CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *13th Chapter*

...PELANGI DALAM SAKURA...
*13th Chapter*

Melody sampai ditempat yang tadi diberitahukan Cindy. Dia berjongkok melihat keadaan Beby yang masih menutup mata.
"Beby... kamu denger suara Kak Imel!?" 
Melody memegang pipi Beby yang entah dari kapan suhunya menjadi dingin.
"Beby bangun... Beby, kamu denger Kakak kan?!"
Melody masih mencoba membuat Beby sadar, namun Beby tidak juga memberikan reaksi pergerakan yang berarti, hingga kepanikan Melody, dan juga Cindy yang sedang melihat dari belakang semakin menjadi.

"Bu..! kita harus bawa Beby ke UKS!!" panik Cindy dengan sorot mata sedih melihat Beby.

Melody diam masih melihat wajah Beby, dan tangannya dia tempelkan di pergelangan tangan Beby mencoba mencari denyut nadi.

"Kita akan bawa Beby ke rumah sakit!.. bantu Ibu, Cindy! kita harus segera membawanya!!" ucapnya, begitu ketakutan.

Denyut nadi di tangan Beby begitu terasa lemah saat Melody bisa meraba dan merasakan denyutan yang begitu lemah dan terus melemah itu. Cindy hanya bisa mengangguk, dengan wajahnya begitu sangat amat cemas dan ketakutan.

Melody dengan dibantu Cindy mencoba membawa Beby ke pelataran parkir yang jarak nya tidak jauh dari tempat mereka sekarang (lewat belakang), tanpa ada bantuan lain.
Saat mereka lewat, hanya beberapa murid yang kebetulan sedang berada di sekitaran pelataran parkir yang melihat Melody dan Cindy menopang Beby yang pingsan. Tapi mereka hanya menatap, tanpa ada keinginan untuk membantu.

Beby sudah masuk di seat belakang mobil Melody, dengan Cindy menyusul dan duduk disebelah Beby (memangku kepala Beby di pahanya). Melody segera duduk di belakang kemudi dan mulai menstarter Mobil.

"Kak Imel mohon.. bertahanlah Beby!"
bisiknya dalam ketakutan.

Melody segera menancap pedal gas, dan saat sampai didepan gerbang, security yang akan membukakan gerbang menghampiri mobil Melody, kemudian bertanya. Dengan rasa takut yang coba Melody kendalikan, dia memeberitahukan pada security penjaga, kalau dia akan membawa salah satu muridnya yang pingsan kerumah sakit. Segera setelah mendengar apa yang diucapkannya, security itu membukakan jalan dan sedan putih yang dikemudikan Melody pun segera berlari berpacu dengan waktu membawa Beby yang entah bagaimana kondisinya kini.

Melody tahu rumah sakit mana yang akan dia tuju, karena Mama nya Beby sudah pernah memberitahukan pada Melody kalau-kalau kejadian seperti ini menimpa Beby. Melody mencoba berkonsentrasi kejalan, meski dengan sesekali dia melihat kebelakang dari spion tengah.

Sampai di rumah sakit Beby segera ditangani di Unit Gawat Darurat. Melody dan Cindy diam diluar, tapi terlihat tidak bisa diam. Berharap cemas menunggu kabar dari Dokter yang menangani Beby.


Sementara itu di sekolah, murid-murid sudah masuk kembali ke kelas. Beberapa guru termasuk Kepala Sekolah sudah tahu perihal Melody yang membawa Beby ke rumah sakit. Karena saat menunggui Beby diluar ruang UGD, Melody memberikan kabar, yang dia informasikan tidak hanya pada pihak sekolah tapi juga mengabari Mama Beby yang masih dalam ikatan waktu kerja di rumah sakit yang sama.

"hei! hei!.. ada informasi baru, masih hangat lagi!!"
Gaby yang kembali paling terakhir dari kantin, karena dia tadi ke kamar mandi dulu, bicara begitu antusias, sampai membuat Shania dan Ochi merapatkan alis matanya.
"tadi.. kan gue abis dari toilet, abis itu gu,-"
"to the point, Gab! jangan bikin orang penasaran!!"
Ochi memotong, karena dia tahu bagaimana cara Gaby menyampaikan "informasi" hangat yang baru dia dapat (bertele-tele, untuk membuat teman-temannya penasaran)

"Haaahh.. Oke, Oke! jadi gini... gue denger bisikan dari beberapa murid, katanya tadi pas istirahat mau abis, ada seorang murid yang pingsan di deket kamar mandi yang ada di belakang, di sebelah kantin!"

Shania terbelalak, nafasnya serasa menurun saat mendengar ucapan yang belum gamblang dari Gaby, tapi dia coba tutupi.

"dan kalian tahu apa..? murid yang pingsan itu... dia itu, Calon Artis kita!"

Ochi sudah tahu siapa yang dimaksud Gaby, saat Gaby menyebutkan ‘calon artis’, dan dia langsung berpaling melihat Shania; Dari agak kaget karena dia pikir Beby lah yang dimaksud Gaby, Shania jadi mengerung, karena saat pemilihan dan pembahasan calon artis, dia sedang ke kamar mandi.

"too bad! belum juga dikerjain, malah pingsan duluan!" keluh Gaby, dalam penutup ceritanya.
"emang siapa.. calon artis yang lu maksud!?" Shania bertanya, untuk memperjelas.
"itu... si Beby! anak pindahan yang baru beberapa minggu disini!!" jawab Gaby.;

Shania terlihat kembali kaget atas apa yang baru saja masuk digendang telinganya.

"rencananya kan, kalo gak besok, atau lusa, kita mau ngerjain dia! sesuai dengan apa yang sudah kita rundingkan, iya kan Chi?" Gaby mengalihkan pandangannya pada Ochi yang sedang mempelajari wajah Shania, lalu dia mengangguk sambil melihat sekilas menanggapi ucapan Gaby yang tidak semuanya dia dengar, karena dia lebih fokus ke Shania.
"jadi... yang pingsan itu, si Beby!?" ucap Shania terdengar datar di tone nya. Gaby mengangguk,
"dideket kamar mandi yang di sebelah kantin itu?" kembali Gaby memberikan anggukan atas pertanyaan Shania.

"eh iya! lu... tadi bukannya pas istirahat pergi ke kamar mandi ya, Shan? Ehmm.. pake kamar mandi yang disana kan!?" pertanyaan Gaby membuat Shania kaget.
"iya... gue tadi emang dari kamar mandi itu, tapi... gue gak lihat dia kok!!" jawabnya berbohong.
"Ohhh..." hanya itu yang bisa Gaby ucapkan,
Pikiran Shania kembali ke saat jam istirahat, saat dia bicara dengan penuh kebencian pada Beby.

Reaksi Shania dimata Gaby biasa saja (Datar dan memang tidak perduli), tapi lain di mata Ochi. Dia tahu, kalau Shania bertemu dan bahkan begitu bencinya bicara menanggapi Beby, di dekat kamar mandi pagi menjelang siang tadi.
(Pas Shania ke kamar mandi, selang beberapa menit lamanya, Ochi bermaksud ke kamar mandi juga, sekalian melihat kenapa Shania perginya lama). Dan Ochi, melihat 2 sahabat lama itu sedang dalam balutan kata di balik ekpresi wajah masing-masing (Shania marah tapi ada kilasan air muka sedih. Beby terkejut), Ochi kesana tepat saat Shania sedang memuncaki amarahnya dan bicara pada Beby soal apa yang sudah membuatnya membenci dia.

Guru datang untuk memulai pelajaran. Shania yang awalnya bisa mengikuti penyampaian materi pelajaran, malah jadi melamun, serasa ada yang mendongeng untuknya dan dia masuk lalu bermain dinegeri dongeng yang sedang dilantunkan guru bhs.inggris nya.

Sepertinya dia memikirkan Beby, memikirkan karena rasa cemas, atau mungkin memikirkan kehidupan keluarganya, atau… entah apa yang sedang bergemuruh didalam kepalanya kini. Karena yang pasti.. Shania terlihat biasa dari luar, tapi dalam hati, merasakan hal yang dia sendiri tidak bisa terjemahkan (sakit, sedih, resah, gelisah, takut, marah), semua bercampur dalam hatinya hingga akhirnya dia jadi tidak bisa tahu apa yang diinginkan hatinya sendiri.

Sementara itu, Ochi malah megerung, ada rasa kesal menelusup hatinya, saat dia lihat wajah Shania yang Sok tidak perduli, tapi jika dilihat lebih dalam.. dia sepertinya memikirkan dan mungkin saja… khawatir pada Beby yang katanya, dia itu sekarang musuh untuknya.
'wajah apa itu..?' dan tanpa sepengetahuan Shania, dia sedang memcermati wajahnya.
'kenapa dia sepertinya khawatir pada orang yang tadi dia bentak!?'. . .
'kenapa juga dia harus berbohong?, kalau dia tidak bertemu Beby di kamar mandi itu! padahal kan....'
Ochi menjadi gusar, karena dia merasa iri pada Beby, yang sedang di benci Shania, tapi pada kenyataannya… Shania yang membenci, malah seperti memperhatikan dan masih menaruh rasa sayang nya pada Beby, si sahabat kecilnya. Sementara pada dia sendiri.. cerita-cerita tentang yang sedang Shania rasakan padanya, hanya sekedar berbagi cerita, tanpa ada yang bisa menarik dia dari kehidupan bahagianya kala di Jogja, tanpa ada yang bisa menggeser cerita dulu tentan persahabatannya dengan Beby.


"Bu, ikut saya, dokter mau bicara!"
Seorang suster yang juga kenal pada Mama Beby, mendekati dan mengajak Mama untuk masuk ke ruang UGD.

Mama melihat dulu pada Melody dan Cindy.
"temani tante, Mel!?" tiba-tiba Mama meminta pada Melody,
Melody sempat menarik alis matanya, tapi kemudian meng iyakan dan berjalan bersama Mama, dengan sebelumnya bicara pada Cindy.

"...kondisi Beby... sudah sangat menghawatirkan! sel kanker nya, terus dan terus menyebar lebih cepat, untuk merusak jaringan didalam tubuh Beby!"
Mama menitikan air matanya,
"kita harus secepatnya melakukan operasi itu Bu, tubuh Beby terus melemah akibat dari serangan sel kanker dalam tubuhnya, dan kalau kita terus berlama menunda operasi dan hanya mengandalkan imunotherapy... itu tidak cukup. Perlahan tapi pasti, sel itu terus menggerogoti bagian dalam tubuh Beby!"

"tapi, bukannya imunotherapy itu untuk memperlambat perkembangan sel kanker?! lantas kenapa? kenapa sel kanker dalam tubuh Beby bisa mengalami pembelahan dan penyebaran begitu cepat, dok!?" Mama mencoba bertanya, karena sesaknya rasa di dada.

"imunotherapy itu.. diperuntukan bagi yang belum terserang, yang dari silsilah keluarga sudah ada yang pernah mengidap kanker, bukan untuk yang sudah terkena penyakit tersebut. Fungsi obat itu berubah untuk Beby, hanya untuk memperlambat pembelahan sel, tapi, kita tidak bisa memprediksi berapa persen obat itu bisa membantu. karena obat bekerja sesuai dengan kinerja didalam tubuh pasien sendiri!!"

Melody memegang lembut bahu tantenya, mencoba memberikan sedikit kekuatannya agar beliau tegar.

Kehidupan yang sudah berjalan dalam kesedihan, bisa mereka (Mama dan Beby) atasi pada awalnya, tapi semakin kesini.. himpitan itu semakin membuat sesak, apalagi untuk Mama. Kondisi Beby yang semakin hari semakin mencemaskan tapi Beby... dengan memasang senyum di wajahnya, dia selalu berusaha menghibur Mama, mengabarkan secara tidak langsung, kalau dia baik-baik saja. Dan Mama… beliau memang tidak pernah putus asa agar Beby bisa sembuh, tapi, Mama tidak pernah tahu bagaimana tangan Tuhan bekerja, kali ini Mama merasa seperti sedang dipermainkan takdir.


"Shania..."
Suara Ve terdengar memanggil Shania yang baru pulang sekolah, dan akan menaiki tangga menuju tempat "ternyaman" (Kamarnya) didalam ruangan gede milik orangtuanya. Dia terhenti meski dengan perasaan enggan.

"Udah makan siang belum?" Tanya Ve melanjutkan.
Shania mengerungkan wajahnya tanpa terlihat oleh Kakak nya.
"Makan siang bareng Kakak, yuk?" Lanjutnya masih belum mendapat balasan dari sibungsu yang kemarin pagi dia tampar.
"Kakak tadi dibantu sama si mbok masak makanan kesuka,-"
"Aku udah makan!"
Singkat Shania akhirnya menjawab, tanpa menoleh, dan kembali melanjutkan jalan gontainya menuju kamar.

Pikirannya saat ini terlalu sumpek dia rasakan! Kebaikan yang sedang Kakaknya sendiri perlihatkan, sepertinya tidak bisa mengusir kesumpekan itu.

Dan, Ve yang ditinggal tanpa ditoleh, hanya bisa mendesah menghela nafas yang menyesakan dadanya. Dia sadar, tidak akan semudah melangkah untuk membuat Shania kembali dekat lagi dengannya sebagai Adik-Kakak seperti dulu. Tidak akan semudah menghirup dan mengeluarkan udara untuk membuatnya menarik Shania dari kesepian yang mendalam, yang sudah dia dan orangtuanya sebabkan. Dan, tidak akan semudah memijit remote tv mencari tontonan menyenangkan, untuk mengembalikan kondisi keluarganya agar bisa baik dan harmonis kembali, seperti yang dulu.

Masih bisakah, keluarga nya itu baik dan harmonis lagi (?).

Terkadang.. butuh kesalahan untuk kita mengetahui kebenaran, butuh kesedihan untuk kita merasakan kebahagiaan, butuh perpisahan untuk kita menghargai pertemuan. Dan itu yang sedang dialami Ve, kembali dia sadar kalau kehidupan yang kini dia jalani, bukan lagi kehidupan sehat. Dia sedang mengobati kehidupan itu, berharap bisa setidaknya menarik Shania untuk kembali bisa dia dekap. Karena Mama sama Papa.. untuk memikirkan nya saja, Ve merasa tidak tertarik.

Shania yang sudah masuk dalam kamarnya, tidak langsung mengganti pakaian atau membersihkan diri sekedar mencuci mukanya yang terlihat lusuh, tapi dia langsung membanting tubuh lenjang nya keatas pembaringan. Matanya yang menyipit jika dia tersenyum, dia arahkan ke langit-langit kamar.

'Aku tidak sepicik itu.. Aku tidak ada hati sama dia!'
Hanya beberapa kata yang Shania masih ingat saat bertatap muka dengan orang yang dia benci.. si 'mantan' sahabat.

Membuat mozaik gambaran pertemuan terakhir yang menyakitinya, mengacak kembali ingatannya pada apa yang dikatan Beby.
'Aku membencimu! Sungguh!! Tapi kenapa? Saat mata itu menatap dan bibir itu merangkai kata, kearahku. Seakan ada kebenaran yang tidak ingin kuterima dari setiap pengakuannya!!'

Kesakitan dalam kesepian, terlalu lama menaungi langkahnya. Tidak ada lagi hal yang indah yang bisa dia rasakan. Senyum itu.. Tawa itu.. hanya perisai dari ketidak tahuan pada apa yang sedang dia hadapi, dan bagaimana cara menghadapinya.
Tanpa Shania sadari, dia kini sudah terlelap. Ditarik kedalam dunia lain (dunia mimpi) yang untuknya terasa lebih indah, dibanding dunia nyata yang sedang dia tapaki.


Cindy sudah pulang, setelah sebelumnya masuk ke kamar rawat Beby, yang sudah di pindah dari UGD, untuk sekedar melihat bagaimana kondisi teman barunya itu. Raut sedih menemaninya di dalam taksi, dia sudah tahu perihal penyakit yang mendera Beby. Ingin dia melakukan sesuatu untuk menolong Beby, tapi apa? Cindy bertanya pada Tuhan, kenapa dia harus di pertemukan dengan seseorang yang baik, namun mungkin.. tidak akan lama dia jumpai. Bukan maksud Cindy memvonis, tapi kenyataan berbicara sangat nyata di depan mata.

apa pernah, Cindy membaca dalam sebuah artikel, seseorang yang sudah terserang kanker, bisa kembali sembuh.. Total?

apa pernah, Cindy mendengar sebuah berita tentang pengidap kanker yang masih bisa bertahan hidup, dalam jangka waktu yang panjang?

apa pernah, Cindy menyaksikan sebuah keajaiban dari seorang pesakitan kanker, kembali berjalan menempuh hidup, secara normal lagi?

Pertanyaan dalam pikiran yang sedang dia mainkan, tidak sama sekali membuatnya tenang, setiap mengulang kembali memory video tadi siang, dan percakapan Mama nya Beby dengan Melody yang begitu terdengar kesakitan, setelah keluar dari ruang dokter.

Melody menelpon Mama nya dan memberitahukan semuanya, hingga malam menjelang larut, tante yang juga Kakak dari Mama Beby itu datang. Dia yang memang satu aliran darah dengan Mama Beby, mencoba menguatkan Mama yang sudah terlihat lelah. Lelah bukan berarti ingin menyerah, Mama cuma sedang mengeluarakan sesak didadanya lewat ekspresi lelah yang sebenarnya tidak ingin dia perlihatkan.

Sementara Beby sendiri, masih belum membuka mata untuk memberitahukan pada sang Mama atau yang lainnya yang sedang menunggunya dalam kesedihan, kalau dia baik-baik saja. Dia masih memejamkan mata, yang entah sedang dimana roh nya sekarang. yang terlihat kasat mata hanyalah, Beby masih ada bersama mereka, masih ada lewat sebuah alat deteksi jantung (ECG) yang terpasang di dadanya, memberikan informasi kalau dia masih ada. Hanya suara nyaring itu yang menggema didalam ruangan, suara penanda masih adanya kehidupan dalam setiap detak saringan bunyi alat tesebut.


***
Hari ketiga, Cindy duduk disebelah bangsal Beby, kondisinya sudah cukup (belum sangat) stabil. Dia menjenguk Beby sepulang sekolah, kini didalam ruangan hanya ada dia dan Beby yang masih tidur, Mama Beby sedang ke kantin dengan tantenya Beby. Sementara Melody masih di sekolah.

"di sekolah gimana, Cindy?"
Cindy yang sedang melihat wajah Beby, terkejut. Saat dia pandangi wajah itu... matanya masih menutup rapat, tertidur dengan wajah pucatnya.
"Bebyyy.. kapan Bangun?!"
"kaget ya?" senyum lemah Beby
"enggak kok! senang malah!!" balas Cindy dengan senyum juga.
"kalo senang... masa mukanya muram gitu?!"
"kalo aku ketawa-ketiwi, nanti yang ada aku dimarahin suster, karena udah ganggu istirahat pasiennya!!" jawab Cindy dengan tekanan datarnya.
Beby kembali memasang senyum "udah bisa becanda sekarang?"
Cindy hanya tersenyum.

Beberapa detik... ruangan sepi, tanpa ada suara dari keduanya.

"kamu.. jenguk aku cuma buat diam aja?"
Cindy mengangkat kepalanya, air mukanya sungguh sendu.
"hibur aku dong Cindy! aku bosan dengan bau rumah sakit kayak gini!!"
Cindy coba tersenyum pada Beby.
"cerita dong... di sekolah gimana?"

"(menghela nafas)... disekolah... beda!" jawab Cindy.
"beda?. . . bedanya?"
"gak ada Beby.." Cindy terdengar polos,
"dulu juga gak ada aku kan?" jawab Beby.
"iyaa.. dulu gak ada kamu, dan aku... cuma seorang Cindy yang hanya diam dalam ketakutan, karena tidak pernah bisa memiliki teman apalagi sahabat!"
Beby memandang Cindy, yang masih melagu.
"tapi.. saat kamu datang dan mengulurkan tangan kamu, aku ngerasa, masa SMA ku gak akan aku habiskan seorang diri, tanpa ada kenangan berarti! kamu memperlihatkan padaku banyak hal. Aku yang sekarang udah gak malu buat senyum dengan tanpa menunduk, Aku yang sekarang bisa berbaur dengan teman-teman sekelasku, Aku yang sekarang tahu bagaimana memulai pertemanan. Dan semua hal baik itu... Aku dapat dari kamu,. . . Beby Chaesara... Anadila!!" Cindy kembali menunduk dengan kali ini menangis, mengingat penyakit Beby.

Beby terharu, mendengar pengakuan Cindy tentang dirinya.
"karena kamu yang sekarang, maka... kamu akan mendapatkan kenangan berarti dan indah saat kamu menyanyikan lagu kelulusan nanti :'-)" meski dia merasa kepalanya sedikit sakit, dan suaranya tidak terlalu besar. Dia tetap bicara untuk memberi semangat pada teman, yang bisa jadi nantinya menjadi sahabat.
"kamu pantas mendapatkan memory indah di masa SMA kamu Cindy! bahkan tanpa aku sekalipun, kamu pasti bisa membuat coretan indah yang kelak akan kamu ceritakan pada suami kamu, anak-anak kamu , jadi kamu harus Semangat..!!!"
Cindy mencoba menahan aliran air matanya, mendengar suara lemah itu.

"Kamu perlu tahu? Aku… akan berada di sebelah kamu, kita akan bersama menyanyikan lagu kelulusan, menanggalkan seragam penuh kenangan. Aku akan ada di sebelah kamu, dan sahabat aku. Dengan... atau tanpa kalian bisa lihat lagi wujudku.. :"-)"

Mencoba menahan tangis, bukannya berhasil malah semakin deras keluar, Cindy membekap mulutnya agar suara dari kesedihan itu tidak menggema beriringan dengan suara detak lemah jantung Beby, dalam ruangan bercat cream smooth.

"udah... jangan nangis terus! seprai tempat tidurku jadi basah.. hehe" canda Beby dengan memegang lembut tangan Cindy.

Cindy menyeka air matanya sambil memaksa sedikit tersenyum.

"Cindy?"
"ya?"
"ehmm... Shania sama teman-teman nya gimana?"
tanya Beby, membuat Cindy sedikit mengerung.

Cindy tidak habis pikir, saat dia lihat Beby pingsan dan sebelumnya berpapasan dengan Shania, dia meyakini kalau Shania sudah melakukan sesuatu yang membuat Beby akhirnya tumbang. Tapi, kenapa Beby masih mau menanyakan tentang dia, yang jelas tidak memperdulikan dan bahkan membenci dirinya.

"dia... dia masih sama, seperti Shania yang aku tahu!" lalu Cindy menjawab sekenanya.

Beby hanya bereaksi 'ohh' menanggapi cerita singkat Cindy. Pikirannya kini membuat garis lurus yang dia tarik kebelakang, pada waktu istirahat, waktu dimana dia tahu penyebab Shania sebegitu membencinya.

Beby... memenuhi pikirannya dengan Shania dan Subhan. Bagaimana cara memberi tahu Shania kalau dia tidak sama sekali tertarik pada Subhan, yang hanya dia anggap sebagai Kakak lelakinya, tidak lebih.
Bagaimana cara meyakinkan Shania kalau Subhan hanya suka dan mencintai dirinya, bukan Beby.
Bagaimana cara memberitahukan pada Subhan tentang kesalah pahaman yang sedang menguasai sisi hati Shania, karena Subhan.. kini sedang berada di Jepang. Kembali mengekor orang tuanya yang dipindah tugaskan, dan kini.. bukan di kota lain, tapi di negara lain.

"kenapa… kamu kok masih menanyakan soal Shania sama teman-temannya? Padahal... yang terakhir Cindy lihat, Shania sudah meninggalkan kamu di tempat itu! Tentang sikap mereka yang tidak enak dilihat juga!! kenapa kamu harus perduli sama mereka, terutama Shania?"

Beby yang melamun, ditarik kembali oleh pertanyaan dari suara Cindy.

"karena dia... Shania itu... sahabat aku, Cindy!"
Cindy kaget mendengar hal itu,
"…maaf, aku udah salah sama kamu, gak jujur! dari awal.. aku tidak pernah mengatakan apapun soal sakit aku, soal sahabat kecil aku, yang aku ceritakan sama kamu! aku mungkin sudah menipu kamu. Menghadap sebagai teman, dan kamu berharap aku bisa jadi sahabat kamu. Tapi kenyataannya? aku tidak baik buat kamu, Cindy! Aku membohongi kamu!!"

"(Cindy menggeleng), itu hak kamu! aku tidak pernah menganggap kamu gak baik buat aku, karena kenyataannya, tanpa perlu kamu menceritakan sosok sahabat kamu dan atau hal lain yang kamu pendam... kamu baik buat aku! aku tahu bagaimana menikmati kehidupan aku, bersyukur atas apa yang sudah Tuhan anugerahkan dalam kehidupan aku, itu dari kamu! aku harap... kita bisa jadi sahabat. :'-)"

Cindy berdiskusi dengan dirinya sendiri, saat mendengar ucapan Beby yang sedikit-banyak membuat hatinya merasa sakit. Tapi kemudian.. dia sadar, Beby melakukan itu bukan untuk tujuan yang jelek, dan akan merugikannya. Mungkin itu cara Beby membuat yang didekatnya bahagia, tanpa ada yang disakiti, ataupun tersakiti.

"Shania... harusnya merasa bahagia, bisa punya sahabat seperti kamu! dia beruntung karena kamu masih begitu menaruh rasa khawatir kamu buat dia, yang secara fisik, lebih kuat dari kamu sendiri!!. . . apa harus? Cindy kasih tahu tentang kondisi kamu sama dia!?"

Beby menggeleng cepat, "Jangan!"
"kenapa? Kamu bukannya mau, biar Shania bisa kembali jadi sahabat kecil kamu!?"
Cindy merasa, inilah.. sesuatu yang bisa dia lakukan untuk membuat Beby bahagia, mengembalikan persahabatan indah diantara dia dan Shania.

"bebannya terlalu berat Cindy! iya.. secara fisik, dia jauh lebih kuat dibanding aku, tapi secara mental? dia sangat rapuh, salah memegang, dia bisa hancur!! Aku tidak pernah bisa jadi sahabat yang baik buat dia!!!"

Ada catatan kecil dipikiran Cindy, untuk melakukan hal yang Beby tidak perlu tahu. Mencoba merekatkan kembali ikatan itu.

"Cindy... (Cindy menatap Beby), mau janji sesuatu gak?"
"(mengerung kecil), aapa?"
"jangan sampai, siapapun tahu soal kondisi aku yang seperti ini! tanpa terkecuali!! mau kan!?"
Cindy berpikir sesaat, lalu mengangguk pelan. Tapi dalam hati bicara sendiri…
‘Maaf.. kalau aku nantinya tidak bisa menepati janji yang ini… Beby!’
Cindy membalas senyum yang sedang Beby lukiskan untuknya.


***
Di sekolah, masih seperti biasa, belajar... mempelajari sesuatu untuk bekal masa datang. Shania, Ochi, Gaby, Vanka, Noella, dan Octy. Masih sama! Tidak ada yang berubah dari sikap menyebalkan mereka, suka ngerjain murid lain, dengan durasi singkat bahkan bisa lebih dari 30 menit. Acuh-tak acuh menanggapi guru yang memberikan materi, hal tidak baik lebih banyak daripada hal baik yang mereka lakukan. Seolah... sekolah itu, ajang pertunjukan yang pemilik panggung nya adalah mereka, tapi pertunjukan tidak layak tonton!!.

Shania tidak mau memperdulikan soal Beby, yang sempat sedikit.. mencuri perhatiannya saat mendengar Beby pingsan, yang sebelumnya bicara dengan dirinya.

Sang calon artis berubah, aksi bully tanpa Beby si target utama pun, terus berlangsung. Shania dan pasukannya, tetap dengan santai dan tanpa dosa, mengerjai murid lain tanpa memperdulikan efek samping dari tingkah mereka, untuk dirinya masing-masing (si bullyer), terlebih untuk mereka yang jadi korban.

Saat Shania dan pasukannya, sedang melancarkan penganiayaan halusnya, dengan iringan tawa puas dari masing-masing bibir, dan juga cibiran. Melody tidak sengaja lewat ke tempat itu (Kantin), dia yang memang sudah beberapa kali (berkali-kali lebih tepatnya) menyaksikan apa yang diperbuat murid yang dulu pernah ada dalam pengawasannya (Shania dan Ochi), beserta murid lain yang dulu pernah dia ajari (Gaby), dan tambahan lain nya, murid yang dari kelas sepuluh sampai sekarang kelas sebelas, dia ajari pelajaran, menjadi pengajar untuk mereka bertiga selama 2th berturut-turut (Noella, Vanka, Octy), melakukan pengeroyokan halus, mengucilkan, membuat yang lain terlihat menjijikan dimata mereka, melakukan segala hal tidak baik dengan seenak jidatnya, pada murid lainnya yang sama tingkatan, dibawahnya, dan bahkan satu tingkat diatasnya.

Biasanya, ada saja salah satu, atau salah dua diantara mereka (Shania+pasukan), memergoki setiap adanya guru yang akan melewati tempat "main" mereka. Tapi kali ini... karena mungkin terlalu asik dengan "mainannya" jadi tidak ada satupun yang menyadari kedatangan Melody.

"Apa yang sedang kalian lakukan!?"
Suara Melody mampu menghentikan "pembuatan film" yang sedang di shoot Gaby.

"Eehhhh.. ada Bu Melody!" nyengir Gaby, dengan refleks kamera videonya jadi terarah ke depan Melody.
"Iibu.. lagi apa Bu? Mau beli makan ya!?" Vanka ikutan,

Noella memegangi si "artis" dengan tangan kirinya. Gimiknya terlihat biasa, tapi gesturenya.. tidak biasa (mencengkram terlihat bersahabat, padahal... *bayangin aja sendiri*)

"Kamu sedang apa dengan handycam itu?!"
Gaby segera menurunkan Handycam nya. "ehm.. itu... anu... ini..." gelagapan, "inituh.. ini itu.. buat… tugas sekolah Bu! iyaaa.. tugas sekolah, bener kan teman-teman?"

"tugas yang mana Gab? sekelas aja enggak kita mah!" celetuk Octy yang tadi hanya diam planga-plongo.

Apa yang Octy ucapkan, seketika membuat Vanka memberikan tatapan sadis padanya; Noella mendengus kesal; Gaby lebih-lebih, kesalnya. Celetukan polos yang kelewat polos, membuat yang lainnya greget. Hanya Shania dan Ochi yang cuek bebek, tak mau memperdulikan ucapan dingin Melody. Cuma memasang tampang bertahan, tapi siap menyerang jika Melody menusuk lebih dalam.

"Sudah! jangan kalian terus berkilah!, kalian pikir.. Selama ini, Ibu tidak tahu apa yang suka kalian lakukan!? lepaskan adik kelas kalian itu?!!" Ujar Melody begitu tegas, diikuti menunjuk tangan Noella.

Perlahan, Noella melepas genggamannya. Si murid yang tadi jadi artis, di suruh pergi oleh Melody.

"Hemm.. Ibu sangat tidak habis pikir, dengan tingkah kekanakan kalian itu!. . . Ibu tanya, apa yang kalian dapat dari mengerjai murid lain disini!?"

Hanya Gaby, Octy, Vanka, dan Noella yang mendengarkan secara khusuk (sepertinya) perkataan Melody. Sementara Ochi terlebih Shania biasa saja, dan terkesan tidak menghargai ucapan Melody (sudah sedari tadi begitu).

"Mau sampai kapan? kalian bertingkah seperti sekarang ini?... kalian sudah kelas sebelas (Dua SMA) apa akan sampai lulus nanti, sikap kalian seperti ini!?. . . itu juga, kalo kalian bisa lulus!!" tusuk Melody lewat permainan kata-kata nya.

"kenapa bereaksi seperti itu? takut kalo gak lulus? atau.. kalian emang udah kepikiran bakal gak akan lulus!?" Dia bisa lihat begitu jelas sedikit kekagetan di wajah Gaby dan lainnya.
"apa kalian tidak sayang sama orang tua kalian, yang sudah bekerja keras untuk membiayai sekolah kalian ini?"

Shania mulai meletup mendengar Melody menyinggung orang tua.

"apa kalian tidak pernah memikirkan sedikit saja, kalau diluaran sana.. banyak anak remaja seusia kalian yang ingin bisa memakai seragam seperti kalian! belajar... mempelajari ilmu.. memiliki teman.... Kehidupan kalian, yang hanya bisa tahu cara meminta pada orang tua apa yang kalian mau dengan rengekan manja. Kehidupan kalian yang saling berbagi cerita indah tanpa ada kekurangan! tidak pernahkah? kalian berpikir sejauh itu..?" Kekesalan Melody mulai menurun.

Shania sudah ingin pergi tanpa menghiraukan lagi "ceramah" Melody yang menurutnya Sok Tahu!

"Ibu cuma tidak mau, kalau kalian... saat sudah masuk dalam kehidupan sebenarnya kelak, kalian hanya punya kenangan pahit. Kenangan membuat goresan luka dihati orang lain! Kenangan seutas senyum palsu yang kalian ciptakan dari keyakinan kalian, kalau hidup kalian tidak bahagia! Kenangan... tanpa Kenangan! itu yang akan kalian dapat, kalau kalian masih bersikap seperti sekarang!"

Tertegun, kalimat terakhir yang diucapkan Melody, ternyata bisa menembus gendang telinga bahkan sampai ke hati paling dasar Gaby, Octy, Vanka, Noella dan bahkan Shania juga Ochi yang tadi hanya menatap Melody kesal.

"Ibu... punya adik sepupu, seumuran sama kalian! Dan kalian tahu? (ekspresi Melody tidak sedingin dan semenyeramkan tadi), dia punya impian, sama seperti kalian. Dia punya harapan, sama seperti kalian. Dia punya segala bayangan kehidupan kelak, sama seperti kalian. Tapi, .... dia tidak punya banyak waktu, sebanyak yang kalian punya!"

Iba, ada bayangan wajah iba terpancar dari mereka si murid-murid pembuat onar.

"Ibu cuma mau bilang... Manfaatkan dan gunakanlah waktu yang sudah Tuhan titipkan sama kalian, waktu panjang tanpa kalian tahu batas waktunya, jutaan bahkan milyaran detik waktu yang kalian miliki. Untuk kalian gunakan berbuat hal yang lebih bisa kalian kenang dengan iringan senyum bahagia kalian, bukan dengan kenangan yang diikuti tangis sesal.!"

Melody mengulaskan senyum, pada mereka semua, dan lalu... pergi melewati ke 6 nya. Dia tidak seperti pengajar lain yang jika secara tidak sengaja memergoki apa yang sedang Shania dan kawan-kawannya lakukan, langsung menggiring mereka ke ruang kesiswaan, dan bahkan ke kepala sekolah.

Dan baru kali ini, dalam beberapa kali penangkapan basah aksi kriminal halus, Melody terhadap Shania dan kawanannya, dia bicara menegur kelakuan mereka. Dan ternyata… STRIKE! Dia sepertinya sukses menusuk langsung kedalam hati mereka dengan setiap ucapannya, membuat raut wajah si anak-anak bandel ini, berpikir. Dan semoga saja ekspresi yang terlihat dari luar itu, bukan hanya sekedar ekspresi sinteron.!


Sumber : Cemistri Jkt48 | Facebook

0 Response to "CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *13th Chapter*"

Posting Komentar

Setelah baca, comment ya^^