanya. "Kamu gak boleh bicara seperti itu sayang, Mama sudah pernah bicara sama kamu, kalau kamu itu tidak pernah jadi beban. Karena kamu itu anugerah! Mama yang harusnya minta maaf, karena sudah teledor dalam merawat dan membesarkan kamu, hingga kamu jadi.. jadi seperti sekarang!!" Sesal Mama yang kembali menangis, tanpa terlihat oleh Beby.
"Jangan menyesali takdir Tuhan, Mah. Apa yang sekarang Beby alamin, itu suatu bentuk lain dari rasa sayangnya Tuhan sama Beby. Dan Mama... Beby minta,.. Ikhlas las Mah, ikhlas lah menerima semua ini. Karena itu, akan jauh terasa lebih ringan. Buat Mama... buat Beby juga! :'-) Beby mau, Mama ikhlas... jika dihari depan.. Beby jadi pergi sama Papa." ... Mama kembali dan untuk kesejuta kalinya menangis disebelah Beby. "Nanti... Beby sama Papa, akan jemput Mama. Kita akan kembali bersama Mah!" Dengan melukiskan senyum haru yang begitu lemah, Beby bicara membuat Mama dan juga Melody sedih bukan main.

"Kak?" Melody segera menyeka air matanya, dan membalas panggilan Beby.
"Iiiya..., Kenapa Beby?"
"...Kak Imel mau gak? Bantuin Beby untuk berdiri diruangannya Shania. Melihat dia kembali tersenyum ceria, karena bisa melihat lagi!"
Melody yang kaget mendengar keinginan Beby, segera memalingkan wajahnya melihat ke tante Ana.
"Kenapa cuma minta bantuan Kak Imel? Kamu gak mau, dapat bantuan dari Mama?!" Mama yang menjawab, pertanyaan Beby.
"Mama..., Beby...,-"
"Biar Mama yang kamu jadikan sandaran. Kita keruangannya Shania, menyaksikan anak Mama yang satu lagi, kembali mendapat kebahagiaan, dari harapannya!"
"...(Beby terharu)... Makasih Mah. Maafin Beby, ya Mah?"

Berjalan menuju ruangan Shania. Beby dibantu Melody dan Mama. Saat pintu ruangan yang didalamnya sudah ada Dokter ditemani Suster, yang telah siap melakukan pembukaan perban pada mata Shania, terbuka. Seketika semua mata tertuju kesudut itu. Tante Nia dan juga Ve kaget melihat Beby yang begitu pucat pasi, dipapah oleh Mama dan juga Melody. Perasaan bersalah kembali mereka rasakan, mengingat kejadian diruang rawat Beby.

"Siapa yang datang Kak? Apa itu Beby?" Shania yang mendengar suara pintu, jadi penasaran.

Mama sama Ve memang tidak bilang kalau Beby tidak bisa datang. Mereka hanya bilang, 'Beby akan datang, tapi nanti...' disambung kebohongan.

"Iya! Ini aku.. " Beby menyamarkan suaranya agar terdengar Oke .
"Bebyyyyy... Kak Ve bilang, kamu bisa datangnya nanti! Ini? Kamu bisa datang! Aku tahu kok, kamu pasti bisa menepati janji kamu!" Ceria Shania bicara.
"Iya, bawel, Udah diem! Dokter mau buka perban kamu tuh!" Balas Beby, padahal dia tidak melihat. Apa diruangan itu sudah ada Dokter atau belumnya. Mama dan Melody menatap Beby, yang seolah bisa melihat dan mengetahui siapa saja yang ada diruangan Shania kini.

Shania diam, dia merasakan senang, tapi deg-degan takut juga, kalau-kalau Operasinya tidak berhasil. Dokter yang dibantu Suster, memulai proses pelepasan perban. Perlahan-- perban mulai dilucuti, semakin tipis-- terus menipis-- hingga tinggal menyisakan bagian yang ada tepat dikedua matanya, yang kini sedang Dokter pegangi. Tak lama, perban yang ada dikedua mata Shania lepas, tidak ada lagi yang menghalangi matanya kini.

"Baiklah, Shania! Kamu dengar, buka mata kamu pelan-pelan. Rasakan... kalau merasa perih, kamu tutup dulu, jangan dipaksakan! Oke?" Perintah Dokter.

Shania mengangguk, lalu mengikuti perkataan Dokter. Perlahan.. sangat pelan, Shania membuka matanya. Saat kedua matanya terbuka, Shania merasakan perih, hingga dia cepat menutupnya kembali seperti yang Dokter instruksikan. Diam sejenak, Shania kembali memulai.. dan akhirnya... dari pandangan blur, dia perlahan bisa melihat warna, merasakan tusukan cahaya dikedua bola matanya.

"Bagaimana Shania? Kamu lihat sesuatu?"
Shania belum menjawab (Membuat yang diruangan itu harap-harap cemas), dia menembakan penglihatannya yang saat tadi awal blur, kearah Beby berada. Hingga sudah terkunci di Beby, penglihatannya menjadi semakin jelas.
"Shania?" Dokter menepuk lembut pundak Shania, yang sedang mengarahkan pandangannya pada Beby.
"Dek? Gimana? Apa kamu bisa lihat?" Ve ikut bertanya, karena penasaran.

Shania kembali tidak menjawab. Dia malah menggariskan senyum khasnya, dengan pandangan tetap pada Beby.
"Beby! Akuu.. Hahaha.. Aku bisa lihat kamu!" Beby yang mendengar seketika mengembangkan senyumnya.; Mama, Papa, dan Ve bersyukur saat mendengar suara Shania.
"Kamu beneran, bisa lihat aku? Kamu bisa lihat kita semua!?" Tanya Beby membalas.
Shania mengangguk-angguk cepat, "Hiiyaa.. aku bisa lihat! Aku lihat kamu berdiri sama tante Ana juga Bu Melody. Aku liat Kak Ve, Papa.. juga Mama.. Aku bisa lihat kalian, aku bisa melihat lagi! Aku bisa melihat lagi, Beby!!" Shania begitu kegirangan. Dokter dan Susterpun ikut bersuka cita. Papa, Mama dan Ve segera mendekati Shania. Ve segera mendaratkan pelukannya pada Shania.
"Kamu bisa lihat lagi, Dek!"
"Iya, Kak! Shania bisa lihat lagi. Shania bisa lindungin Kakak lagi!!" Adik-Kakak itu terlihat senang, dan bahagia.

Pelukan lepas, Shania kembali melihat Beby, dia masih belum 'ngeh' dengan kondisi Beby yang sudah tidak bisa melihat.
"Beby! Kamu mau disana terus? Kamu gak mau ngasih selamat ya sama aku!?" Kata Shania memanyunkan bibirnya. Melihat Beby masih ditempat semula.
"Aku.." Beby mem pause dulu ucapannya, lalu dia melihat kanan-kirinya, "Lepasin Beby, Mah, Kak? Beby mau jalan ke Shania!"
"Tapi, sayang..,"
"Gak apa-apa Mah! Beby bisa kok!" Potong Beby. Mama dan Melody seperti dihipnotis, mereka dengan entengnya melepas Beby, meski dalam hati was-was.

Langkah kaki yang digerakan Beby, membuat Shania jadi melukiskan kerutan didahinya.
"Kenapa... Beby?" Suara Shania pelan.
Dia seperti melihat gambar dirinya kala masih dalam kebutaan. Berjalan dengan mengangkat kedua tangannya, meski angkatan tangannya tidak terlalu tinggi, tapi Shania bisa tahu, ada yang tidak beres dengan Beby. Shania menurunan kakinya dari bangsal, dia menapaki lantai, dengan tidak memalingkan pandangannya dari Beby.
"Beby... kamu kenapa?" Shania yakin, ada yang tidak benar dari apa yang dia lihat. Rasa senang dan bahagia yang sepersekian menit sebelumnya dirasa, seketika berubah jadi kekhawatiran yang perlahan menjelma jadi ketakutan.
"Aku... Aku gak.. apa-apa kok!" Jawab Beby dengan nafasnya tersengal.

Tinggal langkah terakhir untuk sampai dibangsal Shania. Beby terus melangkahkan kakinya, tanpa dia tahu kalau sebenarnya Shania sudah berdiri dihadapanya, sedang memberikannya pandangan tepat dikedua matanya.
"Apa yang udah kamu lakuin?" Tanya Shania, membuat Beby kaget karena suaranya begitu dekat.
"..Shaa..nia!" Ucapnya dengan tangan dia rabakan mencari objek sipemilik suara.
"Kamu kenapa? Mata kamu kenapa, Beby?" Suara Shania berubah jadi serak.
"Aku..,- Aaaarghhh!" Setelah erangan itu, Beby terjatuh.

Mama dan Melody berteriak. Shania yang berhasil menangkap Beby, jadi terduduk karena Beby lunglai tak ada daya.
"Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu gak bisa lihat? Apa yang sudah kamu lakukan Beby!? Apa!..." Shania menatap lekat Beby, yang kini tangannya sedang berusaha memegang wajah Shania.
"Penantian kamu... terjawab... Tuhan... selalu menyiapkan yang indah.... diwaktu yang tepat kan?... kamu... gak... perlu.... takuut... laaa--," Suara Beby hilang, dia pingsan di pangkuan Shania.
"Beby bangun! Kamu harus jelasin semuanya sama aku!! Bangunnn--!" Shania mengguncang tubuh Beby. Senyum segaris yang tadi dia pasang saat melihat Beby, berubah jadi air mata, ketakutan.

Dokter dan Suster yang masih ada diruangan itu segera mengambil tindakan. Dokter segera membawa Beby dari Shania. Dengan sebuah kursi roda, Beby dibawa keruangannya. Dan tak lama Dokter yang menanganinya pun datang.

Rentetan penjelasan yang Shania dapat dari Ve membuatnya mendengus kesal. Mereka semua sedang berada diluar ruangan, menunggu Dokter yang sedang melakukan pemeriksaan pada Beby. Kesal yang Shania rasa kini, tidak bisa membuat dia melakukan apapun. Hatinya yang bahagia karena kembali bisa melihat, jadi sedih-sesedih-sedihnya, saat dia mengetahui cerita sebenarnya, kalau Beby lah yang sudah menjadi pendonor untuknya, menjadi cahaya dalam kegelapannya, menjadi pelanginya dikala hujan itu reda, menjadi penolongnya. Beby... selalu jadi yang pertama tahu tentang dirinya, tidak seperti dirinya yang tidak pernah bisa jadi yang pertama untuk Beby.

Shania berdiri dari duduknya, melihat pada tante Ana, yang ditemani Melody.
"Tante...?" Tante Ana melihat Shania, dia berjongkok didepan Mama Beby yang sedang menangis.
"Maafin Shania, tante! Shania... Shania..." Ucapannya terhenti karena air matanya menderas, Shania tidak tahu harus bicara seperti apa didepan tante Ana. Dia hanya bisa menundukan kepalanya, dalam kesedihan.

Tante Ana pun tidak bisa memberikan balasan dalam kata, beliau hanya bisa mengelus rambut Shania.

"Shania... gak mau ini, Tante! Shania gak mau lihat ini semua!!" Tangisnya begitu sakit.
"Shania mau kembalikan ini sama Beby!.. Kalau saja Shania tahu dari awal, Shania gak akan pernah mau menerima ini.. Tante! Shania gak mau!! Shania.. minta maaf..!!!" Shania benar-benar dinaungi sesal.

Mama, Papa, dan Ve hanya bisa melihat.

"Jangan ucapkan itu! Jika Beby dengar, dia bisa marah!" Tante Ana akhirnya bisa mengeluarkan suaranya, karena mendengar ucapan yang Shania ucapkan.
"Biarlah Beby marah. Biarlah Shania gak bisa lihat lagi. Bukan ini.. yang Shania mau... Bukan ini yang Shania minta dalam doa... Bukan ini....!"

Shania terus menangis sesal. Tante Ana segera memeluk Shania, ia sadar, apa yang Shania tangisi dan sesali bukanlah kesalahannya, dan juga tidak seharusnya seperti itu. Karena semua ini... keinginan Beby yang mendapat restu dari Tuhan! Semua yang seperti kebetulan ini... adalah skenario yang sudah Tuhan buat, tanpa ada satupun dan siapapun, yang akan tahu sebelum kejadiannya terjadi.

Dokter keluar, setelah beberapa jam memeriksa Beby... dia langsung menghampiri mereka yang menunggu Beby.
"Dokter? Gimana Beby?" Melody, orang pertama yang melihat Dokter, langsung mengajukan pertanyaan.
"...Kondisi Beby... Kami sudah mengeluarkan semua kemampuan terbaik yang kami miliki..,-"
"Apa maksudnya, Dokter?" Mama sungguh takut, padahal belum semua penjelasan Mama dengar.
"Kondisi tubuhnya terus melemah. Sel kanker itu.. sudah tidak bisa dihentikan, penyebarannya sudah merusak lebih dari setengah sistim didalam tubuh Beby." Bukan hanya Mama yang merasakan sakit, Shania pun sama sakitnya, tak terkecuali yang berada dilorong ruangan itu.

"Apa yang bisa kita lakukan, Dokter? Lakukanlah sesuatu! Beby pasti bisa sembuh, kan? Beby masih bisa sembuh kan Dokter?" Shania mendekati Dokter dan memegang lengan atas lalu mengguncangnya. "Katakan Dokter? Beby masih bisa sembuh kan? Dia harus bisa sembuh! Aku mohonnnn...", Ve segera mendekati Shania yang sedang memaksa Dokter!.

"Bagaimana dengan Operasi .... ? Beby masih bisa kan Dokter melakukan Operasi itu?!" Mama kembali bertanya.
"Untuk Operasi itu... saya sudah konsultasikan dengan Dokter yang menangani Beby sebelumnya. Dan.. setelah melihat kondisi Beby seperti saat ini. Kami tidak bisa melakukan prosedure Operasi untuk Beby, mengingat.. dia baru saja melakukan Operasi pelepasan retina matanya. Jadi.. akan sangat beresiko buat Beby, kalau Operasi dilakuan saat ini juga. Kalaupun mau? Kita harus tunggu sampai kondisi Beby terlihat lebih pulih dari saat ini!" Penjelasan Dokter sama sekali tidak ada yang bisa membuat perasaan tenang.

Tidak ada satupun yang bersuara didalam ruang tempat Beby dirawat. Shania yang masih berstatus pasien, masih mengenakan pakaian pasien, yang tadi siang baru mendapat kabar baik tentang kondisi matanya. Duduk disebelah Beby, diseberang tante Ana. Dia hanya bisa memandangi wajah Beby, matanya yang baru sembuh itu dia hiasi dengan air mata.. air mata untuk Beby, yang sudah memberikannya warna.

"Sayang... kita istirahat dulu?" Mama mendekati Shania yang masih terpaku dengan wajah sesalnya. Shania tidak sama sekali menggubris.
"Ini udah malem, kamu juga butuh istirahat, sayang." Mama kembali membujuk.
"Shania gak mau! Shania mau disini, nemenin Beby!!" Jawabnya untuk menghentikan bujukan Mama.
"Tapi..,-"
"Udahlah, Mah! Shania bilang, Shania mau disini. Kalau Mama mau istirahat, Mama istirahat aja. Shania mau temenin Beby!" Shania sedikit mengangkat volume suaranya.

Mama yang membujukpun seketika diam. Ve tidak bisa melakukan apapun, begitupun Papa.

"Mama kamu benar, Shania. Kamu juga butuh istirahat! Lebih baik kamu kembali keruangan kamu. Tadi siang, kamu baru bisa melihat lagi.. jangan biarkan mata kamu terlalu lelah, Nak!" Tante Ana begitu lembut, dengan sorot mata sendunya meminta pada Shania.

Bukannya menerima, Shania malah menggelengkan kepalanya, "Shania gak mau tante. Shania mau tetap disini! Shania mohon sama tante, ijinin Shania menunggui Beby, biar Shania istirahat disini. Disebelah Beby!" Tanpa memalingkan tatapannya dari Beby, Shania balik meminta pada tante Ana.

Tidak ada yang bisa menghalangi keinginan Shania. Mereka menyerah, membiarkan Shania menemani Beby. Duduk disebelah kiri Beby. Mama ditemani Papa keluar dari ruangan; Melody dan Ve duduk di sofa yang ada didalam ruang rawat; Mama masih duduk disebelah kanan Beby, beliau tidak mau beranjak dari tempat itu.

Hingga jam dinding menunjuk waktu dipertengahan malam. Melody, Ve dan juga Mama sudah tertidur, karena kapasitas tubuhnya tidak bisa lagi menahan rasa lelah. Sedangkan Shania, dia masih membuka matanya, menemani Beby.

'Apa yang kamu pikirkan? Kenapa harus kamu?' Mata Shania hampir tidak bisa berhenti meneteskan air mata, setiap melihat Beby dan menarik memory kemarin-kemarin sebelum dia tahu kalau Beby lah yang jadi pendonor.
'Aku harusnya tahu! Hari itu...' Shania mengingat ketika dia diajak Beby ke Cianjur, ketaman sakura.
'Kamu begitu jelas memberitahukan kenekadan kamu, tentang penglihatanku. Tapi aku? Aku yang terlalu takut ada didasar kegelapan, tidak sama sekali peka akan hal itu!' . . .
'Kamu gak boleh pergi gitu aja! Kita akan selalu sama-sama kan? Kamu akan selalu temenin aku. Dalam setiap suka dan duka di cerita kehidupanku! Kamu udah janji itu!! Kamu harus sembuhhh...'
Bersama dengan harapan diucapan yang dia lantunkan dalam lubuk hatinya, Shania tertidur, dengan tangannya tidak dia lepaskan dari tangan Beby.

' “emm… Hai Beby, nama aku Shania... Beby, mau main gak sama Shania? Mau yah!”

Tanpa banyak pertanyaan, Shania kecil segera memperkenalkan dirinya dan sok akrab dengan Beby kecil, lalu meraih tangan Beby dan membawanya masuk ke dalam rumah.

Gadis kecil yang saat tersenyum matanya hilang itu, menggenggam hangat tangan gadis kecil lainnya yang jika tersenyum, bisa terlihat lesung pipi yang membuat senyumnya terlihat sangat manis.

Tapi kemudian... genggaman itu terlepas! Shania kehilangan Beby yang tadi dia tuntun dibelakang.
"Beby? Kamu dimana?.." Shania celingukan.
"Beby!? Kita kan mau main sama-sama! Kamu dimana..? Beby...!" Shania kembali mencari dengan mulutnya terus memanggil Beby. '

Hingga tanpa dia sadari, panggilan yang dia lakukan dalam mimpi, sampai di kenyataan. Shania terus menggumamkan nama Beby, dia terus mencari keberadaan Beby kecil yang lepas dari genggaman eratnya.

"Shania...?"
Tante Ana memegang lembut bahu Shania yang masih tertidur.
"Sayang! Bangun.. Shania..?"
Tante sempat khawatir melihat Shania yang terus memanggil Beby, dengan suaranya perlahan berubah serak.

Melody dan Ve yang belum bangunpun jadi terbangun karena tante Ana terus berusaha membuat Shania bangun dari mimpi yang sepertinya buruk.

"Dek? Bangun!... bangunlah!!"
Giliran Ve yang mengguncang.
"Beby!" Shania membuka matanya dengan diikuti panggilan pada Beby.
"Kamu kenapa?" Ve melihat wajah Shania dibasahi keringat.
Shania tidak menjawab. Dia yang bangun dari kuntitan mimpi buruk, segera melihatkan matanya kearah tempat tidur. Dari wajah tegang yang sudah bercampur keringat, perlahan berganti jadi wajah yang terlihat lega, ketika melihat dibangsal Beby masih ada, dan genggaman dia semalampun tidak terlepas dari Beby.

"Kamu kenapa, Nak?" Lembut Mama mengelus rambut Shania.
"..Shania gak apa-apa tante. Itu cuma... mimpi!" Jawab Shania tanpa memberitahukan mimpi yang mengejarnya itu sebuah mimpi yang menurutnya adalah mimpi buruk. Mimpi yang Shania rasakan pernah dia alami sebelumnya, Beby hilang meninggalkannya, tapi tidak tahu Beby pergi kemana!. Shania menatapkan tatapan nanarnya pada Beby yang masih istirahat.

Tante memberikan pelukan penenang untuk Shania, "Kembalilah.. keruangan kamu. Istirahatlah dengan benar, sayang. Kamu pasti terlalu lelah!" Diikuti ucapan.
"Shania gak mau,-"
"Kamu juga butuh istirahat. Kalau kamu tiba-tiba ngedrop? Bagaimana kamu mau jagain Beby?" Tante masih melakukan negosiasi dengan Shania yang tetap bersikeras.
"Kembalilah keruangan kamu. Nanti, setelah sarapan.. kamu kesini lagi, temenin lagi Beby. Ya?" Akhirnya... ucapan Tante Ana berhasil juga. Kali ini Shania mendengarkan. Perlahan.. dia melepaskan genggamannya dari Beby, dan pergi bersama Ve menuju ruangannya.

Diruangannya sendiri, Shania yang sudah berbaring diatas bangsalnya, memang memejamkan mata, namun.. dia tidak benar-benar tidur. Pikirannya masih menggambarkan mimpi yang tadi dia dapat.
'Jangan biarkan aku kehilangan dia Tuhaan! Masih banyak yang ingin aku bagi dengannya!! Aku akan selalu butuh dia.. !!!' Lantunan doa, tidak henti Shania utarakan.
Hanya bisa berharap dalam doa, untuk kisah hidup yang akan dia lakoni, setelah mendapat peglihatan baru dari seorang sahabat yang dekat dengannya.

Selesai sarapan yang telat (Sarapannya jam 11. Sekembalinya dari ruangan Beby, Shania yang gelisah tidak bisa melanjutkan tidurnya, ternyata malah ketiduran hingga dia terlihat begitu nyenyak, dan tidak ada satupun yang berani membangunkannya karena kasihan). Shania segera kembali keruangan Beby. Baru dia akan masuk, langkahnya malah terhenti. Karena Shania bisa mendengar suara beberapa orang sedang bicara. Dia mendongakan kepalanya melihat kedalam, bisa Shania lihat, ada Cindy dan teman-teman lainnya, termasuk Ochi. Beby sendiri sudah sadarkan diri, dia sedang bicara sama yang lainnya, entah apa yang dibicarakan, karena Shania tidak bisa mendengarnya. Tapi terlihat dari raut muka masing-masing orang yang ada didalam ruangan itu, sangat sedih. Mungkin mereka iba dengan kondisi Beby saat ini, kondisi yang tercipta karena dirinya.
'Aku udah menyusahkan kamu. Aku gak pantas, kamu sebut sahabat! Aku malu sama kamu, aku malu sama diriku sendiri!!'
Shania memaki dirinya sendiri. Dia belum berani masuk keruangan itu. Karena takut pada pandangan yang akan diperlihatkan teman-teman lainnya, pada dirinya.

"Kenapa diam disini?" Ve datang menepuk lembut pundak Shania. "Bukannya.. kamu mau lihat Beby? Dia udah siuman tuh!" Lanjut Ve.
Shania diam mematung, dengan wajahnya begitu menyedihkan.
"Dek..?" Panggil lembut Ve, dia bisa melihat wajah muram Shania. "Kamu kenapa?.. Kenapa wajah kamu sedih?" Tanya Ve.
"Shania gak pantas untuk ada di dekat Beby, Kak!" Dalam tundukan wajahnya, Shania bicara.
"Kenapa kamu bicara seperti itu?" Ve lebih mendekat pada Shania.
"Shania memalukan Kak. Shania udah bikin Beby susah, padahal... Shania jauh lebih kuat dari Beby. Tapi,.. malah Beby yang menolong Shania! Dan Shania sendiri? Shania gak berguna Kak, Shania gak bisa ngelakuin apapun buat Beby! Shania itu.. benar-benar gak berguna. Bisanya cuma menyusahkan, Kak!!" Shania terisak, Ve segera memberikan pelukan untuk menenangkan adiknya yang sedang merasakan perasaan bersalah dan perasaan lainnya yang sedang mengguncang hatinya.
"Udah.. Jangan bicara seperti itu sama diri kamu sendiri. Ini.. ini apa yang Beby mau, yang Tuhan restui. Ucapan kamu bisa bikin Beby terluka, dan bahkan dia bisa marah, kalau mendengarnya."

Shania masih terisak dipelukan Ve, dia yang begitu ingin menemui Beby jadi urung, karena lintasan dalam pikirannya membisikan sesuatu yang.. terdengar begitu memalukan bagi dirinya sendiri

4Hari lebih.. Setelah kenyataan itu terkuak. Beby yang kondisinya tidak lagi bisa, lebih baik dari sekarang, hanya tinggal didalam ruangan itu. Menghabiskan setiap harinya, dengan berbaring dan menatap kosong kearah langit-langit, atau.. berjalan diarea tidak jauh dari rumah sakit... rumah sakit.. dan rumah sakit! Itupun dibantu Mama, Melody, dan Shania juga. Dia memang sudah tidak bisa melihat disisa waktunya kini, namun Beby.. masih bisa, dan bahkan jadi jauh lebih peka akan apa yang dirasakan oleh orang-orang disekitar, untuk dirinya, lewat hati.

Tekanan dalam suara itu... Senyuman yang tidak terlihat itu... sangat bisa Beby rasakan. Kepedihan dan kesedihan selalu mereka tutupi ketika mereka duduk disebelah Beby. Termasuk Shania!

"Mau sampai kapan? Kamu terus nangis kayak gitu?" Tanya Beby pada Shania yang duduk disebelahnya.
"...Aku... aku gak nangis kok!" Jawab Shania sok tegar.
Beby tersenyum, dengan pandangannya tetap kedepan, "Masa? Yakin gak nangis? Kalo kamu gak nangis, terus itu apa?"
"Apa?" Balas Shania dalam ketidak mengertiannya, tentang apa yang diucapkan Beby.
"Aku emang gak bisa lihat dengan kedua mata aku ini. Tapi, aku masih bisa lihat.. dengan mata hati aku."

Mata kiri Shania meneteskan air mata,.. air mata kesedihan.

"Kamu tahu? Setiap kali aku memejamkan mataku yang hanya mengenal kegelapan ini, yang terlihat didalam pelupuk mataku adalah.. kamu! Kamu yang.. menyia-nyiakan apa yang sudah aku berikan. Kamu yang selalu menitikan air mata pertama dari mata sebelah kiri kamu!"

Shania hanya diam dalam alunan nafas sedihnya.

"Bukan itu yang aku mau lihat. Yang aku mau, saat aku pejamkan kedua mataku.. aku melihat dipelupuk mataku itu, seseorang yang sudah membuat aku kuat. Lebih kuat dari sebelumnya. Karena aku juga ingin.. seperti itu untuk kamu. Membuat kamu jadi gadis yang kuat, tidak membiarkan mata kamu terus dibasahi air mata kesedihan."

"...Berhentilah bicara seolah kamu tahu dan bisa mengerti tentang apa yang aku rasakan. Aku.. aku gak sekuat yang kamu pikir! Aku tuh lemah, aku.. memalukan. Kamu tahu kenapa? Karena.. Jangankan untuk menolong kamu, untuk nolong diri aku sendiri aja.. aku gak bisa. Aku gak pernah tahu, apa yang harus aku lakukan untuk bertahan dalam kegelapan itu! Sampai... kamu yang harus nolong aku!!" Shania menangis mengakhiri curahannya.

Beby bisa merasakan, sangat merasakan kesakitan di tone pita suara Shania. Meski dia melakukan pencangkokan retina matanya dengan keikhlasan dan ketulusan yang benar-benar ikhlas dan tulus, tapi untuk Shania yang menerima... tidak bisa begitu saja dia terima. Shania merasa, kesembuhannya tidak jauh lebih baik dari waktu dia masih sakit dalam ketidakmelihatannya.

"Aku... aku lebih baik kembali dalam kegelapan itu, Beby. Aku gak mau lihat kamu lebih dalam lagi ada dalam penderitaan kamu!" Dengan sorot mata penuh kesedihan, dan genggaman tangannya. Shania melantun mengeluarkan kepedihan yang dia rasa.

Selalu... seperti hari-hari sebelumnya, setelah Operasi. Dia selalu menangis, menyesali apa yang sudah Beby berikan untuknya.
Selalu... seperti hari-hari sebelumnya, setelah Operasi. Dia mengeluarkan kalimat sesalnya, atas apa yang sudah Beby lakukan padanya, tanpa ijin.. dan bahkan tanpa sepengetahuan dirinya.

".. Jadi? Apa yang udah aku lakuin, buat kamu.. itu gak pernah berarti apapun!"
Dengan tatapan yang Beby coba arahkan pada Shania, dia menanggapi untaian kalimat Shania, yang selalu terdengar sama.
Shania menggeleng tanpa terlihat oleh Beby,
"Kenapa diam? Ucapanku benar kah? Kamu tidak pernah mau menghargai apa yang sudah aku berikan. Apa kamu.. udah gak nganggep aku sebagai sahabat kamu lagi!?"
"...Eenggak, gak gitu..." Shania kembali menolak opini Beby.
"Terus? Apa arti dari ucapan kamu tadi?.. Karena buat aku, ucapan kamu itu.. adalah sebuah penolakan dan cara pandang kamu, yang sama sekali tidak menghargai apa yang sudah aku lakukan buat kamu."

Beby terus memainkan perasaan Shania, dengan maksud membuatnya sadar dan juga menerima apa yang sudah dirinya berikan. Tidak perlu lagi ada rasa bersalah, sesal, bahkan sedih atas apa yang sudah Beby berikan padanya.

Shania jadi merasa terpojok, dan perasaan tidak enaknya semakin terasa menjadi, "Akutuh... aku cuma... aku!-" Tangisannya malah menjadi "
"Karena aku sakit, kamu jadi merasa bersalah atas apa yang sudah aku kasih?.. kalau iya. Itu sama saja kamu menganggap aku lemah, terus mengasihani aku karena sakit ini! Dan.. menganggap aku, tidak bisa melakukan apapun, APAPUN! untuk orang-orang yang aku sayangi termasuk kamu!! itu yang kamu pikirkan?" Beby meluap, membawa Shania keujung sesal dan bersalahnya, tapi dengan maksud menyadarkan.
"..Bukan.. bukan itu, Beby. Jagan bicara lagi! Bukan itu maksud aku..!" Dengan menggeleng Shania membalas pojokan Beby. "Aku cuma.. Aku cuma merasa, aku gak ada gunanya buat kamu yang selalu bisa melakukan apapun buat aku. Bahkan, didalam rasa sakit kamu! Aku malu sama kamu, sama yang lainnya, sama.. sama diri aku sendiri, yang..,-"
"Kamu nyuruh aku buat berhenti bicara kayak gitu! Maka.. aku juga berhak dan bisa bicara sama kamu, untuk kamu berhenti menangis dan menyesali apa yang sudah aku berikan."
Beby memotong penjelasan Shania yang dalam kebingungan, kesedihannya.
"Tegakkanlah kepala kamu, kamu tidak perlu malu untuk apa yang sudah kamu terima. Kamu juga gak perlu merasa tidak berguna karena kamu, tidak bisa melakukan apapun buat aku. Karena aku merasa.., kamu udah, dan bahkan sering melakukan sesuatu untuk membuat aku tegap berjalan, selalu melihat kedepan, membuat aku tersenyum hingga tertawa begitu bahagia, menikmati dan menjalani hidup dengan penuh keceriaan, sampai.. kamu bela-belain jual mobil kamu agar aku bisa di operasi, hingga kamu sendiri... kamu jadi kehilangan warna dimata kamu. Kalau kamu merasa malu untuk apa yang sudah aku berikan! Bagaimana dengan aku?" Ungkapan Beby berhasil membuat Shania merasakan kesejukan dari kepanasan yang beberapa hari kebelakang ini dia rasakan.
"Bukankah kita sahabat?.. kita ada, untuk saling melengkapi, bukan? Aku bisa merasakan kebahagiaan kamu, begitupun kamu. Aku bisa merasakan kesedihan kamu, begitupun kamu. Saat aku terluka, kamu datang ngobatin aku. Saat kamu sedih, aku ada menyiapkan bahuku untuk kamu jadikan sandaran. Saat aku berjalan, kamu ada disebelah aku. Saat kamu berlari, kamu ada menggenggam tanganku untuk ikut berlari sama kamu. Kita... melakukan semua hal, untuk bisa saling melengkapi, bukan untuk memperlihatkan siapa yang paling berguna dan gak berguna, siapa yang dipermalukan dan siapa yang membuat malu!"
Shania benar-benar ditusuk oleh Beby, disadarkan dari pemikirannya tentang masalah pendonoran yang tidak melibatkannya saat mengambil keputusan.
"..Aku minta... Jangan lagi kamu membasahi kedua mata kamu, dengan sebuah tangis sesal untuk apa yang sudah aku lakukan, untuk apa yang sudah Tuhan restui. Ini hidup kita, seperti inilah jalannya! Kamu mau kan, melakukan itu.. untuk aku?" Ucapannya diakhiri permintaan yang begitu tulus.

Shania tidak langsung menjawab pertanyaan Beby, dia malah mendekapkan tubuhnya pada Beby. Memeluknya dengan tangis masih mengiringi.
"Berjanjilah, untuk tidak lagi menangisi hal ini, Shania?" Kembali Beby meminta dalam pelukan Shania.
Shania akhirnya membalas dengan anggukan, diikuti ucapannya "Aku.. gak akan mau lagi membasahi mata kamu dengan tangis sesal dan kesedihan. Aku akan kuat, seperti yang kamu harapkan." Beby mengembangkan senyumnya, "Makasih untuk semuanya Beby... Makasih!"

1 bulan tak terasa berlalu bagaikan hembusan angin. Shania sudah bisa pulang dari rumah sakit, dia bisa mulai kembali menjalani aktifitasnya. Setiap hari, Shani selalu menemui bahkan menemani Beby hingga malam. Dia selalu ada disamping Beby, mengikuti setiap langkahnya, membagi setiap ceritanya lagi saat disekolah, atau cerita lainnya, dengan.. atau tanpa Beby mendengarkan ceritanya. Karena Beby sudah tidur, atau Beby sedang tertidur dalam kondisinya yang memprihatinkan.

Memang masih ada, rasa sedih itu menelusup relung hati Shania, kala dia berhadapan dengan Beby. Apalagi, jika Beby tiba-tiba bereaksi dengan sakitnya, membuatnya kembali bergelut dengan maut, mempertahankan kehidupannya. Kesedihan dan kepedihan itu, semakin membuat sakit. Saat Beby bangun, Shania selalu memasang senyum sedikit untuk menyamarkan keadaannya. Meski Beby tidak dapat melihatnya.

Sementara Beby.. ? Kondisinya yang terus dan terus dan terus- memburuk. Apalagi setelah operasi transplantasi kornea, Beby jadi semakin rapuh dalam kelemahannya. Sudah beberapa hari ini, dia tidak bisa menuruni bangsalnya, karena kondisinya yang sedang dibawah, jauhhh dibawah kata stabil. Hingga Dokter, datang membawa kabar. Dia mengatakan pada Mama, kalau Beby masih memiliki kesempatan untuk di Operasi ... dan sekaranglah saatnya. Dia sudah bisa melewati 1 bulan masa pasca operasi pencangkokan retina matanya, meski sesekali reaksi tubuhnya terhadap kanker terlihat cukup menghawatirkan, namun begitu, sudah ada jarak yang cukup untuk Beby kembali masuk ruang operasi, melawan sel kanker yang sudah terlanjur menyebar dalam tubuhnya. Meski presentase kesembuhannya itu kecil.

Malam menjelang, Shania menginap dirumah sakit, seperti hari-hari sebelumnya, malam dimana keesokan harinya dia libur, dia pasti menginap menemani Beby.

Jam didinding sudah ada di angka 9 malam. Beby seharusnya sudah tidur, mengistirahatkan tubuhnya. Tapi ini? dia malah masih membuka matanya, berbaring dibangsalnya, dengan Shania duduk menemani. Sementara Mama sudah tertidur diatas sofa.

"Kamu belum tidur?" Tanya Shania yang masih melihat Beby membuka matanya.
Beby menggeleng, "Aku belum mau tidur. Aku masih mau main!" Jawab Beby, membuat Shania mengerung.
"Main?"
"Iya, Main!... Main dimemory yang dulu. Rasanya menyenangkan!" Jawab Beby sembari senyum.
Shania merasa sedih mendengar jawaban Beby.
"Masih ingat gak? Tempat favorit kita di Jogja?" Beby melantun. Shania mengangguk tanpa terlihat Beby.
"Aku kangen tempat itu. Aliran sungainya, hembusan anginnya, apalagi kalau hujan, terus... ada pelangi! hm.. indah banget!" Katanya mengenang.
"Kalau gitu, kamu harus cepat sembuh! Biar kita bisa kesana lagi. Ke sungai, diam diatas jembatan, berbaring dilapangan basket komplek, mandangin pelangi setelah hujan!" Beby melamunkan apa yang diucapkan Shania. "Gak perlu Jepang. Kita balik aja nanti ke Jogja pas kuliah! Kita belajar disana, buka usaha.. dan jadi pengusaha, biarlah guguran sakura, kita rasakan disini. Menemani setiap cerita dari perjalanan kisah hidup kita, kesuksesan kita membangun jalan menuju impian terbesar kita!"
Beby tersenyum, "Masih ingat aja sama impian itu!?" Ucapnya, mendengar untaian kalimat Shania tentang mimpi jadi pengusaha. Impian yang mereka rencanakan, kala di Jogja.
"Mimpi itu tak mudah dilupakan, selama apa kita menyimpannya, selama apa kita bisa sampai di mimpi itu,.. tidak akan pernah bisa kita mengubur untuk melupakan impian, untuk alasan apapun! Mimpi yang bikin kita hidup, dan berjuang dalam kehidupan untuk meraihnya. Itu kan yang kamu bilang sama aku?" Kata Shania, dengan sorot mata kesedihan.
"Meski ada yang harus kita korbankan untuk meraih mimpi itu!.. dan... sekalipun mimpi itu sendiri yang harus jadi korbannya!" Beby melanjutkan ucapan dirinya untuk Shania, dulu saat mereka masih di Jogja, berseragamkan Putih-Biru.
"Satu mimpi bisa hancur, tapi sejuta mimpi lain.. akan muncul, menjadikan kita lebih kuat!" Shania menyelesaikan kalimat terakhir dari Beby untuk dirinya waktu dia sempat tejatuh dari mimpinya.
"Aku akan selalu butuh kamu, Beby. Aku gak mau kehilangan kamu!" Shania terdengar serak.
"Aku gak akan hilang dari penglihatan kamu, aku akan selalu ada didekat kamu. Kamu yang akan selalu menjaga aku! :'-)" Beby membalas, Shania menggenggamkan tangannya membungkus tangan Beby.

"Eh ya?.. kira-kira, kabar Aji sama Subhan, gimana ya? Udah lama aku gak denger kabar mereka!" Suara Beby membelah, kesedihan diwajah Shania, kediaman dalam sedih antara dia dan Shania.
"Subhan sama Aji ya..? hm.. entahlah, Beby! Aku gak pernah ngehubungin mereka" Jawab Shania dengan tangan kanannya dia pakai mengusap air mata.
"Kamu.. masih suka sama Subhan?" Pertanyaan Beby kali ini membuat Shania melebarkan bola matanya.
"Eh?" Respon refleks Shania, saat dia masih menyeka bekas air mata.
"Kenapa 'Eh'? Masih suka ya, iya kan?" Beby masih sempat menggoda Shania.
"Udahlah. Kamu apaan sih? Malah ngebahas Subhan lagi. Kamu sendiri? Aji gak pernah kamu terima ya?!" Giliran Shania membalas.
"Hah? Aji!?" Tanpa Beby sadari, dia melebarkan senyumnya, saat mendengar godaan balik Shania.
"Iya.. Aji, yang suka banget sama 'Beby-gue', haha" Ledek Shania dengan menirukan suara Aji. Beby yang dalam kedipan matanya terlihat lemah, ikut tertawa renyah.
"Tuh kan ketawa! Seneng kan, dipanggil gitu sama Aji?" Malah Shania yang gencar menggoda.

"Kamu udah gak marah kan? Sama Subhan!?" Beby menyetop senyum segaris Shania, dengan pertanyaannya. Dia jadi berasa ditarik kesaat dirinya membenci Subhan, dan juga Beby.
"Aku.. Aku malu! Bukan aku yang harusnya marah sama Subhan, dan.. sama kamu juga! Tapi, harusnya kalianlah yang marah sama aku. Karena udah seenaknya menuduh kalian!" Sesal Shania menjawab. Beby yang mendengar jadi merasa tidak enak, karena bukan itu inti dari pertanyaannya.
"Aku gak ada maksud kearah sana, Shania. Aku cuma,... Aku mau kamu maafin Subhan, dan.. terima dia buat jadi pacar kamu!"
"Aku gak mau ngebahas itu Beby! Aku lebih ingin, lihat kamu sembuh. Sembuh total! Dan aku juga mau, kamu bisa kembali melihat!!" Shania memang sempat memikirkan apa yang diinginkan Beby. Tapi dia lebih ingin.. kesembuhan Beby!
"Aku mau, ada seseorang yang akan jagain kamu, jika nanti aku pergi! Menguatkan kamu, memberitahu kamu, memperlihatkan sama kamu, kalau kamu berhak untuk hidup bahagia. Ada disamping kamu, saat kamu dalam kesulitan! Dan seseorang itu.. Subhan. Aku percaya sama dia. Dia bisa jagain kamu!!" Tutur Beby, membuat Shania kembali sedih mendengar apa yang di ucapkan untuknya.
"Kamu gak akan pergi, aku gak akan biarin kamu pergi. Kita akan sama-sama, saling melengkapi dalam mengarungi sungai kehidupan. Untuk mencapai impian. saling berbagi dalam Kegagalan, keberhasilan, kesedihan, keceriaan, masalah, dan kebahagiaan. Kita akan selalu jadi Pelangi dalam Sakura. Kamu masih ingat itu kan?" Shania menarik paksa Beby mengingat ikrar mereka saat sedang menyaksikan indahnya pelangi di tengah luasnya lapangan basket komplek.
"Tidak akan pernah aku lupakan hal itu. Meski nanti aku pergi, aku akan tetap jadi Pelangi, saat kesedihan menghampiri kamu, dan aku juga tetap akan jadi guguran Sakura, saat kamu merasakan kebahagiaan. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, meninggalkan kalian.. yang aku sayangi!"

Malam ini.. tidak seperti malam-malam kemarin. Beby masih belum tidur, padahal sudah masuk 10.30 malam. Dan dia terlihat.. 'baik-baik saja', bicara ini~ itu~, membahas dirinya dan Mama, membahas Shania dengan Mama, Papanya. Dan juga.. Shania dengan Ochi. Beby meminta pada Shania untuk bisa memaafkan dia, untuk apa yang dulu pernah Ochi lakukan. Dengan memberikannya pengertian tentang posisi Ochi, Beby terus meminta, hingga akhirnya Shania berjanji untuk memaafkan Ochi dan kembali berteman dengan dia yang juga sama kesepian. Sama diposisi Shania saat dia ditinggal-tinggal Papa, Mama, hingga Ve.

"Udah ya, ngobrolnya. Kita tidur! Udah terlalu malam. Aku gak mau kamu kecapean. Besok kamu di operasi, kamu harus persiapkan kondisi tubuh kamu!" Shania membujuk.
"Hemph! Ya udah deh, aku tidur. Mama gak bangunkan, Shania?" Jawabnya dengan tanya untuk Mama.
"Enggak! Mama tidur, keliatannya lagi pulas banget. Sekarang kamu yang harus tidur!"
"Iya, Suster! Aku tidur!!" Balas Beby sedikit meledek.

Beby memejamkan matanya untuk tidur, tapi... dia sama sekali tidak bisa tertidur, entah apa yang menguasai pikirannya hingga saat dia memejamkan matanya untuk istirahat, dia tidak bisa tidur. Kegelapan dan keheningan diiringi detak jantungnya sendiri, didalam ruangan, yang sudah menjadi rumah kedua bagi dirinya, menjadi temannya kini. Beby bisa tahu, kalau Shania yang ada disebelahnya sudah tidur. Tangan Shania memegang erat tangan Beby, meski dia sudah terlelap, dia sama sekali tidak melepaskan genggamannya.

'Tuhan! Aku minta maaf.. karena aku sudah menyimpan kemunafikan dalam hatiku. Senyum itu.. sebenarnya hanya sebuah tangis, tangis dari kepedihan dan ketakutan yang aku rasa dari luka yang sedang Engkau titipkan.'

Beby melantun dalam hati. Malam ini.. dia begitu merasa akan.. akan jauh, dari mereka.. yang mengenalnya, yang menyayangi dan dia sayangi. Atau... mungkin hanya perasaan gelisah saja, karena besok dia akan menjalani operasi. Sebuah jalan yang diharapkan akan menjadi jalan kesembuhan untuk dirinya.

'Aku tahu, ini pasti yang terbaik untukku. Meski, jujur.. bukan ini yang aku inginkan. Bukan seperti ini jalan hidup yang aku impikan. Tapi kembali aku tersadar, ini semua... pasti! Jalan terbaik dari-Mu untukku, untuk hidupku yang tidak sempurna!'. . .

'Engkau lebih tahu, Tuhan. Aku hanyalah manusia biasa, yang bisa takut pada ketakutan, yang bisa bahagia dalam kebahagiaan. Karena aku bukanlah malaikat! Yang bisa selalu sabar dan tersenyum meski kepedihan mendera!! Maaf~ karena aku sudah munafik, mencoba menghibur mereka yang aku sayangi.'
Sudut mata yang sedang dia tutup mengalirkan air mata.
'Kalau masih boleh aku meminta? Aku mau,.. Jagalah selalu mereka untukku. Hiasilah selalu wajah mereka dengan kebahagiaan. Jangan derakan penderitaan untuk mereka yang aku sayangi, terutama Mama. Jangan biarkan, air mata itu kembali jatuh dari kedua mata Mama! Aku hanya bisa meminta dan memohon pada-Mu Tuhan. Dengarkanlah permintaan kecilku ini " . . .

Beby perlahan mulai memasuki alam tidurnya.

'Aku pasrahkan dan serahkan semunya pada-Mu, Tuhan.,... Tuntunlah aku untuk kembali pada-Mu dalam kesucian!'. . .

Pagi hari~ Ini hari yang mereka tunggu, hari dimana mereka yang mengenalnya dan begitu menyayanginya, menggantungkan harapan pada apa yang mereka yakini. Harapan untuk kesembuhan Beby, dari satu rasa sakit yang sudah menjangkit tubuhnya.

Shania yang semalam tidur lebih dulu dari Beby, kini sudah bangun. Dia melamun didepan teh hangat buatan tante Ana. Mimpi itu-- mimpi yang sama yang selalu meghantui tidurnya akhir-akhir ini, kembali dia alami. Dia pergi dengan Beby, tapi ditengah jalan.. genggamannya lepas, dia tidak tahu kemana Beby yang sebelumnya ada dalam tuntunannya, pergi. Karena dia tidak bisa melihat Beby, tidak sama sekali!

Shania melihat kearah Beby, dia berjalan untuk kembali duduk disebalah Beby yang sekarang masih tidur. Tanpa terasa, tanpa tahu jelas penyebabnya, tiba-tiba Shania menjatuhkan air matanya, saat melihat Beby.
'Kenapa rasanya sakit banget!' Keluh Shania dalam hati. 'Bukan perasaan kayak gini yang harusnya aku rasakan. Beby akan sembuh, dia akan menjalani operasi!'

Shania tersentak kaget, ketika tangan tante Ana menepuk kecil pundaknya.
"..Tttante...?" Ucapnya, kaget.
"Kamu kenapa, Nak? Kok kamu nangis?" Segera tante Ana bertanya, melihat wajah Shania yang sudah ditetesi air tawar dari matanya.
"Ah? em-- enggak tante, Shania gak apa-apa kok. Ini cuma.. cuma keharuan bahagia, karena Beby kan, akan segera di operasi tante." Jawabnya dengan senyum kecil mengikuti.
Mama menatapkan pandangannya pada Beby.
"Semua... akan berjalan sesuai dengan apa yang kita yakini., ... semoga!" Harap Mama.
Shania ikut meng amini dalam hati, dengan matanya tidak dia lepaskan dari Beby.
"Kita sarapan dulu, ya? Tante udah beliin makanannya dari kantin, tadi!" Shania mengangguk dan mengikuti tante Ana.

Saat sedang menikmati sarapannya, Shania teringat percakapannya semalam dengan Beby. Percakapan mengenai.. Aji dan Subhan! Dia memang belum memberikan kabar apapun pada mereka berdua, entahlah dengan yang lainnya (Cindy atau Melody). Shania mengeluarkan Touchphonenya, dia berpikir sejenak, lalu... mengetikan sebuah pesan, yang dia tulis lewat email. 1pesan untuk 2penerima, ia memberikan kabar mengenai Beby, pada Subhan dan juga Aji. Dengan diakhir pesannya Shania sangat berharap kalau mereka berdua bisa datang menjenguk Beby. Selesai dan sudah terkirim, pesan yang dia rangkai dengan kurang lebih 448 huruf yang sudah terangkai jadi kalimat. Tinggal menunggu, bagaimana respon dari mereka berdua!

'Ini waktunya! Tabahkan aku Tuhan, bimbinglah aku saat akan menghadap-Mu!'
Beby yang sudah bangun, dan merasakan sakit dikepalanya, melantunkan doa pagi, yang lebih seperti... kepasrahan akan apa yang dia alami di jam berikutnya.

Mimpi semalam begitu nyata untuknya! Dia bisa melihat... Melihat Mama, Shania, Melody, Ve, Cindy, tante Rose, melihat mereka semua. Tapi,.. dia tidak bisa mendekatinya. Hanya berdiri diseberang mana, entahlah Beby pun tidak tahu. Dia menangis, karena tidak bisa menggapai mereka. Namun, tangisnya terhenti saat seorang pria yang begitu tampan, mengenakan pakaian berwarna putih, mendekat kearahnya lalu diam disebelahnya. Pria itu... Papa! Ya! Itu Papanya Beby. Beliau datang memberikan senyuman khas seorang Ayah, yang begitu lama tidak pernah Beby lihat. Beby seketika menangis, menangis karena tidak bisa mendekati Mama, Shania, Melody, Ve dan yang lainnya. Menangis karena bisa lagi bertemu dengan Papa.

Air mata Beby jatuh, ketika dia bisa mengingat betul apa yang dia ucapkan pada Ayahnya, apa yang diucapkan Ayah untuk dirinya.
'Papa! Beby kangen sama Papa.. Beby takut Pah, Beby takut kehilangan mereka!' Ucapnya dengan tangis mengiring.
'Kamu gak perlu takut, kamu juga gak perlu menangis sayang. Suatu hari nanti.. kamu akan bisa kembali bersatu dengan mereka! Seperti sekarang, kamu bisa ada di dekat Papa!' Lembutnya suara itu sambil menyeka air mata Beby.

Beby yang melamun dialam nyata, refleks memegang pipinya yang semalam dipegang Papa.

'Kita.. akan menjemput mereka kelak. Seperti Papa... menjemput kamu!, Senyumlah, Papa rindu dengan senyum manis kamu!'

Beby masih merasakan pelukan itu, merasakan tubuh tegapnya Papa yang dia basahi dengan air mata.

Kejadiannya memang dalam mimpi, tapi semua terasa nyata. Begitu nyata! Hingga Beby begitu kuat mengingat mimpi itu, merasakan setiap hembusan nafas Papa, mengiangkan setiap ucapan Papa, menggambarakan wajah Papa yang begitu damai tanpa ada rasa sakit.

'Beby akan menjemput kalian, seperti Papa menjemput Beby!... kuatkan mereka Tuhan, jangan biarkan air mata diwajah mereka mengiringi kepergianku terlalu lama!'

"Hei.. udah bangun?"
Beby yang sedang melamun, seketika menggerakan kepalanya kearah kanan, karena dari sebelah sana dia mendengar suaranya Shania.
Beby langsung mengangguk untuk menjawab.
"Kamu abis nangis? Kenapa? Ada apa?" Shania bisa melihat jelas masih ada sisa dari air mata di wajah Beby.
"Ngerasain sakit lagi? Aku panggilin Dokter ya?" Shania bergerak, tapi Beby menguncinya dengan ucapan permintaan dalam tanya.
"Jangan! Aku enggak apa-apa" Bohongnya menjawab. "Emm.. Shania, mau temenin aku ketaman gak?" Beby melanjutkan ucapannya dengan tanya. Suaranya dia buat se Oke mungkin untuk menutupi rasa sakit yang sedang dia rasakan.
Shania mengerung, "Ke taman? Mau ngapain? Nanti sore kan kamu mau di operasi. Mending sekarang istirahat aja!" Shania memberikan penolakan, karena merasa... hatinya sungguh tidak enak, seperti akan.. ahh entahlah, dia mungkin terlalu paranoid, hingga hatinya menjadi tidak enak, merasa akan ada sesuatu yang tidak dia inginkan terjadi pada Beby.
"Justru karena nanti sore aku akan masuk ruang operasi, itu kenapa aku minta kamu temenin aku untuk jalan-jalan kesana. Aku mau menghirup segarnya udara, mendengar suara ceria dari anak-anak, mendengar obrolan mereka tentang kesembuhan dari sakit, mendengar harapan yang menyatu dengan udara, hingga asa dalam harap itu sampai di tempat Tuhan. Mereka yang juga sedang mengenakan pakaian yang sama dengan aku (pasien)." Beby kembali meminta, dengan penjelasannya. "Aku mau mengusir rasa takut dan... kejenuhan. Cuma taman disini yang bisa aku jangkau! Ayolahhh? Mau ya?!" rengeknya.

Sebelum melakukan operasi pencangkokan mata, Beby sempat diam disatu sudut taman rumah sakit tempat Shania dirawat, dan kini jadi tempatnya dirawat, duduk sendiri membayangkan jalan hidupnya, membayangkan semua harapan yang ia lantunkan dalam hati.

"Tapi, Beby.., diluar cuacanya lagi gak bagus, mendung. anginnya juga gak enak. Jangan ya? Aku temenin aja kamu disini, atau.. aku panggilin temen-temen lain ya? Biar disini rame, jadi kamu juga gak jenuh!" Dan, Shania pun kembali menolak.
"Jadi kamu gak mau nih, nemenin aku ke taman?" Beby malah langsung menyerang dengan ucapan yang cukup membuat Shania tersudut.
"Bukan gitu.. aku..,-"

"Beby gak akan berhenti merengek, kalau kamu belum mengabulkan apa yang dia mau." Mama datang memotong.

Beby mendengar suara Mamanya. Dia sedikit bertanya dalam hati, kenapa Mama terdengar memberi jalan. Biasanya... beliau yang lebih keras membuat tentangan atau halangan pada apa yang akan dilakukan dirinya kalau sekiranya itu tidak baik untuknya.

"Tapi tante,-"
"Gak apa-apa, cuma ketaman kan? sebentar disana terus balik.. lagi." Kata Mama, yang biasanya begitu protektif sama Beby.

Mama sudah ada disamping kiri Beby, mengelus lembut kepala yang sudah tidak berambut itu. Seperti merasakan apa yang Beby rasa, tentang waktunya yang.. terasa sudah mendekati, waktunya yang akan segera habis. Tentang penjemputan Papa dalam mimpi semalam. Mama menitikan air matanya, tanpa suara, beliau begitu menikmati wajah Beby yang terlihat tidak sakit, dan damai!.

Shania bisa melihat itu.. 'Kenapa tante nangis? Tante pasti.. merasakan apa yang aku rasa!' Shania mencoba menyelami wajah Mamanya Beby. 'Tuhan. Tepiskanlah rasa ini! Beby akan baik-baik saja, dia gak akan ninggalin aku, ninggalin kita semua! Aku takut, Tuhan!!' Hatinya terasa semakin perih, Shania rasakan.

"Temanilah Beby, Shania. Jalan-jalanlah ketaman itu. Kamu mau ya?" Dari masih menatap Beby diawal ucapan, tante Ana beralih melihat Shania diakhir ucapannya.
Shania akhirnya mengangguk..
"Iiiyaa.. tante. Shania akan temenin Beby!"

Beby yang semula heran, malah jadi haru. Ditambah, Shania yang luluh dan mau menemaninya ketaman.
"Makasih, Mah. Udah mau bantuin Beby! Beby.. sayang banget sama Mama!" Ucapnya pada Mama.
"Mama juga. Pergilah.. Mama mau kamu bahagia, nak."
Balasan Mama begitu terdengar.. menyakitkan. Beby memasang senyum yang dia ukir selebar mungkin agar terlihat baik. Menyambut ucapan Mama untuknya.

Beby sudah duduk diatas kursi roda, dengan Shania menjadi pendorongnya. Sebelum mereka keluar dari ruangan itu, Beby menyempatkan pamit pada Mama, dan untuk kesekian kalinya mengucapkan terima kasih dan rasa sayangnya untuk Mama.
"Beby pergi dulu ya, Mah. Mama jangan nangis terus. Nanti sore.. rasa sakit Beby pasti sudah hilang. Mama tenang aja!" Suaranya yang tenang, wajahnya yang terus dia hiasi senyum. Membuat Mama hanya bisa meletakan tangannya diwajah Beby. Membelainya lembut. Shania terdiam dalam sesaknya dorongan air mata dikedua matanya.
"Makasih Mah, untuk semua yang udah Mama kasih buat Beby. Semua yang terbaik dari Mama, sangat berarti buat Beby! Mama jangan terus nangis ya? Beby sayang.. sayang banget sama Mama!" Mama berjongkok, lalu memberikan pelukan untuk putri semata wayangnya.
"Kamu sangat berarti untuk hidup Mama. Mama cinta sama kamu, Mama sayang sama kamu, Mama akan tegar untuk kamu! Mamaaa.. sayang sekali sama kamu!!" Lirihnya dalam memeluk Beby.
"Kita akan sama-sama lagi, Mah. Beby sama Papa sudah janji... akan jemput Mama, nanti..!" Ucapan Beby membuat Mama begitu megeratkan pelukannya, hingga Mama tidak ingin melepaskannya.
Desakan air mata itu jatuh juga, Ucapan Beby begitu kuat menarik air mata Shania untuk keluar dari muaranya.

Melepas pelukan Mama, dan melambaikan tangannya lalu mengisyaratkan pada Shania untuk pergi dari ruangannya. Mama melihat kepergian Beby dengan Shania, matanya tidak henti meneteskan air mata.

"Kamu mau ngapain?" Shania segera kedepan kursi roda karena dia melihat Beby bergerak seperti akan turun dari kursi rodanya.
"Mau berdiri! Aku mau duduk dibangku itu! Masih ada bangku kan, disana?" Jawab Beby menunjuk kedepannya. Dimana ada sebuah bangku putih dengan disekitarnya terdapat tanaman hias yang begitu terawat.
"Iya. Disana memang ada bangku, tapi kamu kan gak perlu pindah duduk, udah disini aja, ya?" Ujar Shania, dengan maksud mengantisipasi kalau-kalau Beby merasakan sakit lagi, jadi dia tinggal mendorong balik kursi roda itu.
"Emang kenapa kalau aku duduk dibangku? Aku bisa sendirian kok turun dari kursi roda, terus duduk deh dibangku!" Tutur Beby.
"Emm.. nggak apa-apa sih, cuman..,-"
"Cuman kamu khawatir sama aku!" Beby memotong karena begitu mendengar dengan jelas kekhawatiran dinada suara Shania untuknya. Shania diam memandang Beby.
"Gak usah liatin aku dengan tatapan kayak gitu!" Shania yang memang sedang memandang jadi terperanjat, mendengar kata-kata Beby. "Aku gak mau dikasihani. Apalagi sama sahabat aku sendiri! Gak masalah, kalau kamu mau menghawatirkan aku. Tapi aku minta? Kamu jangan terlalu berlebihan dalam menghawatirkan aku. Kamu kan juga harus merhatiin diri sendiri!"

"Aku gak pernah mengasihani kamu. Percayalah! Aku emang menghawatirkan kamu, sangat. Semua kekhawatiran itu muncul karena aku terlalu takut!.." Shania berhenti sejenak. "...Takut kalau.. kalau kamu akan pergi ninggalin aku, sendirian! Aku gak mau kehilangan kamu. Kamu yang selalu tahu gimana aku!" Suaranya menyerak. Shania menundukan kepalanya.

Beby melukiskan senyum, "Sudah berapa kali aku bilang. Aku gak akan pernah ninggalin kamu. Aku akan selalu ada, disamping kamu, hidup didalam hati.. dan mata kamu!" Balasan dari Beby membuat Shania semakin sedih.
"Dan... kalaupun aku nanti pergi, kamu gak akan pernah sendirian. Banyak orang-orang disekitar kamu, yang begitu sayang sama kamu. Teman-teman, Papa, Mama, Kak Ve, bahkan.. Mama aku sama Bu Melody. Jadi kamu gak boleh takut lagi, ya?" Beby begitu terdengar dewasa, memancarkan sosok 'Kakak'.

"Udah ah! Kok jadi mellow gini. Aku kesini kan mau menggambarkan indahnya tempat ini! Sama.. Aku mau nikmatin waktu aku bareng sahabat aku dengan cerita indah dalam doa dan harapan, bukan dalam kesedihan dan ketakutan!" Ucap Beby dengan sedikit menarik sudut bibirnya untuk tersenyum.
"Aku mau duduk dibangku! Kamu gak akan halangin aku lagi kan?" Tanya Beby, sambil siap-siap.
"..Biar aku bantu!" Shania tidak menghalangi, malah memawarkan bantuan.

Dia berdiri dan membantu Beby turun dari kursi roda, memapah sedikit hingga Beby duduk dibangku putih itu, disusul Shania yang duduk disebelahnya.

"Shania..?"
"hem..?" Shania menjawab hanya dengan 'hem' nya.
"Boleh minta sesuatu, gak?"
"Apa?"
"Kasih tahu aku, gimana pemandangan disekitar sini?" Pintanya, membuat Shania teringat saat dia dibawa oleh Beby ketaman sakura di Cibodas sana.
Shania melihat sekeliling, dengan satu tarikan nafas yang cukup dalam, untuk mengeluarkan rasa sesak, agar suaranya tidak serak. Shania mulai melantun.
"Disini... langitnya gak berawan, mataharinya juga.. cuma keliatan samaran sinarnya, dia ngumpet dibalik kemendungan langit tuh. Langitnya mendung, tapi untungnya, bunga-bunga yang ditanam disini indah-indah. Jadi.. semendung apapun langit diatas, dibawah sini, dihadapan kedua mata ini, masih ada keindahan yang bisa membuat kedamaian. Warna-warna bunga itu.. bikin terang!" Lantunan Shania mampu membuat Beby tersenyum.
"Aku bisa merasakannya. Selain warna yang indah, baunya juga enak. Benar apa yang kamu bilang.. bikin damai!" Beby menanggapi.

Kembali. Denyutan itu.. denyutan yang terasa lebih hebat dari sebelumnya kembali Beby rasakan. Nafasnya yang mulai agak sesak, dia coba atur sebiasa mungkin, agar tidak membuat Shania cemas.

Beby yang tiba-tiba menyandarkan kepalanya dibahu kanan Shania, membuat Shania menarik kedua alis matanya, mengerung dengan pandangannya dia arahkan pada Beby. Hatinya kembali dihantui perasaan tidak enak itu, perasaan tentang.. kehilangan. Inginnya Shania bertanya kenapa, tapi dia jadi urung, karena tidak siap dengan jawaban yang akan diberikan Beby.

"Makasih... kamu selalu ada disebelah aku. Kamu selalu mau, meminjamkan bahu kamu untuk aku sandari!" Ucapan Beby yang tidak setinggi tadi tonenya, membuat Shania merasakan kepedihan.
"Makasih juga.. kamu udah mau... jadi sahabat aku! Kebersamaan itu.. meski terasa singkat, tapi kalau kita merasa bahagia dalam kesempitan waktu yang telah dilewati. Kenangannya akan sangat sulit dilupakan, iya gak?" Kata Beby, masih sempat menyelipkan tanya.

"Aku yang harusnya ngucapin makasih sama kamu!.. Semua Kenangan indah dalam kebersamaan, meski tidak akan pernah terulang untuk kesekian kalinya. Bukanlah sebuah goresan pensil yang bisa dihapus begitu saja!" Balas Shania, ingin membuat Beby diam.
"Sejauh apapun kita nanti, pada akhirnya... kita akan tetap bersama! Kenangan yang akan menjadi pengikat., . . . Meski, Kematian akan mengakhiri kontak fisik. Tapi,.. buat aku. Tidak ada yang pernah benar-benar berakhir! Perpisahan dengan cara apapun, hanyalah sebuah jeda waktu, sebelum kita nantinya berkumpul lagi!!" Bukannya Beby diam setelah Shania menanggapi, dia malah kembali berucap.
"Jangan bicara kayak gitu. Aku takut!.." Ujar Shania benar-benar ingin menghentikan ucapan Beby, yang seperti... sebuah rangkaian kalimat untuk pamitan.

"Kita kembali keruangan yuk? kayaknya bakal hujan!" Ajaknya kemudian. "Kamu kan juga harus persiapkan diri buat operasi yang tinggal beberapa jam lagi!" Shania menambahkan ucapannya, dengan menggerakan tubuhnya.

Bukannya Beby ikut menggerakan tubuh untuk bersiap balik keruang rawat. Dia malah mengunci Shania dengan ucapan yang membuat kepedihan itu semakin menjadi dan terasa nyata.
"Jika hasil operasinya, tidak sesuai dengan apa yang kita semua harapkan. Aku berharap, kamu bisa menerimanya dengan ikhlas"
"Jangan bicara seolah kamu tahu apa yang akan terjadi dalam hitungan waktu kamu berikutnya! Sama.. kamu juga gak boleh, mendahului kehendak Tuhan, dengan ucapan kamu itu!" Shania segera menjawab, dengan nada kesalnya. Karena dia ingin melawan bisikan dalam hatinya tentang Beby.
"Aku... *mulai tidak bisa mengendalikan sesaknya* .. aku.. gak ngeduluin kehendak Tuhan!... dan.. aku juga.. gak pernah tahu... apa yang akan... aku alami... disetiap.. perubahan waktu dalam perjalanan.. kehidupan aku!..." Shania yang sudah merasakan kepedihan sedari tadi, terlihat menjatuhkan air matanya. Entah sudah berapa kali air mata itu jatuh dari mata sipitnya, dan entah berapa kali juga, Shania menyeka untuk mengeringkannya.
"Aku tahu kamu kuat. Kamu... harus bisa... mengikhlaskan kepergian aku... Aku juga... mau minta sama kamu... titip... Mama. Jagain dia... sayangin Mama aku... seperti kamu.. sayang sama.. Mama dan keluarga kamu!"

"Cukup! Aku gak mau lagi denger kamu bicara seperti itu! Kamu harus kuat, kamu harus tunjukan sama Tuhan, tentang ketegaran kamu, dan ketidakmenyerahan kamu atas sakit yang Dia berikan!" Shania meradang bukan karena marah, yang benar-benar marah, tapi karena dia tidak mau lagi mendengar ucapan demi ucapan yang Beby lantunkan.

"Tuhan.. tidak pernah salah. Tidak perlu kita menunjukanpun... Dia sudah sangat tahu... akan apa yang kita usa...haka...n!" Balas Beby, suaranya yang semakin menurun membuat Shania ada diambang ketakutan terdalamnya.

Ditambah, detik berikutnya.. dia merasakan bahu yang sedang Beby sandari, basah, dan terasa dingin. Shania melihat dengan sudut matanya untuk tahu apa yang membuat bajunya basah, apa yang begitu terasa dingin ini. Air matanya menderas.. saat Shania bisa melihat apa yang ada dibahu kanannya. Cairan berwarna merah, mengalir dari hidung Beby, terlihat terus mengalir membasahi bajunya.

"Kita balik keruangan Beby! Kita harus balik sekarang juga!" Ucapnya dalam derasnya tangis untuk Beby.
"...Maa...aafin... aku.. Shania..., Maka..sih... untuk... semuanya... Terima... kaasihhh..." Seiring ucapan terima kasihnya, Beby merapatkan kedua matanya.
"Jangan tinggalin aku sendirian! Aku gak mau sendiri!! Bangunlahhh... aku mohon. Kamu harus kuat. Bangunlah Beby!!!"
Shania mengguncang Beby dengan tangan kirinya. Tapi, Beby tidak merespon. Dia Melakukan kontak fisik mengguncang Beby beberapa kali, sampai akhirnya Shania berhenti. Dia menghentikan guncangannya, lalu... menyandarkan kepalanya diatas kepala Beby, dengan air mata kesedihan dan kepedihan yang menemaninya kini.

Diam dalam posisi itu, Shania sudah tidak merasakan adanya kehangatan dikepala Beby. Tangisannya beriring dengan kenangan dulu saat menghabiskan waktu bersama Beby. Perlahan... Shania mengangkat tangan kirinya, dia memeluk Beby dengan sebelah tangan, karena yang Shania rasakan, Beby begitu dingin.
"Kamu.. akan selalu hidup! Hidup dalam hati.. dan mata aku!!" Shania malantun sendiri.
"Kamu akan ada.. disetiap perubahan warna dalam kehidupan aku! Kamu akan selalu dan terus.. jadi sahabat terbaik aku! Aku... sayang sama kamu..." Lirihnya dengan air mata yang tidak berhenti, dan pelukan yang dia eratkan. Pelukan untuk sahabat, yang selalu bisa menjadi Pelangi dan Sakura dihidupnya.

Yang tersisa dari hilangnya jasad seseorang untuk selamanya, adalah... Kenangan! Apa yang dilakukan selama hembusan masih jadi nadi utama kala menjalani kehidupan. Dari setiap gerakan kecil, hingga gerakan besar. Ucapan satu kalimat, hingga ribuan kalimat. Semua.. yang pernah dilakukan selama menjalani waktu yang dititipkan, hingga waktu itu habis. Itulah.. yang akan dikenang. Air mata kesedihan, jadi pengiring. Tancapan memory yang begitu kuat tidak akan begitu saja hilang, dari siapapun yang mengenal sosok yang sudah menjadi kenangan.

Diatas lahan yang ditudungi pepohonan rindang, semua orang yang sudah, pernah, dan sempat mengenalnya, berdiri. Melepas dia yang mereka sayangi. Tetesan air mata menjadi pengiring, tatapan sedih menjadi perekam, pakaian putih menjadi lambang perpisahan kala mereka semua mengantarkan Beby, ketempat terakhirnya. Mengantarkan Beby pada Papa yang sudah menunggu untuk menjemputnya.

Wajah mereka masih dinaungi kesedihan. Melepaskan itu mudah, mengikhlaskan.. itulah yang sulit. Setiap kenangan itu.. Setiap gerakan itu.. Setiap ucapan itu.. Masih bisa mereka rasakan, begitu kuat. Air mata kesedihan entah kapan akan pudar dari wajah mereka yang telah melepaskan.

Shania masuk kedalam kamar Beby, dia melangkah menjamah setiap sudut diruangan berwarna smooth blue, memutar setiap kejadian dulu, setiap kenangan indah dan berharga. Sampai dia melihat.. ada sebuah photo diatas meja disebelah tempat tidur Beby. Air matanya kembali menuruni lekukan kedua pipinya, saat dia bisa tahu photo itu. Photo yang diambil Ve dari belakang, ketika mereka berkunjung ke taman sakura, ketika Beby mencoba menghiburnya.
Air mata, perasaan yang tak tersampaikan itu terus jatuh dari tempatnya. Apalagi, waktu Shania membalikan photonya, yang ternyata memuat tulisan yang terangkai entah dari berapa ratus kata. Sungguh... hatinya merasakan kesedihan yang teramat sangat, saat dia membaca sebaris-demi sebaris tulisan tangan Beby yang begitu rapih itu. Tulisan itu dibuat, seolah Beby sudah sangat tahu kapan dia akhirnya akan pergi meninggalkannya, meninggalkan mereka semua. Tahu kapan Papanya akan datang menjemput!

Angin lembut musim semi disana melepas kepergianku, dengan guguran sakura memenuhi tempat peristirahatan terakhir. Semilir angin kasar musim hujan disini, menemanimu bersama pelangi, mengingat kepergianku.

Saatnya, kamu melangkah lagi, menapaki setiap jalan baru, yang dulu biasanya kita tempuh berdua. Arah kita sudah berbeda, namun tujuan kita tetap sama. Sakura tetap menemani disaat musim semi. Pelangi tetap mewarnai disaat musim hujan. Pelangi dan Sakura akan tetap jadi pengikat antara aku sama kamu. Meski sekarang kamu kehilangan aku, dan aku juga kehilangan kamu. Itu tidak akan merubah apapun! Kehidupan akan terus berjalan. Setiap rasa, asa, dan mimpi yang kita punya.. akan terus bergerak tak pernah berakhir. Aku akan selalu menemani kamu, karena aku... akan selalu hidup dalam mata dan hati kamu!

Jangan sia-siakan nyawa yang sudah Dia berikan. Sekalipun, banyak kesedihan yang dirasa selama masa penitipan. Yakinlah! Akan ada waktu dimana kebahagiaan muncul menghiasi. Karena Waktu berharga tak pernah kembali. Kenangan indah jarang terulang. Maka setiap masa yang sudah kita lewati akan menjadi saksi, ketika Tuhan kembali mempertemukan kita, untuk bisa lagi melihat...Pelangi dalam Sakura.

Untuk persahabatan kita~
Beby... Shania... 




Chrome Pointer