CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *12th Chapter*

...PELANGI DALAM SAKURA...
*12th Chapter*

Shania masuk kedalam kamar tanpa mengganti pakaian, tanpa melepas sepatu, ataupun menghapus make up tipis yang dia lukiskan di wajah remajanya, dan bahkan tanpa mengingat apa yang sudah dia ucapkan pada Kakaknya. Dia langsung membantingkan tubuhnya yang sudah tidak bisa menahan keseimbangan karena terlalu banyaknya minuman yang dia teguk saat di pesta temannya.

Beby terbangun dari tidurnya, dari sebelum tidur sampai akhirnya terlelap Beby terus membulak-balik badannya karena kegusaran yang melanda hatinya, mengingat setiap ucapan dan bahasa tubuh yang ditujukan Shania padanya. Dan sekarang dia terbangun karena sekelebat mimpi buruk masuk dialam bawah sadarnya.
Tidak tahu apa yang harus dia lakukan, akhirnya hanya diam telentang dengan menatap langit-langit kamarnya dan pikiran yang sesak tapi seperti tidak berpikir.

Setiap hari, setiap langkah, setiap gerak yang kita lakukan mungkin tetap dalam alunan dan tujuan yang sama, namun kisah yang mengiringi.. tidaklah selalu sama. sekarang hari minggu, satu langkah beberapa kalimat, satu memory. Nanti.. minggu lagi, satu langkah namun dengan lebih banyak kalimat dan memory yang tidak hanya satu. hari terus berputar seperti bumi yang dipijak, meski putaran tetap sama dalam rotasinya, tapi kisah anak manusia tidaklah selalu sama.

Shania bangun dari tidurnya disaat jam dinding sudah berdentang 6kali dari saat jam 6 pagi tadi (12 siang), memegang kepalanya yang terasa puyeng karena sisa alkohol masih ada dalam tubuhnya. Tidak bisa berpikir tentang apapun, hanya diam dalam alunan nafas yang masih tercium bau minuman.
Shania membangunkan tubuhnya perlahan, saat kakinya dia injakan ke lantai kamar dan coba untuk berdiri, badannya kembali terduduk diatas tempat tidurnya karena kepalanya terasa berat. Inginnya tetap duduk dan menyeimbangkan dulu tubuhnya namun, desakan rasa mual dari perutnya membuat Shania memaksakan diri bangun dari duduknya dan berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan makanan ringan yang sudah tercampur alkohol sisa party semalam.

Selesai membuang sisa alkohol, Shania keluar dari kamarnya untuk mencari es batu yang akan dia pakai untuk mengompres kepalanya yang terasa berat. Menuruni setiap anak tangga dan sampai di ruang keluarga, suasana masih sama... SEPI, padahal ini hari minggu, yang biasanya ada canda-tawa dia beserta Papa, Mama dan Ve. sekarang, kata 'biasanya' sudah tidak ada lagi di keluarganya, mereka terus bergerak kedepan tanpa menoleh kanan-kirinya, tanpa memperdulikan depan-belakangnya.

Sampai di dapur, Shania membuka kulkas dan mengambil sebongkah es batu kemudian membungkusnya dengan sebuah kain, dia mengambil posisi duduk diatas kursi depan meja berbentuk persegi seperti di bar yang menjadi penyekat dapur ke meja makan, dengan didepannya sudah dia letakkan segelas air putih.

"darimana kamu semalam?"
Dengan posisi kepala menunduk karena sedang dia kompres, Shania menoleh melihat siapa yang bertanya. Saat matanya sudah melihat visualisasi dari si penanya, Shania tidak menjawab tapi kembali menunduk melanjutkan kompresannya.
"jangan abaikan Kak Ve seperti itu! Kakak sedang bicara sama kamu!!" tegasnya
"..haa..hemmm... terus? Shania harus jawab pertanyaan gak penting Kakak itu!?" jawab Shania seenaknya.
"Shania! Kak Ve cuma tanya.. darimana kamu semalam? apa itu susah untuk kamu jawab!?"
"susah sih enggak! cuma males aja jawabnya.. gak penting juga kan Kakak tahu dari mana, atau sama siapa Shania pergi semalam!!" kembali jawaban yang Shania berikan bernada datar seenaknya, plus tanpa menoleh Ve.
"gak penting!? kamu.. semalam pulang jam 4 pagi, badan bau asap rokok, terus mulut bau alkohol. apa itu gak penting untuk Kakak ketahui!?"
Shania tidak menggubris, kepalanya masih terasa berat.
"JAWAB KAKAK SHANIA!! siapa yang sudah mengajak kamu pergi sampai selarut itu? darimana kamu tahu cara mabuk-mabuk kan? apa kamu juga belajar menghisap tembakau? sampai baju kamu begitu pekat aroma rokok!" Ve mulai kehilangan kendali diri, dia menaikan volume suaranya dan melakukan kontak fisik dengan Shania yang acuh menanggapi keberadaan dan pertanyaannya (meletakan tangan kanan dibahu kiri Shania dan menariknya, agar dia bisa menatap Shania dan begitupun sebaliknya.. Shania melihat dirinya.)
"Gak usah teriak! dan gak usah juga narik bahu Shania kayak gitu!!" balasnya dengan nada dia tekan, dan tangan kanannya yang tadi dia pakai menempelkan es dikepala dia pakai untuk menghempaskan tangan Ve.

Saling berhadapan dengan tatapan benci dari Shania untuk Ve, dan tatapan kaget bercampur sedih dari Ve untuk Shania.

"gak ada yang perlu Shania jawab! apa yang Kakak tanyakan, bukan hal penting yang harus aku jawab!! gak usah sok perduli dengan apa yang aku jalanin!!!" Shania berdiri bermaksud meninggalkan Kakaknya, karena merasa kesal.
"kenapa kamu bicara seperti itu? Kakak perduli sama kamu, itu kenapa Kakak nanya!"
"Hahh... perduli(?) apa Shania gak salah dengar?! sejak kapan...? Jessica Veranda, perduli sama seorang Shania Junianatha? huh!..." Ve kaget mendengar jawaban Shania. "Jessica Veranda yang Shania kenal dan yang perduli sama Shania.. bukan Jessica Veranda yang sekarang ada dihadapan Shania!! Jadi gak usah sok care sama aku!!!" dengan mantapnya Shania memberondongi Kakaknya dengan ungkapan kekesalan.

"apa kamu sadar... apa yang baru saja kamu ucapkan? aku ini Kakak KAMU! Kakak kandung... Kamu!! jadi sebaiknya kamu jaga ucapan kamu!!!" kata Ve, tak memberikan reaksi berarti untuk Shania.
"Kakak Kandung (?) haaha.. masih ngerasa punya adek?!" jawabnya.
"jangan mainin bibir kamu untuk ngeluarin kata yang tidak perlu.. Shania!"
"bukankah, seharusnya kalimat itu buat Kakak sendiri? (maksudnya ke pertanyaan yang tadi Ve ajukan)"
"apa untuk menjawab pertanyaan seperti itu saja sulit buat kamu!? apa keperdulian Kakak gak berarti dimata kamu?!"

Shania yang sudah ingin pergi dari hadapan Ve, kembali bicara dengan kesalnya, saat mendengar apa yang dikatakan Kakak sulungnya.
"Perduli? haaa... Sejak kapan? kata Perduli itu bisa kembali Kakak ucapin depan aku?". . .
"bukankah.. selama ini Kakak udah lupain aku? Kakak udah nyimpen aku sendirian, disini! dirumah besar yang dingin ini!!, Kakak udah nganggap aku gak ada, Kakak gak pernah lagi memperdulikan bahkan untuk sekedar menoleh aku.. yang butuh pelukan dirumah dingin ini!! Kakak.. sama mereka berdua, cuma jadiin Shania receptionist di gedung berpagar besi ini!!!" mata Shania mulai berair mengungkapkan isi hatinya, "lantas sekarang... kenapa tiba-tiba Kakak sok perduli sama aku!?"
Ve merasa perasaannya campur aduk mendengar setiap uraian yang keluar dari mulut Shania, yang sudah lama tidak pernah bercengkrama dengannya.

"Kakak udah gak bisa nemuin lagi tempat ramai? udah gak tahu lagi tempat menenggelamkan rasa sakit dan sepi? teman-teman yang lebih Kakak perduliin pada kabur ninggalin Kakak!? apa karena itu.. Kakak sekarang secara tiba-tiba sok perduli sama kehidupan yang aku jalanin?!" Ve diam termangu mendengarkan.
"Kak Ve... mau tahu? darimana, sama siapa, siapa yang ngajarin aku!?... aku pergi sama teman-teman yang selalu bisa ngasih aku kehangatan saat aku kedinginan, aku pergi sama mereka yang selalu bisa ngasih keramaian saat aku merasa kesepian, aku pergi sama mereka yang bisa ngobatin luka di hati aku, aku pergi sama mereka yang BENAR-BENAR perduli sama aku, aku yang udah dilupakan oleh keluarganya sendiri!!" air mata di sudut mata Ve mulai menuruni muaranya dan meluncur membasahi pipi kanan dan kirinya. mendengar pengakuan Shania adiknya sendiri yang memang dia kesampingkan saat dia mulai merasakan kesepian dari ketidakhadiran Papa dan Mama dalam kehidupannya.
"dan aku... belajar pulang larut malam, menenggak minuman untuk menghangatkan tubuhku dari kedinginan, dan bahkan aku coba menghisap tembakau yang asapnya bisa bikin pikiranku yang selalu bergemuruh tak karuan menjadi kosong... dan hal lain yang belum Kakak lihat! semuanya.. aku pelajari dari Kakak, dari Papa, dari Mama, dari kalian semua.. yang udah bua,-" *plakkkk* Ve menghentikan luapan hati Shania akibat dari ulahnya sendiri (ulah Ve maksudnya), dengan melayangkan telapak tangan kanannya ke pipi kiri Shania.
"Haah! (Shania memegang pipinya)" kekesalannya semakin menjadi pada Kakaknya.
Ve melihat telapak tangannya sendiri yang tanpa dia sadari sudah dia pakai untuk menghentikan ucapan Shania.
"Mm--mmaafin Kakak, Shania.. itu, barusan.. Kakak,-"

"nice slap! you need to know, this isn't heart me!! sikap kalian semua... lebih menyakitkan dari satu tamparan ini!!" Shania memotong permintaan maaf Ve, dengan ucapan. "ini gak seberapa Kak, dan bekasnya pun pasti akan hilang... tapi disini (nunjuk dada dengan tangan kanannya) lebih menyakitkan dan gak tahu kapan bekas nya akan hilang!! terima kasih buat tamparannya, itu lebih bikin Shania tahu dan lebih menyadari... siapa Kakak sekarang!!!" lalu dia pergi dengan amarah yang menguasai.

Ve mencoba mengejar tapi itu sia-sia, karena Shania begitu marah dan mungkin begitu membenci sosoknya kini. Yang bisa Ve lakukan hanya mematung dengan rasa sesal menemani, Dia hanya bisa memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya menahan suara tangis yang mungkin akan pecah, mendengar setiap ucapan yang terlontar dari adik yang dulu begitu dekat dengannya, ditambah adegan terakhir yang dia buat untuk menutup setiap luapan Shania.

Apa yang Shania keluarkan lewat emosinya itu adalah kenyataan, setiap kalimat yang dia susun adalah gambaran betapa buruknya tingkah Ve selama ini, untuk menutupi kesepian dirinya sendiri hingga melupakan adiknya, yang sebenarnya bisa jadi penghibur untuknya. kalau saja dia tidak ikut dan mengikuti teman-teman yang dia jumpai di Universitas hingga akhirnya dia terbawa arus dan mulai asik sendiri tanpa ingin ada gangguan. Tamparan yang dia lakukan itu.. adalah atas dorongan hatinya yang tidak menginginkan mendengar lantunan Shania lebih jauh lagi menguak kebobrokan dalam dirinya.

Ve hanya bisa duduk dan menyesali setiap tingkah dan ucapannya selama beberapa bulan menginjak tahun kebelakang ini. Semua rasa sesalnya itu dia temui saat melihat Scene Mama nya yang sedang berkencan dengan pria lain tadi malam, dengan ditambah hari ini sang Mama tidak ada pulang ke rumah untuk mengejarnya agar tidak membocorkan pada Papa, meskipun Papa sendiri sedang tidak ada di rumah dan entah kapan pulang dari trip office nya di Malaysia. Dan juga.. apa yang baru saja dia alami dengan adik kesayangannya barusan, sungguh membuat Ve terpuruk. Dengan tanpa dia tahu kalau sebenarnya apa yang tadi Shania sampaikan itu belum selesai, kalau saja tadi Ve tidak menghentikannya dengan sebuah tamparan. Mungkin Ve akan mendengar keluhan Shania lebih dalam, keluhan tentang apa yang dia lihat pada Papa dan Mama nya yang juga sudah menjadi faktor penyebab kenalnya dia dengan dunia malam yang hanya bisa merusak tubuh dan pikirannya. Apa yang Ve saksikan semalam, bukanlah hal yang asing untuk Shania yang sudah lebih dulu tahu tentang kelakuan Mama nya.
Sementara yang Ve tahu hanya kebobrokan sang Mama, Shania justru tahu bukan hanya Mama yang bermain api, tapi Papa nya juga, sama hal dengan Mama. bermain dengan seseorang lain, entah untuk pencapaian apa. Yang Shania tahu... kedua orang tua yang begitu dia hormati, menjadi tak berarti setelah apa yang dia saksikan secara diam-diam.

Kehidupan mapan nan layak sudah mereka capai, jabatan tertinggi sudah mereka raih dalam jenjang karirnya dibalik lakon suami-istri yang sudah dihadiahi 2 orang putri yang cantik-cantik. Entah masih ada kekurangan apa hingga orang yang sudah dipanggil Papa dan Mama itu melakukan permainan, yang mempertaruhkan kedua putrinya dalam kesengsaraan hidup dibalik limpahan harta dan junjungan tahta yang begitu disegani orang banyak.

Manusia memang mahluk yang selalu tidak merasa puas atas apa yang sudah mereka dapatkan. ketika ujian datang, tumbuh kesabaran yang begitu kuat untuk menghadapinya, namun setelah ujian itu berlalu dan berganti dengan kesenangan yang Tuhan kasih... mereka justru melemahkan rasa syukur hingga ketidakpuasanlah yang selalu mereka dapat. Tidak pernah mereka sadari bahwa dalam kesenangan atau kebahagiaan yang Tuhan berikan, ada ujian yang juga harus bisa mereka lewati... Ujian rasa Bersyukur. 

---
"Beby..." ucap Melody saat melihat seseorang yang tadi membunyikan bell rumahnya,
Beby tersenyum dan mengucapkan salam "Hai Kak.. selamat siang!"
"ayo sini masuk! sama siapa kesini?" Melody merangkul pundak Beby dan membawanya masuk.
"Mama kamu tahu? kalo kamu main ke rumah Kak Imel?!" Beby menggeleng, "apa? terus? kamu gak pamit sama Mama?", dan Beby kembali menggeleng.
"kamu naik apa kesini? mana gak pamit dulu sama Mama kamu! kalo ada apa-apa gimana?" cerewet Melody.

kali ini gelengan Beby diikuti senyum dan ucapan "Mama di rumah sakit, katanya sih piket gantiin temannya yang sakit! lagian, kalau Beby pamitan dulu, bukannya dapat ijin keluar, yang ada malah disuruh diam dirumah! " jelas Beby, membuat Melody yang mendengarkan bisa menerima alasannya.
"ya udah! tapi lain kali, mau dikasih izin atau enggak, sebaiknya kamu tetap pamitan dulu sama Mama, biar beliau gak khawatir, kalau Mama kamu pulang duluan.. gak tahunya dirumah kamu gak ada? panik nanti tante Ana!" lembutnya memberi nasihat pada Beby.
"^_^a iya sih Kak, ya udah deh.. nanti-nanti Beby pamitan dulu kalo mau pergi, itu juga kalau Beby masih bisa bernafas!" jawabnya dengan candaan jayus,
"heyy.. ngomongnya jangan kayak gitu! Tuhan gak akan suka!!"
"cuma bercanda Kak, biar Beby gak nervous berhadapan sama Kak Imel! "

"... mau minum apa, Dila?" Melody menawarkan setelah mereka memasuki ruang tamu kediaman Melody.
"ehm.. gak usah Kak, nanti ngerepotin!" jawabnya sungkan.
"hmm.. cuma segelas air putih gak akan bikin Kakak repot! tapi ya... kalo kamu emang gak mau ngerepotin Kak Imel, kamu.. anggap aja sedang dirumah kamu sendiri, jadi kalau kamu mau minum atau apapun, lakukanlah seperti di rumah kamu, gimana?" panjang lebar Melody.
"eeh?" kaget Beby, Tanpa tahu harus memberikan jawaban apapun lagi, Beby pun lantas hanya menganggukan kepalanya pelan. Melody menyambutnya dengan senyum yang menyipitkan kedua matanya.

Tujuan Beby mengunjungi rumah Kakak sepupunya itu adalah untuk meminta alamat rumah Shania. Karena dia ingin secepat mungkin tahu penyebab dari marahnya Shania pada dirinya.

"jaadi..? ada apa, dek?"
"em.. Beby mau... mau.... itu... mau, (Melody menunggu).. mau minta alamat rumahnya Shania sama Kakak! boleh gak Kak?"
"alamat Shania...?" Beby menggangguk. "buat apa, dek?" tanyanya mengingat ucapan Shania saat istirahat kemarin pada Beby.
"eumm.. ada yang harus Beby selesain sama Shania, Kak!"
Melody mengerung, "jadi... kamu beneran kenal sama Shania?", Beby mengangguk, "tapi, bagaimana dengan ucapan Shania kemarin dikantin, Dek? dari ucapannya saja Kak Imel bisa lihat kalau dia itu.. benci sama kamu!" ucapnya, khawatir.
"itulah, kenapa Beby tanya alamat rumahnya Shania. karena Beby ingin selesain kesalahpahaman dari kebencian yang Shania tujukan pada Beby, Kak!" ujarnya.
"apa... boleh, Kak Imel tahu, tentang kamu sama Shania? kalau memang dia itu teman kamu, gak mungkin dia sebenci itu sama kamu seperti kemarin!"

Beby berpikir sejenak, antara memberi tahukan atau tidak. Tapi akhirnya... dia memberitahukan tentang kisah dirinya bersama Shania, meskipun singkat cerita yang di bagi Beby pada Melody, namun Melody bisa menangkap dengan sangat jelas bagaimana kisah persahabatan mereka berdua.

"persahabatan yang indah.." senyum Melody, dibalas senyum oleh Beby yang masih memainkan memory lamanya dengan Shania, ketika dia bercerita ria pada Melody.
"...eumm-- jadi gimana Kak? apa Beby bisa tahu alamat rumahnya Shania?" Beby mencoba kembali ke topik utama.
"ah!  tentu (dibarengi anggukan), tentu kamu bisa mendapat alamat Shania! Sebenarnya Kak Imel gak boleh ngasih-ngasih alamat murid-murid pada sembarang orang, tapi setelah mendengar kisah kamu sama dia... Kak Imel merasa, apa yang Kakak lakuin bukanlah suatu yang salah! " Beby menyambut ucapan Melody begitu sumringah.
"makasih ya Kak.. buat bantuannya!" tutur Beby lembut.
"ya.. emm, tunggu sebentar, biar Kak Imel bawain dulu alamat nya Shania!"
"iya Kak, sekali lagi makasih!"

Melody pun bergegas pergi menuju kamarnya mengambil alamat rumah Shania dan menyalinkannya untuk Beby.

"terus? kapan kamu mau menemui Shania dirumahnya?" tanya Melody setelah memberikan kertas yang sudah berisikan alamt rumah Shania.

"secepatnya Kak, Beby akan secepatnya menjumpai Shania di rumahnya. Karena kalau bicara di sekolah, terlalu banyak orang di sekitar Shania, yang sepertinya tidak menyukai kehadiran Beby, apalagi.. Beby deketin Shania!" paparnya pada Melody.
"ohh, ya udah.. kalau misalnya nanti, kamu mau pergi ke rumahnya Shania, kamu telpon aja Kak Imel, biar Kakak nganterin kamu kesana, ya?"
" Kak Imel.. terlalu baik sama Beby! nanti bisa-bisa Beby ketergantungan sama Kakak!!" balasnya atas penawaran Melody.
"memangnya kenapa? kalau kamu ketergantungan sama Kakak?"
"nanti Beby.. sulit lepas dari Kakak, terus bikin Kak Imel sedih karena... Beby gak akan lama, ketergantungan dan dekat sama Kak Imelnya :'-)"
"(senyum Melody begitu enak dilihat) maka Kak Imel gak akan menyia-nyiakan waktu itu! , kalau perlu.. Kakak akan terus bikin kamu ketergantungan sama Kakak, biar kita bisa sedekat seperti dulu.. saat kamu masih bisa Kak Imel gendong! " dengan memegang lembut tangan Beby, Melody bicara.
"Haha.. itu waktu Beby kecil Kak, kalo sekarang.. emang Kak Imel masih kuat gendong Beby?" balasnya terdengar mengakrab.
"eeuhh.. nantang Kak Imel nih ceritanya?" sambil mendekat ke Beby, seperti akan merealisasikan 'gendong' Melody bicara "ayo sini.. biar kamu Kak Imel gendong!",
"hahaha..  becanda Kak! serius banget nanggepinnya!!" kata Beby sambil tertawa renyah.

Apa yang Melody lihat diwajah Beby kini (tertawa), dan tingkah Beby yang terus berusaha mengakrabkan dirinya pada Melody, membuat Melody merasakan senang. Karena dia akan bisa kembali menjadi Kakak terdekat untuk si anak asuh yang begitu dia sayangi sewaktu masih kecil. (Melody dan Beby sama-sama anak tunggal)


Beby sudah pamit pada Melody untuk pulang, dia ditawari oleh Kakak sepupunya itu untuk di antarkan pulang, tapi Beby menolak halus. Karena dia sebenarnya ingin langsung mencari rumah Shania, namun tanpa memberi tahu Melody.

Beby menelpon taksi dengan menyebutkan alamat lengkap rumah Shania ke perusahaan taksi tersebut. Dia menunggu kendaraan yang akan mengantarkannya datang, ditemani perasaan tidak karuan (nervous karena bakal ke rumah Shania). selang beberapa menit lamanya menunggu, taksi yang Beby pesan pun datang juga...

"sudah sampai dek!" kata supir taksi,
Beby mengitarkan pandangannya sejenak, "disinikah.. alamat yang tadi saya kasih Pak?" tanya Beby kemudian.
"iya.. ini alamatnya, dan itu... rumah yang kamu tuju, rumah nomer 48 kan?"
Beby menujukan matanya ke sebelah kiri gerbang yang memang menancap 2 angka untuk rumah itu.
"oohh.. ya udah, ini uang nya Pak (melihat argo taksi), terima kasih ya Pak!" lantas kemudian Beby menuruni taksi yang sudah mengantarkannya.

Berdiri sejenak di depan rumah yang terlihat... begitu besar bahkan sangat besar, hingga membuat Beby terpaku sekejap dan menikmati pemandangan dari luar rumah besar bertingkat 2 itu. Sebuah rumah dengan gaya yang begitu berbeda, dari rumah yang keluarga itu miliki di Jogja dulu.

Saat Beby masih diam, tiba-tiba gerbang besar yang menjulang tinggi itu terbuka, Beby segera menarik tubuhnya untuk bergeser kesebelah kiri, karena dari arah gerbang terlihat sebuah Ford silver keluar. Beby memperhatikan lewat kaca depan si pemilik mobil yang begitu terburu-buru.
"Shania...!" ucapnya berbisik saat bisa menangkap gambar siapa yang mengemudikan mobil.
Mobil itu memacu gas nya begitu kencang, setelah keluar dari dalam halaman rumah. Beby hanya bisa melihat kencangnya sedan itu berlari di jalanan komplek perumahan yang rumahnya besar-besar dan megah-megah dengan gerbang pada tinggi menjulang, disertai penjaga rumah yang tidak hanya manusia tapi ada juga seekor atau bahkan lebih, anjing penjaga.

Mobil yang Shania kendarai sudah tidak terlihat, Beby yang sudah bisa menguasai lagi pikirannya, kembali melihatkan matanya kearah dalam rumah yang gerbangnya siap untuk kembali ditutup. saat matanya menuju halaman rumah, Beby bisa melihat ada sosok seseorang lainnya yang sepertinya sudah tidak asing dimatanya. Beby melihat kearah Ve yang tadi sempat mengejar Shania untuk melarangnya menyetir karena Shania sedang dikuasai amarah. dan Ve.. menyadari ada seseorang yang sedang menatapnya, ia tatap balik orang itu untuk memastikan apa dia kenal atau tidak. Tapi karena perasaan sedih masih menguasai dirinya, Ve jadi tidak begitu menghiraukan siapa yang sedang menatapnya.

Beby hanya bisa menghela nafas pendek ketika gerbang sudah tertutup rapat.
'rumah ini... terlalu besar untuk bisa aku masuki!' Beby merasa malu, apalagi mengingat apa yang sudah Shania ucapkan tempo hari. Dan lagi, Shania yang mau ditemui pun pergi dengan keadaan yang sepertinya sedang marah atau entahlah, karena dia begitu kencang memacu pedal gas mobilnya.
'kehidupan apa yang sedang kamu sama keluargamu jalanin, Shania?'...
'rumah ini begitu besar, fasilitasnya pasti tak kalah hebat dengan rangka rumah ini! tapi, kenapa sikap kamu seperti itu (mengingat Shania yang suka nge bully).' Beby mulai melangkahkan kakinya untuk meninggalkan rumah yang tadinya mau dia singgahi.


***
Pagi menjelang, siulan burung-burung mengiringi naiknya mentari pagi keatas langit.

Beby yang kemarin pulang terlambat ke rumah dengan sebelumnya tidak memberi tahu Mama kalau dia pergi ke rumah Melody dan pulangnya langsung ke rumah Shania, mendapat kemarahan dari Mama, kemarahan karena rasa khawatir. Tapi setelah Beby menjelaskan... akhirnya Mama pun mengerti, sambil memeluk Beby dan mengusap lembut kepalanya, Mama memberi wejangan agar Beby tidak bersikap seperti itu lagi.

Bersiap untuk pergi ke sekolah, setelah selesai membersihkan badannya, dan mengenakan seragamnya, Beby duduk menghadap cermin. Tadinya bermaksud untuk menyisir rambutnya, namun saat dia melihat pantulan dicermin... Beby mengerung karena melihat wajahnya pucat. Beby lalu mengambil cream untuk dia bubuhkan pada wajahnya yang terlihat tidak seperti biasanya itu. Meskipun sedang sakit, wajahnya tidak pernah menampakan kepucatan seperti sekarang yang sedang Beby lihat.
Selesai dengan cream, Beby mengambil sisir, dia ayunkan sisir itu kearah rambutnya dan mulai menyisir... kembali untuk kedua kalinya di satu pagi, Beby terkejut. Sekarang dia melihat entah berapa puluh lembar rambut yang menempel di sisirnya. Beby merasakan sedih, tapi tidak tahu harus berbuat apa.. dia hanya bisa menghela nafas lalu kembali membuat simpul senyum untuk menyemangati dirinya sendiri.

"sayanggg.. ayo turun, kita sarapan du..lu,- kamu kenapa?" Mama yang tiba-tiba masuk membuat Beby kaget, dengan segera Beby menyembunyikan tangan kanannya yang tadi dia pakai memegang sisir.
"huh? mm--nggak! Beby gak apa-apa Mah, hehe.. cumaaa- kaget aja, soalnya Mama masuk tiba-tiba sih!!" dengan melebarkan senyum Beby menjawab, tanpa memberi tahukan tentang apa yang dia alami pagi ini pada sang Mama, karena tidak ingin membuat nya khawatir.
"Mama pikir ada apa? Mama udah cemas aja! ya sudah.. sarapan dulu yuk?"

Memberikan senyum kecil dan anggukan, Beby kemudian berdiri untuk mengikuti Mama nya. namun... saat berdiri, tubuhnya malah kembali terduduk karena rasa sakit dikepalanya tiba-tiba menusuk. Mama kaget melihat apa yang Beby perlihatkan, beliau langsung berjongkok untuk melihat kondisi Beby yang menundukan kepalanya mencoba meredam rasa sakit.
"Beby.. sayang! kepala kamu sakit lagi?" panik Mama "kita ke rumah sakit ya?" Beby menggelang, lalu mengangkat wajahnya.
Mama tidak bisa memaksa, tapi.. apa yang detik berikutnya ini Mama lihat, benar-benar membuat kepanikan Mama semakin menjadi, dan memaksa begitu paksa Beby untuk mengikuti kemauannya, pergi ke rumah sakit.
"ya Tuhan... hidung kamu mimisan! ehm, a-angkat kepala kamu sayang!" perintah Mama, dengan langsung mencari box tisue untuk menyeka darah yang masih keluar dari hidung Beby.
"pokoknya.. kita ke rumah sakit sekarang! sudah 2 minggu juga kan, kamu gak check-up!!?" kembali Mama bicara dengan nada tegas.
"gak usah Mah, gak perlu! lagian.. obatnya juga masih ada kok, buat apa juga ke rumah sakit!?" tolak Beby, dengan tangannya dia pakai menyeka darah, sedikit-- demi sedikit.

Mama menemukan tisue dan menutupkannya sejenak kehidung Beby, untuk menghentikan aliran darah agar tidak terus keluar.
"kamu gak boleh dan gak bisa nolak! abis sarapan kita langsung ke rumah sakit!!"
"tapi Mah, Beby kan harus sekolah"
"Mama bisa telpon Kak Melody, kalau hari ini kamu tidak bisa masuk karena sakit, biar Kakak kamu yang menyampaikan pada wali kelas kamu!!" jawab Mama tegas.
"em.. itu.. Beby.. hari ini Ujian, jadi Beby gak mungkin bolos Mah"
"jangan alasan terus Beeeby.. Mama tahu kamu berbohong!"
"tapi Mahhh,-"
"pokoknya, tidak ada tapi-tapi an! setelah sarapan kita berangkat!! Mama akan telpon Kak Melody nanti..."

Beby diam sejenak memikirkan lagi alasan penolakan.

"Mah... kalau misalnya, Mama di kasih pilihan... untuk, pergi ke tempat yang membuat Mama kecapekan tapi Mama merasa senang dan bahagia bisa pergi kesana, sama... pergi ketempat yang membuat mama tidak akan sama sekali merasa capek, tapi Mama gak merasa senang sedikitpun!.. mana yang akan Mama pilih?" Mama mengerung mendengar pertanyaan yang dibuat Beby.
"yaa.. Mama sudah pasti akan pilih ketempat yang bikin hati Mama senang, meskipun itu bikin capek.. toh entar juga capek nya bisa hilang! iya kan?"

Beby tersenyum mendengar jawaban Mama, yang bisa dia jadikan senjata untuknya tidak pergi ke rumah sakit.
"...dan itu juga yang akan Beby pilih! Beby.. akan pergi ke tempat yang bikin hati Beby senang, meskipun nantinya merasa capek. Bukan ketempat yang bikin badan Beby gak capek tapi hati gak senang!"
"maksud kamu..? aahh.. Mama tahu, kamu gak mau pergi ke rumah sakit!? iya kan? sayang!" terka Mama, yang baru mengerti alur dari pertanyaan Beby.
"(Beby mengangguk), rumah sakit.. mungkin bisa tahu apa yang tubuh Beby mau. Tapi, gak sama hati Beby Mah! setiap datang kesana, tubuh Beby memang di relaksasi, tapi setelahnya... saat mendengar apa yang dokter ucapkan.. (Beby memasang tampang sedih), itu sama sekali gak bikin hati Beby senang, Mama juga tahu itu kan?" Mama terdiam masih dalam merawat hidung Beby yang mengeluarkan darah.
"tapi kalau di sekolah..? Beby mungkin bisa aja kecapek an, tapi itu justru bikin hati Beby senang. Apalagi Beby bisa bertemu dengan teman-teman disana.. terutama Shania! dan banyak hal lain di sekolah yang bisa bikin Beby sejenak melupakan sakit dalam tubuh Beby ini!"
Mama terharu mendengar ucapan Beby, dia sudah tahu soal Beby yang ternyata satu sekolah dengan Shania, dan juga soal Shania yang entah karena alasan apa sekarang sedang membenci nya.
"waktu terus berjalan tanpa bisa kita hentikan Mah! masalah Beby sama Shania, harus segera Beby selesaikan.. sebelum waktu Beby... Haaabis!" dengan memegang lembut tangan Mama yang sedang merawatnya.

Mama merasakan tengggorokannya begitu sakit, mendengar ucapan terakhir Beby. Tapi Mama tahan agar tangisan tidak pecah. Mama menyimpan tisue yang sudah ada bercak berwarna merah, lalu memakai tangannya untuk membelai lembut kedua pipi Beby.
"Mama mungkin akan menyesali tindakan Mama karena tidak segera membawa kamu kerumah sakit, tapi Mama.. akan jauh lebih bahagia jika bisa terus melihat kamu tersenyum dalam bahagia!" Beby mengulaskan senyum membalas senyum Mama disela ucapannya. "Mama akan ngasih kamu izin untuk pergi ke sekolah, tapi dengan satu syarat!"
"apa Mah?"
"pulangnya.. kamu langsung ke rumah sakit! biar nanti Mama jemput!! dan Mama gak mau lagi denger alasan apapun!! Setuju?!"
"Setuju Mah! "
"ya sudah.. lihat hidung kamu (Mama menilik), kita kebawah sekarang, sarapan dulu!"
"Siap Mama!" Beby memberikan Hormat pada Mamanya. Mama menyambut dengan senyum.


Sampai di sekolah, Beby sudah disambut oleh Cindy..
"paagy Beby "
"Cindy!? ngapain di depan gerbang?!"
"nungguin kamu!" jawabnya polos
"nungguin aku? hehe.. udah kaya orang sakit aja pake ditungguin segala!" balas Beby dengan sedikit bercanda.
"Beby gak suka ya? kalo Cindy tungguin kamu disini!?" Cindy yang belum terbiasa bercanda, merasa apa yang dikatakan Beby itu adalah bentuk penolakan halus dari ketidak sukaan.
"eh? nggak-nggak!" kaget Beby, "nggak gitu Cindy! itu tuh cuma bercanda, kamu serius amat sih, masih pagi juga!" kembali Beby rada bercanda.
"jadi... Beby suka dong, Cindy tungguin disini!?"
", ada seorang teman yang nungguin kamu di depan gerbang sekolah, untuk masuk ke kelas bareng... siapa yang gak suka digituin? siapapun, termasuk aku.. udah pasti suka!" jawaban Beby membuat Cindy senang.
"Makasih ya Beby.." senyumnya..
"kok kamu yang ngucapin makasih, sih? harusnya tuh aku yang bilang makasih, karena kamu udah nungguin aku disini!" ujar Beby.

Mereka berdua masuk barengan ke kelas, dengan wajah Cindy yang begitu senang. sementara Beby.. dia jalan sambil tersenyum bukan hanya karena sudah ditungguin Cindy, tapi juga jadi teringat masa lalu, saat dia ada di posisi Cindy yang dulu menunggu Shania di depan gerbang sekolah.

"lu kenapa Shan?" tanya Ochi saat melihat muramnya wajah Shania, dan sekilas melihat pipinya Shania yang sedikit merah.
"kenapa apanya?" Shania malah balik bikin pertanyaan,
"pipi kamu kenapa? terus wajah kamu? kok surem gitu!?"
"gue gak apa-apa! pipi gue juga gak apa-apa kok!! emang ada yang aneh ya?" jawab Shania menyembunyikan. Dia masih mengingat apa yang Ochi katakan tentang 'teman'.
"ada.. kok yang aneh, tapi dikit! Ah sudahlah, mungkin gue salah nebak ekspresi wajah lu!" ucap Ochi, sedikit kecewa karena Shania memang hanya menjadikannya teman bukan Sahabat.
"makanya... jangan selalu jadi penebak ekspresi orang, ekspresi wajah sendiri aja belum pernah bisa ditebak dan diartiin kan?! "
"hemmm.. paling bisa ngomong nya!" Keluh Ochi.
Shania tersenyum melihat wajah Ochi yang sedang sedikit menekukan bibirnya.

Mengikuti materi yang disampaikan pengajar dalam sebuah forum resmi seperti sekolah, bisa menjadi garing, kalau penyampai materi tidak bisa menghidupkan suasana. Lain mata pelajaran, lain guru. Lain guru, lain juga tata cara mengajar memberikan ilmu pada setiap muridnya. Suasana akan bisa lebih hidup dan murid tidak merasa bosan, dengan apa yang akan disampaikan kalau saja si pengajar bisa mengerti apa yang diinginkan si murid , dan si murid bisa menaruh hormat pada si guru yang sudah memberi kebebasan pada mereka dalam memilih cara belajar. Saling mengerti bisa membawa pada suasana nyaman untuk kedua belah pihak.

Beberapa mata pelajaran selesai diikuti murid-murid di sekolah yang kebanyakan muridnya adalah perempuan, sampai di pertengahan jam full pelajaran (istirahat) mereka semua keluar kelas untuk sekedar menikmati hidangan makanan, atau sekedar merefresh otak setelah di jejali beberapa materi pelajaran.

Dan seperti biasa, Shania bersama teman-temannya sudah nongkrong di kantin, di meja yang sama, seperti setiap hari sebelumnya. menikmati makanan dan minuman sambil membahas sesuatu yang bisa membuat mereka tertawa rame atau diam begitu hening. Serasa kantin yang cukup luas itu hanya milik mereka ber enam, sementara yang lainnya cuma numpang .
"gila.. gila... party di rumah Brama kemarin asik banget!" cerita Noella antusias, "kapan-kapan.. kita harus tuh bikin party kayak gitu! terus ya.. yang diundang itu, cowok-cowok ganteng yang suka nongkrong di tempat balapan liar tempat kita juga biasa jalan, secara disana cowoknya.. aduhhh cool abis, belum lagi mereka semua pada jago balapan! hihihi.." khayal Noella
"ish! si wewel mah.. isi otaknya cowok mulu!" kata Vanka
"yeee.. sirik aja lu! daripada lu.. isi otaknya makanannn aja!! lu gak mau apa punya cowok?! masa mau terus-terusan jomblo sih!"

"ahh.. udah-udah! lu berdua itu.. sama aja!! yang satu cowokkk terus, tapi tetep aja Jones (Jomblo ngenes). Nah yang satunya.. makanannnn mulu, tapi badannya tetap aja kurus kering!!" Gaby memisahkan Noella dan Vanka dengan ucapan sindiran.
Keduanya yang tadi sempat saling menertawakan kecil atas apa yang dikatakan Gaby, malah berakhir dengan tekukan muka. Malah Ochi, Shania, Octy dan juga Gaby lah yang lepas tertawa.
"Nihh.. mendingan juga gue.. sama gadget-gadget kesayangan gue ini!" bangga Gaby pada apa yang dia miliki (I-pad, I-pod, I-phone, i-gak tahu lagi apa yang ada di tas Gaby :-D)

"gak ada mendingnya.. lu juga sama aja! gadget aja banyak plus canggih-canggih.. tapi kagak tahu gimana makenya, yang lu tahu cuma cara pake ngerekam sama jepretin photonya doang!" giliran Ochi yang menyerobot, membuat Noella dan Vanka menertawakan Gaby puas.

"Ish! udah ahh... mulai gak asik! eh, ya? ngomong-ngomong soal ngerekam sama photo.. udah lama juga ya, kita gak ngerjain anak-anak disini!" mulai... Gaby mulai membahas soal mengerjai teman-teman di sekolahnya.
"iya juga ya? hmm-- kira-kira.. siapa yang bisa kita jadikan artis ya?" celoteh Vanka sambil sok mikir.
"menurut lu siapa? Shan!" Ochi membelokan celotehan Vanka dengan bertanya pada Shania.
Shania ikut berpikir, mengacak wajah yang akan jadi korbannya,
"Siapa ya..? yang asik buat dijadiin artis?" katanya di sela-sela memikirkan. "aduhh.. gue pengen pipis! gue ke toilet dulu, serah kalian lah siapa calon artisnya, gue ikut aja!" lanjut Shania, sambil bergegas ke kamar mandi.
"emm.. okey, jadi siapa nih? yang bakal jadi "caaalon artiss"" dengan menggerakan telunjuk dan jari tengah secara barengan, Noella bicara.
"gimana kalau... Beby!" celetuk Octy yang daritadi tidak banyak bicara.
"wahh.. seriusan nih? calon artis nya Beby?" Tanya Gaby, yang lain saling menukar pandang. Dan... bahasan dimulai lebih serius setelah mereka dapat nama "calon artis" yaitu BEBY si anak baru.

Sementara teman-temannya sibuk membahas calon korban kecongkakan mereka, Shania yang sudah keluar dari kamar mandi malah bertemu dengan Beby sang calon artis (korban).

"Shania.." panggil Beby (posisi saling berhadapan, karena Beby tadinya akan masuk ke kamar mandi).
Shania hanya memberikan tatapan dinginnya seperti biasa.
"Shania.. aku mau bicara sama kamu?" dengan mantapnya Beby bicara.
"gue gak mau ngomong sama lu!" jawab ketus Shania.
"cuma sebentar aja! aku mohon!"
"mau itu sebentar.. atau lama sekalipun! gue.. gak mau ngomong sama lu!! apa yang gue ucapkan tempo hari, itu udah gue omongin semuanya!!!"
"justru itu.. aku masih dan mungkin gak akan pernah ngerti tentang maksud dari ucapan kamu tempo hari, karena aku emang gak tahu arah dari pembicaraan kamu!"

Suasana dekat kamar mandi cukup sepi, jadi Beby bisa lebih leluasa untuk berbicara pada Shania, ditambah dia ke kamar mandi cuma sendirian.

"seehh.. lu gak usah pura-pura bego Beby! sekarang.. tampang lu kayak gitu itu, gak akan bisa bikin hati gue lunak kayak dulu!!"
"aku mohon.. jelaskanlah, apa yang sudah membuat kamu semarah dan sebenci ini sama aku!? biar aku bisa nolong kamu, sahabat terbaik yang pernah aku miliki!!"
Shania mengangkat kecil kedua alis matanya, mendengar ucapan Beby, "nolong gue..? maksud lu apa?"
"senyum kamu... aku mau nolongin sahabat aku, buat ngembaliin senyumnya, senyum manis yang dulu pernah dia miliki!" Shania terdiam,. "senyum ceria yang sudah nolong aku dari kesendirianku dulu, senyum hangat yang bikin semua orang senang bila dekat dengan kamu, senyum.. yang kini tidak bisa aku lihat di wajah kamu!!"
Shania seperti ditarik paksa menembus waktu memikirkan kehidupannya kala di Jogja dulu.
"aku.. emang gak tahu apa alasan betapa benci nya kamu sekarang sama aku! mungkin... karena aku yang tiba-tiba memutuskan komunikasi kita dulu, yang udah bikin kamu membenci aku. Mungkin... karena ketidak berdayaan ku saat kamu sedang dalam masalah, dulu, dan aku tidak bisa ada di sisi kamu saat itu. Mungkin,-"
"Mungkin karena lu tidak seharusnya ada di dekat Dia.. itu tambahannya! puas? minggir.. gue mau pergi!"
"Dia..? di,- siapa?" penasaran Beby.
Shania tidak menghiraukan, dia pergi meninggalkan Beby, tapi Beby berusaha menghentikan langkahnya.
"Siapa Dia yang kamu maksud? jelaskanlah Shania!" pinta Beby, dengan tangannya perlahan dia lepaskan dari memegang Shania yang tadi akan pergi.

"lu.. lu lagi pura-pura bego? atau udah bego beneran hah?" kesal Shania. "Dia.. SUBHAN! cowok yang gue suka, dan lu tahu itu! tapi kemudian.. lu nusuk gue dari belakang, dengan berpura-pura ngedukung gue sama dia. Tapi saat gue gak ada deket kalian, lu dengan leluasa deketin dia.. terus ngambil dia! lu juga suka kan sama dia? hah!"
"aapa? Ssubhan!"
"kenapa? mau bikin elakan?!"
"eenggak! aku gak sepicik yang kamu pikir Shania!! aku gak ada hati sama dia!!!" Beby coba menjelaskan
"..kalo, lu gak punya hati sama dia! terus? apa yang waktu dulu gue lihat di sungai, saat lu.. lagi sandaran dan entah hal menjijikan apa lagi yang gue gak pernah lihat, dari lu sama dia!!?" jelas Shania dengan menekankan suaranya.

Beby kaget mendengar ucapan Shania, lalu memainkan pikirannya untuk menangkap waktu yang Shania bilang saat dia melihat dirinya dengan Subhan.
"kenapa diam? gak bisa jawab? gak bisa nyari alasan?!" Shania menyudutkan,; Beby masih mencoba mencari gambar lama kala masih di Jogja.
"denger yah! ini... percakapan terakhir gue, sama lu!! setelah ini, lu jangan pernah lagi muncul di depan gue, terus ngomong dengan bawa-bawa kata Sahabat atau kata lainnya yang bikin kuping gue panas, yang seolah lu tahu siapa gue. Karena gue... bukan siapa-siapa lu, dan lu... bukan apa-apa gue! Dulu... lu mungkin pernah jadi sahabat gue, tapi sekarang... lu itu... Musuh buat gue!!" Dengan melangkahkan kakinya dan dengan kesengajaan Shania menubrukan bahu atas kirinya pada lengan kiri Beby, yang masih mempekerjakan pikirannya mengingat masa lalu.

"Tunggu!... (suara Beby menahan sakit)" Shania yang akan pergi jadi berhenti melangkah, padahal jaraknya sudah ada kurang lebih 48 centimeter di belakang Beby. Dia berhenti bukan hanya karena Beby kembali bicara, tapi juga karena mendengar perubahan tone dari pita suara Beby.
"aku belum tahu... gambaran mana... yang kamu maksud antara aku... sama Subhan...!" Beby terdengar terengah (hidungnya kembali mengeluarkan darah, badannya mencoba menahan rasa sakit) "tapi... aku pastikan, kalau diantara aku... sama Subhan... itu gak ada apa-apa... dan gak pernah terjadi apapun!" Tubuh Beby mulai roboh, dia menempelkan tangan kanannya untuk menopang tubuhnya sendiri.
"bukalah hati kamu... lihatlah, ikutilah cahaya kecil yang ada dalam diri kamu... biarkan itu yang menuntunmu... bukan amarah dari rasa benci yang... kamu sendiri... tidak pahami...!" ucapan terakhir dari Beby sebelum dia akhirnya jatuh pingsan. Dan Shania tidak menyadari itu.

Ada ketukan hangat di hatinya saat mendengar ucapan Beby, tapi karena amarah membuncah sudah terlampau menutupi mata hati, Shania jadi tidak menghiraukan ketukan itu dan... dia segera memulai kembali langkahnya, karena sudah tidak mendengar suara Beby. Tanpa ada sedikit tolehan kebelakang ketika gendang telinganya sudah tidak lagi mendengar suara Beby, dengan gerak pasti Shania meninggalkan tempat itu.

Cindy yang berpapasan dengan Shania di belokan lorong ke kamar mandi, hanya melihat sekilas pada Shania, dan itupun dengan sudut matanya, karena dia tidak bisa menatapkan kedua mata secara langsung, takut-takut kalau Shania akan menjadikannya arahan.

Saat sudah belok dan tinggal beberapa meter ke kamar mandi, Cindy terkejut melihat posisi Beby yang sudah tidak sadarkan diri diatas sebuah bangku yang terletak di dekat tembok kamar mandi (sebelah pintu WC, dengan jarak lumayanlah)... Tanpa sadar, Cindy berteriak memanggil nama Beby, yang sempat tertangkap oleh pendengaran Shania, dan juga sempat menghentikan langkahnya, tapi tidak begitu menggubris.
Cindy segera menghampiri Beby, Cindy sungguh sangat terkejut dengan apa yang dia lihat.. wajah Beby sangat pucat, dari hidungnya darah segar masih keluar. Dia panik setengah mati, melihat kondisi Beby.. mengguncang tubuh Beby dan memanggil namanya berharap Beby bangun, Cindy melakukan itu beberepa kali, tapi apa yang dia lakukan hanyalah kesia-siaan belaka. Mencoba berpikir, hingga akhirnya dia ingat pesan rahasia dari Melody yang dia dapat.. 'kalau saat kamu sedang bersama Beby, terus terjadi sesuatu yang tidak bisa kamu tangani, cepat hubungi Ibu!.. tapi ingat! ini cuma diantara kamu.. sama Ibu, jangan sampai siapapun apalagi Beby tahu, ibu menyuruh kamu melakukan ini!!'.

Dengan segera, Cindy mengeluarkan Handphone nya dan mulai mencari nama Melody untuk dia hubungi.
"Ayo dong Bu.. angkat telponnya!" Panik Cindy sambil memegang Beby.
Melody masih belum merespon..
"Duhhh.. Bu Melody kemana sih!" Cindy jadi ikutan pucat, "Beby.. kamu kenap,-"
"Halo! Ada apa Cindy?" Suara Melody akhirnya terdengar juga.
"Aaahh.. makasih Tuhan! Bu.. Bu.. Ibu cepat kesini! Beby, Bu!.. Beby" suara Cindy sangattt panik.
Melody melebarkan bola matanya yang manis, saat mendengar kepanikan Cindy menyebutkan nama Beby. "Kamu sama Beby dimana? Terus Beby nya gimana?!"

Cindy memberitahukan, dan Melody segera bergegas pergi ke sudut yang diberitahukan, dengan kepanikan yang menelusup hatinya. 


Sumber : Cemistri Jkt48 | Facebook

0 Response to "CERBUNG PELANGI DALAM SAKURA *12th Chapter*"

Posting Komentar

Setelah baca, comment ya^^