CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *16th Chapter*



...PELANGI DALAM SAKURA...
*16th Chapter

Ketakutan terlihat di wajah Mama, Melody, Ve, dan Cindy yang melihat Beby akan ambruk di pelukan Shania.

Shania hanya bisa menangis dengan tangannya masih memeluk Beby yang hampir jatuh; Mereka yang sudah mendekat pada Beby dan juga Shania begitu panik dan takut. Apalagi Mama.

"Bebyyy...!?" Mama memanggil nama Beby ketika sudah ada di dekat putrinya.

Beby yang mereka pikir pingsan, ternyata tidak. Dia hanya merasa kepalanya sakit dan kakinya terasa lemas, serta nafasnya sedikit tersengal.

"Kamu... masih punya waktu... buat akuu... :'-)" Suara Beby kembali terdengar di telinga Shania, hingga Shania melepas pelukannya dan melihat wajah Beby.
"Bebyyy.. kamu... kamu... masih.,-"
"Aku... masih.. hidup, tahu!"
Potong Beby dengan suara lemah, atas ucapan Shania diikuti sedikit candaan.
"kamu... Udah bikin aku takut tahu!!"
Ucapnya di sela isakan tangis. Lalu Shania kembali memeluk Beby.

Melody meminta tolong pada Cindy untuk membawakan kursi roda, namun saat Cindy akan bergerak untuk mengambil, Ve menghentikannya dan menawarkan diri, dengan langsung mendorong kursi roda agar Beby bisa kembali duduk.

Shania membantu Beby untuk duduk di kursi roda, dia tidak dibantu siapapun saat akan mendudukan Beby di kursi rodanya. (Hanya Shania dan Ve.; Shania mendudukan, Ve memegang kursi rodanya.)

"Makasih Kak!" Ucap Beby pada Ve.
"Kamu bikin Kakak takut!" Balas Ve,
"(senyumnya terlihat lemah), Maafin Beby... Beby gak ada maksud buat bikin kalian... terutama Mama... takut! Maafin Beby ya Ma?"
Beby melihat jelas ketakutan di wajah Mamanya.

"Mama masih, dan akan selalu takut, jika Mama... harus melihat kamu pergi dari Mama!" Mama berjongkok di depan Beby.
"Jangan tinggalkan Mama, sayang! Mama selalu butuh kamu... kamu yang menjadi penyemangat Mama, dalam hal apapun yang Mama lakukan!!" Lanjutnya sambil mengusap lembut wajah Beby.
"Dan bukan cuma Mama yang merasakan seperti itu! Aku juga!!" Timpal Shania, ikut jongkok di sebelah Mama.

Beby hanya bisa membalas ucapan harap Mama dan Shania dengan senyum lemahnya.
'Ketakutan Beby... lebih Mah!  Kalau takdir ini yang terbaik untuk Beby, pasti juga akan jadi yang terbaik buat Mama, dan kalian... yang sayang sama Beby!!. . . Maafin Beby... Beby sayang sama Mama, Beby sayang sama kalian semua!!!'
Lirih batinnya dalam kelemahan fisik.


"Beby... kondisinya... gimana Tante?"
Ve yang pertama membuka obrolan.

Mereka semua sudah ada di ruang keluarga, dengan Beby yang sudah istirahat dikamarnya.

"...Semoga Tante... tidak kehilangan dia, seperti Tante kehilangan Papa nya!"
jawaban Mama sungguh terdengar menyakitkan.
"Beby... Kanker itu... udah stadium 4! (Mama menitikan air matanya; Ve dan Shania kaget bukan main) Tante belum siap kalau Tuhan menginginkan Beby kembali pada-Nya."
Penjelasan Mama membuat Ve merasa bersalah, sekaligus sedih.

"Andai Tuhan bisa menukarkan posisi Tante sama Beby! Tante siap, ada di tempat Beby. Menggantikannya, merasakan kesakitan yang tidak hanya menyiksa fisiknya, tapi.. psikisnya juga. Andai saja.. Waktu bisa tante tukarkan ke hari yang sama, saat Beby dititipi sakit itu. Tante siap menggantikan posisi Beby. Tante siap menukar apapun yang Tante miliki, jika itu bisa membuat Beby sembuh!!"
Mama menundukan kepalanya merasakan sakit di dada saat mengucapkan kalimatnya dan membayangkan wajah Beby.

Ve segera memegang kedua tangan Mama. "Jangan bicara seperti itu Tante. Beby bisa marah kalau mendengar Mama nya yang kuat ini... menyalahi kehendak Tuhan dengan berkata 'Andai Saja'!... Beby pasti sembuh dan menghilangkan rasa sakitnya. Dia pasti bisa melawannya Tante..!!" Ve ikut menangis.

"Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu Beby, Tante? Shania mau melakukan sesuatu untuk Beby! Apapun itu!!"
Giliran Shania yang bersuara, dia begitu serius dalam kesedihan wajahnya.

Mama menatap Shania, lalu tersenyum..."Tetaplah jadi sahabatnya! Beby pasti akan sangat merasa bahagia, karena sudah bisa meraih kamu lagi." Shania sedih, "Selain Tante, kamu jugalah yang akhirnya bisa membuat Beby luluh dengan ajakan berobat ke Jakarta. Dia berharap, saat tiba disini dan mengikuti pengobatan. Dia bisa menghabiskan waktunya sama kamu! Membagi apa yang dia rasa, membantu kamu.. semampu dia!!"
Pernyataan Mama sungguh sebuah tusukan bagi Shania. Dia merasa begitu bodoh dan... perasaan bersalah lainnya pada Beby yang menaruh harap padanya. Tapi malah dia balas dengan kebencian.

"Beby harus segera di operasi! Itu yang dokter bilang. Kesempatan terakhir dalam upaya kita untuk melihat Beby sembuh, adalah dengan operasi!" Melody yang duduk di sebelah Mama, bicara melanjutkan ucapan Mama yang terhenti.
"Terus? Kenapa tidak dilakukan, Bu?" tanya Shania, mengarahkan matanya pada Melody.
"(Melody melihat Mama), Karena.... bia,-"
"Cukup Mel! (Mama menggeleng) jangan!!" Potongnya atas ucapan Melody. Ve dan Shania heran.
"Tante... kenapa Tante menghentikan ucapan Bu Melody? Apa Tante gak mau? Aku sama Kak Ve, bantuin Tante sama Beby!?" Shania merasa kalau Mama ingin menutupinya.
"Bukan itu, sayang."
"Terus kenapa Tante? Mungkin... inilah kesempatan Shania, untuk bisa menebus rasa bersalah yang Shania rasain Tante!"
"Dan Ve juga! Beby itu... Adik Ve juga Tante, dia itu saudara kita. Apa tidak boleh, kalau saudara ingin membantu saudara nya?"
Mama berhasil tersudutkan oleh Shania dan juga Ve.

"Biaya Operasi itu... itu sangat mahal. Usaha Tante, entah kapan akan bisa membawa Beby ke meja operasi!" Mama mulai kembali bicara.
"itulah... kenapa, Tuhan menjadikan kita keluarga. Untuk saling membantu dalam kesulitan, berbagi dalam hal apapun! bener kan Tante?" Shania sudah berjongkok di depan Mama, saat dia mendengar dan melihat wajah Mama yang sedih kala menyebutkan biaya operasi dan usaha yang belum berbuah.
"Biarkanlah, Shania dan juga Kak Ve, membantu Beby. Setidaknya, ada sesuatu yang bisa kami lakukan. Shania mohon, ijinkanlah Shania membantu Beby, Tante?" Shania memegang tangan Mama dengan tangis kembali mengiring.

Mama mengelus rambut Shania, lalu memeluknya. Shania membalas pelukan itu. Pelukan dari seorang Ibu yang sudah begitu lelah dengan takdir yang sedang dijalani.

Jalan hidup yang dia takuti akan hadir lagi dalam jalannya, ternyata menjadi kenyataan. Untuk kedua kalinya, kembali merasakan kesakitan dan kepedihan dari apa yang Tuhan berikan padanya. Bukan lagi kerikil yang ada di jalannya, tapi jauh lebih besar. Sandungan yang menghadang jalan hidupnya kini. Meski beliau terlihat kuat, beliau tetaplah seorang wanita. Butuh tangis untuk menyampaikan perasaan terpendam. Butuh bahu kanan seseorang untuk menyandarkan beratnya beban. Senyum itu.. senyum sedikit yang selalu di perlihatkan Mama, hanyalah senyum penutup beban, agar orang di sekitar yang melihat, menyangka beliau tegar, agar Beby.. tidak mengkhawtirkan dirinya, agar semuanya terlihat baik-baik saja!

Setiap masalah yang datang dalam hidup, se menyulitkan apapun itu. Pasti ada jalan keluarnya. Meski dengan sebuah tangis yang mengiring, dan luka yang belum tentu cepat mengering, akibat dari selesainya masalah yang diakhiri sebuah tangis. Tapi, yakinlah. Waktulah yang pada akhirnya akan bisa menyembuhkan luka itu.. menghapus air mata, yang sempat jadi sebuah jalan keluar, dengan sebuah senyum bahagia, tanpa melupakan masalah sulit yang pernah mendatangi hidup dan mendiami hati cukup lama.

Kesulitan ada, untuk mengajarkan kita mencari kemudahan. Kemudahan ada, bukan tanpa halangan. Yang bisa kita lakukan saat kesulitan yang membuat masalah dalam hidup itu datang... Melawannya! Berjuang untuk kembali mendapat kebahagiaan. Karena Tuhan.. tidak akan membiarkan umatnya berada dalam kesulitan yang tidak bisa dia hadapi, yang tidak sepadan dengan kemampuannya.
Tanpa masalah dan kesulitan, apalah arti hidup?


2 Hari berlalu... dari hari setelah kembali membaiknya hubungan Shania dan Beby. Shania mulai bisa menapaki kembali jalannya. Menata apa yang pernah dia tata, mengembalikan apa yang pernah dia hilangkan, meski belum sesempurna yang di angankan! Namun begitu, Shania sudah cukup merasa hidupnya mulai membaik. Tidak lagi dia mau terlalu memperdulikan Papa dan Mama yang sibuk dengan jalan mereka sendiri. Untuk Shania... ada Ve disampingnya, itu cukup! Karena dia bisa saling memberikan keramaian dalam kesepian, memberikan senyum dalam kesedihan, memberikan pelukan dalam renggangnya dia dari Papa dan Mama, memberikan penjagaan dalam serangan halus yang menusuk dari tingkah orangtuanya. Rangkulan Ve sudah bisa kembali meraih Shania, dan bisa membuatnya tenang.

Selain itu... yang menjadi prioritas utama dalam kehidupan yang sedang Shania jalani adalah... Beby! Setelah mendengar nominal yang disebutkan Melody untuk biaya operasi, Shania terus berpikir bagaimana? Dari mana? Pada siapa? dia bisa mendapat rupiah yang jika diukur dengan barang, bisa sama dengan harga mobil yang dia miliki. Sulit memang, mencari darimana bisa menghasilkan sejumlah uang yang angkanya berderet, hingga sampai 9 angka.

"Hey! Lagi ngelamunin apa sih? Dalem amat!"
Ochi menghampiri Shania yang tadi saat bell istirahat, enggan di ajak ke kantin.
"Lu.. bukannya lagi di kantin?" heran Shania,
Sebelum menjawab, Ochi memberikan makan + minuman untuk Shania.
"Dari 2hari kemarin, gue lihat lu kayak gak ada semangat, Shan? Masalah di rumah lagi!?" Tebak Ochi dalam tanya.
Shania memainkan makanan + minuman yang diberikan Ochi, kemudian dia menggeleng untuk menjawab tebakan Ochi.

Shania memang belum cerita pada teman-temannya soal dia sudah baikkan dengan Beby (Lagian, Shania mah gak pernah cerita sama Ochi dan lainnya, tentang Beby yang dulu pernah dia katakan bukan Sahabatnya!). Tapi... tingkahnya cukup terlihat jelas, terpampang nyata, kalau ada suatu perubahan di diri Shania. Apalagi 2 hari ini dia selalu terlihat menghampiri Cindy, berkicau sebentar dengan Cindy, dan pulangnya... mereka selalu barengan. (Ke rumah Beby)

"Terus?" Ochi masih menelisik.
"Gak ada apa-apa kok, Chi!" Jawab Shania enggan.

Ochi menghela nafas, "Sesulit itu ya? Cerita sama gue!?" Shania melihat Ochi, "Dulu.. saat pertama kita mulai akrab, lu selalu cerita sama gue, meski gak semua hal lu bagi, gue tetap senang. Karena gue merasa... keberadaan gue yang tidak pernah dianggap siapapun ini, akhirnya ada juga yang mau memperdulikan, dan menganggap adanya gue! Tapi kenapa? Setelah apa yang dulu pernah gue ucapkan tentang tebakan Beby di lorong belakang, lu gak pernah mau lagi berbagi soal cerita lu!?"

Shania merasa tidak enak hati. "Gak gitu, Chi!"
"Lalu?"
"Gue... ehmmm.. Gue cuma...,-
"Gue... tahu kok, Gue emang gak akan pernah bisa jadi bagian dalam memory lu! :'-)" Ochi menghentikan ucapan Shania.

'Maafin gue, Chi! Gue belum bisa cerita. Karena ini tentang Beby!' Batin Shania, disela helaan nafasnya.

Entahlah, hati Shania tidak mengijinkan bibirnya untuk mengeluarkan satu atau dua kalimat lainnya, selain 'Gak ada apa-apa kok, Chi.'. Seperti Shania bisa menebak, jika dia cerita tentang Beby pada Ochi, akan ada suatu tanggapan yang terkesan, kalau Ochi tidak suka, dirinya dekat dengan Beby.

'Gue emang cuma bisa jadi yang kesekian dan mungkin.. cuma pelampiasan dari kesepian yang menutup! Gue... gak akan pernah bisa punya sahabat untuk bisa gue kenang!!' lirih Ochi dalam hati.

Keduanya saling diam dengan otak mereka yang dipenuhi pikiran masing-masing. Menikmati makanan kecil dengan kecanggungan, seperti saling duduk dengan orang yang belum di kenal.


---
Shania sudah ada di rumah Beby. Sepulang sekolah, tanpa kerumahnya dulu, dia langsung pergi ke rumah Beby.

"Siang Tante!"
"Siang.. Sayang!"

Shania yang tidak melihat siapapun saat masuk ke rumah yang tidak dikunci, dia langsung menerobos ke belakang, menebak kalau Mama sedang ada di dapur. Dan benar saja.. Mama ada di sana, beliau sedang menyiapkan makan siang untuk Beby.

Sepulangnya Beby dari rumah sakit dan belum bisa bersekolah seperti biasa, Mama mengambil cuti dari tempat kerjanya, agar bisa merawat Beby. Beby yang... setelah kepulangannya dari rumah sakit kali ini, dia terlihat masih lemah, dan kenyataannya kondisi Beby memang terus lemah dan semakin melemah. Beby mulai merasa ada bagian tubuhnya yang tiba-tiba tidak bisa di gerakan. Atau, saat Shania dan Cindy datang menemuinya, ada waktu dimana Beby tiba-tiba lupa dengan siapa mereka berdua. Tapi waktunya tidak berlangsung lama, hanya sepersekian menit.

"Cindynya mana, Shan?" Tanya Mama yang melihat Shania hanya seorang diri.
"Dia gak bisa kesini Tante, katanya sih... mau nganterin Mamanya dulu!"
"emm.."
"... ini... Buat Beby ya, Tan?" Mama mengangguk sambil tersenyum. "Biar Shania yang nyuapin Beby? Bolehkan, Tante?" Pinta Shania.
"Ada yang mau nolongin, masa iya Tante tolak!" Shania tersenyum sipit. "Ya sudah! Ini kamu bawa, Tante mau ambil dulu jemuran, kasihan bajunya... pada kepanasan." Lanjut Mama, membuat senyum sipit Shania berubah jadi tawa renyah.

Shania jalan ke kamar Beby. Meski sudah baikan dari kesalah pahaman yang sempat membuatnya mendorong Beby. Shania tetap merasakan rasa bersalah mendiami hatinya. Mengingat setiap kebenciannya pada Beby, tingkah menyebalkan yang membuat Beby jadi tersangka, setiap ucapan yang kadang berisi cacian yang hampir menghardik, yang di utarakan Shania, baik didepan Beby secara langsung, maupun dibelakang secara diam-diam.

Kenangan menyebalkan itu, membuat Shania belum bisa menghentikan kutukan pada dirinya sendiri. Merasa jadi orang paling bodoh, karena membenci sahabatnya yang sedang sakit dan butuh dukungan dari dirinya, tapi malah dia jadikan musuh dan dengan jelas dia blacklist Beby dari kata 'Sahabat!'.

"Haaaiiii... "
Shania masuk dengan wajah ceria siap menghibur.
"Haii.., sendirian?"
Beby celingukan kebelakang.
Shania mengangguk, diikuti pemberitahuan pada Beby tentang Cindy yang tidak ikut ke rumahnya.
"Cindy mau nganter Mama nya, jadi dia gak bisa kesini!"
"Ohh.."
"Eh, ya. Makan siang dulu yaa.. lihat.. aku udah bikinin ini buat kamu!" Ujar Shania dengan menunjukan nampan berisi bubur dan sayur soup bening.
"Aku..(?) Hahahaa.." Tawa Beby meledek.
"Idihh.. malah ngetawain! Kenapa? Gak percaya, kalau ini aku yang buat?"
Beby masih terkikih, "Nggak!" jawabnya, dengan menggeleng kecil.
Shania membuat delikan.
"Lagiann.. kalo kamu beneran bikinin aku bubur sama soup, aku gak bisa bayangin gimana rasanya tu makanan di mulut aku! Hahahhaaa..." Ledek Beby, dalam canda.
"Haduhh...  gitu amat, Beb!" Shania memanyunkan bibirnya.

"Udahan ahh! Ngetawain mulu. Makan dulu.. gak apa-apalah, emang iya.. bukan aku yang bikin makan siang ini, tapi Mama kamu. emmm.. meskipun bukan aku yang bikinin makannya, tapi aku yang bakal nyuapin makanan ke mulut kamunya.. "
Shania mempersiapkan semuanya, dia mulai menyuapi Beby.

"Kenapa?" Heran Shania, melihat Beby senyam-senyum sendiri saat dia suapi.
Beby hanya menggeleng. Raut wajahnya sungguh bahagia.
"Ish, Beby! Bikin aku ngeri, tahu!" Beby mengangkat alis matanya, "Kamu.. aku suapin, kamu nya senyam-senyum gitu! Gimana gak takut, coba? Udah gitu.. tatapan kamu.. kayaknya "suuka" banget sama aku!" sambil menggerakan telunjuk dan jari tengah kanannya Shania berucap.
Dan lagi.. Beby hanya tersenyum dalam kunyahan makan siangnya.
"Aku masih normal, Beb! Gak usah segitunya liatin aku!! Gak bakal bikin aku klepek-klepek juga, kalau kamu masang tampang gitu!!!" Shania terus bicara.

"Geer!" singkat Beby.
"Ini tuh bukan Geer. Orang kenyataan kok, kamu liatin aku ampe segitunya!" Bela Shania.

"Iya.. deh iya... aku emang lagi liatin kamu, sambil senyum-senyum! Kenapa? Gak boleh?. . . kan, daripada aku liatin kamunya sambil manyun, apalagi manyunnya kayak kamu.. pasti bakal lebih gak enak dilihat deh! Hahaa.."
Beby bicara sambil bercandain Shania, dan Shania membalasnya dengan memanyunkan bibirnya, seperti yang dikatan Beby.
"Tuh... tuh.. kan.. gak enak liatnya!!" 

Shania dan Beby terlihat sangat akrab. Potret ini.. potret yang sempat hilang itu, kini kembali bisa mereka nikmati. Bersama lagi dengan sahabat tersayang, bisa kembali saling berbagi. Tapi,.. akankah ini berlangsung lama ?

Memang benar. Dunia itu berputar! Tidak hanya sebatas pergantian Matahari dan Bulan. Siang dan Malam. Atau pergantian lainnya yang sudah biasa dilewati. Tapi untuk kebahagiaan, perputaran itu juga berlaku! Tidak selalu sedih, tidak selalu juga bahagia. Itu yang disebut... Keseimbangan dalam perputaran hidup. Bukan Ketidak adilan!

"..Makasih, ya, Shanju :'-)" Ucap Beby,
Shania membereskan mangkuk bekas makan siang, "Buat apa?"
"...Buat kamu, yang udah mau.. jadi sahabat aku lagi!" Tangan Shania terhenti saat merapihkan mangkuk dan gelas diatas meja dekat tempat tidur Beby.
"...Dan aku minta maaf!" Beby mengerung, mendengar ucapan Shania. "Karena udah pernah.. gak nganggep kamu sahabat! " Sesal Shania.

" Semua.. ada waktunya! Aku percaya dengan kata-kata itu!!" Kata Beby, menanggapi sesal yang Shania rasakan untuk dirinya sendiri.
"Tidak pernah terpikir, sedikitpun. Kalau aku.. akan dijauhi dan dibenci sama sahabatku sendiri. Dan untuk hari inipun.. tidak pernah terpikirkan, bahkan bayangannya saja, selalu aku tepis. Kamu... akan kembali jadi sahabat aku, dan aku gak akan sendirian lagi. Jadi.. saat aku pergi nanti, aku akan pergi dengan senyum bahagia. Tidak ada lagi yang perlu aku khawatirkan! Toh waktu.. memang tidak pernah salah. Kesedihan dan kebahagiaan, terjadi pada waktu yang sudah ditetapkan. Waktu pasti, yang tidak terlihat pasti untuk kita... Tuhan itu. . . memang Maha Sempurna!"

Hati Shania merasa terenyuh, mendengar ucapan yang keluar dari mulut Beby.
"Kita semua.. pada akhirnya memang akan pergi dari tubuh kita ini! Tapi tidak secepat itu, Beby. Masih ada banyak hal yang akan kamu pelajari, kehidupan yang akan kamu lihat. Aku akan berusaha.. bernegosiasi dengan Tuhan, tidak hanya lewat doa, tapi usaha juga. Aku akan memperjuangkan kamu, agar kamu.. bisa terus ada di samping aku, dan terus jadi sahabat aku. Aku yang rapuh dan selalu butuh sandaran!" Serak, suara Shania mengalun dalam iringan kalimatnya.
"Teruslah berjuang. Tidak hanya Mama kamu, Tante kamu, Bu Melody, dan Cindy, yang akan mendampingi kamu melawan semua ini. Tapi aku.. juga Kak Ve, akan ikut. kita akan bantu kamu, melawan.. rasa sakit itu!... Meski aku terlambat, dalam mengetahui semuanya. Tapi aku tidak mau terlambat, untuk mendampingi kamu melawan semuanya, sampai akhir.. sampai kita berhasil! :'-)"

Beby terharu dengan apa yang di ucapkan Shania. Hatinya menangis, ada sedikit rasa menyalahkan Tuhan karena takdir yang dituliskan untuk dirinya. Sebuah perjalanan hidup, yang penuh liku dalam menguji semua yang ada di kehidupannya.

Lama... Shania dirumah Beby, hingga matahari sudah tak terlihat penampkannya. Shania pulang setelah Ve datang menjemput (sudah janjian ceritanya).

"Ngalamunin apa, Dek? Masih kecil, udah jago ngelamun!" Ve bicara dengan sekilas melihat Shania, lalu kembali fokus ke jalan.
"Darimana kita dapetin uang itu, Kak?" Shania sungguh memikirkan hal itu (Biaya operasi). Hingga dia tidak menanggapi basa-basi Kakaknya.

"...Tabungan Kakak... gak ada setengahnya, bahkan seperempatnya aja gak ada!" Jawab Ve, yang bisa merasakan kesedihan yang dirasa Adiknya, dan dirinya juga.
"Kalaupun kita gabungin tabungan, itu mungkin cuma.. buat biaya pengobatan Beby yang biasanya aja kali Kak! Iya kan?" Timpal Shania. Ve mengangguk.

"... emm... apa harus? Kita minta sama Papa Mama? Karena cuma itu, jalan tercepat untuk dapetin uang!" Usul Ve, kemudian.
Yang sebenarnya dia sendiri pun enggan, apalagi harus berurusan sama Mama. Waktu itu, pernah Mama pulang kerumah. Tapi saat Ve dan Mama saling bertemu dan berhadapan. Sikap Mama angkuh! Seolah tidak pernah ada yang pernah Ve lihat pada dirinya, seolah Mama tidak melakukan apapun dan semuanya... baik-baik saja.

"Minta sama mereka..(?) Shania.. (Wajahnya memales) Apa harus, Kak?"
"Kakak gak tahu lagi, Dek. Kak Ve juga sebenarnya gak mau, apalagi harus bicara sama Mama. Tapi, cuma Itu jalan terakhir kita!" Shania menyetujui apa yang diucapkan Kakaknya. "Biar Kakak.. coba bicara sama Papa! Siapa tahu, Papa tidak seangkuh Mama!!"
Shania hanya bisa melihat sekilas pada Kakaknya.
Dia yang sudah tahu semua kebobrokan Papa dan Mama, sungguh enggan kalau harus bicara, apalagi untuk meminta pada mereka. Tapi, Shania memikirkan ulang.. benar apa kata Ve, orangtuanya, adalah jalan terakhir dalam hal materi! Meskipun kemungkinan dapat uang itu... kecil!!

"Kalau gitu, Shania... akan ikut bicara, Kak!" Ucap Shania tiba-tiba, Ve menoleh kearahnya. "Kakak bicara sama Papa, Shania bicara sama Mama!" lanjut Shania mengusulkan.

Sengaja Shania membuat alur seperti itu, karena yang dia tahu.. Mama belum mengetahui kalau dirinya sudah pernah melihat kelakuan Mama diluaran sana, seperti Ve yang pernah melihat dan bertatap muka. Jadi Mama tidak akan sok angkuh untuk menutupi kesalahan dirinya. Seperti yang Mama perlihatkan pada Ve.

"Kamu.. yakin? Mau bicara sama Mama?" Ve terdengar ragu.
"Kalau gak yakin, Shania gak akan dapetin apapun, Kak!" Jawabnya mantap.

Sebenarnya, Shania bisa saja bicara pada Papa dan sudah pasti akan dapat dana itu (Dengan syarat, Shania tidak akan memberitahu Ve, soal kelakuan Papa). Namun, jika bisa dibikin 2alur, meminta pada Papa dan Mama juga.. kenapa tidak dilakukan? (Shania belum menceritakan soal kelakuan Papa nya pada Ve! Dia tidak tahu harus memulai cerita menjijikan itu darimana. Dan.. Shania juga tidak ingin membuat Ve yang begitu berharap pada Papa yang dianggapnya korban Mama sama seperti mereka, bingung dengan kondisi yang sedang dia hadapi.)

Sampai didepan gerbang rumah.. Security membukakan gerbang, dan mereka berdua yang ada didalam sedan biru memasang tampang tidak percaya, pada apa yang mereka lihat.

"...Gak salah!" Ve yang pertama bicara menanggapi apa yang mereka lihat. "Papa... sama Mama... ada di rumah (?)".
"Rejekinya Beby, Kak!  Kita udah bikin rencana, dan Tuhan.. ngasih jalan cukup cepat dari apa yang kita rencanakan!" Senang campur tanya, Shania bicara pada Ve.
Ve mengangguk, "Semoga aja! Dan semoga, besok pagi pas kita bangun, Papa sama Mama masih ada!"
"Besok? Kok, besok sih Kak? Kenapa gak sekarang aja? Masih belum larut juga?" Tanggap Shania sambil melihat jam ditangannya yang baru menunjukan pukul 9.
"Sekarang? Kamu yakin mau ngelakuin itu sekarang, Dek?" Ve balik bertanya, Shania mengangguk pasti.
"Kak Ve kayak gak tahu Papa sama Mama aja! Iya kalo besok pas kita bangun itu mereka masih ada! Nah kalau enggak? Kapan lagi kita bisa melihat adanya Papa sama Mama di rumah!"
Ve mencerna apa yang diucapkan adiknya, dan.. dia setuju dengan uraian Shania. Karena memang, Papa sama Mama begitu sangat amat gila kerja, atau.. entahlah gila apa? Yang pasti, mereka sangat jarang ada di rumah.
"Oke! Kita lakuin sekarang!!" Ucap Ve mantap.

Masuk dalam istana besar milik Papa dan Mama. Hawanya terasa begitu dingin. Padahal, AC tidak ada yang nyala. Suasananya aneh, agak-agak mencekam gimana gitu. Padahal, kayaknya tidak ada hantu juga (bukan cerita horor, soalnya  ). Ruangannya sumpek. Padahal, secara kasat mata. Untuk sebutir debu aja, tidak ada yang pernah bisa menempel di ruangan yang selalu dapat perlakuan istimewa dari para pembantu setiap harinya. Tidak tahu ada apa, tapi rasanya... Beda!

Saat melangkah memasuki dan menelusuri rumah besar nan mewah yang setiap harinya mereka jadikan tempat berteduh itu. Shania dan Ve saling diam. Mungkin mereka sedang mempersiapkan naskah pengajuan permintaan sejumlah uang demi untuk menolong sahabat dan adiknya, menolong saudara yang mereka sayangi.

Hingga sampai diruang keluarga, tidak mereka dapati satu sosok pun, tidak Papa ataupun Mama.
"Dimana... Papa sama Mama nya, Kak?"
Shania mempertanyakan keberadaan Papa dan Mama pada Ve.
Ve mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, dek. Mungkin mereka lagi dikamar!. . .Udahlah, kita bersih-bersih aja dulu, abis itu.. kita ketemu lagi disini (ruang keluarga) Siapa tahu Papa sama Mama ada keluar dari kamar!"
Usul Ve, yang langsung diterima Shania.

Keduanya kembali melangkahkan kaki lenjang nya, mulai menaiki setiap anak tangga menuju ruang privasi masing-masing. Namun, saat baru di anak tangga ke empat. Shania tiba-tiba menghentikan langkahnya, karena samar-samar, mendengar ada suara dari dua orang yang tidak asing, tapi sudah menjadi asing belakangan ini, dia dengar. Entahlah, apa yang sedang mereka ucapkan dalam saling sahutnya di belakang rumah, dimana ada gazebo yang cukup besar, plus sebuah kolam renang yang juga berukuran besar. Tempat yang biasanya keluarga itu habiskan saat weekend dulu, weekend yang masih indah.

Shania diam mematung, suara itu.. perlahan jadi lebih jelas terdengar (mendekat).
"Ada apa, Dek?" Tanya heran Ve.
"Kakak denger suara itu, gak?" Shania mengerungkan wajahnya, memasang telinganya, mendengarkan dengan ketejaman maksimum.
"Suara?" Ve ikut memasang pendengarannya. Karena suara semakin dan terus mendekat, Ve mengeluarkan reaksi. "Papa sama Mama!" Ucapnya, setelah indera pendengarannya dimasuki suara.
Shania mengangguk, "Dari belakang!... Suaranya,-"

"Memalukan! Apa kamu pikir selama ini saya tidak tahu kelakuan kamu diluaran sana, hah!!?"

Suara Shania tercekat, oleh suara Papa yang sedang bicara pada Mama. Kedua orang tua itu terus bicara saling sahut, membahas tentang kebobrokan masing-masing, sambil berjalan. Dengan tanpa mereka sadari, ada dua gadis yang sedang memperhatikan kelakuannya.

"Terus? Apa.. Kamu pikir, saya tidak tahu kelakuan kamu, mas!? Apa yang saya lakukan, itu semua.. karena kamu, mas! Tidak sadarkah kamu akan hal itu??" Suara Mama menggema tak kalah tinggi.

Ve memasukan jari-jemarinya ketangan Shania, saat gambaran dan suara yang saling menggelegar itu bertatapan benci dan bersuara lantang.

"Terus saja kamu melakukan pembelaan diri seperti itu! Kamu seharusnya menjadi Ibu rumah tangga saja. Mengurusi saya, mengurusi anak-anak, mengurusi rumah ini, mengurusi keluarga kita! Bukan seperti sekarang?"

Ve semakin mengeratkan pegangannya pada Shania, dia berpikir kalau Papa pasti sudah tahu akan kelakuan Mama. Shania melihat sekilas pada Kakaknya yang terlihat takut, sedih. Dia membalas genggaman tangan Ve, untuk memberikannya isyarat kalau dia akan selalu ada di sampingnya.

"Kamu... Kamu malah... Argghh!!!" Papa mencoba menahan emosinya.

Tebakan Ve benar, Papa sudah mengetahui tentang Mama nya yang pergi dengan Pria lain.

"Mas menyalahkan saya? Apa itu tidak salah Mas! Kalau saya.. hanya menjadi apa yang seperti Mas inginkan, saya tidak akan pernah mengetahui kelakuan bejad suami saya sendiri!! Sementara saya mengurusi seisi rumah ini, termasuk Mas. Mas sendiri.. sudah pasti akan asik-asik kan dengan DIA! Itu yang Mas akan, dan... kenyataanya sudah Mas lakukan, iya kan?" Tuding Mama dalam emosi yang sama tinggi dengan Papa.

Hati Ve serasa mendapat pukulan, dia begitu kaget mendengar apa yang baru saja Mama katakan, tebakan yang selama ini dia anggap benar (Papa korban Mama), ternyata salah! Salah besar!! Karena kenyataannya Papa dan Mama berkelakuan sama saja.

Keberadaan Ve dan Shania belum Papa dan Mama sadari. Mereka masih asik berdua, saling adu suara, menunjukan kalau salah satu dari mereka itu benar, dan satu lainnya salah. Padahal... mereka berdua tidak ada yang benar!

Shania yang melihat wajah Kakaknya semakin tertekan dalam kesakitan dan kesedihan yang sudah di berikan oleh dua orang yang sekarang sedang dia tonton dalam pembelaannya masing-masing, atas kelakuan memalukan yang sudah membuat dia dan Kakaknya menjadi korban. Tidak bisa lagi berdiam diri, berlama-lama melihat adegan demi adegan yang sedang berlangsung didepan kedua matanya dan Kakaknya juga, hingga membuat Kakaknya terlihat begitu shock. Shania memegang erat tangan Ve, lalu dia melangkahkan kakinya, menuntun Ve menaiki sisa anak tangga menuju kamar mereka.

Shania yang sudah melihat kelakuan Papa dan Mama, terlihat bisa lebih tegar ketimbang Ve. Maka dari itu, dia yang menjadi tempat sandaran untuk Ve yang shock.

Saat langkah kaki kembali beradu dengan marmer cream, Papa dan Mama akhirnya menyadari kalau ada kedua putri mereka yang sudah sedari tadi melihat tingkah lakunya.
"Ve..." Suara Papa,
"Shania..." Suara Mama, kedua suara itu beradu.
Shania mendengar jelas nama dia dan Kakaknya keluar dari mulut Papa dan Mama. Tapi tidak dia hiraukan, Shania terus menuntun Ve.

"Ini semua salah kamu, Mas! Kamu itu terlalu egois!! Kamu itu,-"
"Cukup! Diam kamu!!" Papa balik membentak Mama. "Kalau kamu terus menyalahkan saya! Lantas, bagaimana dengan sikap kamu sendiri!? Bercerminlah! Bukan cuma saya yang salah!!" Papa pergi meninggalkan Mama.


"Kakak... duduk dulu, biar Shania ambilin Kakak minum!" Ucap Shania, setelah mendudukan Kakaknya diatas tempat tidurnya.
"Jangan!" Suara Ve disela rasa shocknya, "Kakak gak mau.. kamu ninggalin Kakak, sendirian!"

Shania sungguh merasa kasihan pada apa yang dia lihat. (Ve saja sampai segitunya, saat dia tahu kebobrokan orangtuanya, padahal... tentang Papa, dia hanya tahu lewat ucapan Mama. Bagaimana dengan Shania yang tahu begitu jelas dan jernih. Belum lagi masalah lain yang dia hadapi dengan sahabatnya kala itu. Tanpa ada satu orangpun berada di dekatnya, memberikan ketegaran untuknya, seperti yang sekarang dia lakukan untuk Kakaknya. hmm.. Shania terlalu hebat :'-) {} )

"Gak akan ada yang biarin Kakak sendirian! Kita sekarang udah sama-sama Kak. Kita akan menghadapi apapun itu.. bersama!!" Shania mencoba menenangkan Ve.
"Sekarang... Kakak tunggu Shania disini sebentar, Shania gak akan lama kok! Ya?" Shania begitu perduli. Ve akhirnya mengangguk pelan dan melepas genggamannya dari tangan Shania.


"...Udah selesai? Pembelaan dirinya?"
Shania bicara, masih sambil berjalan. Yang dia lihat hanya sosok Mama nya, diruangan yang tadi sempat membara.
"Shania..?" Mama berdiri dari sofa yang sedang diduduki.
"Tuhan tidak pernah main-main dengan apa yang Dia berikan untuk kita, Mah! Dengan mudah, Tuhan memberikan apa yang sekarang kita miliki. Dan dengan begitu mudah juga, Dia bisa kembali mengambil apa yang sudah Dia berikan! Bukan cuma harta ataupun tahta,... kebahagiaan juga!!" Mama menatap dengan raut sedihnya.

Beliau berjalan menghampiri Shania yang berdiri dengan jarak renggang padanya. Bermaksud untuk memeluknya, dan mungkin.. akan membuat pembelaan atas apa yang sudah Shania dengar. Tapi sayang, Shania malah menarik dirinya kebelakang, memperlihatkan ketidak mauannya di peluk oleh Mama. Dan apa yang Shania perlihatkan cukup membuat Mama merasa ditampar.

"Kalau saja, kalian... bisa menekan keegoisan kalian, melawan semua bisikan tidak benar itu! Malam ini... tidaklah perlu aku sama Kak Ve saksikan. Tidaklah perlu, Papa sama Mama saling teriak, sok membela diri. Padahal... Kalian berdua sama saja!!"
Tamparan itu semakin nyata Mama rasa, Mama yang berpikir kalau Shania tidak pernah tahu pada apa yang dilakukannya, seperti yang sudah dilihat oleh Ve. ternyata salah!
"Mama sama Papa terlalu picik! Kalian berubah. Apa yang dulu kalian janjikan pada kita.. semuanya, Nothing, Mah! Gak ada satupun, ucapan manis dari Papa juga Mama yang menjadi kenyataan. Bukan cuma kehidupan aku sama Kakak yang kalian rusak, tapi kehidupan kalian sendiri.. Kalian rusak dengan keangkuhan dan keegoisan kalian! Merasa paling benar, tapi nyatanya.. sama-sama rusak!!" Mama menangis,
"Harusnya.. Mama juga Papa, belajar dari Tante Ana. Bagaimana jadi orang tua yang baik? Bagaimana cara menghadapi masalah? Bagaimana cara Tante Ana, hidup dalam naungan masalah yang tiada henti di kehidupannya! Harusnya.." Shania menitikan air mata, perasaan yang selama ini dia pendam. Dia ledakan malam ini. Dan tanpa Shania ketahui, Papa ada di depan kamarnya (Kamar Papa dan Mama), padahal tadinya, setelah dari kamar membawa koper, Papa akan langsung pergi dari rumah.
"Harusnya Mama tahu.. bagaimana kehidupan Tante Ana, yang dulu saat di Jogja begitu dekat dengan keluarga kita! Mama masih ingat kan sama Tante Ana?"
Mama menundukan kepalanya, beliau tidak pernah lupa dengan Ana dan juga Beby.
"Mama pasti sudah tahu, cerita Tante Ana yang ditinggal pergi oleh suaminya karena kanker!? Tapi Mama, pasti belum tahu soal ini... Soal penyakit yang merenggut nyawa Papanya Beby itu.. kini, kini.. mengancam kehidupan Beby, yang mungkin saja akan berakhir sama dengan Papa nya!! Bisakah.. Mama sedikit saja membayangkan, bagaimana peliknya kehidupan Tante Ana, Mah? Bagaimana kalau semua itu.. terjadi pada keluarga Mama ini!?"
Shania membiarkan pipinya basah karena tangis. Mama dan juga Papa yang mendengarkan diam-diam, kaget bukan main.
"Maksud kamu.. Beby... Beby sakit kanker?" Tanya Mama dibalik suara yang sudah menyatu dengan tangis.
"...Iyyya..  . . . Dan Mama tahu? Pikiran liar Shania sempat berpikir Mah, 'Harusnya.. Tuhan memberikan cobaan seperti itu pada Mama juga Papa? Mama sama Papa perlu melihat Shania atau Kak Ve, yang dititipi penyakit itu, menyaksikan perjuangan kita melawan sakit ganas itu!?'. . .Agar Mama juga Papa sadar, kalau kehidupan yang sudah Tuhan berikan ini... begitu indah, terlalu indah, untuk akhirnya di khianati dengan sebuah nafsu dan keegoisan!!" '
Ucapan itu.. sudah bukan tamparan lagi, tapi tusukan yang begitu dalam. Mama tidak tahu lagi harus memberikan reaksi apa pada Shania.

"Maafin Shania Mah... Shania tidak ada maksud lancang, atau sok menggurui Mama.. juga Papa!" Ujar Shania, lalu berjalan kedapur.

Mama, Papa.. mereka terdiam! Kata-kata Shania terus mengiang di telinga keduanya. Rasa malu, bersalah, dan lainnya kini menyambangi perasaan mereka masing-masing. Dan Ve... dia keluar kamar setelah Shania yang meninggalkannya tidak juga balik ke kamar (Ikut mendengarkan diam-diam), Hanya bisa menangis membekap mulutnya sendiri. Tidak percaya pada apa yang baru dia dengar. Merasakan kembali rasa bersalah untuk Shania, di tengah rasa kagetnya terhadap Papa.
'Selama ini... Kamu berjuang sendirian, Dek! Kakak begitu memalukan untuk kamu panggil Kakak!!' sesal Ve dalam hati. 'Kamu tahu semuanya.. dan Kamu, sendirian!!'

Penyesalan tidak menghasilkan apapun, kecuali rasa sakit yang entah kapan akan hilangnya. Setiap peristiwa yang membuat kita menyesal, sudah pasti tidak akan bisa dilupakan begitu saja. Mungkin, sempat meminta pada Tuhan untuk menghapuskan memori yang membuat kita menyesal diakhir cerita dari ingatan. Namun, apa dengan seperti itu perasaan kita bisa terbebas dari rasa bersalah dan menyesal? dan jawabannya.. Tidak akan! Bukan dengan menghapus memori, melumpuhkan ingatan, lantas kita pikir rasa sesal dari kesalahan itu bisa kita hilangkan. Tapi dengan memasrahkannya pada Tuhan dan memperbaiki tingkah dan langkah yang sudah salah kita ambil lah, yang akan membuat kita bisa kembali berjalan, membiarkan rasa sesal itu menjadi cambukan agar tidak pernah lagi kita melakukan sesuatu yang akan kita sesali nantinya.

Berpikirlah sebelum bertindak, agar tingkah kita tidak meyakiti siapapun.
Berpikirlah sebelum bicara, agar ucapan kita tidak melukai siapapun.
Berpikirlah sebelum melakukan apapun, agar sesal tidak jadi penutup keputusan…

Shania kembali kekamar Ve. Dia membuka pintu dan masuk dengan memasang senyum segaris untuk Kakaknya yang masih duduk ditempat semula, tempat tadi saat dia meninggalkannya.
"Shania gak ninggalin Kakak sendirian kan?" Ucapnya mengambil posisi duduk disebelah Ve.
"Maaf ya Kak, Shania agak lama ambilin minumnya! Tadi, di dapur gak ada air hangat, mungkin si Mbok lupa masak air. "
Seperti tidak ada narasi apapun di ruang keluarga antara dia dan Mama. Shania terus memasang tampang Oke nya, dihadapan Ve, yang sebenarnya sudah tahu.
"Ini.. minumlah dulu, biar Kakak lebih tenang!" Shania menyodorkan minuman yang sudah dia bikin sendiri.

Ve menerimanya, dia menyeruput sedikit, Teh hangat yang dibuatkannShania. Lalu menyimpan gelas itu di mejanya. Ve memakukan pandangannya pada Shania. Dia merasa, sosok Shania begitu terlihat dewasa, setelah beberapa masalah yang hadir dalam kehidupannya sempat membuat dia bertingkah kekanakan. Tidak seperti dirinya yang lemah.

"...Makasih ya, Dek!"
Kata pertama Ve yang Shania dengar setelah wajahnya tadi dinaungi rasa shock. Shania membalasnya dengan senyum dan anggukan.
"Kakak... sayang sama kamu! Maafin Kakak.. yang pernah membiarkan kamu sendirian, menyaksikan dan merasakan semua ini!" Ve memegang lembut tangan Shania.
Shania menatapkan mata sipitnya, dengan tanya keluar dari bibir tipisnya. "Kenapa Kakak harus minta maaf?"
"Selama ini, Kamu terluka.. kamu sakit.. dan kamu menghadapi semua itu sendirian! Sementara Kakak sendiri? Malah melakukan hal bodoh untuk menghindari rasa sakit yang akan membuat luka. Kakak tidak sehebat kamu, Dek. Kakak gak pantas untuk kamu panggil Kakak!!" Ve menangis.
Shania mulai sedikit mengerti arah pembicaraan Ve. Dan bertanya dalam hati,
'Apa Kakak mendengarkan percakapan aku sama Mama?'

"Kakak kenapa bicaranya seperti itu? Shania emang pernah benci sama Kakak, karena Kakak ninggalin Shania sendirian. Tapi, Shania sadar sekarang.. itu cuma emosi dari ketidak adaannya komunikasi antara Shania sama Kakak! Bukan Kakak yang salah, bukan Kakak yang gak hebat. Tapi, kita berdua sama! Kakak salah, Shania juga salah. Kakak merasa gak hebat, Shania juga tidak pernah merasa hebat. Kita sama Kak, sama-sama menutupi apa yang membuat kita luka dengan senyum sok tegar, dan tingkah lainnya! semua itu.. cuma kemunafikan. Semua apa yang pernah kita lakukan, cuma cara.. cara pelampiasan dari apa yang tidak kita tahu!!" Ucapan Shania membuat Ve terharu.

"Kamu.. Kamu memang hebat, Dek! Kakak menyesal. Sempat mengasingkan kamu dari kehidupan Kakak. Mengenyampingkan, bahkan... nyaris menenggelamkan kamu dalam kebencian yang Kakak rasa dari apa yang Tuhan tuliskan untuk Kakak. Untuk keluarga kita!" :'-)
"Setiap orang punya cerita dan cara menyelesaikan ceritanya itu, masing-masing. Termasuk aku, sama Kakak juga! Dan kini.. kita, sudah menemukan cara mencapai akhir cerita yang tertulis:-). . ." Shania balik memegang tangan Kakaknya. " Kakak tahu? Luka dan sakit ini... yang mengajarkan Shania untuk lebih dewasa, Kak! Meskipun dada terasa sakit karena tangis yang tidak bisa tumpah. Tapi Shania akhirnya bisa melewati semuanya, dan itu.. berkat Kakak juga! :'-) Kakak tidak pernah benar-benar meninggalkan Shania. Kakak cuma bingung, sama seperti dengan yang Shania rasakan!" Ve tersenyum, lalu memeluk Shania. Dan Shania... membalas pelukan itu.

Masalah yang sempat menguasai, akhirnya bisa dikuasai balik. Shania dan Ve semakin erat menjaga satu sama lain, apalagi setelah kebobrokan orangtuanya terkuak nyata tanpa ada lagi tirai yang menutupi seperti sebelumnya.


***
Pergantian hari.. tanpa dinantipun, akan berganti. Entah ingin ataupun tidak ingin, hari ini kita lewati. Tapi kenyataannya, setiap hari terus berganti. Tidak mungkin ada hari yang bisa kita skip gitu aja, sekalipun hanya duduk manis diatas kursi, ditemani alunan musik, atau mainan, atau delusi, atau apalah itu... pastinya, akan ada cerita yang kita kenang dari hari yang sudah dilewati.

Shania selalu melamun sendiri saat jam istirahat masuk menggantikan jam pelajaran sang pengajar. Sekalipun dia duduk di meja kantin bersama teman-temannya, hati dan pikirannya tetap selalu mematung. Memikirkan biaya... kesembuhan Beby... Papa Mama nya... dan perasaan yang beberapa hari ini terus menguntitnya dalam hening di keramaian. Apalah itu.. Shania pun tidak tahu. Dia hanya merasa, kegelisahan yang begitu menguasai hatinya. Sebuah kegelisahan yang timbul tidak hanya dari hasil lamunannya tentang Beby dan lainnya, tapi lebih dari itu.. seperti akan ada sesuatu yang.. entahlah, Shania sendiri sulit menerjemahkannya!

Sesekali terdengar helaan nafas mengalun dari mulut Shania, hingga mereka yang sedang ada di sekelilingnya menyadari tingkah aneh Shania, dan mulai memberondonginya dengan pertanyaan. Tapi dengan santai tanpa beban, dan wajah khasnya yang terkesan datar, Shania bisa dengan ringannya menjawab setiap pertanyaan yang diajukan teman-temannya.

"Eh ya, Shan? Kabar Beby gimana?"
Pertanyaan lain dari Gaby, setelah pertanyaan herannya yang bisa dengan mulus Shania jawab.

Shania melihat Gaby dan yang lainnya, meskipun dia tidak pernah bercerita pada mereka tentang dia yang sudah dekat lagi dengan Beby. Bukan berarti teman-temannya itu tidak tahu.
"...Beby... Diaaa, ya gitulah, Gab! Kita berdoa saja, semoga dia bisa sembuh dari sakitnya!" Jawab Shania. dapat 'Amin' dari yang lainnya.

"Kapan Beby masuk lagi sekolah?... Gue pengen minta maaf sama dia!" Noella ikut bicara setelah Gaby diam.
"Gue gak tahu, Well! kondisinya... mungkin akan mempersulit dia untuk bisa kembali beraktifitas disekolah!!"
"Gue gak pernah menyangka! Beby yang sekilas gue lihat, seperti kita. Gak tahunya. Bisa begitu rapi menyembunyikan sakit kerasnya! Gue bener-bener nyesel, udah bertingkah seenaknya. Bukan cuma sama Beby aja sih, tapi murid lainnya juga!!" Sesal Noella dalam ucapannya.

"Gue juga u.u" Vanka ikut-ikutan, "Mana sampai hari ini aja, gue masih selalu kepikiran buat ngerjain teman-teman! Padahal kan, kita udahan, gak gitu-gitu lagi!!"
"Euhhh! Itu mah, emang lu nya aja yang gak ada niat berubah, Vanka!!" Gemes Gaby melihat Vanka.
"Berubah kan butuh waktu, Gab! " hero-hero di tivi aja, pada butuh waktu kan? Kalo mereka mau berubah!" Jayus Vanka, dapat delikan dari Gaby.

"Udah dong, ahh! Kita lagi serius nih!!"
Noella kembali bicara. Hanya Ochi yang sedari tadi diam membisu. Sementara Octy.. seperti biasa, ikut yang rame, tinggalin yang sepi .
Gaby dan Vanka langsung diam, setelah mendengar ucapan Noella.

"Terus, pengobatannya gimana, Shan?" Kembali Noella bertanya.
"Ibunya.. *bukan! Kita.. masih dan akan terus berusaha, untuk bisa melihat Beby sembuh, Well! Doain aja, Oke?" Shania tersenyum pada Noella. Noella mengangguk dengan senyum manis dari wajahnya yang terlihat jutek.

"ehmm.. Shan?"
Shania melihat Noella.
"Kira-kira..? Kita boleh gak ya? Pulang sekolah nanti, ikut sama lu buat jenguk Beby!?" Tanya Noella,
Shania senyum dan mengangguk diikuti sebaris kalimat. "Beby pasti senang kedatangan tamu! "
Noella, Gaby, Vanka, melayangkan senyumannya keudara, berisyarat kalau mereka senang dengan apa yang Shania ucapkan.

"Gue gak bisa ikut!" Ochi yang tadi diam, kali ini bicara. Karena Noella membawa 'kita' saat dia bicara pada Shania.
"Loh? Kenapa, Chi? Kan biar rame kalau kita semua yang kesana!" Kata Gaby.
"Gue... emm... Gue udah ada janji, jadi... lain kali aja deh ya!" Jawab Ochi beralasan, dengan senyum sedikit yang dia paksakan.

Shania melihat Ochi, dia merasa ada yang dibuat-dibuat oleh Ochi dalam alasannya.

Perbincangan itu terus mengembang, dari bahasan Beby.. hingga kegiatan di kelas dan kegiatan lain yang melibatkan sekolah. Sampai waktu istirahat pun habis.

Noella, Vanka, Octy dan Gaby, jalan di barisan depan menuju kelas. Sementara itu, Ochi dan Shania dibelakang. Shania melihat kedepan, lalu perlahan.. dia pelankan langkahnya agar ada jarak yang cukup antara dia dan Ochi dengan yang lainnya yang ada di depan. Karena Shania ingin bicara dengan Ochi. Tapi, Ochi yang sepertinya tahu maksud dari Shania. Tidak sama sekali mengimbangi langkah Shania. Dia malah menambah speed langkahnya dan sampai pada Noella, Vanka, Octy dan Gaby yang ada di depan. Hingga membuat Shania mengerung.
'Ada yang salah! Apa yang aku pikirkan... sepertinya benar.kamu terlihat gak suka, aku bisa deket lagi sama sahabat aku! Tapi kenapa?... Kenapa Chi?' pertanyaan yang tadinya ingin Shania ajukan (Kenapa Ochi seperti tidak suka kalau dirinya dekat lagi dengan Beby) akhirnya hanya bisa dia lantunkan dalam hati.


"...Hai Cind?"
Shania menepuk pundak Cindy yang sedang asik memainkan smartphonenya.
Cindy mengangkat kepalanya "Ha...ii,-" Jawabannya menurun karena kaget melihay disisi Shania ternyata ada murid lain yang tidak asing buat Cindy. Si murid-murid pembuat onar.
"Gak usah tegang gitu kali mukanya! Kita gak bakal ngapa-ngapain lu, Kok!!" Ujar Noella yang bisa melihat tatapan Cindy untuk mereka.
Shania tersenyum, "Noella, Vanka, Octy sama Gaby. Mau pada jenguk Beby! "
"Oh? Baa..bagus dong! Beby.. dia pasti senang kedatangan banyak tamu. hehehe!"
Cindy terlihat sedikit kaku didepan Noella dan lainnya yang belum terbiasa dia hadapi dengan sudah ramahnya tingkah mereka.
"Ya udah, berangkat yuk?!" Ajak Shania, dapat anggukan setuju dari yang lainnya.

Sampai dirumah Beby, mereka yang baru pertama kali kerumah Beby. Dapat sambutan hangat dari Mama. Kemudian bertemu dengan Beby yang memancarkan ekspresi tidak percaya dengan apa yang dia lihat, kala bisa menangkap visualisasi orang yang masuk ke kamarnya tidak hanya Shania dan Cindy, tapi menyusul dibelakang mereka berdua ada yang lainnya juga. Beby mengembangkan senyum hingga lesung pipinya terlihat, menyambut mereka yang sudah mau repot menjenguknya.

Awalnya, agak canggung dan saling sapa seadanya. Tapi kemudian, lama-kelamaan saat mereka sudah ada kurang lebih 2jam didalam kamar itu. Obrolan terlihat semakin seru. rasa canggung itupun perlahan tergeser oleh keakraban yang mulai nampak diantara Noella, Vanka, Octy dan Gaby, dengan Beby dan Cindy.

Shania yang melihat dalam diam merasakan senang dan bahagia bisa melihat sahabatnya tersenyum bahkan bisa sampai tertawa, meski hanya suara tawa halus yang terdengar.
'Ternyata... untuk menyenangkan hati seseorang itu, tidaklah perlu dengan hadiah mahal atau apapun yang dibentuk karena uang. Kamu memang baik, Beb! Begitu baik!!'


---
'Cind!'

'Apa?'

'Hari ini, aku gak bisa ke rumah Beby dulu'

'Hah? Kenapa?'
'terus sekarang kamu dimana, Shan?'

'Ada sesuatu yang harus aku lakuin!'
'Aku lagi dipelataran parkir!!'
'Pokoknya... Kasih kabar ya kalau ada apa-apa '

'Ohh, ya udah!'
'Nanti aku kasih tahu Beby!'
'Soalnya.. aku juga gak langsung sekarang ke rumah Beby nya, ada yang harus aku beli dulu!'

'Oleh-oleh buat Beby ya?' tebak Shania,
'Bukann! Aku disuruh sama Mama!!'
'Lagian kalo buat Beby mah, entar aja dari kamu oleh-olehnya.. '

'Lah -_-a Kok dari aku, kan aku mah gak bisa ke rumah Beby!'

'.. Iyaaa, gak usah di kasih sekarang! Kan kamu baru mau pergi, gak tahu mau kemana!'
'Pasti ada oleh-oleh nya dong '

Shania masih terus mengirimi Cindy, Chat. Dia tersenyum tipis saat melihat Chat terakhir Cindy tentang oleh-oleh.
'Yaa.. aku emang bakal bawa oleh-oleh buat Beby!' Bisik hati Shania. Dia sudah merencanakan sesuatu yang tidak satu orangpun tahu.

'Yaaa.. gitu deh! Liat aja entar.'
'Udah dulu ya, aku udah siap pergi!'

'Ya udah! Hati-hati!!'
''

Selesai ber-Chating ria selama beberapa menit. Shania sampai di dekat mobilnya. Meluncur meninggalkan sekolah dengan senyum mengembang.
'Semoga ini... yang terbaik buat kita semua :'-), Bantu aku Tuhan!' Doa Shania, dalam hati.


"Ochi..?"
Beby membukakan pintu rumah yang tadi mengeluarkan suara penanda ada seseorang yang ingin masuk.

Beby sedang sendiri dirumah, Mama ke supermarket dulu. Mama pergi diwaktu yang sudah Mama perkirakan akan datangnya Cindy dan Shania seperti hari-hari yang sudah lewat, jadi.. meskipun Mama pergi, tak lamapun Cindy dan Shania akan datang menemani Beby. Tapi, ternyata perkiraan Mama melenceng. Shania tidak datang, dan Cindy telat datangnya. Mama pikir, Beby sekarang sudah ada yang menemani dirumah. Padahal Tidak.

Ochi diam sejenak melihat Beby yang duduk di kursi roda. Tatapan yang diperlihatkan Ochi pada Beby, begitu dingin dan sepertinya siap melakukan sesuatu pada Beby, yang dia benci. Benci karena Beby kembali dekat dengan Shania. Benci karena Beby dapat perhatian sebegitu Wah nya, bahkan dari orang-orang yang dulu sempat mengerjainya. Benci dengan sosok Beby yang dimata Ochi begitu sempurna kebahagiaan dalam hidupnya. Ochi... membenci Beby karena dia pikir, kehidupan Beby begitu sempurna! berbanding terbalik dan begitu jauh dengan kehidupannya sendiri.

Beby bingung, harus mengucapkan apa pada Ochi yang sedari tadi setelah pintu terbuka, Ochi masih diam memaku dengan tatapan yang bisa Beby rasakan (Tatapan marah).

Baru Beby akan buka mulut untuk bicara, tidak tahunya, Ochi mendahului. Bukan dengan kalimat hasil rangkaian kata, namun dengan tindakan. Ochi melangkah kebelakang kursi roda Beby, dia turunkan tawas di sebelah kiri tangan kursi roda, kemudian mendorongnya.
"Ochi? Kamu mau ngapain? Kamu mau bawa aku kemana?" Beby cukup panik, tapi dia coba tekan rasa paniknya.
Ochi belum menjawab.
"Ochi? Chi!? Kamu mau bawa aku kemana?" Kembali Beby mengeluarkan tanya.

"Gue benci sama lu!" Ucap Ochi. Beby yang mendengar merasakan ada kesakitan disuara itu.
"Kenapa lu harus muncul lagi! Kenapa lu gak diam aja di sana (Jogja!)?" Lanjutnya masih dengan posisi mendorong kursi roda Beby yang entah akan dia bawa kemana.

"Maksud kamu apa? Apa kesalahanku?"
"Lu mau tahu? Apa kesalahan yang udah lu bikin, sampai gue benci dan jijik sama lu?" Beby mengerung,
"Lu yang udah menjadikan sakit lu ini sebagai pemikat perhatian mereka! Buat gue itu menjijikan, lu mau dapat perhatian dari mereka semua dengan cara seperti ini! Sok tidak berdaya, seakan-akan lu bakal mati besok. Padahal itu cuma trik lu aja kan!!?"

Ochi sedang dikuasai amarah, yang sudah dari beberapa minggu ini dia pendam. Minggu semenjak, Shania kembali dekat dengan Beby. Semenjak teman-temannya berubah karena mendengar kondisi Beby yang mereka takutkan. Semenjak Beby... datang di kehidupannya sebagai pengacau! (Opini Ochi pribadi).

"Aku tidak pernah berpikir seperti itu... untuk apa, aku memikat perhatian orang-orang dengan sakit separah ini?"
"Diamlah! Gue gak mau denger suara lu!!" Kasar Ochi.
"Kalau kamu gak mau dengar suara aku? Terus kenapa kamu mau mendorong kursi roda yang diatasnya lagi duduk orang yang kamu benci!" Serang Beby, lewat kata.
"Karena ada yang mau gue lakuin! Kalo kebahagiaan bisa gue rasain, dengan mengorbankan seseorang. Maka, Gue gak akan berpikir ribuan kali untuk melakukan pengorbanan itu, agar gue bisa bahagia!"
Beby tercengang mendengar ucapan Ochi.
"Dan seseorang dalam pengorbanan itu, adalah.. LU! Lu udah merebut kebahagiaan gue, menarik mereka yang sudah menganggap keberadaan gue. Membawa mereka menjauh dari gue,... gue yang tidak pernah ada seorangpun menggubris atau bahkan menoleh keberadaan gue. Hingga gue harus memasang dua tampang, penutup kelemahan dan ketidakberdayaan yang selalu terasing dan diasingkan!! Gue yang... tidak pernah diberikan kebahagiaan oleh Tuhan. Tuhan, yang... tidak pernah ada buat gue!!!"

Beby yang emosinya sempat sedikit meningkat, dan ingin melepaskan diri dari Ochi. Malah menjadi iba pada apa yang diucapkan Ochi.

Ochi masih mendorong kursi roda itu kearah taman yang jalannya menanjak. Setelah sampai di ujung jalan yang menanjak itu, rencana emosi Ochi.. dia akan mendorong kursi roda yang diduduki Beby, dan membiarkan Beby jatuh dengan kursi rodanya! (Saat Shania, Noella, Vanka, Gaby dan Octy main kerumah Beby. Diam-diam, Ochi yang tidak ikut gabung ternyata mengikuti dan membuat rencana sadisnya untuk Beby yang dia anggap perebut kebahagiaannya.)

"Kalau... apa yang baru saja kamu bilang, bisa benar-benar membuat kamu menemukan dan merasakan kebahagiaan.." Beby diam sejenak. Rasa sakit itu.. perlahan kembali memaksa tubuhnya untuk bereaksi dalam kesakitan yang menyiksa.
"...Doronglah... kursi roda ini.. dengan kekuatan penuh yang kamu miliki! Lepaskanlah emosi kebenciaan kamu, saat kamu mendorong kursi roda ini. Biarkan amarah kamu... terjun dengan iringan jatuhnya aku, biar kebahagiaan kamu.. bisa kembali kamu rasakan!!"

Ochi kaget mendengar ucapan Beby.
"Gak usah sok baik, lu! Gue muak sama lu!! Apa lu tahu itu?" Ochi menekan suara emosinya.
"Aku... gak pernah mau... jadi orang yang... sok baik. Karena aku... gak akan dapetin apapun!!". . . "Kamu tahu? Sejauh apapun.. kamu merasakan jauh dari Tuhan! Dia tidak pernah jauh, Dia tidak pernah melepaskan tatapan-Nya, bahkan genggaman-Nya, dari kita. Sekalipun kita... melupakan keberadaan-Nya. Dan menghakimi Dia dengan segala tudingan yang menyudutkan. Tuhan tidak pernah jauh... Dia selalu ada, untuk siapapun. Termasuk kamu.. Chi!"

Dorongan yang tadi terasa semangat, menjadi pelan. Suara alunan dari orang lemah yang akan dia korbankan karena kebencian, masih bisa masuk dalam hatinya. Seperti terjun dari ketinggian, helaan nafas begitu terasa senyap didada. Kalimat itu begitu terasa senyap, menusuk halus membuat kabut kebencian sedikit tersapu.


"Hallo?" Ve mengangkat telpon dari Shania,
"Halo, Kak! Kak Ve dimana?" Tanya Shania diujung telpon.
"Kakak lagi di kampus, Dek. Kenapa?"
"Ohh.. emhh, gak apa-apa, Kak! Shania kira Kakak lagi di rumah, ya udah deh, Shania pulang naik taksi aja!" Jelas Shania.
"Naik taksi? Bukannya tadi kamu pergi bawa mobil?" Heran Ve, yang masih ingat betul kalau saat berangkat tadi, Shania berangkat membawa mobil sendirian, tanpa di supiri.
"Ceritanya panjang, Kak! entar aja deh di rumah, Shania ceritain!!" Balas Shania, semakin membuat Ve mengerutkan keningnya.
"Kamu dirumah Beby, kan?" Ve coba menebak lokasi Shania.
"Emmnggak! Shania gak ke rumah Beby!!"
"Loh? Terus? Sekarang kamu dimana?" Kaget Ve.
"Shania..." Menghentikan suaranya sebentar untuk menyetop taksi yang lewat didepannya.
Ve masih menunggu jawaban dari Shania. Dia sedang berada di halaman kampus, menunggu jam kuliah berikutnya.
"... (Sudah masuk taksi, menyebutkan lokasi tujuan dan duduk manis), Shania... abis jual mobil, Kak!" Lanjut Shania pada ucapan yang sempat terpotong.
"HAH!? Kamu bilang? Juuual mobil? Kamu lagi bercanda?" Kaget Ve, mendengar ucapan Shania yang nyaris tanpa beban.
Shania, yang ada diujung telpon hanya melengkungkan senyum.
"Kakak gak salah dengar kan, Dek?" Ve masih tidak percaya.
"Enggak! Apa yang tadi Shania ucapkan, itu beneran, Kak! Seriusss.. Transaksinya udah selesai lagi!!" Jawabnya santai.

Dari rasa kaget, berubah jadi haru. Ve tahu pasti apa alasan Shania menjual mobil yang diberikan Papa pada saat mereka pindah ke Jakarta. Untuk Beby!

"Kenapa kamu gak bilang sama Kakak?" Tanya Ve dengan tone sudah biasa, tidak kaget.
"Kalau Shania bilang-bilang dulu, pasti akan ada portal! Shania tahu Kakak.. misalnya Shania bilang 'Kak, Shania mau jual mobil, untuk bla.. bla.. bla..' Kakak pasti akan kaget, terus.. ngasih masukan yang sudah pasti melibatkan Papa! Karena pemilik mobil itu kan Papa!!" Panjang lebar Shania menjawab. "Dan endingnya... Shania harus kembali berpikir untuk menemukan jalan lain lagi, demi uang itu!"

"Dasar! Anak kecil sok tahu!!" Sahut Ve, diiringi tawa halus yang bisa Shania dengar.
"Eh? Shania tuh gak sok tahu, tapi emang udah pastinya bakal kayak gitu kan?"
"Kata siapa? Kamu.. bilang aja enggak, malah sok bikin tebakan jawaban lagi!" Protes Ve, Shania hanya menyunggingkan senyum manisnya. "Kalau tahu kamu mau ada rencana jual mobil. Mending jual mobil punya Kakak aja. Harganya udah pasti diatas harga mobil kamu! Jadi... kita dapetin uangnya, ada lebihnya. Buat biaya lain-lain kalau Tante Ana sama Beby butuh!!" . . . "Soal Papa... Kakak gak mau perduliin itu! Kamu salah. Papa bukan pemilik mobil. Lihat aja di STNK sama BPKB nya? Nama kamu.. sama Kakak, iya kan?" Shania mengangguk diikuti senyum haru. "Kalaupun nantinya Papa mau marahin tindakan kita. Kakak gak akan takut! Karena yang kita lakukan, adalah hal yang benar. Dan karena mobil kamu yang udah gak ada, kalau misalnya nanti Papa marah. Kakak gak akan biarin Papa marah sama kamu aja!"
Shania tersentuh dengan ucapan Kakaknya, dia jadi tercengang sendiri didalam taksi.

"Halo..? Dek! Kamu masih disana? Haaaaloo..?" Ve tidak mendengar suara Shania.
"I...iyaaa! Shania masih disini!!"
"Kenapa diam?"
"Memikirkan kebodohan Shania, yang gak diskusiin ini sama Kakak!" Jawab Shania dengan suara agak berat.
"Gak usah berpikir lagi. Mobilnya udah jadi uang kan? Apa yang kamu lakukan, bukan kebodohan kok. Tapi itu... keperduliaan. Kamu begitu serius ingin menolong Beby, Kakak yakin.. Tuhan juga pasti serius menuliskan semuanya buat kamu sama Beby. Buat kita semua!" . . .
"...Makasih ya Kak, udah mau dukung Shania! :'-)"
"Kita ini saudara! Adanya kamu sebagai adik, dan Kak Ve sebagai Kakak, itu untuk saling mendukung!! Iya kan?"
"Iya! Dan Kak Ve.. Kakak terhebat buat Shania! :'-) Kalau Shania bisa lihat Kakak sekarang, Shania pasti udah meluk Kakak!... hmmm Shania jadi pengen peluk Kakak!!" Ve tersenyum mendengar suara manja adiknya itu.
"Dan Kakak... gak akan pernah lepasin pelukan Kakak sama kamu !"
"Tuh kan... jadi tambah pengen! Shania masih mau terus dipeluk sama Kakak!" Ucapan itu terdengar aneh buat Ve. Shania tidak biasanya bicara seperti itu. Seperti... dia tidak akan lagi bertemu dengan Kakaknya, atau seperti.. mereka akan berada di tempat berbeda dengan jarak yang cukup jauh.
"Iyaaa... Dedek! Cepetan pulang, entar kita ketemu dirumah ya?" Shania tidak menjawab 'iya' dia hanya menyunggingkan senyum.


"Heeeeh? Kok pintu rumah Beby kebuka sih!?"
Heran Cindy yang baru datang. Dia telat satu jam dari yang seharusnya.
"Selamat siang... Tante, Cindy masuk ya?"
Cindy mengucapkan permisi sambil celingukan kedalam.
"Tante..?" Tidak terdengar sahutan.
"Kok sepi sih? Tapi... pintunya kenapa gak dikunci, mana kebuka lagi?"

Tidak ada juga suara dari Mama, Cindy langsung berinisiatif pergi ke kamarnya Beby. Saat pintu kamar terbuka, Cindy heran, karena Beby tidak ada di kamar. Dia berpikir, Beby mungkin sedang dibelakang dengan Mama nya. Cindy pun kebelakang. Tapi lagi-lagi, dia tidak mendapati sosok Beby, ataupun Mamanya.
"Perasaan aku kenapa jadi gak enak gini!" bisik Cindy. Saat dia akan kembali ke ruang keluarga, dia dikagetkan dengan suara Tante Ana yang baru saja masuk.

"Tante... Tante baru pulang ya?" Tanya Cindy,
"Iya, Tante abis belanja buat kebutuhan Beby! Bebynya mana? Dia lagi tidur ya?" Jawab Mama diakhiri tanya.
"Tidur? Bukannya... Beby pergi sama Tante?"
Mama yang sedang menata apa yang tadi di beli, berhenti.
"Pergi sama Tante? Enggak, Tante pergi sendirian. Beby Tante tinggal, karena Tante pikir, tidak lama juga.. kamu sama Shania akan datang!"
Jawaban Mama membuat Cindy terbelalak.
"Tapi... Beby... Beby nya..." Suara Cindy jadi terbata. Dan itu membuat Mama bertanya.
"Beby kenapa?"
"Beby... dia gak ada di kamar Tante!"
"Apa? Bukannya kamu sama Shania,-"
"Cindy baru datang, dan Shania.. dia gak bisa kesini!" Cindy jadi memotong ucapan Mama. "Kalau Beby gak pergi sama Tante, terus dia kemana? Kursi rodanya juga gak ada, Tante!!" Panik Cindy. Mama jadi ikutan panik.

Mama berjalan cepat kearah kamar Beby. Untuk memastikan kalau Beby memang seperti apa yang dikatan Cindy (tidak ada di kamar). Dan memang benar apa yang Cindy katakan.

"Tadi pas waktu Cindy dateng, pintu rumah udah kebuka Tante!" Ucapan Cindy semakin membuat Mama panik.

Mama keluar rumah, mengitarkan pandangan kehalaman. Siapa tahu Beby memang keluar sendiri untuk menikmati udara luar. Tapi, sejauh mata memandang.. Tidak ada sosok Beby yang tertangkap oleh penglihatan.
"Beby... kamu dimana, Nak?" Mama menangis, ketakutan mulai merasuki tubuhnya.

Kondisi Beby saat Mama tinggal ke supermarket, terlihat tidak begitu menghawatirkan seperti beberapa hari sebelumnya. Itu kenapa Mama berani meinggalkan Beby sendiri di rumah.

Tanpa ada komando dari Mama, Cindy melakukan contact phone ke Melody. Suara sambungan diall itu perlahan terdengar, masih belum berubah nada hingga, beberapa detik berikutnya... Klik!
"Hal,-"
"Halo Bu? Bu, Ibu lagi sama Beby, Gak?"
Cindy memotong suara Melody.
Melody heran, "Enggak! Beby gak sama Ibu? Kenapa kamu tanya seperti itu? Beby kan ada dirumahnya?" Cindy mencoba membentengi rasa paniknya. Dengan cepat dan sedikit blepotan, dia menceritakan pada Melody tentang Beby.
"Apa? Gak mungkin Beby bisa pergi jauh, Cind! Coba kamu cari... ehmm... ke... ketaman! Taman yang ada di belokan blok 4 setelah rumah ke 8. Itu taman yang dulu biasa Ibu sama Beby datangi! Siapa tahu Beby lagi jalan-jalan kesana? Atau.. ketaman mana gitu, yang ada di blok lain!!" Melody berusaha memberi petunjuk.

Komplek tempat tinggal Beby, memang ada beberapa taman di titik blok tertentu. Tidak hanya satu.

"...iii...iiya Bu, Cindy akan cek!"
"Ya udah! Ibu kesana sekarang. Jaga Tante juga ya, Cind!!" Wejang Melody sebelum menutup telponnya.

Sampai ditaman yang di tunjukan Melody, Cindy dan Mama tidak mendapati adanya Beby, yang keberadaannya bisa sangat mencolok mata, karena Beby menggunakan kursi roda.
"Beby... kamu dimana?"
Cindy mengusap-usap kepala bagian belakangnya.
"Maafin Cindy Tante, Cindy harusnya tadi bilang dulu sama Tante, kalau Cindy gak bisa dateng ke rumah seperti sebelumnya!" Cindy merasa bersalah.
"Udahlah sayang, gak perlu bicara seperti itu. Sebaiknya kita cari Beby ke taman lainnya. Siapa tahu dia ada disana!" Mama mencoba untuk tidak panik. Dan beliau pun memang tidak menyalahkan Cindy ataupun Shania.
"Iya, Tante!" Cindy mengangguk, menyetujui saran Mama.

Jalan ketaman kedua... hasilnya sama dengan ditaman pertama, tidak ada Beby disana!

"Beby.. dia gak mungkin pergi sejauh ini sendirian, Cindy!" Ujar Mama menebak.
Cindy setuju dengan yang dikatan Mama.
"Masih ada taman lain, gak Tante?" Tanya Cindy. Mama mencoba mengingat. Cukup lama Mama membuka brankas di otaknya, mencari lokasi taman ketiga yang ada di komplek tempat mereka tinggal.

Lama menunggu jawaban Mama, Cindy pun memutuskan untuk menelpon Shania. Tidak lama Cindy menunggu respon dari Shania.
"Halo, kenap,-"
"Kamu sama Beby gak, Shan?"
Kembali Cindy memotong suara orang yang dia telpon.
"Huh? Iya enggak lah, Cind! Aku kan gak kerumah Beby!! Emangnya kenapa?" Shania mulai heran.
"Itu... ehmmm.. Beby..."
"Beby kenapa?" Shania yang memotong suara Cindy, dari suara heran jadi naik volume ke suara panik. Padahal Cindy belum mengatakan apapun.
"Beby... dia gak ada di rumah, Shania!"
"Apa? Dia sama Tante Ana kali, Cind!"
Shania mencoba menutupi kepanikannya.
Cindy menggeleng tanpa terlihat Shania, "Enggak! Ini aku sama Tante lagi nyari Beby!!"
"Nyari(?)" Shania merasa apa yang sedang terjadi di tempat Cindy sekarang, tentang Beby, begitu serius. "Apa maksud kamu nyari?" Tanya Shania ingin dapat kejelasan.

Cindy akan memulai penjelasan kronologisnya, tapi suara Mama keburu memotong.
"Ada taman terakhir, Cind! Tante ingat dimana tempatnya!!" Dengan cepat setelah bicara pada Cindy, Mama melangkah.
"Nanti aku hubungi lagi, aku sama Tante Ana mau ke taman itu!" Ucap Cindy.
"Jangan! Telponnya jangan kamu tutup. Kamu sebutin lokasi taman yang mau kamu sama Tante datengin, biar aku menyusul kesana!!" Usul Shania. Cindy menyetujui. "Pak.. Pak.. Putar arah, kita ke jalan..." Shania menyebutkan alamat rumah Beby pada supir taksi. Cindy bisa mendengar perintah Shania yang ditujukan pada supir taksi itu.

Dan Cindy, dia tidak mematikan panggilan keluarnya, handphone nya masih dia On diall pada Shania yang sedang berharap cemas.

Belum sampai ditaman ketiga, Cindy sudah bisa melihat dua orang berdiri di pinggir jalan, dekat taman. Satu orang berdiri memegangi kursi roda dari belakang, dan satu orang lagi.. duduk. Meskipun jaraknya masih terpaut 10mtr ran dari tempat Beby dan Ochi berdiri, tapi Cindy bisa sangat yakin kalau yang dilihatnya memang Beby.

Posisi jalan yang menanjak, membuat Cindy yang melihat menjadi bertanya. Kenapa Beby diam ditempat itu? Di jalan yang bisa menggelincirkannya kalau orang yang dibelakangnya itu melepaskan, dengan atau tanpa sengaja tangannya dari memegang kursi roda.

"Itu Beby, Tante!"
Suara Cindy terdengar oleh Shania.
Mama melihat kearah yang ditunjuk Cindy.

"Kamu udah nemuin Beby, Cindy?"
Cindy belum menggubris, dia sedang men-scan orang yang berdiri dibelakang kemudi kursi roda Beby.
"Pak cepetan Pak! Aku harus cepat sampai ketempat itu!!" Shania menyuruh dengan nada suara dia taikan.
"Iiiya.. Mbak, ini juga sudah cepat." Jawab si supir taksi.
"Cindy? Hallo? Cindy? Pckkk..!!". Shania masih merasa belum lega, karena Cindy belum menjawab.

"Beby dengan siapa itu, Cindy?"
Pertanyaan Mama yang sedang Cindy cari jawabannya.
'Siapa yang sedang dengan Beby?'

Cindy maupun Mama, belum ada yang menghampiri Beby. Karena sudah melihat Beby ada di depan mata, Mama jadi bisa sedikit lega, meskipun belum tahu siapa yang sedang berdiri dibelakang kursi roda putrinya.

Cukup lama, Cindy men-scan tampakan jarak jauh itu, hingga akhirnya dia bisa mengenali sosok yang sudah membawa Beby dari rumah, sampai dia dan Mama Beby panik.
"Oochi..."
Suara pelan itu ternyata terdengar oleh Shania. Karena Cindy memang masih menempelkan handphonenya di telinganya.
"Ochi(?), Cindy! Ochi? Kamu menyebutkan nama Ochi barusan!! Apa Beby sama Ochi? Halo Cindy!!?"
Shania kesal karena Cindy tidak juga memberikan tanggapan.

"Kamu kenal.. sama anak itu, Cindy?" Tanya Mama.
Cindy mengangguk, "Cindy... kenal Tante! Dia... Ochi namanya!!" Dengan rasa tidak karuan menyambangi hati Cindy, saat dia menyebutkan nama 'Ochi'.

"Cindyyyyyyyy... Aku masih ada di Line ini! Jawab dong!!" Kesal Shania bukan main. Dan kali ini Cindy dapat memperhatikan kekesalan Shania yang ada diujung telpon. Akhirnya, Cindy menceritakan apa yang dia lihat plus keheranannya pada Shania.


"Mau kamu dorong kursi roda ini, ataupun enggak! Aku akan tetap pergi, Chi! Pergi meninggalkan semua kehidupan aku didunia ini... Tidak ada lagi... yang bisa aku.. lakuin..."
Hidung Beby mengeluarkan darah segar.

"Kenapa harus lu? Kenapa bukan gue!? Apa gue gak pantas buat bahagia?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Ochi.
"Gue rela! Kalau akhir kisah hidup gue, seperti lu... asal gue.. bisa dapetin dan ngerasain kebahagiaan! Bahagianya punya orang tua yang memperhatikan lu. Bahagianya bisa punya saudara yang perduli sama lu. Bahagianya bisa punya sahabat dan teman-teman yang sayang dengan tulus sama lu!! Gue rela, kalau gue... harus bertukar posisi sama lu, untuk dapetin itu!!!" Ochi menangis.

"Kamu.. gak perlu ada di posisi aku, buat... buat dapetin semua itu, Chi! Bukalah hati kamu... lihatlah lebih dalam... tidak ada... satupun orang tua.. yang tidak menyayangi... anaknya!!"
Kepala Beby semakin sakit, tubuhnya mulai bereaksi, berinteraksi dengan rasa sakit di kepalanya.
"Shania... sama lainnya... mereka juga.. pasti... sayang sama kamu.. seperti kamu... sayang sama mereka! Kamu... pantas untuk... bahagiaaa...!!"
Tangis Ochi malah semakin menjadi. Dia merasa ada yang siap menampung tangis yang selama ini hanya bisa dia pendam.

Ochi menjadi merasa bersalah, karena rasa benci yang tidak seharusnya. Dia hampir dituntun emosi, yang pada akhirnya akan membuat seseorang yang sedang dalam kondisi tidak berdaya.. celaka!

Saat Cindy dan Mama yang masih melihat dari jarak itu. Tiba-tiba, mereka melihat dengan jelas, tubuh Beby mengalami kejang-kejang. Ochi yang masih memegang kendali kursi roda, jadi kehilangan kekuatannya karena Beby mengalami kejang, akibat dari rasa sakit yang sudah saling menyatu menyerang Beby dari dalam.

"Bebyyyyyy... " Teriak Mama sambil berlari kearah Beby dan Ochi.

"Cindy ada apa? Beby kenapa?" Shania ikut panik, saat mendengar suara Mama.

Cindy tidak menggubris pertanyaan panik Shania. Dia malah ikutan bersuara lantang dengan sekarang membawa nama Ochi.
"Ochiiiiiii! Jangan lepasin Beby!! Pegang kursi rodanyaaaaaa....!!!" Teriakan Cindy begitu membuat Shania takut, membayangkan visualisasi yang sedang terjadi.

"Cindyy.. arghhh!... Apa yang lagi kamu lakuin, Chi!!?" Shania menangis,
"Pak!! Aku mohonnn.. lebih cepat lagi!!!" Shania kembali memohon pada supir taksi.
Shania merasa kesal pada keadaan yang sedang terjadi. Sampai dia menyalahkan dirinya sendiri.

"Iyaa, Mbak.. ini juga sudah...,- Aaaaaaaahh!!" *bruak#π°=#%$@sreeeeeetttt....*&%$@#+?%..!!!*

Kejadiannya begitu cepat. Supir taksi yang baru saja akan menjawab keinginan Shania, merubah suaranya dengan suara teriakan kaget. Karena dari seberang jalan (Perempatan lampu merah) yang lampu lalulintasnya sedang dalam warna merah, ada sebuah Rover hitam menerobos, dan... menabrak bagian depan taksi yang ditumpangi Shania.

Mobil sedan kecil itu, terseret dan terpental setelah bagian depannya dihantam begitu keras oleh Range Rover yang ukuran dan kekuatan bebannya jauh diatas taksi, ditambah laju Range Rover yang sedang dalam kecepatan tinggi. Benar-benar membuat kondisi taksi yang didalamnya ada dua orang, terlihat mengenaskan. Setelah sebelumnya terseret lalu terpental, taksi itu kini dalam posisi miring, dengan kenampakan cacat parahbpada mobil yang sudah ringsek dan lainnya. Entah bagaimana nasib supir dan penumpang dalam taksi itu. Sementara mobil yang menabraknya, terhenti karena menghantam tiang lampu lalulintas di seberang lainnya. Dan kondisi penumpangnyapun, sepertinya tidak separah seperti yang ada di dalam taksi.

Sehelai kertas yang biasa Ve buka, tiba-tiba terasa tajam, dan saat dia akan membuka halaman yang dicari. Jari telunjuknya malah terkena sabetan kertas tipis yang terlihat rapuh itu, hingga jarinya mengeluarkan darah segar. Meski tidak banyak tapi goresan cukup membuat sakit sesaat.

Orang-orang mulai memadati jalan.. ada yang menghampiri taksi dan beberapa menghampiri range rover. mereka yang melihat taksi, saling berteriak untuk mengeluarkan supir dan penumpang taksi naas itu. Histeris... suara untuk bisa cepat mengeluarkan penumpang semakin terdengar, karena bagian depan taksi memercikan api dan di bagian belakang dari tank, bensin terlihat tumpah.

Shania sadarkan diri sebentar setelah hantaman yang tiba-tiba dia rasa itu membuatnya merasa kejadian itu.. antara ada dan tiada. Samar-samar Shania mendengar teriakan orang-orang.
'Cepat.. kita harus mengeluarkan mereka!'
'Anak itu sadar! Kita harus segera mengeluarkannya!'
Teriakan-teriakan itu seperti morphin yang menyadarkan Shania, akan kejadian sebelum taksi yang dia tumpangi dihantam. Beby! Dia sedikit ingat, teriakan Mama, teriakan Cindy, memanggil Beby dalam ketakutan.

'Beeebyy...' Nafas Shania tersengal, kepala bagian belakangnya mengalami benturan cukup keras hingga mengalirkan darah segar diantara serpihan kaca taksi. Tangan kanannya terjepit oleh seat depan yang jadi terdorong kebelakang. Pipi sebelah kanannya membiru legam, tidak tahu pasti pada bagian mana pipinya terbentur. Dan... Tidak ada yang tahu pasti juga, Shania terluka dibagian mana lagi. Karena yang pasti itu.. kondisi taksi yang... hancur!

Shania masih belum sadar kalau dirinya baru saja mengalami kecelakaan hebat, dan belum ada yang mengevakuasinya.


Sumber : Cemistri Jkt48 | Facebook

0 Response to "CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *16th Chapter*"

Posting Komentar

Setelah baca, comment ya^^