CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *17th Chapter*


...PELANGI DALAM SAKURA...
*17th Chapter

Percikan api semakin terlihat jelas, bermain dengan angin siap membakar tumpahan bensin yang keluar dari tank belakang. Shania dan si supir taksi sudah tidak sadarkan diri. Mereka kini, tinggal menunggu pertolongan yang berpacu dengan waktu. Sementara itu, penumpang Rover yang isinya sama-sama dua orang, sudah lebih dulu dilarikan ke rumah sakit.

Tidak ada yang bisa melakukan apapun. Mereka yang melihat, hanya bisa melihat, memainkan peranan mereka sebagai penonton. Menyaksikan bagaimana skenario Tuhan untuk Shania dan si supir taksi.


Kursi roda itu masih bisa Ochi kuasai, dia menahan kursi roda dengan Beby yang masih kejang-kejang. Rasa takut dan bersalah memasuki hati Ochi yang tadi sempat dikuasai amarah, kala melihat apa yang terjadi pada Beby.
"Beeby? Lu... Kenapa? Beb- Beby...? Lu jangan bikin gue takut! Gue... Gue, minta maaf!" Sesalnya,
Ochi pindah posisi, dari belakang kedepan. Duduk dengan lututnya dia jadikan tumpuan. Kedua tangannya memegang tubuh Beby yang terus bereaksi dengan rasa sakit.

"Bebyyy?"
Mama dan Cindy sampai ditempat Beby dan Ochi.
"Sayang? Kamu denger Mama kan? Bertahanlah.. Lawanlah!!" Ucap Mama dalam isakan tangis ketakutan.

"Kamu! Apa yang sudah kamu lakukan sama Beby? Kenapa kamu masih mau berbuat jahat sama dia? Apa salah Beby sama kamu!!?" Kesal Cindy melihat wajah Ochi.
"Gue... Gue, ahhh! (Ochi terlihat bingung) Gue minta maaf, gue..,-"
"Sebaiknya.. kamu pergi dari sini! Jangan deketin lagi Beby!! Dia gak pernah ngusik kamu juga kan!?" Cindy memotong ucapan maaf Ochi.

Mama tidak menghiraukan mereka berdua, beliau lebih fokus pada Beby yang tadi kejang-kejang, sekarang sudah pingsan dengan darah segar masih terus mengalir dari hidungnya.
"Bertahanlah Nak! Mama tidak akan melepaskan kamu!!"
Mama membelakangi Beby, bermaksud untuk menggendong Beby dari belakang.
"..Cindy..?"
Cindy yang masih menatap benci pada Ochi, segera memalingkan pandangannya pada Mama yang sudah dalam posisi siap membopong Beby.
"Bantuin Tante, kita harus segera membawa Beby kerumah sakit!"
Cindy yang sadar pada apa yang akan dilakukan Mama, segera membantu dengan diiringi penawaran diri.
"Biar Cindy yang menggendong Beby, Tante!"
"Gak perlu, biar Tante... yang membawa Beby dengan tubuh Tante sendiri. Dengan kekuatan yang Tante miliki. Bantulah Tante, bantu Beby naik di punggung Tante!"
Cindy tidak mau memperdebatkan hal ini dengan Mama, dia segera membantu Mama untuk membuat Beby ada di punggungnya.

Beby sudah ada diatas punggung Mama, dia terkulai tak sadarkan diri, tubuhnya begitu terasa ringan untuk Mama. Dengan tangis yang coba Mama kendalikan agar tidak terus mendorong keluar dari muaranya, Mama didampingi Cindy berjalan perlahan, menuruni jalan yang menanjak.

Cindy yang tidak tahan melihat scene itu, segera mengeluarkan handphonenya. Dia baru ingat, kalau tadi.. dirinya masih tersambung dengan Shania. Tapi Cindy tidak terlalu ambil pusing soal Shania dan panggilannya yang sudah mati pada Shania. Cindy segera menelpon perusahaan taksi, dan meminta taksi yang bisa cepat sampai ke lokasi dia, Mama dan Beby berada.


"Halo...?"
"Halo selamat sore.. Apa benar? Ini dengan Nona Ve!?"
Suster tahu nama Ve dari panggilan yang Shania lakukan dengan Kakaknya itu.
"Iya betul, saya sendiri? Ada apa ya, Mbak?" Jawab Ve dengan akhiran tanya.
"Begini, Mbak! Apa... Mbak kenal dengan Shania Junianatha?" Suster memastikan.
Kedua mata Ve membesar saat seseorang yang tidak dia kenali itu menyebutkan nama Shania dalam tanya.
"Saya Kakaknya, ada apa ya? terus ini dengan siapa?" Lancar Ve menembaki si Suster yang akan mengabari dirinya tentang Shania.

Karena sebelumnya Shania meghubunginya dan menceritakan tentang jual mobil, Ve takut kalau yang sedang menelponnya itu yang sudah transaksi dengan Shania dan ada hal yang tidak mengenakan yang akan dia sampaikan tentang transaksi dengan Adik bungsunya itu.

"Saya dari Rumah sakit (pernafasan Ve terhenti, saat dia menangkap kata rumah sakit) Pelita Persahabatan, mau mengabarkan kalau adik Mbak yang bernama Shania Junianatha, baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas, sekarang adik Mbak,..... ..... ..... ....."
Ve terlihat lemas, dia tidak bisa lagi menerima informasi dari suster yang ada di ujung telpon, yang tadi dia pikir rekan transaksinya Shania.
"Keee...celakaan?"
Ve mencoba kembali bersuara dengan ketakutan menyeruak dihatinya.
"Iya, Mbak. Saya meminta Mbak untuk bisa segera datang ke rumah sakit, yang beralamatkan di Jalan,....."
Kembali Ve tidak menangkap semua ucapan suster. Saat alamat itu sudah masuk di gendang telinganya, dengan segera Ve berlari menuju mobilnya, mematikan sambungan telpon dan mengingat jalan ketempat rumah sakit yang sudah disebutkan.

Perasaan kaget dan lemas yang dirasa disekujur tubuh, coba Ve lawan. Tapi ketakutan dari mendengar kata kecelakaan itu, tidak bisa dia singkirkan dari hatinya begitu saja.
"Kenapa jadi seperti ini? Kamu... kamu gak apa-apa kan, Dek? ... Ini hanya kecelakaan kecil kan!" Tangis Ve menuruni pipinya.
Tidak berani dia menggambarkan seburuk apa kecelakaan yang dialami Shania, hingga suster dari rumah sakit yang menelponnya. Pikirannya tetap dia tanami dengan... Shania hanya mengalami kecelakaan kecil, dan dia hanya kena luka gores, yang diobati sebentar pun sudah bisa dibawa pulang dari rumah sakit.

Ve mencoba menghubungkan dirinya dengan Shania. Dia menelpon ke nomor Shania. Tapi sayang.. yang menjawab bukan orang yang sedang dia cemaskan, melainkan operator provider. Hati Ve kembali berkecamuk.
"Kenapa telpon kamu mati? Jawablah... Kamu gak apa-apa kan, Shan? Jawablah..." Ve membekap mulutnya, menahan tangis. Matanya yang basah karena tangis dari ketakutan terus menyeret, tetap dia fokuskan pada jalanan yang dia lewati, agar dia bisa sampai pada tempat yang sudah dia ketahui letaknya.


"Tante!?"
Melody ngos-ngosan, berlari dari lobi rumah sakit hingga bisa sampai ditempat Mama, dan Cindy yang tadi memberikan kabar tentang Beby.
"Tante... Cindy...?.... gimana Beby?" tanyanya kemudian.

Mama hanya bisa menjawab Melody dengan gelengan pelan. Cindy memegang bahu Mamanya Beby. Melody melihat wajah Mama yang begitu dirundung kesedihan. Segera, Melody mendekati Mama dan memberikannya pelukan. Seperti anak kecil yang ketakutan, Mama menyambut pelukan Melody, menumpahkan kelelahannya, membagi kesabarannya, memberitahukan lewat tangis yang ia tahan, akan ketakutan yang memburu.
"Tante... Tante belum siap kalau harus kehilangan Beby, sekarang...!"
Melody hanya bisa mengunci mulutnya, merasakan rasa sesak Mama.

Masih ingat betul apa yang Mama lihat saat di dekat taman tadi. Bagaimana Beby bereaksi pada virus mematikan itu. Ketakutan terus menjadi senjata mematikan yang selalu memburu degup jantung Mama, kala melihat kesakitan menyerang tubuh Beby.
"Kenapa semua ini harus terjadi pada Tante? Kenapa Tuhan senang sekali melihat keluarga Tante seperti ini?!"
Melody yang tidak tahu harus mengatakan apa untuk menenangkan Mama, kembali hanya membisu, dengan mengeratkan pelukannya.
Cindy pun hanya bisa diam, lintasan liar, tentang apa yang dia lihat pada Beby dan ucapan Mamanya Beby, begitu terlihat menakutkan jika harus dia gambarkan.

Seseorang yang sedang menangis, tidak butuh banyak hal. Hanya butuh ditemani dan didengarkan. Membiarkan Mama mengeluarkan ketakutan dan kerapuhannya. Memberikan pelukan yang meskipun hanya bisa memberi sedikit rasa tenang, tapi setidaknya, Mama tahu.. Kalau masih ada yang bisa ia ajak berbagi saat rasa sakit itu sudah tidak tahu lagi harus diapakan.


Kini... kedua sahabat itu, sedang berjuang!
Mereka berjuang untuk kehidupannya. Menerima takdir yang sudah tertulis. Memperlihatkan pada sang penulis takdir, jika mereka masih ingin menikmati kehidupan yang telah dititipkan oleh-Nya.

Takdir, memang sudah menuliskan nasib mereka. Tidaklah bisa Shania dan Beby tahu buku yang sudah Tuhan tuliskan untuknya. Sebuah buku yang tercipta kala keduanya dititipkan dalam rahim seorang Ibu. Buku yang sudah tertulis Prolog, Cerita, Epilog, hingga Ending yang pasti. Sebuah buku yang berisi perjalanan mereka, dan kita yang hidup di dunia.

"Kondisinya kritis! Kepala bagian belakang mengalami pendarahan, tapi itu sudah bisa dihentikan. Perutnya yang tertusuk besi, masih mengeluarkan darah. Tensinya sangat rendah. Dan... detak jantungnya sangat lemah!" Ucap dokter pertama menjelaskan, pada dokter kedua. (Ceritanya mau pergantian shift!)
"Selain itu.. ada serpihan kaca yang masuk dalam matanya. Kita sudah bersihkan, tapi belum tahu pasti bagaimana kondisi matanya!" Lanjutnya membuat resume untuk kondisi Shania.
"Saranmu? Tindakan apa yang akan kita ambil untuk pasien kita ini!?" tanya dokter kedua.

Dokter pertama itu melihat pada dokter kedua yang masih membaca status dari Shania dalam board yang sudah berisi rekam medis pengecekan.
"Siapkan ruang Operasi!"
Dokter kedua yang sedang melihat report pun meghentikan laju matanya. Kemudian dia lihatkan pada dokter pertama.
"Kita tidak mungkin melakukan Operasi dengan status pasien seperti sekarang ini!"
Dokter kedua mulai berasumsi karena sudah tahu catatan yang dibuat suster pendamping saat pemeriksaan tadi.
"Anda tahu, kalau resikonya terlalu besar! Pasien bisa saja meninggal, kalau kita mengambil tindakan Operasi ini!!" Jelasnya.

"Dokter! Kita disini.. dokter pertama, yang harus membuat keputusan, akan diapakan pasien yang masuk keruangan ini!"
Dokter pertama yang sudah lelah bekerja dari hari kemarin dan belum mendapat pertukaran shift kerja, sedikit meninggikan suaranya.
"Kalau kita terlalu lama berpikir, bukan ruang Operasi yang akan membuat pasien meninggal. Tapi disini, diruangan ini!!"
Dokter kedua merasa malu, karena apa yang dikatan dokter pertama itu memang benar.
Sebagai dokter jaga di ruang UGD, ruang pertama yang didatangi pasien. Haruslah Dokter yang berjaga diruangan itu, segera bisa memutuskan tindakan yang akan diambil, untuk pasiennya.
"Berikan report itu pada dokter yang ada di ruang Operasi! Agar Operasi bisa cepat dilaksanakan!!" Suruhnya, dengan suara dia turunkan kembali. Dokter keduapun, tak banyak bicara, dia segera keruangan bagian Operasi.
"Suster! Hubungkan saya dengan keluarga pasien!!" Suster segera keluar ruangan.

Pergantian Shift yang harusnya sudah di dapat Dokter pertama, jadi batal. Dokter itu pun kini harus menjadi operator atau asisten dokter diruangan Operasi saat nanti Shania akan menjalani Operasi yang dia sarankan.

Ve tergesa, berlari sekuat tenaga mencapai rumah sakit dari tempat parkiran. Tiba di depan lobi, dia segera menghampiri Suster dan langsung membuat pertanyaan dengan suara takut dan gesture kekalutannya.
"Suster! Ehmm.. Korban kecelakaan lalulintas, yang baru masuk? Dimana?"
"Sebentar Mbak, kami cek dulu!"
Ve menunggu, belum ada hitungan detik dia menunggu, tapi rasanya begitu lama.
"...Suster! Dimana? ahhh!!" Kesalnya dalam kepanikan.
"Iya Mbak, seben..,- Ah ini.. Shania Junia,-"
"Iya itu!" Ve segera memotong ucapan Perawat.
"Pasien masih ditangani di Unit Gawat Darurat. Mbak jalan kedepan, nanti ada belokan pertama yang Mbak temui, dari sana Mbak ambil belokan sebelah kiri. Disana ruang UGD."
Tanpa mengucapkan terima kasih, Ve langsung bergegas kembali memacu kakinya untuk berlari.

Seorang Suster didepan ruangan UGD terlihat sedang berbicara dengan para Polisi Lalu Lintas yang tadi mengawal ambulance yang membawa Shania hingga sampai dirumah sakit.

"Permisi Suster, adik saya yang mengalami kecelakaan lalulintas. Apa dia masih ditangani di UGD?" Ve kembali bertanya. Dia sudah sampai di ruang UGD.
"Maksud Mbak? Yang kecelakaan dari taksi itu?"
"Iya!"
"..Dan, Mbak ini?"
"Saya Kakaknya! Adik saya dimana, Sust?"
"Ah! Mari Mbak, ikut saya!!" Perawat jaga itu segera menuntun Ve.

Dia tadi dapat pertanyaan dari Suster pendamping diruang UGD, tentang.. apakah keluarga Shania ada yang sudah datang. Karena Suster jaga itu bilang belum ada. Suster pun mengatakan kondisi Shania, kalau-kalau keluargnya sudah datang.
"Suster. Keluarga dari pasien kecelakaan lalulintas, yang bernama Shania Junianatha!"
Suster yang tadi sedang bicara dengan para Polisi, segera memalingkan wajahnya dan menatap Ve.
"Mbak... Keluarga dari pasien yang bernama Shania?" Ve mengangguk untuk menjawab.
"Kalau begitu... mari, ikut saya Mbak?"
Suster menuntun Ve hingga keduanya hilang dari koridor dan memasuki ruangan.

Dalam ruang UGD, Ve celingukan mencoba mencari sosok Shania. Tapi sayangnya, setajam apapun penglihatan Ve. Dia tidak akan bisa tahu dimana Shania berbaring, karena setiap ruang dalam ruangan ditutupi tirai penyekat.

"Dok? Keluarga Shania!" Suster menunjukan.
"Selamat sore, Mbak. Silahkan dud,-"
"Adik saya dimana Dok? Bagaimana kondisinya?" Ve tidak menyambut ucapan Dokter. Karena yang ingin dia tahu adalah dimana Shania? Bagaimana kondisinya? Karena saat didepan ruangan tadi, dia melihat ada beberapa petugas Kepolisian. Yang artinya.. Ini bukanlah kecelakaan lalulintas biasa saja.
"...Begini, Mbak.. silahkan duduk dulu. Biar kami jelaskan!" Ve menuruti apa yang dikatakan Dokter.
"...Adik Mbak, harus segera di Operasi (Nafasnya terasa berat, saat kata Operasi dia dengar langsung dari mulut Dokter) kami sekarang sedang mempersiapkan ruangan Operasi untuk pasien. Dan ini... Tandatanganilah surat persetujuan Operasinya, agar kami bisa secepatnya melakukan tindakan lanjutan terhadap Adik, Mbak!"
Dokter tidak menjelaskan kondisi Shania, dia langsung meminta Ve untuk menandatangani surat persetujuan Operasi.
"Operasi? Adik saya kenapa, Dok? Kenapa harus ada Operasi? Apa lukanya..,- Bagaimana mungkin..,- Apa yang sebenarnya terjadi!?"
Ve mencoba tenang, tapi kenyataanya tidak bisa. Dia begitu panik, takut, sedih, dan penasaran juga.
"Tenang, Mbak. Adik Mbak, memang harus secepatnya di Operasi, karena kondisinya saat ini begitu kritis. Sebuah besi menancap di perut bagian kirinya, kalau kami tidak segera mengeluarkan benda itu.. akibatnya bisa fatal untuk Adik Mbak. Dan...,-"
"Dokter, ruangan Operasi sudah siap! Pasien sudah siap mendapat tindakan!!"
Dokter kedua, yang tadi disuruh. Datang memotong percakapan Ve dengan Dokter pertama.
Dokter mengangguk untuk memberikan isyarat. Lalu kembali menghadapi Ve.
"Operasi ini... beresiko cukup tinggi untuk pasien. Tapi, tidak segera dilaksanakan Operasi pun, akan sama beresikonya bagi nyawa pasien! Ambilah keputusan itu. Putuskan.. Masuk ke ruang Operasi? Atau mendengarkan penjelasan saya, dan kita kehilangan beberapa menit yang mungkin akan berharga untuk adik, kamu!"
Suara Dokter itu.. berubah. Dia jadi sedikit menyejukan tapi tetap menusuk.

Ve berdiri dalam kebimbangan, tidak tahu betul bagaimana kondisi sebenarnya Shania, tapi harus membuat keputusan. Apalagi kata-kata yang diucapkan Dokter, membuat kebimbangan itu menjadi ketakutan dan... kekalutan.
"Mbak! Putuskanlah!!" Dokter kembali bicara.
Ve mengambil board yang sudah ada surat persetujuannya. Diam sebentar, lalu... dia membubuhkan tandatangannya. Menyetujui apa yang tertulis dalam selembar kertas yang entah apa isinya, karena tidak sempat Ve baca.
"Selamatkan adik saya, Dok! Saya mohon!!" Lirih ve, berharap pada Dokter itu.
"Berdoalah! Tuhan bersama kita!!" Jawab Dokter dengan masih sempat menyunggingkan sedikit senyum untuk Ve.
"Suster?!" Dokter memberikan isyarat.
Suster itu mengangguk, "Mari Mbak. Saya tunjukan ruang tunggu untuk ruangan Operasi!"
Ve yang wajahnya begitu kusut, hanya bisa mengangguk dan mengikuti suster.

Tidak pernah ada yang menginginkan keburukan menimpa kehidupan yang sedang dijalani. Setiap rencana indah yang kita tuliskan hingga melukiskan senyum bahagia, mungkin tidak akan berjalan selancar saat membuat tulisannya, tidak akan sebahagia saat di wajah itu terlukis sebuah senyum. Namun, jika kita maknai lebih dalam... Rencana indah yang tidak bisa terwujud itu, tidak lantas menjadi buruk. Langit tetaplah biru meski sinar mentari tak menerangi, dan awan putih yang berarak mendampingi, berubah menjadi awan grei yang muram. Masih banyak rencana, yang bisa dibuat. Masih banyak kesempatan yang akan datang. Asal kita percaya, kalau rencana Tuhan itu... Lebih indah dari apa yang kita rencanakan.


Mama hanya bisa memandangi wajah Beby. Kembali beberapa slang kecil dan beberapa kabel kecil berwarna itu dipasang ditubuh Beby. Memberitahukan secara kasat mata jika Beby, keadaannya sungguh sangat... menakutkan untuk dibicarakan.

Seperti yang Dokter bilang.. Kondisi Beby sudah benar-benar sangat mengkhawatirkan. Operasi yang pernah dibicarakan kala itu, harus segera dieksekusi. Tidak ada pilihan lain. Apalagi... waktu Operasi yang mendapat penundaan, ternyata mengalami penurunan perkiraan presentase dalam kesembuhannya. Harapan dalam Operasi yang semula 70:50, untuk kesembuhan. kini menjadi 20:80, untuk kesembuhannya. Karena virus yang sempat mendapat perlawanan dari antibiotik itu ternyata melakukan perlawanan balik dan menyerang sistim imun dalam tubuh Beby, begitu cepat, dan melakukan pembelahan juga penyerangan balik, hingga menyebar kebagian tubuh lainnya, lalu mengakibatkan kondisi Beby terus memburuk. Dan akhirnya seperti sekarang, pengambilan langkah terakhir dalam upaya menyembuhkan Beby pun, menjadi seperti.. menanti hembusan angin di musim kemarau. Kemungkinannya begitu kecil!

Dokter memang bukanlah Tuhan, mereka hanya mengatakan apa yang mereka ketahui berdasarkan hasil pengamatan, dari kemampuan yang mereka miliki. Sebuah kemampuan yang Tuhan titipkan pada setiap orang yang berbeda. Soal apa yang sebenar-benarnya akan terjadi... tetap! Hanya TUHAN yang tahu!!. Dan kita... hanya bisa berharap dan berpasrah pada hasil dari apa yang sudah kita lakukan.

Cindy dan Melody, ikut menyelami wajah tirus Beby, dengan pikirannya membuat pola sendiri, menggambarkan tentang Beby. Lama mereka hening didalam ruangan itu, hingga Melody mengusap lembut tangan Cindy, dan kemudian Melody memberi isyarat untuk Cindy ikut dengannya keluar.

"Kenapa jadi seperti ini..?"
Melody mencoba mencari tahu.
"..... ..... ...... ......" Cindy hanya diam.
"Apa yang sebenarnya sudah terjadi, Cindy?" Melody masih mencoba. "Shania... dia kemana? Kenapa Ibu tidak melihatnya?"
Cindy yang sebelumnya menunduk, mengangkat wajahnya pelan saat nama Shania dan keberadaannya dipertanyakan oleh Melody.
"Cindy..?"
Cindy yang sedang menebak dimana Shania, kaget saat mendengar Melody memanggalinya, hingga refleks jadi menatap Melody.
"ehmm... itu... ini... InisemuasalahnyaOchiBu..!" dalam satu tarikan nafas setelah sebelumnya terbata, Cindy menuduh Ochi lah penyebab kritisnya lagi Beby.
"Ochi?"
"Iya, Bu! Ochi!! Dia..."
Cindy memainkan kembali gambaran saat dia melihat Ochi dan Beby yang berdiri di pinggir jalan yang menanjak, dekat taman. Lalu dengan bersih dan begitu detail, Cindy menceritakan semuanya pada Melody. Termasuk Shania yang juga tahu tentang kejadian itu.

"Sudahlah! Kita tidak perlu bahas ini dulu (Maksudnya Ochi), dan soal Shania... Dia tahu, dan jelas-jelas tadi kamu dengar kalau Shania meminta letak taman, dimana Beby dan Ochi berada, kemudian menyusul. Tapi, kenapa sekarang Shania belum kelihatan disini!!? Apa kamu tidak memberi tahu dia, kalau Beby dibawa kerumah sakit?!"
Heran Melody, dia tahu bagaimana Shania. Apalagi mendengar alur cerita yang Cindy dongengkan. Tidaklah mungkin Shania tidak mau melihat Beby.
"Tadi, sebelum Cindy menelpon Ibu. Cindy telpon dulu Shania untuk ngasih dia kabar. Tapi,... HP nya mati, Bu! Gak tahu kenapa, jadi tiba-tiba gak bisa dihubungi!!"
Jelas Cindy mencoba menjawab keheranan Melody. Bukannya keheranan itu terjawab, malah semakin menjadi. Melody sekarang malah membuat karangan, dalam menebak kalau-kalau Shania sedang mendatangi Ochi dan marah-marah padanya.

"Sudah telpon Kak Ve?"
Melody kembali bertanya. Dia masih ingat, pada apa yang diucapkan Ve saat mereka ada dirumah Beby. Intinya, Ve ingin... kalau ada apapun tentang Beby, dan Melody mengetahuinya. Melody bisa memberikannya kabar.
Cindy menggeleng, "Cindy... gak tahu nomor HP nya Kak Ve, Bu!" katanya setelah menggeleng.
"Ya sudah, emm.. kamu, sebaiknya pulang. Istirahatlah. Besok harus sekolah juga kan?" Melody begitu lembut dan perhatian.
"Enggak, Bu! Cindy mau disini. Cindy mau nemenin Beby, sampai dia sadar!" Tolak Cindy.
"Cindy. Dengerin Ibu?... Kalau kamu, memaksa tubuh kamu yang sudah lelah ini bekerja lebih lagi. Nanti kamu bisa sakit, dan akhirnya.. kamu tidak akan bisa menemani Beby karena kamu sakit! Apa kamu mau? Seperti itu!"
"Tapi, Bu? Cindy gak apa-apa Kok! Besok Cindy akan tetap sekolah, dan.. Cindy juga gak akan sakit, Cindy janji!!"
"Ibu tahu itu! Kamu mungkin gak akan sakit, sekarang. Tapi nantinya? Kamu gak tahu kan?" Cindy diam, "Ibu.. akan memberi kamu kabar, kalau ada apa-apa, atau ada perkembangan apapun tentang Beby! Ibu janji!!"
Cindy yang sadar tidak akan mungkin menang dari gurunya itu, akhirnya menyerah dan pulang, setelah sebelumnya berpamitan pada Mama.

"Makasih ya sayang, udah mau bantuin Tante!"
Cindy membalas ucapan Mama dengan senyuman.
"Beby... pasti baik-baik aja Tante! :'-) Tante yang kuat ya?! Cindy akan selalu bantuin Tante, sama Beby!"
Sebelum meninggalkan ruang rawat, Cindy memberikan semangatnya untuk Mama. Mama memeluk Cindy begitu erat, dengan memberikan kecupan diatas kepala Cindy, Mama melepas pelukannya dan mengucapkan kembali kata terima kasih.


Ve duduk dengan begitu gelisah. Pikirannya sedang keruh. Tidak bisa dia berpikir tentang apapun! Hingga getaran dari telpon yang berderingpun tidak dia hiraukan (yang menelpon Melody). Yang bermain dipikirannya sekarang hanya tentang Shania.. Shania.. dan Shania.... Shania si Adik satu-satunya yang sangat dia sayangi, yang sekarang sedang memperjuangkan kehidupannya diatas bangsal didalam ruangan Operasi.

Sesekali, Ve melihat lampu diatas pintu ruangan Operasi. Berharap lampu itu segera berganti dengan warna hijau, penanda kalau Operasi sudah selesai.

Hari ini... Benar-benar seperti mimpi buruk untuk Ve. beberapa jam sebelumnya dia masih bisa bercengkrama lewat telpon dengan Shania. Tapi beberapa jam setelahnya, seperti.. seperti kilatan petir yang menyambar di tengah teriknya matahari, saat seseorang mengabarkan kalau Shania mengalami kecelakaan.
Ve masih bisa mengingat saat dirinya dan Shania berbincang lewat telpon. Apalagi bagian terakhir diperbincangannya. Suara manja Shania, ucapan Shania yang mengatakan ingin dipeluk, terasa begitu dekat, namun merasa akan jauh.

'Itukah pertanda yang Tuhan berikan? Dia memberi tahu, tapi aku tidak peka!' Sesal Ve dalam penantiannya.

8 Jam! Operasi itu.. akhirnya selesai juga. Jam dinding sudah menunjukan hampir tengah malam. Lampu merah sudah berganti jadi hijau. Seorang Dokter keluar dari ruangan itu. Dokter yang berbeda dari Dokter yang meminta Ve untuk menandatangani surat persetujuan. Tapi siapapun itu, Ve tidak perduli. Yang dia tahu, Dokter itu keluar dari ruang tempat dimana Shania tadi dimasukan.
"Bagaimana Adik saya, Dok?" Tanya Ve segera.
"...Operasinya sudah selesai, dan berjalan lancar." Sedikit, Ve merasakan kelegaan di hatinya.
"Tapi,-" Kelegaannya seketika tersapu dengan satu kata yang akan melahirkan banyak kata lainnya.
"Tapi apa Dokter?"
"Kondisi pasien masih belum stabil! Saat diruang Operasi, dia sempat kehilangan banyak darah, dan kembali mengalami pendarahan ringan dikepala bagian belakangnya."
Ve merasakan sakit saat mendengar ucapan itu. Membayangkan bagaimana perjuangan Shania. Dia hanya bisa menahan tangisnya agar tidak pecah.
"Meski semua akhirnya bisa Pasien lewati. Namun demikian, apapun kondisi terburuk yang pasien alami saat diruang operasi dan akhirnya bisa diselesaikan. Hasil akhir tetap pada kondisi pasca Operasi!"
"Maksud Dokter? Jelaskanlah dengan bahasa yang bisa saya mengerti Dok!" Pinta Ve dalam kelelahannya.
"Kondisi pasca Operasi itu.. kondisi dimana pasien bisa kembali merespon, meski dengan respon kecil seperti menggerakan jemari, atau menggumam saat kami mengeluarkan suara dan bertanya." Ve mengerung sedih, "Dan itu... ada batas waktunya! Seperti dalam kasus Adik Mbak saat ini. Jika dalam waktu 48jam, dia tidak memberikan respon ataupun reaksi, penanda kalau dia sudah bisa melewati masa pasca Operasi. Maka dia dinyatakan Koma. Dan mungkin... waktunya untuk hidup, akan menipis!!"

Penjelasan Dokter membuat Ve meraskan kelemasan dan ketakutan bukan main. Dia merasa sedang dilempar dari ketinggian paling tinggi, hingga membuat dadanya terasa senyap.
"... Apa yang bisa kita lakukan Dok..ter? Lakukanlah sesuatu untuk Adik saya! Jangan... Jangan biarkan dia..., Jangan biarkan saya kehilangan dia, Dokt..er!? Saya tidak mau kehilangan Adik saya!!" Ve menangis kesakitan.

Dokter memegang pundak Ve. "Berdoalah! Mintalah harapan itu pada Tuhan!! Dia akan selalu mendengar ucapan dalam doa setiap umatnya. Percayalah apa yang sekarang terjadi, adalah yang terbaik untuk Kamu, dan adik kamu!."...
Dokter meninggalkan Ve sendiri diruang tunggu.

Sepeninggal Dokter, Ve berjalan dari ruang tunggu. Dia menuju Ruang ICU tempat dimana Shania kini berbaring. Setelah kabar yang seperti kilatan itu dia terima dan semua berjalan terasa begitu lamban namun ternyata cepat. Ve baru bisa sekarang melihat Shania dengan mata kepalanya sendiri. Dia mendekati kaca dan melihat lebih dekat raga Shania. Air matanya mengalir deras, ketakutan menyelimuti Ve saat ini. Apa yang dilihatnya... sesuatu yang mengerikan, tidak pernah dia membayangkan ataupun membiarkan pikirannya dilintasi hal seperti yang sekarang dia lihat. Menyaksikan Shania dari balik sebuah kaca, Shania yang terbujur tak berdaya, dengan luka yang jelas terlihat dan luka yang tak terlihat.
'Apanya yang terbaik? Apa... air mata dan kesakitan itu.. yang terbaik yang bisa Tuhan kasih buat aku sama Shania?' Matanya dia pakukan nanar kearah Shania.
'Bangunlah, Dek! Kakak butuh kamu!!' Air matanya semakin tak terbendung, Ve membekap mulutnya sendiri.
Semilir angin tengah malam diluar gedung rumah sakit. Seakan terasa masuk dilorong itu, dan membuat tubuh Ve menggigil kedinginan.
'Kamu... mau bantuin Beby kan? Bangunlah... Kak Ve mohon!!' :'-(


---
Ve yang sebentar, sangat sebentar bisa memejamkan matanya diruang tunggu ICU. Kembali berjalan lemas kearah kaca, dimana dia bisa melihat Shania. Harapan itu.. masih ada dalam diri Ve. Tapi, dalam hitungan beberapa jam kedepan, mungkin Ve akan kehilangan harapannya, jika apa yang dituliskan untuk Shania, tidak seperti apa yang dia angankan.! Shania bisa melewati masa kritisnya, dan kembali bisa membuka kedua matanya, tanpa harus ada dalam kondisi Koma!.

Tidak ada sekelabatpun pemikiran yang melintas dalam kepalanya, untuk Ve menghubungi Papa dan Mama, dan memberitahukan tentang Shania. Apa yang sudah Ve ketahui tentang kelakuan kedua orangtuanya, sudah cukup untuk Ve jadikan alasan tidak melibatkan mereka dalam kondisi Shania yang jauh dari kata stabil.


Cindy masuk kesekolah, dia terlihat tidak bersemangat sama sekali. Yang dia pikirkan hanya Beby dan kondisinya. Seolah pijakan itu tak terpijak, berjalan diatas kaki sendiri, tapi merasa tidak berjalan.

Apa yang bisa aku lakukan buat Beby? Uang sebanyak itu.. untuk biaya Operasi itu... darimana aku punya uang sebanyak itu? Pikiran Cindy diam-diam menanyakan

"Cindy?"
Langkahnya dia hentikan, karena mendengar seseorang memanggilnya. Lalu Cindy mengerung benci saat tahu siapa yang sudah memanggilnya.
"Ada apa?" Dinginnya Cindy menanggapi.
"Gue.. gue pengen tahu gimana keadaan Beby?" Tanya Ochi kemudian
"Gak usah pura-pura perhatian! Apa kamu masih belum puas, melihat Beby sekarang terbaring lagi di rumah sakit!?"
Cindy tidak lagi takut saat berhadapan dengan Ochi, yang bisa saja malah Ochi menyerang balik.
"Gue beneran tanya, karena gue.. gue merasa bersalah sama dia!"
"Kalau perasaan bersalah kamu itu masih berguna, kamu sebaiknya datang ke rumah sakit, dan bicara langsung! Gak perlu kamu utarain di depan aku, karena buat aku itu gak akan ada gunanya!!"
Cindy bergegas meninggalkan Ochi, setelah ucapannya yang dingin.

Ochi yang ditinggal hanya bisa diam terpaku ditempat semula, sembari melihat hilangnya punggung Cindy dari pandangannya.
"Gue emang bodoh! Harusnya... gue kenali dulu Beby. Harusnya... gue gak ambil tindakan konyol karena dorongan emosi itu. Harusnya... Arghh!! Bego!!!"
Ochi memaki dirinya sendiri dalam balutan perasaan bersalahnya untuk Beby.

Kembali meneruskan langkahnya, dengan rasa benci masih dia sisakan pada Ochi. Cindy, tiba-tiba jadi kepikiran Shania.
Apa Shania sudah tahu kalau Beby masuk rumah sakit lagi? Kalau belum, Shania kemana? Dia kemarin bilang akan datang. Tapi, sedikitpun tak terlihat penampakannya.

"Gaby!?"
Cindy melihat Gaby yang sedang berada diluar kelas.
"Cindy? Ada apa?" Tanya Gaby, dengan senyum hangatnya.
"Shania ada dikelas gak?"
"Shania? (Gaby menggeleng), Gue belum lihat dia pagi ini! Emangnya ada apa, Cind?" Tanya Gaby penasaran.
"Heeemm.. aneh ya? Jam segini, Shania belum kelihatan di sekolah?"
Gaby menggerakan kedua bahunya, menanggapi Cindy, "Mungkin dia gak akan masuk! Emangnya ada apa sih, muka lu kayaknya serius banget!?" Kembali Gaby bertanya.
"...(Cindy hanya menggelengkan kepalanya pelan)"
"Pastii... ada hubungannya sama Beby ya?"
Gaby mencoba menebak,
Cindy tidak menjawab ataupun memberi isyarat jawaban. Dia hanya menatap Gaby.
"Beby kenapa... Cindy? Dia baik-baik aja kan?" Gaby mulai cemas.
Cindy menghela nafas, begitu dalam.
"Nanti... kalau Shania masuk. Aku minta tolong sama kamu buat sampein kalo Beby ada di rumah sakit Harapan! Bolehkan, Gaby?"
Pertanyaan heran Gaby, tidak Cindy urai, dia hanya menitipkan sebaris kalimat untuk Shania.

"Ehm.. Kenapa lu gak telpon aja, Shania nya?" Saran Gaby, dalam rasa iba setelah mendengar ucapan Cindy.
"HPnya gak bisa dihubungin dari kemarin sore. Ya udah, aku ke kelas dulu, Makasih ya Gaby!!"
Cindy berjalan menuju kelasnya, menyeret lagi kakinya yang berat dilangkahkan.


"Ma...maa..." Suara Beby terdengar sangat lemah.
"Sayang? Kamu udah bangun! Mama panggilin dulu Dokter, ya?" Mama bersiap berdiri. Sambil menyeka air disudut matanya.
"Hsss... Jaa..ngan. Beby... mau sama Ma..ma!"
Mama yang sudah siap pergi, jadi kembali duduk.
"...Ini... Beby dimana, Ma?"
Beby memainkan matanya, menyambangi setiap sudut ruangan. Setelah dia berhasil menahan Mama pergi dari sampingnya.
"...Kamu, kamu dirumah sakit, sayang!"
"Rumah sakit?!"
Beby menyuruh memory dalam otaknya untuk memainkan kejadian sebelum dia akhirnya masuk rumah sakit.

Mama mengusap lembut wajah Beby, kini.. ada sedikit senyum menghias di bibir Mama yang akhirnya bisa melihat Beby siuman. Setelah dari kemarin sore dia hanya terbaring dengan memejamkan matanya.

"Ochi..?" Beby menyebutkan nama itu.
Mama membuat kerungan, "Ochi?"
"Iya, Ochi dimana Ma? Dia gimana?"
"Sayang! Kenapa kamu harus menanyakan anak itu!? Dia.. yang kemarin mengajak kamu ke taman dijalan itu kan?" Ucapan Mama terdengar tidak suka.
"Ochi.. dia kemarin ngajak Beby buat jalan-jalan Mah!"
Beby mencoba membuat alasan.
"Kamu, jangan selalu menutupi kesalahan orang lain, dan membiarkan diri kamu sendiri yang jadi korbannya, sayang! Kamu gak bisa seperti itu terus!!" Kata Mama yang sudah mendengar asumsi dari Cindy.
"...Beby gak pernah nutupin kesalahan siapapun, Mah! Ochi... dia kemarin emang ngajak Beby keluar. Dia cuma mau berbagi ceritanya, Mah! Dia gak ngelakuin apapun kok!!" Ujar Beby yang bisa tahu kekhawatiran sekaligus ketidak sukaan Mama saat Beby mengatakan 'Ochi'.
"Ya sudah, kita gak perlu bahas itu!... Kamu gimana? Kepala kamu sakit, gak sayang?" Mama mengalihkan topik pembicaraan.
Beby menggeleng, "Beby gak apa-apa. Maaf ya Mah, Beby selalu bikin Mama khawatir dan begitu mencemaskan Beby!!"
"Tidak akan ada seorangpun Ibu, yang tidak pernah tidak mencemaskan anak-anaknya. Sekalipun buah hatinya itu dalam keadaan sehat! :'-). Jadi.. kamu gak perlu meminta maaf sama Mama!"
Beby tersenyum, "Makasih Mah! Beby sayanggg banget sama Mama!!".
"Kalau kamu sayang sama Mama. Kamu harus sembuh, kamu harus melawan rasa sakit kamu itu! Ya?"
"Beby akan selalu memberikan yang terbaik yang Beby bisa, Mah! Beby janji :'-)" Ucapan dari bibir itu, diiringi rasa ciut yang tidak bisa Beby pungkiri.
Dia sangat tahu bagaimana keadaan tubuhnya sendiri. Dalam kondisi seperti sekarang, entah apa hal terbaik yang bisa Beby lakukan untuk bertahan dan memberikan senyum di sudut bibir Mama, yang wajahnya begitu terlihat lelah dan sedih.

"Eh ya, Mah! Shania... dia dimana?"
"Shania... dia mungkin masih di sekolah! Cindy aja belum dateng kan?" Jawab Mama.
"Sekolah? Hmmm.. Beby... jadi kangen sama sekolah Mah!.. kira-kira... Bisa gak ya? Beby masuk sekolah lagi?"
Hati Mama terasa sakit saat mendengar harapan Beby. Tapi beliau coba paksakan tersenyum dan menjawab dengan memberikan semangatnya.
"Pasti bisa  Kamu kan... Anak Mama yang kuat!".
Beby kembali mengembangkan senyum mendengar ucapan Mama.


Malam menjelang, waktu itu... waktu yang Dokter bilang tentang kondisi Shania pasca operasi. Ternyata tidak berhasil Shania lewati. Dia dinyatakan dalam kondisi koma. Kondisi yang entah akan sampai berapa lama Shania hadapi. Satu jam? Satu hari? Satu minggu? Satu bulan? Entahlah, tidak ada yang tahu. Seperti yang dokter bilang...
'Tidak ada yang bisa memprediksi waktu sadarnya seseorang yang telah di vonis dalam keadaan koma.'

Ve duduk disebelah Shania. Memegang lembut tangan berkulit putih yang kini memucat dan terasa dingin. Meskipun heater didalam ruangan berfungsi. Dia belum bisa mengeluarkan suaranya, yang Ve lakukan hanya duduk dan memperhatikan wajah Shania yang sedang tertidur, tidur panjang.. yang entah kapan akan bangunnya!

Apa yang harus dia ucapkan didepan raga Shania yang dalam kondisi Mati tidak, hidup pun enggak. Apa yang hari ini Ve dapat, sungguh membuat hatinya bercampur segala rasa, hingga bibirnya tidak bisa merangkai kata jadi kalimat.

Ingatannya memutar ke waktu saat dirinya sedang menunggu Shania, diluar ruang ICU pagi tadi. Ve dihampiri petugas kepolisian lalulintas yang menangani kejadian yang menimpa Shania dan si supir taksi naas, yang telah meninggal siang tadi, karena lukanya sangat parah.

Petugas memperlihatkan barang-barang milik Shania, Ve ditawari untuk membawa barang itu, atau dia biarkan saja para petugas membawanya. Selain itu, Ve juga diberitahu tentang pengendara rover yang sudah menabrak taksi. Mereka yang juga mendapat perawatan dirumah sakit yang sama, yang sempat masuk UGD, tapi kini sudah dipindah keruang rawat biasa.
Saat melihat si pengendara Rover dari luar ruang rawatnya, Ve begitu sangat amat terkejut. Wajah itu... Wajah yang tidak asing untuk Ve. Seorang pria yang pernah dia lihat bersama Mama nya di sebuah apartemen. Kontan, saat Ve mengenali wajah si pengendara SUV. Dia bertanya pada petugas 'Apa pria itu bersama seseorang saat mobilnya menabrak taksi yang sedang ditumpangi Adiknya?'. Petugas menjawab 'ya' dan kemudian mengantarkan Ve keruangan disebelahnya, tempat teman semobil si pria. Wajah terkejut Ve, bertambah menjadi wajah marah-semarah-marahnya. Dia melihat Mamanya yang ada diruang rawat itu. Menggambarkan bagaimana SUV yang dikendarai pria itu dengan Mama duduk disebelahnya, menghantam taksi yang didalamnya sedang dinaiki Shania!. Ve tidak masuk kedalam kamar rawat Mama, dia kembali keruang tunggu ICU. Terduduk sendirian, dengan tangis dan kesedihan jadi teman setia.

"Maafin Kakak! Kamu denger suara Kakak kan? Kamu harus bangun, Dek! Kamu... gak akan ninggalin Kakak sendirian kan?" Ucapan Ve bercampur dengan air matanya.
"Kakak... tidak mungkin menghadapi semua ini sendirian! (Menghadapi Mama dan Papa dan kondisi kacau di keluarganya!) Temani Kak Ve. Kakak butuh kamu, Sha..nia... "
Ve menunduk, mencium tangan adiknya. Lalu dia simpan tangan yang terlilit slang dengan jarum yang membentuk sebuah infus itu ke pipinya. Mencoba menghangatkan tangan dinginnya Shania.

Kejadian yang terasa begitu cepat, dialami. Kini hanya menyisakan rasa takut, dalam selimut tanya pada Tuhan.
'Kenapa harus seperti ini, jalan hidup yang Dia berikan untuknya dan Shania?'
Tapi, sebanyak apapun tanya yang melintas liar mendiami pikiran. Hingga kadang berujung tuduhan pada Tuhan tentang ketidakadilan hidup yang Dia berikan. Tidak akan menghasilkan apapun, kecuali rasa sakit yang semakin membuat sesak.

Pasrahkan semuanya pada Tuhan, tapi jangan menyerah. Karena pasrah tidak berarti menyerah.
Menyerahkan rasa sakit itu untuk bisa Tuhan obati, setelah pengobatan yang dilakukan sendiri tidak membuahkan hasil. Menyerahkan kondisi yang dalam kekacauan pada Tuhan untuk bisa dibenahi, setelah upaya yang dilakukan sendiri tidak menghasilkan apapun. Pasrah... setelah semua upaya kita tempuh, bukan Pasrah.. tanpa ada upaya dan hanya mengangkat tangan menyerah pada semuanya.


Sore ini, rencananya Ve akan pergi menemui Mama, dan Beby yang dirawat di rumah sakit Harapan. Setelah kemarin dia mendengar dari Si Mbok, kalau ada guru dan teman-temannya yang mencari Shania.
Selain ingin memberi tahu soal kondisi Shania, Ve juga ingin memberikan uang hasil penjualan mobil yang Shania lakukan sebelum kecelakaan itu mendahului Shania untuk bisa menyampaikan kabar gembira pada Beby, kalau dia bisa di Operasi. Ve juga sudah membaca pesan dari Melody, kalau kondisi Beby terus memburuk, dan harus segera di Operasi.

Pagi harinya, setelah menemui Shania. Ve langsung menemui Teller-teller di Bank, untuk mengambil tabungan milik Shania yang sudah Shania beritahukan lewat pesan singkat sesaat setelah Shania dan Ve berbincang melalui Line telpon. Memberitahukan segala kebutuhan kalau-kalau dia tidak bisa mengambil uang itu. (Pertanda lain, tentang Shania yang akhirnya mengalami kecelakaan!).


"Cindy.. Kak Melody..."
Beby menyambut hangat kedatangan mereka keruangannya.
"Haii..., gimana hari ini? enakan?!"
Melody yang pertama menyapa.
Beby mengangguk, "Semakin baik, Kak." diikuti jawaban palsu. Beby bilang badannya semakin baik, padahal dia sama sekali tidak sedang baik. Dan yang ada didalam ruangannya kini, tahu persis akan hal itu.

"Cindy?" Beby mengalihkan pandangannya pada Cindy.
"Ya?" Jawab Cindy.
"..Shania mana? Kok dia gak kesini? Udah 4 hari, selama aku disini. Shania gak ada kesini juga!"
Pertanyaan dari Beby membuat Cindy menelan ludahnya sendiri. Tidak tahu harus memberikan jawaban apa.
Cindy melihat kearah Melody dan Mama Beby. Seolah meminta tolong pada mereka tentang jawaban apa yang harus Cindy ucapkan di depan Beby tentang Shania. Shania yang, sedang dalam kondisi koma, tapi yang ada di dalam ruangan itu belum ada yang tahu.

"..Shania lagi,.. (Melody berhenti sejenak).. Dia lagi ke Jogja, nemuin dulu Kakek sama Neneknya!" Ucap Melody.
"Ke Jogja? Emangnya Kakek sama Neneknya kenapa Kak? Apa mereka sakit?" Beby tidak langsung diam menerima apa yang dikatan Melody.
Terpaksa, Melody yang sebenarnya belum tahu Shania ada dimana, dan Kakaknya juga yang tidak bisa dihubungi, kembali membuat kebohongan dari kebohongan yang sudah dia buat.
"(Melody mengangguk), Itu yang dibilang sama pembantunya waktu Ibu, Cindy sama Gaby juga Noella ke rumahnya Shania."
Akhirnya, Beby bisa diam setelah apa yang diutarakan Melody.

Sementara Mama dan Cindy didalam ruangan menemani Beby. Melody malah diam diluar ruangan. Ve yang baru datang, bisa melihat didepan ruang rawat Beby ada Melody yang sedang duduk sendirian. Setelah menanyakan dibagian depan, dimana ruang tempat Beby dirawat, Ve akhirnya sampai juga di lorong ruangan yang hanya ada beberapa orang diam diluar ruangan, menunggui keluarganya, seperti yang Melody lakukan.

Sampai didepan Melody, Ve tidak bicara. hingga Melody yang menyadari adanya seseorang yang sedang berdiri didepannya, mengangkat wajahnya.
"Ve...!" Suara Melody begitu halus.
Dia seketika berdiri dari duduknya.
"Akhirnya... Kamu kesini juga! Kamu sama Shania? Beby nanyain Shania sama Kamu terus tuh!" Lega Melody saat melihat Ve, dia kemudian bertanya.
Ve kembali merasakan sakit saat mendengar nama Shania disebutkan. Dia menitikan lagi air matanya. Melody jadi kaget saat melihat Ve menangis.
"Kamu kenapa? Ayo sini duduk dulu!" Kata Melody, dengan menuntun Ve untuk duduk.

Ve masih diam, dan Melody.. hanya bisa ikut diam dengan pikirannya entah memikirkan apa, kala bisa melihat lebih dekat dan jelas wajah Ve. Wajah yang kusut, lusuh, sedih, sakit, sebuah lukisan diwajah Ve yang belum pernah Melody lihat sebelumnya.

Beberapa menit lamanya Ve mencoba melawan tangis yang terus keluar dari muaranya. Hingga akhirnya dengan perlawanan pada air matanya sendiri, Ve bisa menghentikan tangis takut itu. Dia menghirup udara begitu dalam agar bisa memenuhi rongga parunya yang sesak karena tangis.

"Beby,.. dia gimana Bu?" Tanyanya Formal pada Melody.
"Gak usah panggil Ibu, panggil aja Kak Melody!" Jawabnya tidak ingin dipanggil Ibu, lalu menjawab lagi pertanyaan Ve.
"Beby... seperti yang sudah Kak Melody bilang dalam SMS, sama Chat. Kondisinya terus menurun, dan dia.. harus sesegera mungkin di Operasi! Meski presentase kesembuhannya, semakin menipis dari yang sebelum-sebelumnya, tapi Dokter bilang, kalau bisa di coba, kenapa tidak dilakukan!?"

Ve mencerna ucapan dari Melody. Dia sangat merasa kasihan pada Beby.
"Kalau begitu... lakukanlah Operasi itu Kak! Sebelum semua menjadi semakin terlambat!!" Usul Ve.
"Itu yang mau kita semua lakukan Ve, tapi..,-"
"Soal biayanya,.." Ve memotong ucapan Melody, dia mengedepankan tasnya, dia buka lalu mengambil sesuatu. "Ada titipan dari Shania, untuk Beby!" Ve memberikan amplop Coklat Muda ke depan Melody.
"Apa ini, Ve..?" Melody mengambil amplopnya.
Bola matanya melebar, saat bisa melihat apa yang ada didalam amplop itu.
"Ini... Ini semua.. dari Shania?" Ve mengangguk. "Tapi? Dari... Darimana dia bisa dapetin uang sebanyak ini? terus sekarang Shanianya dimana?" Melody heran, tapi juga ada rasa senang dalam hatinya,
"Beby pasti akan senang dapat kabar gembira ini, apalagi.. yang membantunya Shania! Iya kan?"
Ve mencoba memberikan senyumnya, mendengar rasa senang Melody.

Mama dan Cindy masih diam diruangan menunggui Beby. Belum ada yang tahu kalau Ve datang kerumah sakit.

"Jadi? Shanianya sekarang dimana? Biar Kak Melody bisa langsung kasih tahu Beby dan juga Tante Ana, kalau Beby bisa di Operasi! Dan biar Shania, bisa lihat sendiri proses Operasi. Mendampingi Beby melewati semuanya!!"
Melody kembali menanyakan keberadaan Shania, dengan diikuti harapan dalam kegembiraannya.

".. Shania... Dia gak bisa dampingin Beby masuk ruang Operasi. Dia juga belum bisa menjenguk Beby, Kak!"
Suara Ve jadi serak, dia kembali berjuang melawan tangisnya agar tidak pecah.
"Kenapa? Ada apa Ve?"
Melody akhirnya bisa merasakan sesuatu yang tidak beres, saat mendengar Ve bicara.
Ve kesulitan mengeluarkan suaranya, dia menunduk... lalu menangis dengan dia bekapkan tangan kanan ke mulutnya sendiri, agar suara tangisnya tidak terdengar.
"Heyy.. Kamu kenapa? Ada apa sebenarnya? Ve?!"
Melody mendekat dan memegang tangan kiri Ve yang bebas. Dengan tangan kanannya, dan tangan kirinya dia usapkan ke bahu Ve.

"...Shania.. Dia... Dia mengalami kecelakaan Kak!..."
Melody baru bisa mengangakan mulutnya saat mendengar suara Ve yang bercampur dengan tangis.
"Shania koma, dan... Aku gak tahu, kapan dia akan bangun...!"
Dengan perasaan percaya-tidak percaya mendengar kata kecelakaan dan koma yang melibatkan Shania, Melody segera memeluk Ve yang masih menangis.
"Dia yang... harusnya memberikan uang itu sama Beby...," Ve terisak, Melody kini ikut menangis menitikan air matanya.
"Semuanya.... gak seharusnya seperti sekarang... kalau saja... kalau saja waktu itu, Aku menjemput Shania... Aku yang salah... Aku gak bisa jaga Shania, Kak! Aku yang udah bikin Shania seperti itu... Aku... Aku takut kalau,-"
"Sssuutt, udah Ve. Jangan nyalahin diri kamu seperti ini! Tabahlah!!" Melody mengelus punggung Ve, untuk memberikannya ketenangan.

Lama, cukup lama Ve dalam dekapan Melody, menumpahkan rasa sesak didadanya. Hingga dia melepaskan pelukan Melody dari tubuhnya. Dan kembali bicara.
"Lakukan.. segera Operasi untuk Beby, Kak!"
Ve menyeka air matanya. "Karena itu yang Shania mau.. Melihat Beby sembuh dari penyakit Kankernya!"
Melody menggelengkan kepalanya. "Kalaupun, Operasi itu akan dilakukan. Maka, bukan Kak Melody yang akan menyerahkan uang ini sama Beby juga Tante. Tapi, Shania! Dialah yang harus memberikan uangnya!!" Ujarnya sambil memberikan amplop yang tadi Ve berikan.

Melody ada dalam keadaan serba salah dan tidak enak. Tidak mungkin dia memberikan kabar gembira diatas kabar duka, yang menimpa Shania.

"...Kalau kita menunggu Shania, entah kapan Operasi itu akhirnya akan bisa dilakukan. Shania Koma, Kak! Aku gak tahu kapan dia akan kembali!?..."
Mata Ve berair saat mengucapkan kalimatnya.
"Kalaupun.. Kak Melody berikan uang ini sama Tante Ana. Dia pasti akan bertanya darimana Kakak dapat uang ini! Terus? Jawaban seperti apa yang harus Kakak berikan!?"
"Alasan apapun Kak! Kita semua ingin agar Beby sembuh kan?... Lakukanlah, karena semua ini... yang diinginkan Shania. Jangan sia-siakan perjuangan Shania, untuk Beby, Kak! Aku mohon!!"
Ve mengembalikan amplop coklat itu kepangkuan Melody.
"Shania... emang gak ada disini. Tapi, Aku yakin.. dia pasti melihat semua ini! Temuilah Dokter, setujui prosedur Operasi. Biarkan Beby sembuh. Biarkan Shania tersenyum melihat hasil perjuangannya.! :'-(" Ucap Ve begitu tulus.

Melody akhirnya menyerah, dia tidak lagi menolak. Apa yang diutarakan Ve, memang benar adanya. Dia memegang kembali amplop coklat itu.

"Aku harus balik ke rumah sakit Kak. Karena Shania disana sendirian! Titip Beby ya Kak :'-)"
Ve berdiri dari tempatnya tadi duduk.
"Tunggu!" Melody ikut berdiri. "Apa tidak sebaiknya kamu temui dulu Beby sama Tante Ana?" Usul Melody.

Ve terdiam sejenak. Dia melangkahkan kakinya kepintu tempat ruangan Beby dirawat, melihat kedalam dari balik jendela kecil dipintu, terlihat sosok Beby didalam, Ve memandangi Beby.
"...Kalau Aku masuk dan nemuin Beby, dia pasti akan tanya dimana Shania! Dan Aku.. gak mau Beby kepikiran soal Shania yang mengalami kecelakaan, karena Beby pasti gak akan mau melakukan Operasi, kalau dia tahu kondisi Shania.!" Ve begitu pasti membuat tebakan.
"Jagain Beby ya Kak? Kabari Aku kalau Operasinya siap, dan saat nanti sudah selesai!"
Ve masih bisa mencemaskan Beby, ditengah kecemasannya memikirkan Shania.
"Ve..?" Melody memanggil Ve yang sudah siap pergi.
Setelah jaraknya begitu dekat. Melody melejit memeluk Ve.
"Shania akan baik-baik aja! Dia pasti akan kembali menemani kamu, dan kita semua..!" Ucap Melody dalam pelukannya pada Ve.
"Terima kasih, Ve. Terima kasih juga buat Shania. Beby.. sungguh sangat beruntung bisa memiliki sahabat seperti Shania, dan kamu yang sudah menganggap dia adik."
Ve hanya bisa mengangguk pelan, dengan di dalam hati meng amini ucapan Melody.


Sampai kembali dirumah sakit tempat Shania dirawat, Ve yang akan masuk ke ruang ICU, di cegah oleh suster. Dia bilang, didalam ruangan penuh, jadi Ve tidak bisa masuk dulu. Saat Ve tanya siapa yang sedang menjenguk Shania, Suster itu bilang... Orangtuanya Shania.

'Papa sama Mama(?) Mereka ada didalam?'
Rasa tidak percaya menguap dalam hati, Ve menanti keluarnya dua orang yang suster bilang orang tua Shania.


Sekembalinya dari luar, Melody diam memandangi Beby yang sudah tidur. Pikirannya menerawang membuat gambaran masa depan, seandainya Operasi itu dilakukan. Tapi, bagaimana kalau Beby tahu soal Shania yang mengalami kecelakaan?

Melody mengelus wajah Beby, ada sekelebat gambaran Shania ketika tangannya menyentuh wajah Beby.
"Kamu pasti sembuh!" Ucapnya lirih,
'Kalian berdua pasti akan sembuh!!' lanjutnya berucap dalam hati.

Mama yang melihat tingkah Melody, sepertinya merasakan sesuatu yang 'aneh' dari sikapnya. Meskipun Mama bukan Mama kandung Melody, namun perasaan seorang Ibu sangatlah sensitif. Dia bisa tahu apa yang sedang dirasakan anak-anaknya, ataupun orang yang dekat denganya.
Hanya dengan melihat wajahnya saja, dia bisa merasakan ada sesuatu yang sedang membuat anak-anaknya gusar, bahkan,.. meski hanya lewat sikap kecil yang tak terlihat. Dia selalu jadi yang pertama tahu.

Seorang Ibu yang benar-benar Ibu, akan tahu setiap keceriaan dan kesedihan yang sedang dihadapi anaknya. Sekalipun Ibu sedang dalam rasa lelah, sedih, karena masalah atau lain hal yang sedang dihadapi.

"Mel?" Melody melihat Tante Ana, "Bisa Tante bicara sebentar?" Melody mengangguk, karena kebetulan dia juga ingin memberitahukan Operasi Beby.
"Cindy? Tante titip Beby ya?" Pinta Mama.
"Siap Tante " Dengan senang hati Cindy menjawab.

Mama menuntun Melody keluar ruangan.
"Ada apa..?" Tanpa basa-basi, Mama langsung bertanya.
"Maksud Tante?" Heran Melody,
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Tante tahu, ada yang sedang kamu bingungkan, iya kan?"
Melody menghela nafas, ketika mendengar pernyataan Mama. Tanpa berlama-lama, dia mengeluarkan amplop coklat yang tadi diberikan Ve.
"Beby bisa di Operasi Tante! Besok, kita temui Dokter ya? Beby pasti akan sembuh!"
Ucapan Melody harusnya diutarakan dengan keantusiasan, tapi ini? Dia terlihat gusar dan begitu nyata terpampang diwajahnya, kalau Melody sedang menyembunyikan sesuatu.
"Dan ini... Biaya untuk Operasi Beby, Tante!"
Melody memberikan amplop itu pada Mama.

"...Darimana kamu dapetin uang ini?"
Pertanyaan Mama langsung ke inti.
"Jangan pikirkan darimana uang ini, Tante. Yang pasti, ini uang.. untuk Beby! Untuk jalannya Beby menuju kesembuhannya!!"
"Apa yang sudah Kamu sama Mama Kamu jual, Mel? Ini bukan jumlah kecil, kenapa kamu harus sampai melakukan semua ini, untuk Beby?"
Mama mencoba menebak, menyelami pikiran Melody.

Melody yang tadinya tidak ingin memberitahu, seperti yang diinginkan Ve, jadi terpaksa harus mengatakan yang sebenarnya. Karena Mama mengira uang itu darinya.
"Bukan Tante! Itu bukan dari Melody!!"
Jawaban Melody seketika mendapat pertanyaan lain dari Mama.
"Lantas? Dari siapa uang ini?"
"...Itu dari... dari Shania Tante!"
"Shania?" Melody mengangguk, "Shanianya sekarang dimana? Darimana Shania mendapatkan uang sebanyak ini, Mel? Terus, kenapa dia belum menjenguk Beby? Tapi malah ngasih uang yang jumlahnya segini banyak!"
Mama memberondongi Melody dengan tanya herannya.
"Shania... bukan Shania langsung yang memberikan uang itu, Tante! Tapi..." Melody diam sebentar, "Tapi.. Ve! Dia yang memberikan uangnya!!"
"Sekarang Ve? Terus Shanianya?"
"...Shania... dia... (Melody memejamkan kedua matanya, sebelum melanjutkan penjelasannya.), Shania... dia mengalami kecelakaan saat menuju pulang dari tempatnya mendapatkan uang ini, Tante!"

Pernyataan Melody langsung membuat Mama lemas.
Ve sempat menceritakan kronologi kejadian kecelakaan yang menimpa Shania.
Mama menundukan kepalanya lemas. Dua rasa yang masuk dalam hatinya, rasa senang saat mendengar Beby bisa di Operasi, tapi kemudian.. ada rasa lain yang mencampuri kegembiraan yang dirasa hingga tidak tahu pasti bagimana harus bereaksi.

"Ve tidak mau kalau Beby tahu soal kondisi Shania, yang saat ini sedang Koma, Tante! Yang Ve inginkan, kita segera mengajukan pada Dokter kalau Beby siap di Operasi. Dan menurut Ve, itu juga yang Shania inginkan!!"
"Koma..? Separah apa Mel?" Tanya Mama dengan raut wajah begitu sedih.
"Melody.. juga belum lihat langsung Tante! Besok.. Melody akan kerumah sakit tempat Shania dirawat. Dan Tante... ambilah keputusan itu Tante (Beby segera di Operasi). Ini semua... Shania yang menginginkan!"
"Haaaah... Skenario seperti apa yang sudah Tuhan buatkan, untuk mereka!? (Shania dan Beby)" Tanya Mama dalam campuran rasa didalam hatinya. Melody mendekati Mama dan memegang bahu Mama dari samping.


"Ve..?"
Suara Papa terdengar, Ve mengangkat kepalanya. Saat dia bisa melihat, ternyata.. Di sebelah Papa ada Mama yang masih mengenakan pakaian pasien.

Papa dan Mama mendekat, Ve beranjak dari duduknya. Dia melihat Papa... kemudian Mama... dengan tatapan dingin dan kuncian mulut, yang tidak ada sepatahpun kata meluncur dari bibir tipisnya itu. Ve lalu menyeret tubuhnya sendiri, untuk masuk keruangan tempat Shania masih terbaring.

"Ve tunggu, Ve! Papa mau bicara sama kamu?" Papa mencoba menghentikan Ve.
"Mama juga, Sayang! Mama mau bicara sama kamu?"
Ve yang tidak siap berhadapan dengan Papa dan Mama, hanya diam.
"Mama... mau minta maaf, Ve! Mama menyesal!!" Suara Mama sudah berat.
Ve yang ingin meninggalkan, malah jadi merasa berat untuk melangkahkan kakinya.
"Harusnya Mama yang ada di posisi Shania sekarang!... Ini semua salah Mama!!" Sesalnya.

Mama mengingat kondisi Shania, dia menarik kembali gambaran saat sedang dengan Pria didalam SUV Rover waktu itu. Mama dan si Pria yang mengemudikan, ternyata sedang terlibat adu mulut didalam mobil, hingga si Pria kehilangan kontrol dan ke fokusannya saat menyetir. Dan... terjadilah kejadiaan naas nan mengerikan yang sampai merenggut satu nyawa, dan nyawa lainnya terancam dalam kematian.

"...Dan Papa juga! Ini semua salah Kami,.. Papa dan Mama yang sudah gagal jadi orangtua buat kalian!!"
Papa ikut andil menyalahkan diri sendiri.

Ve merasakan sesak, saat mendengar ucapan yang membuat panas gendang telinganya.

"Lihatlah Papa sama Mama, Ve! Kami tidak mau, kehilangan kalian. Kamu sama Shania adalah pemberian Tuhan yang paling indah!! Maafkan tingkah Papa sama Mama yang sudah pernah mengabaikan kalian!!?" Ujar Papa.
Ve masih tetap tidak membalikan badannya untuk bertatap muka dengan Papa dan Mama.
"Kalau kamu masih marah. Tidak apa-apa, Mama cuma bisa berharap.. Kamu sama Shania, bisa maafin Mama... juga Papa! Maafi,-"

"Simpan kata Maaf itu Mah! Simpan penyesalan Papa sama Mama. Karena semua sudah terjadi!!" Ve membuka mulutnya juga.

Mama dan Papa mendengarkan dalam rasa sesalnya. (Mama menghubungi Papa dan memberitahukan tentang kejadian ini. Dengan cara mereka yang tidak dimengerti Ve, keduanya malam ini terlihat akur. Mungkin mereka sudah sadar akan kesalahan besar yang sudah mereka lakukan. Dan sekarang... tinggal bagaimana kedua orang yang dulu saling mencintai ini, menghadapi penyesalan yang muncul setelah sadar dari kesalahannya.)

"Kalau Mama masih percaya dengan harapan. Berharaplah... Tuhan masih memberikan waktu untuk Shania. Berharaplah... Tuhan masih bisa membuat Ve, menghilangkan rasa kecewa Ve, agar tidak jadi kebencian, buat Mama... juga Papa!..."
Mama menangis sesenggukan, Papa mendekat dan memeluk Mama dari samping. Mereka menyaksikan ucapan putri sulungnya, yang bahkan saat bicara tidak sama sekali memperlihatkan wajahnya pada mereka.

"...Nikmati penyesalan itu. Teruslah berharap, agar Kami... titipan terindah dari Tuhan ini, tidak membenci kalian. Karena Kita tahu, Kita tidak pantas untuk menaruh benci pada Papa sama Mama yang sudah berjuang keras, membuat Kita seperti sekarang ini!... Tapi, Papa sama Mama pasti tahu juga? Aku.. sama Shania, cuma manusia biasa Pah, Mah! Kekecewaan ini, sudah membuat Kita, kehilangan respect sama Papa juga Mama!!... Maafin Ve!!!" Ucapan terakhir Ve, meminta maaf!

"...Veee... Maafkan Mama...."
Mama semakin sakit dalam tangisnya.

Ve tidak mau menggubris, dia melanjutkan langkah kakinya menuju ruangan. Tanpa sedikitpun menolehkan wajahnya pada Papa dan Mama, yang menyebutkan namanya juga Shania, dengan iringan kata Maaf.

Kekecewaan itu sudah terlanjur terpatri dalam hati. Apa yang mereka sudah lakukan.. yang Ve sebut 'Orang Tua, Papa Mama' yang posisinya begitu sangat amat Ve hormati di sela rasa sayangnya. Membuat Ve menjadi merasa begitu sangat jauh dari Papa dan Mama, tidak mengenali lagi sosok panutan yang dulu selalu dia agulkan. Ditambah kejadian yang sekarang menimpa Shania, sungguh membuat Ve enggan kalau harus bertatap muka dengan kedua orang dewasa, yang sempat mengedepankan sifat kekanakannya itu dalam menghadapi masalah.

Kembali, Ve hanya bisa duduk disebelah Shania. Menggenggam tangan pucatnya, menatapnya nanar, terdiam bersama alunan desah nafas Shania dibalik oksigen, mendengarkan nada lemah dari irama alat perekam detak jantung yang tersambung dengan jantung Shania lewat kabel-kabel kecil.

Beberapa menit lamanya Ve dalam posisi itu, hingga dia akhirnya bisa mengeluarkan suaranya.
"Kapan bangun, Dek? :'-( Kakak kangen sama kamu!"
Ve ingat apa yang dikatakan dokter 'Shania.. memang dalam kondisi Koma, tapi jauh dialam bawah sadarnya, dia bisa mendengarkan ucapan mereka yang berbicara didekatnya, merasakan sentuhan fisik yang dia terima'

"Kamu tahu? Kak Ve... Kakak udah ngelakuin apa yang kamu mau!" ...
"Beby pasti akan sembuh! Dan sekarang... Kamu yang harus sembuh!! Lihatlah, kalian akan bisa kembali membuat tulisan tentang kisah persahabatan kalian nanti..!!"
Ve membiarkan air matanya yang mendorong, jatuh dari tempatnya. Membasahi tangan Shania yang sedang dia pegang.
"Berjanjilah? Saat mentari mulai menyeruak, menemani pagi. Kamu akan membuka mata kamu, untuk kembali menemani Kakak!... Kakak tidak perduli, disaat mentari yang mana kamu akan bangun, Dek. Yang Kakak mau... Kamu, kembali bangun. Kakak akan selalu menunggu kamu! Kamu yang tidak akan pernah ninggalin Kakak, dan Kakak.. yang tidak akan pernah melepas pelukan Kakak sama Kamu!!"

Sudut mata Shania meneteskan air mata. Dia merasakan, dia mendengar, tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Seperti ada di dunia.. namun bukan dunia.

*-*
Berdiri dikeramaian, tapi kesepian.
Berdiri dibawah teriknya matahari, tapi kedinginan.
Hanya berdiri dalam diam, karena tidak tahu dan mengerti pada apa yang terjadi.

Malam ini Beby begitu gelisah dalam tidurnya, seperti sedang ada yang memburu dalam mimpi yang memasuki tidurnya, sebuah mimpi buruk yang membuat Beby mengeluarkan keringat dingin. Sampai Mama, Melody, dan Tante Rose, yang melihat merasa takut.

Mama mencoba memanggil untuk membangunkan Beby, tapi dia tidak membuka matanya. Hanya desah nafas keresahan yang mengalun dari bibir Beby, dan gerakan kegelisahan yang diperlihatkan tubuh kurusnya, pada mereka yang setia mendampingi diruangan itu.

Melody segera menekan tombol Urgent, di sebelah kiri kepala Beby. Memberitahukan pada Suster jaga, kalau ada yang tidak beres diruangan itu.

"Beby?"
Beby menoleh kebelakang, "Shania...?" dengan senyum yang terpancar dari wajah pucatnya, Beby menyebutkan nama Shania.
"Kamu mau kemana?" Tanya Shania.
Mereka berdiri saling bersebrangan.
"Aku harus pergi, Shan!"
"Pergi? Kemana? Kamu gak boleh ninggalin aku sendirian!" Ujar Shania.
"Aku gak akan pernah ninggalin kamu. Aku akan selalu ada didekat kamu kok. Tapi... aku harus pergi!"
Beby mengulaskan senyumnya, sebuah senyum manis yang begitu tulus.

Shania memaku melihat Beby.
"Kamu gak bisa pergi gitu aja! Aku... Aku akan bikin kamu sembuh, Aku udah minta sama Tuhan, Beby. Dan kamu... akan sembuh!" Shania menitikan air matanya.
"Apa yang bisa kamu lakukan sekarang? Kamu udah minta sama Tuhan. Tapi kamunya sendiri? Kamu gak ada di dekat Aku! Aku gak cuman butuh uang atau bantuan lain apapun dari Kamu. Tapi Aku juga butuh Kamu. Datanglah, Aku butuh Kamu, Shania!!!"
Ucapan terakhir Beby, dibarengi dengan kepergiannya dari hadapan Shania. Kepergian yang begitu cepat, hingga Shania tidak tahu arah yang dituju Beby.
"Beby..?!" Shania berteriak dan mencari sosok Beby, "Bebyyy....!? Jangan tinggalin aku sendirian! Bebyy....."

Tangannya bergerak, jemari putih yang dipasangi slang infus dan darah itu menggerakan diri. Shania memperlihatkan gerakan kecil yang berarti. Saat dia sedang berteriak dialam yang tidak dia ketahui, memanggil dan mencari Beby yang pergi meninggalkannya.

Suster jaga ruang ICU segera memanggil Dokter. Ve yang sedang duduk mencoba beristirahat, didalam ruang tunggu khusus penunggu pasien yang ada diruang ICU, menggerakkan bola matanya. Mengikuti gerakan suster, untuk mengetahui apa yang terjadi diruangan itu.
"Aaada apa Suster?"
Ve mencegah suster yang keluar dari dalam ruangan setelah sebelumnya memanggil dokter.
"Ada perkembangan bagus, dari adik Mbak!  semoga ini pertanda baik, ya Mbak!!" Jelas Suster membuat Ve seperti mendapat angin sepoy ditengah padang pasir yang gersang. Meski kabarnya belum begitu pasti, namun harapan Ve kembali menyeruak kepermukaan.

"Bagaimana, Dok?"
Pertanyaan sama yang terus Mama ulangi setiap ada Dokter yang memeriksa Beby.
"Tidak ada apa-apa. Semua masih tetap sama! Tidak ada tanda kalau kondisi Beby menurun!!"
"Kalau tidak apa-apa? Kenapa Beby terlihat gelisah, Dok?" Kembali Mama bertanya, "Dan saat kita coba bangunin, Beby tidak merespon!"
"Kemungkinan... itu hanya efek samping dari obat. Tubuh pasien, sesekali bisa memperlihatkan reaksi seperti itu, saat dia dalam pengaruh obat yang baru masuk dalam tubuhnya."
Sedikit penjelasan Dokter yang bisa Mama terima, akhirnya bisa membuat Mama tenang. Ditambah, Beby pun kini sudah terlihat biasa lagi, menikmati tidur malamnya.

"Oh iya Bu? Bagaimana dengan Operasi Beby? Kapan akan ada persetujuan pelaksanaan Operasi itu?" Mama termangu. "Waktu terus berjalan, kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang masih ada di depan mata!" Ujar Dokter.
Dan sebelum dokter itu keluar ruangan. Dia kembali merangkaikan kalimat magicnya. "Kami harap, keputusan dari Ibu bisa secepatnya Kami dengar. Agar Kami bisa mempersiapkan semuanya! Pikirkan baik-baik Bu, kesempatan selalu ada, tapi alangkah lebih baik jika saat kesempatan pertama itu datang, kita segera mengambil keputusan, akan diapakan kesempatan itu!" Dokter pun pergi meninggalkan ruang rawat Beby.

"Apa yang harus Aku lakukan?" Mama memegang tangan Beby.

Melody dan Tante Rose melihat Mama. Mereka berdiri disamping Mama yang duduk menghadap Beby.

"Apa yang Dokter bilang, ada benarnya An. Kesempatan memang selalu ada. Tapi akan lebih baik pada hasilnya nanti, kalau kita mengambil keputusan dikesempatan pertama yang kita miliki. Apapun keputusan kamu, jangan sampai membuat satu sisi senang, namun sisi lainnya.. tidak bisa menikmati kesenangan!" Tante Rose bicara begitu lembut.
"Kalau kamu masih ragu menerima bantuan dari Shania untuk Beby, karena Shania juga sedang sakit. Maka sebaiknya, kamu bicarakan ini sama Beby! Membiarkan dia tahu kebenarannya, tidak akan menyakiti dia, An!" Ujar Tante, yang seolah tahu akan ketakutan Mama kalau seandainya dia bicara tentang Shania yang sedang dalam kondisi koma karena kecelakaan.

"Aku takut! Kalau Beby tahu soal kondisi Shania, dia malah drop. Dan... kita tidak tahu, apa yang akan terjadi sama Beby! Itu juga kan, yang Ve bilang?"
Mama melihat Melody. Apa yang sudah Mama lihat pada diri Shania ketika menjenguknya tempo hari, setelah Mama menerima uang dari Melody yang diberikan Ve. Membuat Mama berdiri dalam kebimbangan.
Menandatangani surat persetujuan Operasi untuk Beby, dan membiarkan putrinya itu dalam ketidaktahuan tentang kondisi Shania, yang terlihat buruk saat itu. Beby berhasil Operasi, dan mungkin dia akan sembuh, tapi Shania?.
Atau.. memberitahukan pada Beby tentang Shania, dan menjelaskan kondisi juga kemauan Shania. Agar Operasi bisa dilakukan tanpa ada yang ditutupi dari Beby.

Mama yang paling tahu bagaimana Beby. Saat Mama memberitahukan Opsi kedua, sudah jelas akan dapat penolakan dari Beby. Dan jika Mama langsung memutuskan Beby masuk ruang Operasi, tanpa memberitahu kondisi Shania. Ending yang belum bisa ditebak bisa saja melahirkan penyesalan.

"...Kamu yang lebih tahu bagaimana Beby. Kamu pasti bisa mengambil keputusan yang benar, Ana! Ikuti apa kata hati kamu. Beby butuh kamu!!"
Tante mengelus lembut pundak Mama. Melody memeluk Mama Ana dari samping, dengan pandangannya dia lihatkan pada Beby.


Pagi hari kembali datang, dengan ditemani mentari dan kicauan burung. Menyambut semua pejuang untuk menjalani lagi aktifitas mereka.

Satu sekolah, kini sudah tahu tentang Shania yang mengalami kecelakaan. Ochi, Gaby, Noella, Vanka dan Octy, merasa sedih saat mendengar kabar yang dia dapat dari Gaby. Gaby yang selalu jadi orang pertama tahu soal berita hangat yang beredar disudut sekolahnya. Sementara Cindy, dia bukan hanya merasakan sedih. Tapi juga merasakan perasaan bersalah, karena waktu itu.. dia yang menghubungi Shania dan memberitahukannya mengenai Beby yang tidak ada dirumah.

Sementara, Shania sendiri sudah bisa dipindah keruang rawat biasa siang ini. Menurut dokter, kondisinya sudah mulai menunjukan perubahan yang signifikan, meski dia belum sadarkan diri sepenuhnya. Namun, yang paling penting, Shania sudah berhasil melewati komanya.
Ve merasakan kelegaan yang teramat, saat akhirnya Shania bisa dipindah keruang rawat, karena dengan begitu dia bisa menemani Shania setiap saat. Tanpa harus menunggu jam masuk seperti saat di ruang ICU.

Mama dan Papa tahu akan hal itu (Shania pindah ruangan), karena mereka juga menemani Shania dirumah sakit. Meski Ve menganggap keberadaan Papa dan Mama antara ada dan tiada. Tapi Ve tidak bisa mengusir mereka dari dekat Shania. Karena bagaimanapun juga, mereka tetaplah orangtua bagi dirinya, dan juga Shania.


"Kenapa berdiri disini sendirian?!"
Tanya Mama pada Beby yang sedang ada di balkon ruang rawatnya.
"Cuacanya dingin, anginnya gak enak!" lanjutnya.

"...Shania... apa dia marah sama Beby, Mah?"
Tanpa melihat Mama dan menghiraukan perkataan Mama, Beby melagu menanyakan Shania.
"Kenapa bicaranya seperti itu?"
Mama memegang tangan kiri Beby, melihatnya dari samping.
"Sudah seminggu Beby dirawat disini. Dan selama itu juga, Shania gak terlihat Mah! Mungkin dia marah sama Beby. Iya kan?"
"Dia tidak lagi marah sama kamu sayang. Dia.. Shania kan..." Mama berhenti berucap. Beby mengerung.
"Masih di Jogja? Kakek sama Neneknya masih sakit, Mah?" Beby menyalip ucapan Mama dengan pertanyaannya.

Mama tidak langsung menjawab, beliau memikirkan apa yang dikatakan dokter semalam. Memikirkan apa yang dikatakan Tante Ana. Memikirkan apa yang dikatan Ve. Menimbang semua ucapan itu, membiarkan dirinya menjadi terdiam karena pikirannya sedang saling berdiskusi. Memberitahukan tentang kondisi Shania, membuka jalan untuk Beby masuk keruang Operasi. Atau tetap merahasiakan kondisi Shania dan langsung bisa memasukan Beby keruang Operasi.

"Mah?" Beby memegang balik lengan Mama, hingga Mama sadar dari lamunannya.
Mama memberikan senyumnya pada Beby, "Mama... Mama mau kamu di Operasi sayang!" Jawaban Mama melenceng dari topik yang Beby buka.
"Bukan ini yang sedang Beby bahas, Mah! Lagian.. Operasi itu, hanya jalan kecil yang sempit, yang sulit untuk bisa Beby lewati. Untuk Beby... tidak menjalani Operasi itupun, tidak apa-apa Mah!" Jawab Beby diikuti senyum duka diwajahnya.

Beby berkata seperti itu, karena dia tahu betul, tidak mungkin untuknya bisa menjalani Operasi. Biaya darimana untuk menjalankan Operasi modern itu?! Uang Mama mungkin sudah sangat menipis karena pengobatan yang selama ini dia jalani. Selain itu, apa yang dia rasa pada tubuhnya, cukup bisa membuat Beby menarik kesimpulan kalau dirinya tidak akan pernah baik-baik lagi!.

"Beby minta sama Mama... Jangan terlalu membebani pikiran Mama dengan semua hal.. yang tidak mungkin bisa Beby nikmati Mah. Beby sudah merasa bahagia dengan semua ini! Beby sudah siap dengan kemungkinan apapun yang akan Tuhan berikan untuk Beby!! :'-)"
Ucapnya dalam kepasrahan.; Mama memegang wajah Beby,
"Yang Beby mau... Kalian semua selalu ada didekat Beby. Menemani Beby kalau Kanker ini suatu saat membuat Beby harus meninggalkan tubuh Beby. Mama, Shania, Kak Ve, Kak Melody, Tante Rose, Cindy. Kalian semua, selalu ada hingga nafas terakhir Beby nantinya!... Mama mau kan, menemani Beby sampai akhir?"
Pernyataan dan pertanyaan itu membuat Mama merasa dipukul dibagian dada, hingga Mama menitikan air matanya. Mama memberikan pelukan hangat untuk Beby.
"Mama akan selalu menamani kamu. Sampai kapanpun! Mama sayang sama kamu!!"
Bisik Mama ditelinga Beby. Dan Beby hanya bisa membalas ucapan itu dengan senyum haru, dan pelukan yang dia eratkan pada Mama.

Beby menarik tubuhnya, melepaskan diri dari pelukan Mama. Mama mengusap air mata yang ternyata menetes dari kedua bola mata Beby.
"Beby... kangen sama Shania, Mah. Sama Kak Ve juga! Kapan ya? Kak Ve sama Shania pulang dari Jogja!?"
Ucapan Beby membuat Mama membayangkan wajah mereka berdua.
"...Kamu mau ya sayang di Operasi?" Mama malah kembali menyinggung soal Operasi.
"Mah... tadi udah Beby bilang kan, kalau..,-"
"Kalau Operasi ini, permintaan langsung dari seseorang yang sedang kamu kangenin?"
"Maksud Mama?" Kerung Beby bertanya.
"...Shania, dialah yang meminta Mama agar kamu segera menjalani Operasi!" secuil penjelasan Mama membuat Beby kembali bertanya.
"Shania? Dia itu... masih aja, selalu menggampangkan sesuatu! Darimana biaya untuk Beby bisa masuk ruang Operasi, Mah?"
"Dari Shania langsung!" Jawab cepat Mama, membuat Beby kembali mengerung.

Beby tahu, keluarga Shania sekarang begitu sangat mapan dalam keuangan, tapi itu tidak lantas membuat Shania bisa dengan mudah mendapatkan uang jika dia meminta pada kedua orangtuanya yang sedang jauh dari jangkauannya.

"Uang untuk biaya Operasi kamu ini.. dari Shania. Dia.. dia menjual mobilnya, untuk bisa menolong kamu!"
"Apa..?" Ucapan Mama membuat Beby menganga tak percaya.
"Kamu harus mau menjalani Operasi ini, kalau kamu memang menganggap Shania itu sahabat terbaik kamu! Karena dia... sudah memberikan yang terbaik buat kamu, sayang!" Beby masih termangu dalam haru menyelimuti air mukanya.
"Shania... dia melakukan itu, cuma buat Beby Mah?" Mama mengangguk untuk menjawab tanya Beby.

"Mah? Boleh gak? Beby... pinjem Handphone Mama!?"
"Buat apa sayang?"
"Beby mau hubungin Shania, Mah. Kalau dia sudah melakukan itu semua buat Beby, maka.. Beby mau, dia ada di dekat Beby, saat Beby masuk dalam ruang Operasi!" Mama kaget mendengar apa yang diinginkan Putri kesayangannya itu.
"Tapi sayang? Shania kan masih...,-"
"Beby akan tunggu Shania pulang Mah. Dia pasti akan ada di dekat Beby!" Potong Beby yang mengira Shania masih di Jogja.

Mama yang bimbang dalam mengambil keputusan, untuk memberitahukan Beby tentang yang sebenarnya. Malah jadi tidak tega saat mendengar keantusiasan Beby yang menginginkan adanya Shania didekat dia, saat Operasi berlangsung.

'Benar apa kata Rose!' Mama kembali mengingat ucapan Mamanya Melody. 'Apapun keputusan kamu, jangan sampai membuat satu sisi senang, namun sisi lainnya.. tidak bisa menikmati kesenangan!'
'Aku tidak bisa membiarkan Beby masuk keruang Operasi dengan ketidaktahuannya tentang Shania. Dia memang berhak, dan bahkan harus tahu. Tentang kondisi Shania yang sudah mau berkorban untuk dirinya.'

Mama memegang erat kedua tangan Beby. Memakukan tatapannya, mengumpulkan semua kekuatannya, Mama siap memberitahukan kenyataan yang selama satu minggu ini beliau tutupi dari Beby. Memberitahukan sebuah kenyataan dari kesemuan yang sudah dibuat. Dengan bersiap pada kemungkinan apapun, yang akan Beby perlihatkan, setelah ucapannya meluncur.


Shania perlahan membuka matanya. Mengerang sakit dengan suara lemahnya. Kepalanya terasa begitu berat dan sakit, inginnya menggerakan tangan untuk memijat kepalanya yang terasa sakit itu, tapi dia kesulitan untuk menggerakan tangannya, karena selama satu minggu hanya tidur, tidur yang membuat semua orang panik.

Yang bisa Shania lakukan hanya memejamkan mata, dengan suara erangan diikuti desisan pelan dari mulutnya. Ve yang ketiduran disebelah Shania, bisa merasakan ada sekidit gerakan dibangsal yang dia pakai menyimpan kepalanya saat dia menjaga Shania, hingga dia tertidur. Setelah gerakan yang dia rasa, Ve mendengar suara dari sebelahnya. Kontan, Ve langsung mengangkat kepalanya, dan melihat Shania yang setengah jam sebelumnya masih memejamkan mata.
"..Shania..?" Ve mengalunkan nama adiknya itu. "..Dek? Kamu denger Kakak?" Dia simpan tangannya dibahu Shania.

Shania bisa mendengar suara itu. Perlahan... dia mencoba membuka kedua matanya, untuk mengenali sipemilik suara.
"Apa yang kamu rasakan? Mana yang sakit?" Tanya Ve melihat wajah Shania menahan sakit.
Shania sudah bisa membuka matanya, tapi... hanya kegelapan yang dia lihat.
"Kakak panggilin dokter ya, Dek?"
"...Kenaaapa... geelapp?" Suara Shania begitu lemah.
Dia membuka-tutup matanya untuk mencoba kembali mendapatkan visualisasi. Namun hasilnya tetap sama! Gelap!!.
Ve yang mendengar jadi ketakutan sendiri.
"Sayang, kamu bisa dengar suara Kakak kan?" Tanya Ve, "Ini Kak Ve.. Kakak ada disamping kamu!" Shania mengikuti gema suara yang mengalun dari pita suara Ve.
"Kkkakak... Shaania.. dimanaaa Kak? Kenapaa.. Kenapaa disini gelap!"
Shania yang semula kesulitan menggerakan tangannya, mempekerjakan paksa, tangan kakunya itu untuk dia pakai meraba kedua matanya. Sangat jelas, tangannya yang sudah bisa menyentuh kelopak matanya, memberikan kabar bahwa dia sudah membuka kedua mata itu. Tapi, kenapa..? Dia tidak bisa melihat cahaya! Hanya warna hitam yang begitu pekat yang terlihat.
"Kkenapaa.. kenapa semua hitam?... Kakk, nyalain lampunya? Shania..., Kenapa gelap, disini begitu gelap!"
Ve membelalakan matanya, dia tahu ada yang tidak beres pada Shania. Rasa senang yang sempat meletup ketika tahu Shania siuman, jadi meredup saat dengan jelas Ve mendengar komplen darinya.
"Kakak ada disini, disamping kanan kamu, Dek! Kamu bisa lihat Kakak?" Ve mencoba menarik kembali perhatian Shania, dengan perasaan was-was.
"Shaniaa.. Arghhhh... Kepala akuuu sakitt!.." Shania merasakan kembali sakit dikepala bagian belakangnya.

Ve segera memanggil suster diluar, lewat tombol emergency di sebelah kepala Shania. Tidak lama suster datang, dan Ve langsung menyuruh Suster itu untuk memanggilkan dokter rawat Shania.


"Kenapa...? Baru sekarang Mama kasih tahu Beby Mah!?" Beby menitikan air matanya.
Mama yang akhirnya memantapkan hati untuk memberitahu Beby soal kondisi Shania, berakhir dengan kesedihan yang diperlihatkan Beby.
"Mama... Maaafin Mama sayang, Mama bingung, Mama gak tahu harus mengambil langkah apa? Mama terlalu takut kalau Mama akan kehilangan kamu!" Jawab Mama.
"Shania.. dia udah ngelakuin hal..., hal besar untuk Beby! Shania sama kayak Mama, takut kehilangan Beby. Tapi, bagaimana mungkin Mama menyimpan semua ini, dan malah menyuruh Beby untuk masuk keruang Operasi. Sementara, Shania sendiri? Dia sedang memperjuangkan hidupnya, Mah! Memperjuangkan kehidupannya, setelah dia memperjuangkan kehidupan Beby!" Mama tidak bisa berkata apapun, beliau hanya menunduk sambil menangis.
"Beby mau... arghhh--,"
Suaranya jadi desisan rasa sakit. Mama yang mendengar jadi takut.
"Beby..?"
"...Beby mau... hsss--, mau pergi nemuin.. ahwww--, Beby harus... nemuin... Shani...a..." Beby terjatuh tidak bisa lagi menopang tubuhnya yang kembali bereaksi dengan virus kanker. Mama membelalakan kedua matanya ketika melihat Beby ambruk. Dengan panik Mama mengguncang tubuh Beby. Tapi tidak ada respon, Mama berlari kearah bangsal untuk meraih tombol emergency.

"Apa yang bisa kita lakukan Dokter?"
Suara Ve begitu lemah, dia sungguh terkejut dengan apa yang dia dengar tentang kondisi Shania dari dokter rawatnya.
"Shania.. harus segera mendapatkan retina mata baru, untuk matanya yang sekarang!"
"Retina mata baru,... sssegera? Maksud Dokter?"
"Seperti yang sudah saya jelaskan diawal. Setelah melihat hasil scan mata bagian dalamnya Shania yang ternyata terluka. Lukanya sangatlah parah, pecahan kaca itu merobek retina mata Shania, hingga dia jadi mengalami kebutaan!"
Setelah senyum yang baru saja akan bisa Ve kembangkan ketika tahu Shania berhasil melewati komanya, kini senyum itu seketika kembali meredup.
"Apa yang terlihat dalam laporan, bisa dibilang cukup menghawatirkan dan mungkin akan jadi buruk untuk Shania."
"Jelaskanlah dengan bahasa yang lebih simple Dokter?" Protes Papa yang juga ada didalam ruang dokter.
"Kerusakan pada matanya, tidak bisa sembuh hanya dengan Operasi, Pak! Shania harus mendapat donor mata, untuk bisa mengembalikan penglihatannya. Transplantasi retina mata, itulah jalannya!!.. dan, dalam kasus Shania, ada beberapa hal baru yang kami temukan. Kerusakan pada matanya, harus segera ditangani, karena kalau tidak..." Papa, Mama dan Ve berharap cemas dengan apa yang akan diutarakan oleh dokter. "..Shania akan mengalami kebutaan permanen! Tanpa bisa disembuhkan lagi, sampai kapanpun!!".
Ve menundukan kepalanya, menangis membayangkan Shania. Pun dengan Papa dan Mama, mereka begitu sangat amat merasakan perasaan bersalah, ditengah kesedihannya.

Menyakitkan! Saat sebuah ujian, dihadapkan dalam kehidupan yang sedang dijalani. Hanya air mata yang jadi teman setia, berdiam diri menanti adanya keajaiban terselesaikannya ujian itu. Namun, apa dengan berdiam diri dan menunggu keajaiban itu? Ujian akan berakhir?! Seperti saat ingin melangkah. Tidak mungkin bisa kedua kaki melangkah jika hanya berdiam dan tidak melakukan pergerakan. Sama seperti halnya ujian hidup. Tidak mungkin bisa selesai sebuah ujian, jika kita hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun.


0 Response to "CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *17th Chapter*"

Posting Komentar

Setelah baca, comment ya^^